Anda di halaman 1dari 4

Perbedaan Hukum Taklifi Dan Wadhi

1. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau


memilih antara melakukan dan meninggalkan. Dalam hukum wadh’i hal ini tidak ada,
melainkan hanya mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu
diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat.
2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk
dilaksanakan, dilaksanakan atau memilih. Sedangkan hukum wadh’I tidak bermaksud
untuk langsung dikerjakan oleh mukallaf. Hukum wadh’I ditentukan syari’ agar dapat
dilaksanakan hukum taklifi. Contohnya: zakat hukumnya wajib, akan tetapi kewajiban ini
tidak bisa dilaksanakan apabila hartanya tidak mencapai nisab dan belum sampai tahun
(haul)
3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau
meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan dan kesempitan (
haraj ) yang tidak sanggup dipikul oleh mukallaf. Dalam hukum wadh’I hal ini tidak
dipersoalkan.
4. Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.
Sedangkan hukum wadh’I ditujukan kepada seluruh manusia.

Perbedaan Hukum Para Fuqaha dan Abi Hanifah dan Mutakalimin

Ibnu Kamal Basya yang bernama lengkap Syams ad Din Ahmad bin Sulaiman bin
Kamal Basya dalam bukunya “Thabaqat al Fuqaha’” yang dinukil oleh Ibnu ‘Abdin (w.
1252 H) dalam Hasyiah-nya mengklasifikasikan ulama Hanafiyyah berikut kapasitas setiap
level menjadi 7 tingkatan:

1. Al Mujtahidun fi asy Syara’ (‫)المجتهدون في الشرع‬: Yaitu para mujtahid yang merumuskan
Ushul Mazhab, secara langsung seperti imam asy Syafi’i (w. 205 H) dalam ar Risalah-nya
atau tidak langsung seperti imam Abu Hanifah, Malik bin Anas (w. 179 H), dan Ahmad
bin Hanbal (w. 241 H) dalam karya-karya mereka.
2. Al Mujtahidun fi al Mazhab (‫)المجتهدون في المذهب‬: Yaitu para mujtahid yang mampu
melakukan istinbath hukum berdasarkan ushul mazhab imamnya meskipun produk
fiqihnya bisa berbeda dengan imam mazhab. Seperti imam Abu Yusuf dan Muhammad
bin Hasan asy Syaibani dalam mazhab Hanafi.
َ ‫ْال ُمجْ ت َ ِهدِينَ فِي ْال َم‬
3. Al Mujtahidun fi al masail allati laa nasha fi ha ‘an shahib al mazhab ( ‫سائِ ِل الَّتِي‬
ِ ‫ب ْال َم ْذ َه‬
‫ب‬ ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َ ‫َص فِي َها َع ْن‬ َ Yaitu para fuqaha yang menyimpulkan hukum-hukum syariat
َّ ‫)َل ن‬:
dari dalil-dalilnya yang terperinci, di mana tidak ditemukan nash dari imam mazhab
sembari secara konsisten tetap mendasarkan kesimpulan hukumnya kepada dasar-dasar
yang telah ditetapkan imam mazhab.
4. Ashhab at Takhrij min al Muqallidin ( َ‫ب التخريج ِم ْن ْال ُمقَ ِلدِين‬ ْ َ‫)أ‬: Yaitu para ulama yang
ِ ‫ص َحا‬
tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha takhrij atas pendapat imam mazhab
atau ulama mujtahid lainnya. Seperti al Jashshas ar Razi.
5. Ashhab at Tarjih min al Muqallidin ( َ‫ب الت َّ ْر ِجيحِ ِم ْن ْال ُمقَ ِلدِين‬ ْ َ ‫)أ‬: Yaitu para ulama yang
ِ ‫ص َحا‬
tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha tarjih (menguatkan satu pendapat
atas pendapat lain di internal mazhab) dengan mengatakan di dalam karya-karyanya;
pendapat ini lebih utama, lebih shahih, lebih sesuai dll. Ulama Ahnaf yang tergolong
tingkatan ini di antaranya Abu al Hasan al Quduri (w. 428 H) dan Burhan ad Din al
Marghinani (w. 593 H).
6. Para ulama muqallidun yang mampu membedakan antara riwayat yang kuat dan lemah
dalam mazhab ( ‫الر َوايَ ِة‬ ِ ‫ظاه ِِر ْال َمذْ َه‬
ِ ‫ب َو‬ َ ‫يف َو‬ َّ ‫يز بَيْنَ ْاْل َ ْق َوى َو ْالقَ ِوي ِ َوال‬
ِ ‫ض ِع‬ ِ ِ‫طبَقَةُ ْال ُمقَ ِلدِينَ ْالقَاد ِِرينَ َعلَى الت َّ ْمي‬
َ
ِ‫)النَّاد َِرة‬: Di mana mereka hanya menuliskan dalam kitab-kitab mereka pendapat-pendapat
yang mu’tamad dalam mazhab dan tidak meriwayatkan pendapat yang lemah dan tertolak.
Ulama Ahnaf yang tergolong tingkatan ini di antaranya penulis kitab-kitab matan dari
golongan muta’akhkhirin seperti Hafiz ad Din an Nasafi (w. 710 H) dengan karyanya
“Kanz ad Daqa’iq”, Ibnu Maudud al Maushili (w. 683 H) dengan karyanya “al Mukhtar li
al Fatwa”, Burhan asy Syariah al Mahbubi (w. 673 H) dengan karyanya “Wiqayah ar
Riwayah fi Masail al Hidayah”, dan Muzhaffar ad Din Ibnu as Sa’ati (w. 694 H) dengan
karyanya “Majma’ al Bahrain wa Multaqa an Nahrain”.
7. Para ulama muqallidun yang tidak mampu mengklasifikasin pendapat-pendapat mazhab
antara yang kuat dan lemah. Hanya saja pembagian Ibnu Kamal Basya ini mendapatkan
kritikan yang luas dari kalangan Hanafiyyah berikutnya hingga mereka akhirnya
merumuskan tingkatan ulama Hanafiyyah dengan urutan yang berbeda.

Dalam kitabnya an Nafi’ al Kabir li man Yuthali’ al Jami’ ash Shagir yang merupakan
kitab pendahuluan atas kitabnya syarh al Jami’ ash Shaghir karya Muhammad bin Hasan asy
Syaibani, Abu al Hasanat Abd al Hayy al Luknawi mengajukan rumusan tentang tingkatan
ulama Hanafiyyah yang berbeda dengan Ibnu Kamal Basya. Ia mengklasifikasikan ulama
Ahnaf menjadi lima tingkatan:
1. al Mutaqaddimun. Yaitu para shahabat dan murid-murid imam Abu Hanifah semisal
Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan asy Syaibani, dan Zufar. Di mana mereka melakukan
ijtihad langsung berdasarkan dalil-dalil yang empat; al Qur’an, as Sunnah, al Ijma’, dan al
Qiyas. Namun dalam melakukan ijtihad mereka menggunakan pisau analisis yang telah
dirumuskan oleh Imam Abu Hanifah.
2. Ulama senior dari kalangan Muta’akhkhirin (‫)أكابر المتأخرين‬. Di mana mereka
melakukan ijtihad atas permasalahan-permasalahan yang tidak ada keterangan atau
riwayat dari ulama mutaqaddimun. Di antara ulama Ahnaf yang tergolong kelompok ini
adalah Abu Bakar al Khassaf, Abu Ja’far ath Thahawi, Abu al Hasan al Kharki, al
Hulwa’i, as Sarakhsi, al Bazdawi, Qadhi Khan, Burhan ad Din Mahmud, dan Thahir
Ahmad.
3. Ashhab at Takhrij min al Muqallidin ( َ‫ب التخريج ِم ْن ا ْل ُمقَ ِل ِدين‬ ْ َ ‫)أ‬. Yaitu para ulama yang
ِ ‫صحَا‬
tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha takhrij atas pendapat imam mazhab
atau ulama mujtahid lainnya. Seperti al Jashshas ar Razi.
4. Ashhab at Tarjih min al Muqallidin ( َ‫ب الت َّ ْر ِجيحِ ِم ْن ا ْل ُمقَ ِل ِدين‬ ْ َ ‫)أ‬. Yaitu para ulama yang
ِ ‫صحَا‬
tergolong muqallid di mana mereka melakukan usaha tarjih (menguatkan satu pendapat
atas pendapat lain di internal mazhab) dengan mengatakan di dalam karya-karyanya;
pendapat ini lebih utama, lebih shahih, lebih sesuai dll. Ulama Ahnaf yang tergolong
tingkatan ini di antaranya Abu al Hasan al Qaduri dan Burhan ad Din al Marghinani.
5. Para ulama muqallidun yang mampu membedakan antara riwayat yang kuat dan
ِ ‫يف َو َظا ِه ِر ا ْل َم ْذ َه‬
lemah dalam mazhab ( ‫ب‬ َّ ‫يز بَ ْينَ ْاْل َ ْق َوى َوا ْلقَ ِوي ِ َوال‬
ِ ‫ض ِع‬ َ َ‫َطبَقَةُ ا ْل ُمقَ ِل ِدينَ ا ْلقَاد ِِرين‬
ِ ِ‫علَى التَّ ْمي‬
‫الر َوايَ ِة النَّاد َِر ِة‬
ِ ‫) َو‬. Di mana mereka hanya menuliskan dalam kitab-kitab mereka pendapat-
pendapat yang mu’tamad dalam mazhab dan tidak meriwayatkan pendapat yang lemah
dan tertolak. Ulama Ahnaf yang tergolong tingkatan ini di antaranya penulis kitab-kitab
matan dari golongan muta’akhkhirin seperti Hafiz ad Din an Nasafi (w. 710 H) dengan
karyanya “Kanz ad Daqa’iq”, Ibnu Maudud al Maushili (w. 683 H) dengan karyanya “al
Mukhtar li al Fatwa”, Burhan asy Syariah al Mahbubi (w. 673 H) dengan karyanya
“Wiqayah ar Riwayah fi Masail al Hidayah”, dan Muzhaffar ad Din Ibnu as Sa’ati (w. 694
H) dengan karyanya “Majma’ al Bahrain wa Multaqa an Nahrain”.

Ibrahim al Hafnawi telah merinci sebab-sebab terjadi khilafiyyah atau perbedaan


pandangan di internal mazhab Hanafi, yang ia rinci menjadi empat sebab:
1. Terjadinya perbedaan dalam penukilan riwayat-riwayat dari Imam Abu Hanifah. Imam
Abu Bakar al Baligi sebagaimana dikutip al Hafnawi mengatakan, setidaknya
perbedaan penukilan riwayat dari imam Abu Hanifah terjadi karena empat sebab:

a. Kekeliruan rawi dalam menukil perkataan imam Abu Hanifah,


b. adanya riwayat yang menjelaskan bahwa imam Abu Hanifah telah mengkoreksi
pendapatnya, namun di sisi lain ada rawi yang tidak menerima riwayat tersebut,
c. terjadinya perbedaan persepsi atas ijtihad imam Abu Hanifah antara berpendapat
dengan qiyas[2] atau istihsan[3](dalam hal jika terjadi kontradiksi dalam sebuah
masalah antara hukum yang dihasilkan dengan qiyas di satu sisi dan istihsan di sisi
yang lain, maka umumnya ulama Hanafiyyah mendahukan produk fiqih yang
dihasilkan dari istihsan atas qiyas),
d. kadangkala imam Abu Hanifah menjawab sebuah masalah dengan dua jawaban;
pertama dengan hukum yang semestinya dan kedua dengan hukum yang di dasari
atas kehati-hatian (ihtiyath), lalu dua jawaban tersebut diriwayatkan secara berbeda
oleh murid-muridnya.

2. Adanya dua riwayat berbeda dari imam Abu Hanifah, di mana di satu sisi dapat
diketahui pendapat mana yang awal terucap dan pendapat mana yang belakangan
terucap, maka pendapat terakhir dianggap menegasikan pendapat yang awal. Namun
kadangkala urutan waktunya tidak diketahui, hingga terjadilah khilafiyyah di antara
ulama Hanafiyyah.
3. Terjadinya perbedaan pendapat antara Imam Ahmad dengan para shahabatnya semisal
Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, Zufar, al Hasan bin Ziyad dan lainnya.
4. Terjadinya perbedaan pendapat diantara ulama Hanabilah (takharij al ashab).

Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan di atas, tentunya dalam menisbatkan sebuah


pendapat kepada mazhab Hanafi harus melalui proses tarjih yang dengannya sebuah
pendapat dapat dikatakan sebagai pendapat yang mu’tamad atau diakui oleh segenap ulama
Hanafiyyah. Sebab, dengan mengambil pendapat yang diketahui lemah di mazhab tersebut
dan meninggalkan pendapat yang dianggap lebih kuat adalah sebuah kesalahan jika
selanjutnya dinisbahkan kepada mazhab tersebut. Sebagaimana kelirunya seseorang
menisbatkan pendapat bolehnya nikah mut’ah kepada Ibnu Abbas, padahal Ibnu Abbas
sendiri telah mengkoreksi kekeliruan pendapatnya ini.

Anda mungkin juga menyukai