Anda di halaman 1dari 44

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya atas kesempatan dan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat menyusun referat
ini dengan baik dan benar serta tepat waktunya. Didalam referat ini, penulis akan
membahaskan mengenai Penyakit-penyakit yang Berpengaruh pada Fungsi Tuba Eustachius.
Referat ini telah dibuat dengan pencarian melalui buku-buku rujukan dan juga
penulusuran situs medical. Dalam pembuatannya juga penulis banyak mendapat bimbingan
dari pelbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Pembimbing serta
rekan - rekan mahasiswa fakultas kedokteran UKRIDA yang telah membantu ketika ada
kesulitan dalam penulisan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada referat ini.
Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran dan kritik yang dapat
membangun nilai kerja penulis ini. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu, penulis meminta kritik dan saran dari pembaca sekalian untuk menyempurnakannya.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan apabila ada kata-kata yang
kurang berkenan, penulis memohon maaf sebesar-besarnya.

1
Daftar isi

Kata pengantar................................................................................................................ 1
Daftar isi..........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
1. Anatomi Telinga................................................................................................. 4
2. Anatomi Tuba................................................................................................... 13
3. Gangguan Fungsi Tuba..................................................................................... 16
4. Tuba Terbuka Abnormal.................................................................................. 16
5. Obstruksi Tuba................................................................................................. 25
6. Barotrauma....................................................................................................... 32
7. Atelektasis........................................................................................................ 33
8. Otitis Media Non Supuratif.............................................................................. 33
9. Sumbing Bibir dan Palatum.............................................................................. 35
10. Kegagalan Mekanisme Pembukaan.................................................................. 39
BAB III PENUTUP
Kesimpulan................................................................................................................... 42
Daftar pustaka.............................................................................................................. 42

2
BAB I

PENDAHULUAN

Telinga tengah merupakan ruangan yang berisi udara dan terletak di dalam tulang temporal
yang terdiri dari kavum timpani, tuba eustachius dan mastoid yang terdiri dari antrum dan
selula mastoid.1 Saluran eustachius mencegah penumpukan tekanan didalam telinga. Tuba
atau saluran eustachius umumnya tetap tertutup, namun terbuka selama menelan dan
menguap untuk mengimbangi tekanan udara pada telinga tengah dengan tekanan udara diluar
telinga. Telinga tengah juga mengandung tulang-tulang kecil yang mengirim getaran-getaran
dari selaput gendang telinga ke telinga dalam. Kebanyakan infeksi telinga terjadi pada telinga
luar atau tengah. Infeksi- telinga lebih umum terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa
karena saluran-saluran terutma saluran eustachius dalam telinga lebih pendek dan lebar.
kemudian, pada anak terdapat jaringan adenoid (adenoid tissue) dibelakang tenggorokan lebih
besar dan dapat menghalangi tuba eustachius. Pada reerat ini akan dibahas mengenai penyakit
atau gangguan pada telinga yang berpengaruh pada fungsi tuba atau saluran eustachius.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Anatomi Telinga
Telinga terdiri dari telinga luar (auris eksterna), telinga tengah (auris media) dan telinga
dalam (auris interna).1

Gambar 1. Telinga Luar, Tengah dan Dalam.1

a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga (aurikula) dan liang telinga (meatus akustikus ekterna).1

Daun Telinga (Aurikula)


Aurikula mempunyai kerangka dari tulang rawan yang dilapisi oleh kulit. Di bagian anterior
aurikula, kulit tersebut melekat erat pada perikondrium sedangkan di bagian posterior kulit

4
melekat secara longgar. Bagian aurikula yang tidak mempunyai tulang rawan disebut
lobulus.1
Auricula mempunyai bentuk yang khas dan berfungsi mengumpulkan getaran udara,
auricula terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang ditutupi kulit. Auricula juga
mempunyai otot intrinsic dan ekstrinsik, yang keduanya dipersarafi oleh N. facialis.2,3

Gambar 2. Aurikula.1

Auricula atau lebih dikenal dengan daun telinga membentuk suatu bentuk unik yang terdiri
dari antihelix yang membentuk huruf Y, dengan bagian crux superior di sebelah kiri dari
fossa triangularis, crux inferior pada sebelah kanan dari fossa triangularis, antitragus yang
berada di bawah tragus, sulcus auricularis yang merupakan sebuah struktur depresif di
belakang telinga di dekat kepala, concha berada di dekat saluran pendengaran, angulus
conchalis yang merupakan sudut di belakang concha dengan sisi kepala, crus helix yang
berada di atas tragus, cymba conchae merupakan ujung terdekat dari concha, meatus
akustikus eksternus yang merupakan pintu masuk dari saluran pendengaran, fossa triangularis
yang merupakan struktur depresif di dekat antihelix, helix yang merupakan bagian terluar dari
daun telinga, incisura anterior yang berada di antara tragus dan antitragus, serta lobus yang
berada di bagian paling bawah dari daun telinga, dan tragus yang berada di depan meatus
akustikus eksternus.2,3

Liang Telinga (Meatus Akustikus Ekterna – MAE)


MAE merupakan saluran yang menuju ke arah telinga tengah dan berakhir pada membran
timpani. MAE mempunyai diameter 0,5 cm dan panjang 2,5-3 cm. MAE merupakan saluran

5
yang tidak lurus, tapi berbelok dari arah postero-superior di bagian luar ke arah antero-
inferior. Selain itu, terdapat penyempitan di bagian medial yang dinamakan isthmus. Dinding
MAE sepertiga bagian lateral dibentuk oleh tulang rawan yang merupakan kelanjutan dari
tulang rawan aurikula dan disebut pars kartilagenus. Bagian ini bersifat elastis dan dilapisi
kulit yang melekat erat pada perikondrium. Kulit pada bagian ini mengandung jaringan
subkutan, folikel rambut, kelenjar lemak (glandula sebacea) dan kelenjar serumen (glandula
ceruminosa).1 Dinding MAE dua pertiga bagian medial dibentuk oleh tulang dan disebut pars
osseus. Kulit yang meliputi bagian ini sangat tipis dan melekat erat pada periosteum. Pada
bagian ini tidak didapatkan folikel rambut atau pun kelenjar. Dengan demikian dapat
dimengerti jika serumen dan furunkel hanya dapat ditemukan di sepertiga bagian lateral
MAE.
Pada daerah telinga dijumpai adanya berbagai saraf sensorik yang merupakan cabang dari
N.X (N. Arnold), N.V (N. Aurikulotemporalis), N.VII, N. IX dan cabang dari N. Servikalis 2
dan Servikalis 3 (N. Aurikula magnus).1
Aliran getah bening dari MAE dan aurikula menuju ke kelenjar-kelenjar getah bening di
daerah parotis, retro-aurikuler, infra-aurikuler dan kelenjar di daerah servikal.1 Sedangkan
aliran limfe menuju nodi parotidei superficiales, mastoidei, dan cervicales superficiales.2,3

b. Telinga Tengah (Auris Media)


Merupakan ruangan yang berisi udara dan terletak di dalam tulang temporal. Auris media
terdiri dari kavum timpani, tuba eustachius dan mastoid yang terdiri dari antrum dan selula
mastoid.1 Semua ruangan yang membentuk auris media dilapisi oleh mukosa dengan epitel
selapis kubis yang sama dengan mukosa kavum nasi dan nasofaring. Selain itu, mukosa auris
media merupakan kelanjutan mukosa nasofaring dan mukosa tuba Eustachius. Secara klinis
hal ini mempermudah keradangan pada nasofaring meluas ke kavum tumpani dan
menimbulkann keradangan pada kavum timpani.1

6
Gambar 3. Telinga Tengah.1

Kavum Timpani
Kavum timpani merupakan bagian terpenting dari auris media, mengingat banyaknya struktur
yang ada di dalamnya yaitu tulang, otot, ligamen, saraf dan pembuluh darah. Kavum timpani
dapat dibayangkan sebagai kotak dengan dinding enam, dan dindingnya berbatasan dengan
organ-organ penting. Jarak anterior sampai posterior adalah 15 mm, jarak superior sampai
inferior adalah 15 mm dan jarak lateral sampai medial adalah 6 mm, tempat ada bagian
tersempit yang hanya berjarak 2 mm.1
Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu epitimpanum, mesotimpanum dan
hipotimpanum. Pada kavum timpani terdapat:1
a. Osikula yang terdiri atas:
 Maleus, dengan bagian-bagiannya yaitu kaput, kolum, prosesus brevis, procesus
longus, dan manubrium malei. Kaput malei mengisi epitimpanum sedangkan bagian
yang lain mengisi mesotimpanum.
 Inkus, terdiri atas kaput, prosesus brevis dan prosesus longus. Sebagian besar bagian
inkus mengisi epitimpanum dan hanya sebagian dari prosesus longus yang mengisi
mesotimpanum.
 Stapes, terdiri atas kaput, kolum, krus anterior, krus posterior dan basis.
Ketiga tulang pendengaran tersebut satu dengan yang lain dihubungkan dengan suatu
Persendian, sehingga merupakan suatu rangkaian yang disebut rantai osikula. Basis
stapes menutup foramen ovale dengan perantaraan jaringan ikat yang disebut ligamen
anulare. Rantai osikula dan gerakan basis stapes sangat penting artinya bagi sistem
konduksi pada fungsi pendengaran.1

7
b. Muskuli, terdiri atas m.tensor timpani yang mempunyai fungsi meregangkan membran
timpani dan m.stapedius yang mempunyai fungsi mengatur gerakan stapes.
c. Ligamen, mempunyai fungsi mempertahankan posisi osikula di dalam kavum timpani.
d. Saraf yang berada dalam kavum timpani adalah n.korda timpani. Saraf ini merupakan
cabang dari pars vertikalis N. VII (N.fasialis).

Batas-batas Kavum Timpani


Kavum timpani yang diibaratkan suatu kotak mempunyai batas sebagai berikut:1
a. Dinding superior, merupakan tulang yang sangat tipis (1 mm) dan merupakan batas
antara kavum timpani (epitimpanum) dengan fossa kranii media (lobus temporalis). Hal
ini menyebabkan radang dalam kavum timpani dapat meluas ke dalam endokranium.
b. Dinding inferior, berbentuk tulang tipis yang merupakan pembatas antara
hipotimpanum dengan bulbus v.jugularis. Keadaan ini menyebabkan radang dalam
kavum timpani dan dapat menimbulkan tromboplebitis.
c. Dinding posterior, terdapat aditus ad antrum yang menghubungkan kavum timpani
dengan antrum mastoid dan bagian vertikal dari kanal N. VII.
d. Dinding anterior, terdapat a.carotis interna, muara tuba Eustachius dan m.tensor
timpani.
e. Dinding medial, merupakan batas kavum timpani dengan labirin. Di bagian ini terdapat
struktur penting yaitu kanalis semisirkularis pars horizontal yang merupakan bagian
dari labirin, kanalis n.VII pars horizontal, dan foramen ovale yang ditutup oleh basis
stapes. Promontorium berbentuk tonjolan ke arah kavum timpani, merupakan lingkaran
pertama koklea. Foramen rotundum ditutup oleh membran yang disebut membrana
timpani sekundaria, menjadi batas antara kavum timpani dengan skala timpani (bagian
dari labirin).
f. Dinding lateral, terdiri atas 2 bagian yaitu pars oseus yang merupakan dinding lateral
dari epitimpanum, membentuk sebagian kecil dari dinding lateral kavum timpani dan
pars membranaseus yang disebut juga membran timpani.

Membran Timpani
Membran timpani memisahkan kavum timpani dengan meatus akustikus ekterna. Bentuknya
seperti kerucut dengan basis oval dan puncak kerucut cekung ke arah medial. Tepi membran
timpani disebut margo timpani. Membran timpani terpasang miring dengan melekat pada

8
suatu lekukan tulang yang disebut sulkus timpanikus dengan perantaraan jaringan ikat
(annulus timpanicus).1
Bagian atas membran timpani yang berbentuk bulan sabit disebut pars flaksida atau
membrani Shrapnelli. Pars flaksida ini lebih tipis dan lebih lentur. Bagian bawah berbentuk
oval dengan warna putih mutiara yang disebut pars tensa. Pars tensa ini merupakan bagian
tersebesar dari membran timpani terdiri atas lapisan luar berupa epitel.1
Secara histologis pars tensa membran timpani terdiri atas lapisan luar berupa epitel kulit yang
merupakan lanjutan epitel kulit meatus akustikus eksterna, lapisan tengah (lamina propia)
yang terdiri dari lapisan jaringan ikat tersusun sirkular dan radial dan lapisan dalam yang
dibentuk oleh mukosa kavum timpani. Pars flaksida hanya terdiri dari lapisan luar dan lapisan
dalam tanpa lamina propia.1
Refleks cahaya berbentuk segitiga dan terbentuk akibat dari posisi membran timpani
yang terpasang miring (45o) pada sulkus timpanikus.1

Gambar 4. Membran Timpani Kanan yang Normal.1

Tuba Eustachius
Tuba Eustachius merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan
nasofaring, berbentuk terompet, panjang 37 mm. Tuba Eustachius dari kavum timpani
menuju nasofaring terletak dengan posisi infero-antero-medial sehingga ada perbedaan
ketinggian antara muara pada kavum timpani dengan muara pada nasofaring sekitar 15 mm.
Pada bayi, tuba Eustachius terletak lebih horizontal, lebih pendek dan lumen lebih lebar
sehingga mudah terjadi keradangan telinga tengah.1

9
Muara pada kavum timpani selalu terbuka, sedangkan muara pada nasofaring selalu tertutup
dan baru terbuka bila ada kontraksi m.levaor dan m.tensor veli palatini yaitu pada waktu
menguap dan menelan.1

Mastoid
Dalam kaitan dengan penyakit telinga tengah, terdapat 2 hal penting yang perlu dipelajari
tentang mastoid, yaitu topografi dan pneumatisasi mastoid.1
Topografi Mastoid
Dinding anterior mastoid merupakan dinding posterior kavum timpani dan meatus akustikus
ekterna. Antrum mastoid dan kavum timpani dihubungkan lewat aditus ad antrum.
Dinding atas antrum mastoid disebut tegmen antri, merupakan dinding tipis seperti juga pada
tegmen timpani dan merupakan batas antara mastoid dengan fosa kranii media. Dinding
posterior dan medial merupakan dinding tulang tipis membatasi mastoid dengan sinus
sigmoid.1
Keadaan ini menyebabkan suatu keradangan dalam mastoid dapat meluas ke endokranium
dan ke sinus sigmoid sehingga dapat menimbulkan keradangan di otak maupun
tromboplebitis.1
Pneumatisasi Mastoid
Proses pneumatisasi mastoid di dalam prosesus mastoid terjadi setelah bayi lahir.
Berdasarkan pertumbuhan dan bentuknya dikenal 4 jenis pneumatisasi, yaitu:1
a. Infantil, selula yang terjadi akibat proses pneumatisasi sangat sedikit jumlahnya.
Akibatnya bagian korteks di prosesus mastoid menjadi sangat tebal sehingga jika terjadi
perluasan abses lebih mudah ke arah endokranium.
b. Normal, selula yang terjadi meluas sedemikian rupa sehingga hampir meliputi seluruh
prosesus mastoid. Akibatnya bagian korteks di prosesus mastoid menjadi sangat tipis dan
abses mudah pecah keluar sehingga timbul fister retroaurikuler.
c. Hiperpneumatisasi, selula yang terjadi tidak hanya terbatas pada prosesus mastoid saja,
akan tetapi juga meluas sampai os zigomatikum dan bahkan sampai pada apeks
piramidalis. Akibatnya, keradangan pada mastoid dapat meluas sampai menimbulkan
abses preaurikularis dan bahkan sampai abses supraaurikularis.
d. Sklerotik, berbentuk seperti pneumatisasi tipe infantil. Tipe sklerotik ini terjadi akibat
adanya keradangan kronik dalam kavum timpani dan kavum mastoid (otitis media
kronika dan mastoiditis). Akibatnya keradangan lebih mudah meluas ke arah tegmen
antri, masuk ke fosa kranii media dan timbul meningitis atau abses otak.

10
c. Telinga Dalam (Auris Interna)
Auris interna disebut juga labirin. Di dalamnya terdapat dua alat yang saling berdekatan yaitu
organ status (alat imbang) dan organ auditus (alat dengar). Keduanya berbentuk tabung yang
masing-masing berisi endolimf dan perilimf. Cairan endolimf keluar melalui duktus
endolimfatikus sedangan cairan perilimf berhubungan dengan likuor serebrospinalis melalui
duktus perilimfatikus. Hal ini berakibat bahwa melalui jalur tersebut, keradangan dalam
kavum timpani dapat menjalar ke dalam endokranium.1
Organ Status
Terdiri atas 3 kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis horizontal, kanalis
semisirkularis vertikal posterior (inferior) dan kanalis semisirkularis vertikal anterior
(superior). Alat keseimbangan inilah yang membuat seseorang menjadi sadar akan posisi
tubuhnya dalam suatu ruangan. Jika alat ini terganggu akan timbul keluhan pusing atau
vertigo.1
Organ Auditus
Alat pendengaran terdiri dari koklea yang berbentuk rumah siput dengan dua setengah
lingkaran yang akan mengubah getaran suara dari sistem konduksi menjadi sistem saraf. Jika
alat ini terganggu akan timbul keluhan kurang pendengaran atau tuli.1

d. Vaskularisasi Telinga
Perdarahan telinga terdiri dari 2 macam sirkulasi yang masing – masing secara keseluruhan
berdiri satu–satu memperdarahi telinga luar dan tengah, dan satu lagi memperdarahi telinga
dalam tampa ada satu pun anastomosis diantara keduanya. Telinga luar terutama diperdarahi
oleh cabang aurikulotemporal, A. temporalis superficial di bagian anterior dan di bagian
posterior diperdarahi oleh cabang aurikuloposterior, A. karotis externa.4,5
Telinga tengah dan mastiod diperdarahi oleh sirkulasi arteri yang mempunyai banyak
sekali anastomosis. Cabang timpani anterior A. maxila externa masuk melalui fisura
retrotimpani. Melalui dinding anterior mesotimpanum juga berjalan aa.karotikotimpanik
yang merupakan cabang A.karotis ke timpanum .dibagian superior, A. meningia media
memberikan cabang timpanik superior yang masuk ketelinga tengah melalui fisura
petroskuamosa. A. meningea media juga memberikan percabangan A. petrosa superficial
yang berjalan bersama N. petrosa mayor memasuki kanalis fasial pada hiatus yang berisi
ganglion genikulatum. Pembuluh-pembuluh ini beranastomose dengan suatu cabang A.
auricula posterior yaitu A. stilomastoid, yang memasuki kanalis fasial dibagian inferior

11
melalui foramen stilomastoid. Satu cabang dari arteri yang terakhir ini, A. timpani posterior
berjalan melalui kanalikuli korda timpani. Satu arteri yang penting masuk dibagian inferior
cabang dari A. faringeal asendenc.arteri ini adalah perdarahan utama pada tumor glomus
jugular pada telinga tengah.4,5
Tulang-tulang pendengaran menerima pendarahan anastomosis dari arteri timpani anterior,
a.timpani posterior, suatu arteri yang berjalan dengan tendon stapedius, dan cabang – cabang
dari pleksus pembuluh darah pada promontorium. Pembuluh darah ini berjalan didalam
mukosa yang melapisi tulang-tulang pendengaran, memberi bahan makanan kedalam tulang.
Proses longus incus mempunyai perdarahan yang paling sedikit sehingga kalau terjadi
peradangan atau gangguan mekanis terhadap sirkulasinya biasanya mengalami necrosis.4,5
Telinga dalam memperoleh perdarahan dari A. auditori interna (A. labirintin) yang berasal
dari A. serebelli inferior anterior atau langsung dari A. basilaris yang merupakan suatu end
arteri dan tidak mempunyai pembuluh darah anastomosis. Setelah memasuki meatus
akustikus internus, arteri ini bercabang 3 yaitu: 4,5
a. Arteri vestibularis anterior yang mendarahi makula utrikuli, sebagian makula sakuli,
krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian dari utrikulus
dan sakulus.
b. Arteri vestibulokoklearis, mendarahi makula sakuli, kanalis semisirkularisposterior,
bagian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran basal dari koklea.
c. Arteri koklearis yang memasuki modiolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri spiral
yang mendarahi organ corti, skala vestibuli, skala timpani sebelum berakhir pada stria
vaskularis.
Aliran vena pada telinga dalam melalui 3 jalur utama. Vena auditori interna mendarahi
putaran tengah dan apikal koklea. Vena akuaduktus koklearis mendarahi putaran basiler
koklea, sakulus dan utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus inferior. Vena akuaduktus
vestibularis mendarahi kanalis semisirkularis sampai utrikulus. Vena ini mengikuti duktus
endolimfatikus dan masuk ke sinus sigmoid. Aliran vena telinga luar dan tengah dilakukan
oleh pembuluh–pembuluh darah yang menyertai arteri v.emisari mastoid yang
menghubungkan korteks keluar mastoid dan sinus lateral. Aliran vena telinga dalam
dilakukan melalui 3 jalur aliran .dari koklea putaran tengah dan apical dilakukan oleh V.
auditori interna. Untuk putaran basiler koklea dan vestibulum anterior dilakukan oleh V.
kokhlear melalui suatu saluran yang berjalan sejajar dengan akuadutus kokhlea dan masuk
kedalam sinus petrosa inferior. Suatu aliran vena ketiga mengikuti duktus endolimfa dan
masuk ke sinus sigmoid pleksus ini mengalirkan darah dari labirin posterior. 4,5

12
Daun telinga dan liang telinga luar menerima cabang–cabang sensoris dari cabang
aurikulotemporal saraf ke–5 (N. Mandibularis) dibagian depan, dibagian posterior dari
Nervus aurikuler mayor dan minor, dan cabang–cabang Nervus Glofaringeus dan Vagus.
Cabang Nervus Vagus dikenal sebagai N. Arnold. Stimulasi saraf ini menyebabkan refleks
batuk bila teliga luar dibersihkan. Liang telinga bagian tulang sebelah posterior superior
dipersarafi oleh cabang sensorik N. Fasialis. 4,5
Tuba Eustachio menerima serabut saraf dari ganglion pterygopalatinum dan saraf–saraf
yang berasal dari pleksus timpanikus yang dibentuk oleh N. Cranialis VII dan IX. M.tensor
timpani dipersarafi oleh N. Mandibularis (N. Cranial V3 ).sedangkan M.Stapedius dipersarafi
oleh N. Fasialis. Korda timpani memasuki telinga tengah tepat dibawah pinggir
posterosuperior sulkus timpani dan berjalan kearah depan lateral ke prosesus longus inkus
dan kemudian kebagain bawah leher maleus tepat diatas perlekatan tendon tensor timpani
setelah berjalan kearah medial menuju ligamen maleus anterior, saraf ini keluar melalui fisura
petrotimpani. 4,5

2. Anatomi Tuba Eutachius


Seperti yang sudah diketahui tuba eustachius merupakan saluran yang menghubungan kavum
timpani dengan nasofaring. Tuba eustachius mempunyai ukuran yang lebih panjang pada
dewasa dibandingkan bayi dan anak. Pertumbuhan ukuran panjangnya terjadi sebelum usia 6
tahun. Dilaporkan bahwa panjang tuba terpendek adalah 30 mm dan terpanjang 40 mm
(ukuran rata-rata 31-38 mm). Pada tuba eustachius dewasa, bagian 1/3 posteriornya (11-44
mm) dibentuk oleh pars osseus, dan 2/3 anteriornya (20-25 mm) dibentuk oleh membran dan
kartilago. Pada orang dewasa, tuba eustachius membentuk sudut 45o, sedangan pada bayi
hanya 10o.6,7 Dari muara sebelah bawah pada dinding lateral nasofaring berjalan ke atas,
belakang dan ke arah luar untuk sampai ke muara sebelah atas pada dinding anterior kavum
timpani. Sepertiga bagian atas (lateral) terbentuk oleh tulang sedangkan dua pertiga bagian
bawah (medial) terdiri dari tulang rawan.6,7
Orifisium nasofaringealis terletak setinggi ujung posterior dari konka inferior. Tuba
eutachius pada bayi relatif lebih horizontal, lebih pendek dan lebih besar dibandingkan
dengan orang dewasa.6,7

13
Gambar 5. Perbedaan Tuba Eustachius pada Anak dan Dewasa.6

Perkembangan tuba eustachius dipengaruhi oleh perkembangan dari bagian medial dari
wajah. Fungsi tuba eustachius berkembang menjadi normal pada usia anak 5 sampai 6 tahun
dimana tekanan udara telinga tengah menjadi normal. Tuba eustachius dapat dibagi menjadi 3
bagian diantaranya bagian kartilago (cartilaginous), antara (junctional) dan tulang (osseus).
Bagian kartilago adalah bagian yang terletak di bagian proksimal dan bermuara di nasofaring.
Bagian tulang (osseus) terletak di bagian distal dan bermuara di anterior telinga tengah.
Bagian junction adalah bagian dimana bagian kartilago dan bagian tulang terhubung dan
sebelumnya diduga merupakan bagian yang tersempit dari lumen tuba yang lebih dikenal
sebagai isthmus.6,7

Gambar 6. Tuba Eustachius Penghubung Hidung dan Nasofaring7

14
Tuba eustachius merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani dengan nasofaring.
Panjang rata-rata tuba eustachius pada orang dewasa kurang lebih 3,7 cm. Dari muara sebelah
bawah pada dinding lateral nasofaring berjalan ke atas, belakang dan ke arah luar untuk
sampai di muara sebelah atas pada dinding anterior kavum timpani.6,7
Sepertiga bagian atas (lateral) terbentuk oleh tulang dan dua pertiga bagian bawah (medial)
terdiri dari tulang rawan. Orifisium nasofaringealis terletak setinggi ujung posterior dari
konka inferior. Tuba relatif lebih horizontal, lebih pendek dan lebh besar pada bayi
dibandingkan dengan orang dewasa. Pada keadaan normal, tuba menutup waktu istirahat dan
membuka waktu menguap, mengunyah atau menelan. Pada saat kita melakukan gerakan
menelan, menguap atau mengunyah, maka akan terjadi pembukaan ostium faringeal tuba dan
tuba pars kartilaginosa, oleh karena kontraksi otot tensor veli palatina dan otot levator veli
palatina. Ukuran bagian fibrokartilaginosa dari tuba, terutama dikontrol oleh kedua otot ini
dimana kerja sinergis keduanya akan memendekan dan menambah diameter tuba pada waktu
menelan tersebut.6,7

Gambar 7. Potongan Diseksi Lengkap dari Tuba Eustachius7

Pada orang dewasa ostium timpani lebih tinggi 2,0-2,5 cm dari ostium faringealis. Tuba
bagian rawan membentuk sudut 160 derajat karena berjalan ke arah medial, depan dan bawah.
Ostium faringealis di sebelah atas dan belakang dibatasi oleh sedikit perluasan dari rawan
tuba atau rawan tambahan yang membentuk torus tubarius. Sedikit posterior dari torus
tubarius terdapat lekukan yang disebut fossa Rossenmuller.6,7

Vaskularisasi Tuba Eustachius


Vaskularisasi tuba eustachius adalah dari 5 arteri yang kemudian bersama-sama menyuplai
darah diantaranya a.palatina ascenden, cabang a.faringeal maksilari interna, a.canalis
pterygoid, a.faringeal ascenden dan a.meningeal media. Drainase vena oleh pleksus

15
pterigoideus. Aliram limfatik tuba masuk ke dalam kelenjar-kelenjar retrofaring dan servikal
bagian dalam.6,7
Persyarafan Tuba Eustachius
Orifisium faringeal dari tuba eustachius dipersyarafi oleh cabang dari ganglion otikus,
n.sphenopalatinus dan pleksus faringeal. Sedangkan saraf sensorisnya berasal dari pleksus
timpanikus dan pleksus faringeal. Nervus glossofaringeal diduga mempunyai peranan yang
dominan pada persyarafan tuba eustachius. Saraf simpatis dari tuba tergantung pada ganglion
sphenopalatinus, ganglion otikus, sepasang nervus glossofaringeal, nervus petrosal dan
n.carticotympanikus. persarafan dari m.tensor veli palatina dan m.tensor timpani berasal dari
bagian ventromedial nukleus motor trigeminal ipsilateral melalui n.trigeminus. Otot levator
veli palatina menerima persyarafan dari n.ambigus melalui n.vagus.6,7

3. Gangguan Fungsi Tuba Eustachius


Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drainase sekret dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara
dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Adanya fungsi ventilasi tuba ini
dapat dibuktikan dengan melakukan perasat valsava dan perasat Tonybee.8
Perasat Valsava dilakukan dengan cara meniupkan dengan keras dari hidung sambil hidung
dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka terasa udara masuk ke dalam rongga
telinga tengah yang menekan membran timpani ke arah lateral. Perasat ini tidak boleh
dilakukan apabila ada infeksi pada jalan napas atas.8
Perasat Tonybee dilakukan dengan cara menelan ludah sambil hidung dipencet serta mulut
ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membran timpani tertarik ke medial. Perasat ini
lebih fisiologis.8
Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan masuk ke
telinga tegah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu
oleh otot tensor veli palatini apabila perbedaan tekanan berbeda antara 20-40 mmHg.
Gangguan fungsi tuba dapat terjadi oleh beberapa hal seperti tuba terbuka abnormal,
myoklonus palatal, palatoskisis dan obstruksi tuba.8

4. Tuba terbuka abnormal


Tuba terbuka abnormal ialah tuba terus menerus terbuka, sehingga udara masuk ke telinga
tengah waktu respirasi. Umumnya idiopatik tetapi dapat juga disebabkan oleh hilangnya

16
jaringan lemak di sekitar mulut tuba sebagai akibat turunnya berat badan yang hebat dan
kehamilan terutama pada trimester ketiga diidentifikasi sebagai faktor predisposisi penting.
Selain itu, faktor lain yang mungkin adalah penyakit kronis tertentu seperti rinitis atrofi dan
faringitis, gangguan fungsi otot seperti myasthenia gravis, penggunaan obat anti hamil pada
wanita dan penggunaan estrogen pada laki-laki.8,9
Gangguan neurologis yang dapat menyebabkan atrofi otot (misalnya, stroke, multiple
sclerosis, penyakit motor neuron) juga mungkin terlibat. Pembentukan adhesi dalam
nasofaring setelah adenoidectomy atau radioterapi juga dapat mempengaruhi untuk terjadinya
kelainan ini. Faktor predisposisi lainnya termasuk kelelahan, stres, kecemasan, latihan, dan
sindrom sendi temporomandibular.10,11 Insiden tuba terbuka abnormal adalah sebanyak 0,3-
6,6%, dan 10-20% dari orang yang mengalaminya mencari bantuan medis karena merasa
begitu terganggu dengan gejalanya. Kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pada pria dan biasanya terjadi pada remaja dan orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-
anak.10 Keluhan pasien biasanya berupa rasa penuh dalam telinga atau autofoni (gema suara
sendiri terdengar lebih keras), sampai bisa terdengar bunyi napas sendiri dan bisa
mengganggu pertuturan. Keluhan ini kadang-kadang sangat mengganggu, sehingga pasien
mengalami stress berat.Vertigo dan gangguan pendengaran juga dapat terjadi karena tuba
terbuka abnormal memungkinkan perubahan tekanan yang berlebihan terjadi di telinga
tengah, perubahan tekanan kemudian dikirim ke telinga bagian dalam melalui gerakan tulang
pendengaran. Beberapa pasien mungkin mengalami kesulitan makan karena suara mengunyah
ditransmisikan ke telinga. Gejala mungkin berhubungan dengan perubahan siklus yang terjadi
dalam mukosa tuba eustachius. Beberapa pasien merasa lega dengan peningkatan kongesti
mukosa yang terkait dengan cara berbaring, menempatkan kepala di antara lutut, atau selama
infeksi saluran pernapasan atas.10,11 Kompresi vena jugularis menghasilkan kongesti vena
peritubular dan bisa meringankan gejala. Pasien kadang-kadang mengendus berulang-ulang
untuk menutup tabung eustachius, dan ini dapat mengakibatkan tekanan negatif telinga
tengah jangka panjang. Dekongestan atau tabung ventilasi dalam membran timpani dapat
memperburuk gejala.
Pada pemeriksaan klinis dapat dilihat membran timpani yang atrofi, tipis dan bergerak
pada respirasi (a telltale diagnostic sign). Membran timpani dapat menjadi atrofi sekunder
akibat gerakan membran timpani yang konstan dari bernapas atau mengendus. Disebabkan
tuba yang terbuka abnormal, perubahan tekanan dalam nasofaring sangat mudah dipindahkan
ke telinga tengah sehinggakan pergerakan membran timpani bisa dilihat pada waktu inspirasi
dan ekpirasi. Pergerakan ini lebih jelas jika pasien bernapas setelah menutup lobang hidung

17
yang bersebelahan. Membran timpani bergerak ke medial pada waktu inspirasi dan ke lateral
pada waktu ekspirasi. Jika pasien duduk tegak, gerakan kecil pars flaccida terjadi, yang
menghilang ketika pasien terlentang.11
CT scan dalam bidang aksial telah digunakan untuk menunjukkan adanya tuba terbuka
abnormal. CT scan mungkin berguna dalam membuat diagnosis pada beberapa pasien.
Radiologi hanya membantu dalam diagnosis patensi anatomi. Timpanometri dapat
mendeteksi gerakan dari membran timpani dengan respirasi hidung, terutama dengan pasien
dalam posisi tegak. Suara distorsi dari respirasi hidung dan pertuturan dapat didengar dengan
mikrofon ditempatkan di meatus eksternal. Dengan sonotubometry, suara uji dimasukkan ke
ruang depan hidung dan mikrofon dipasang ke dalam meatus auditori eksternal. Dengan tuba
terbuka abnormal, tingkat tekanan suara di kanalis eksternal berada pada tingkat maksimum,
karena tabung tidak menutup, tidak ada penurunan mendadak dalam suara yang
ditransmisikan.11
Dalam kondisi normal, tabung eustachius ditutup dan hanya dibuka pada waktu menelan
atau autoinflation. Biasanya, penutupan tabung eustachius dikelola oleh faktor luminal dan
ekstraluminal, yang meliputi elastisitas intrinsik tabung, tegangan permukaan lembab
luminal, dan tekanan jaringan ekstraluminal. Tonus otot tensor veli palatini melebarkan
lumen jadinya kerusakan pada tensor veli palatini setelah operasi bibir sumbing dapat
mengakibatkan tuba terbuka abnormal.12
Pemberian obat topikal (obat nasal) dengan antikolinergik mungkin efektif untuk
beberapa pasien. Estrogen (Premarin) tetes hidung (25 mg dalam 30 mL normal saline, 3 tetes
tid) atau obat oral larutan jenuh kalium iodida (10 tetes dalam segelas jus buah tid) telah
digunakan untuk menginduksi pembengkakan pembukaan tuba eustachius. Obat hidung yang
mengandung asam klorida encer, chlorobutanol, dan benzil alkohol telah dibuktikan efektif
pada beberapa pasien. Hal ini telah dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik dengan sedikit
atau tidak ada efek samping. Persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) masih
tertunda. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan untuk memasang pipa ventilasi
(Grommet).8,12,13 Berikut akan dibahas mengenai penyakit yang berpengaruh pada tuba
terbuka abnormal seperti rhinitis atrofi dan faringitis.

a. Rhinitis atrofi
Rinitis atrofi merupakan penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka disertai pembentukan sekret yang kental dan tebal
yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan

18
mengeluarkan bau busuk. Rinitis atrofi disebut juga rinitis sika, rinitis kering, sindrom
hidung-terbuka, atau ozaena.9
Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai oleh
rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi disingkirkan.
Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palng sering ditemukan di negara
berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi, trauma, serta
penyakit granuloma dan infeksi.
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya endarteritis dan
periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang membaik dengan efek
vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek
dengan terapi estrogen.10
Etiologi
Etiologi rinitis atrofi dibagi menjadi primer dan sekunder. Rinitis atrofi primer adalah rinitis
atrofi yang terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder
merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk
klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun pada kebanyakan
kasus ditemukan klebsiella ozaenae.12 Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh
operasi sinus, radiasi, trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa. Operasi sinus
merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Penyakit granulomatosa yang
mengakibatkan rinitis atrofi diantaranya penyakit sarkoid, lepra, dan rhinoskleroma.
Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilisSelain faktor diatas, beberapa keadaan
dibawah ini juga diduga sebagai penyebab rinitis atrofi: Infeksi oleh kuman spesifik, yang
sering ditemukan adalah spesies klebsiella terutama K. Ozaena, kuman lain antara lain
stafilokokus, streptokokkus, dan pseudomonas aerugius. Selain itu disebabkan oleh defisiensi

19
besi, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal, penyakit kolagen, yang
termasuk dalam penyakit autoimun.12
Patogenesis
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada rinitis atrofi primer
maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum
kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami
metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan
pembersihan hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat menjadi
penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu
sendiri).10
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa.
Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan
adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran
nafas jadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi
adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan
merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan mempunyai pengaruh
kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan kuman.10,12
Gejala klinis
Keluhan biasanya berupa nafas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak
(krusta) hijau, ada gangguan penghidu (penciuman), sakit kepala, dan merasa hidung
tersumbat. Pada pemeriksaan THT didapatkan rongga hidung sangat lapang, konka inferior
dan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen berwarna hijau, dan krusta berwarna hijau.12
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan
pembedahan. Pengobatan konservatif diberikan antibiotik spektrum luas atau sesuai dengan
uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Untuk

20
menghilangkan bau busuk dan membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret diberikan
obat cuci hidung. Digunakan larutan betadin satu sendok makan dalam 100cc air hangat, atau
larutan , NaCl, NH4Cl, NaHCO3, Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan
air hangat. Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan
menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut,
dilakukan dua kali sehari. Setelah itu diberikan vitamin A 3x 50.000 unit selama dua minggu
dan preparat Fe. Bila ada sinusitis, sinusitisnya diobati sampai tuntas.8,9
Jika dengan pengobatan konservatif yang adekuat untuk jangka waktu yang cukup lama tidak
ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung atau implantasi untuk
penyempitan rongga hidung. Prinsip operasi penutupan lubang hidung adalah
mengistirahatkan mukosa hidung. Dengan demikian mukosa akan menjadi normal kembali .
Penutupan ini dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana dan ditutup selama dua
tahun. Untuk menutup koana dipakai jabir palatum.

b. Faringitis
Faringitis (dalam bahasa Latin; pharyngitis), adalah infeksi pada faring, yang ditandai oleh
adanya nyeri tenggorokan, eksudat pada faring, faring hiperemis, demam, pembesaran
limfonodi leher dan malaise1. Radang ini dapat disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-
40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Pada umumnya, penyebab paling sering dari
faringitis yaitu infeksi oleh virus (misal EBV) atau bakteri Streptococcus beta hemolitikus.
Radang tenggorokan/faringitis banyak dialami oleh orang yang tinggal atau bekerja di tempat
yang berdebu, lingkungan yang sangat kering, penggunaan suara yang berlebihan, makanan
yang dapat mengiritasi tenggorokan, batuk yang menetap, maupun alergi.13
Patfisiologi
Bakteri penyebab faringitis pada umumnya memiliki sifat penularan yang tinggi melalui
droplet udara yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dapat dikeluarkan melalui batuk
dan bersin. Jika bakteri hinggap pada sel yang sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan
mensekresikan toksin. Toksin ini menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada
orofaring dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya kemerahan pada faring.13
Klasifikasi faringitis
 Faringitis akut
a) Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis.Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada
21
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus dan
cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat menimbulkan lesi
vesikular diorofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.Adenitis selain
menimbulkan gejala faringitis juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada
anak.Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat
pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjer limfa diseluruh tubuh
terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.Faringitis yang disebabkan oleh HIV-1
menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada
pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut dileher
dan pasien tampak lemah.13,14
b) Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus B hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada
orang dewasa 15% dan pada anak 30%.Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang
disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan
tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petekie pada palatum dan
faring. Kelenjer limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.13,14

c) Faringitis fungal
Penyebab dari fungal yang tersering adalah Candidayang dapat tumbuh dimukosa
rongga mulut dan faring.Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada
pemeriksaan tampak plak putih diorofaring dan mukosa faring lainnya
hiperemis.Pembiakan jamur dilakukan dalam agar sabouroud dextrosa.13,14
d) Faringits gonorea
Faringitis ini disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrheae. Pasien yang menderita
faringitis tipe ini selalu punya riwayat pernah melakukan riwayat seks oral atau kontak
orogenital. Jika didapatkan pasien dengan faringtis tipe ini wajib ditanyakan kepada
pasien apakah pernah melakukan kontak orogenital sebelumnya.13,14

 Faringitis Kronik
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringits kronik atrofi. Faktor
predisposisi proses radang kronik difaring ini ialah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik
oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang meransang mukosa faring dan debu.Faktor

22
lain penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernapas melauli
mulut kareana hidungnya tersumbat.13,14
a) Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjer limfa dibawah mukosa faring dan lataeral band hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranul.Pasien mengeluh
mula-mula tenggorokan kering gatal dan akhirnya batuk yang berdahak.13,14
b) Faringitis kronik atrofi
Faringits kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis atrofi,
udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembapannya, sehingga menimbulkan
ransangan serta infeksi pada faring. Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta
mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.13,14

 Faringitis spesifik
a) Faringitis luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga penyakit
lues diorgan lain. Gambaran klinisnya tergantung stadium penyakit primer, sekunder,
dan tersier.
- Stadium primer
Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil, dan
dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi teru
berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia
yaitu tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjer mandibula yang tidak
nyeri tekan.
- Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang
menjalar ke arah laring.
- Stadium tersier
Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum. Jarang
pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas
ke vertebre servikal dan bila pecah dapat menyebabkan kematian. Guma yang
terdapat dipalatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang dapat

23
menimbulkan gangguan fungsi palatum secar permanen.Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan serologik. 10-12
b) Faringitis tuberkulosis
Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi
kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi
eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman
melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis
miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada kedua
sisi dan lesi ditemukan didinding posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral
hipofaring, palatum mole dan palatum durum. Kelenjer regional leher membengkak.
Penyebaran secara limfogen.13,14 Keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan
odinofagia. Pasien mengeluh nyeri yang hebat pada tenggorok, nyeri ditelinga atau
otalgia serta pembesaran kelenjer limfa servikal.
Gejala klinis
Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukan tanda dan gejala lemas, anorexia, suhu
tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada oto leher, faring yang hiperemis, tonsil
membesar, pinggir palatum mole yang hiperemis, kelenjer limfe pada rahang bawah teraba
dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan
laju endap darah dan leukosit.13,14

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakakuan dalam menegakan diagnosis antara lain:
- Pemeriksaan darah lengkap
- GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri
streptococcus grup A
- Kultur swab tenggorok13,14
Penatalaksanaan
Pada faringitis virus pasien dianjurkan untuk stirahat, minum yang cukupdan kumur dengan
air hangat. Analgetika jika perlu. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi
herpes simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgbb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada
orang dewaasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgbb dibagi dalam 4-6 kali
pemberian/hari. Pada faringtis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya adalah
Streptococcus grup A diberikan antibiotika yaitu penicilin G benzatin 50.000 U/kgbb, im

24
dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgbb dosis diberikan 3 kali/hari selama 10 hari dan
pada dewasa 3x500mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x500 mg/hari. Selain antibiotik
juga dapat diberikan kortikosteroid yang akan meberikan perbaikan klinis karena menekan
reaksi inflamasi. Steroid yang diberikan adalah deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak
0,08-0,3mg/kgbb, im, 1 kali. Dapat juga diberikan analgetik, antipiretik, dan dianjurkan
pasien untuk berkumur-kumur dengan menggunakan air hangat atau antiseptik.
Pada faringitis yang disebabkan oleh Neisseria gonorea obat yang selalu diberikan adalah
golongan sefalosporin generasi ketiga. Dapat diberikan ceftriakson 250 mg, IM, single dose.
Faringtis yang disebabkan oleh fungal dapat diberikan nystasin 100.000– 400.000 2 kali/hari
dan analgetika.
Tatalaksana untuk faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan
kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro
cauter). Pengobatan simtomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit dihidung dan sinus paranasal harus
diobati. Pada faringtis kronik atrofi pengobatannya ditujukan rinitis atropinya dan
ditambahkan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.
Faringitis spesifik akibat lues, obat pilihan pertama yang diberikan sebagai terapi adalah
penisilin dengan dosis tinggi. Sementara untuk faringitis yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis, obat yang harus diberikan adalah obat antituberculosis (OAT)
sama seperti terapi tuberculosis paru.13,14

5. Obstruksi Tuba
Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti peradangan di nasofaring,
peradangan adenoid atau tumor nasofaring. Gejala klinik awal yang timbul pada
penyumbatan tuba oleh tumor adalah terbentuknya cairan pada telinga tengah (otitis media
serosa). Oleh karena itu setiap pasien dewasa dengan otitis media serosa kronik unilateral
harus dipikirkan kemungkinan adanya karsinoma nasofaring. Sumbatan mulut tuba di
nasofaring juga dapat terjadi oleh tampon posterior hidung (Bellocq tampon) atau oleh
sikatriks yang terjadi akibat trauma operasi (adenoidektomi).8

Infeksi Saluran Nafas Akut


ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh
infeksi bakteri dan virus tanpa atau disertai radang parenkim paru.15 ISPA terdiri dari tiga
istilah yaitu:16

25
 Infeksi adalah masuknya kuman dan mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan
berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
 Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ
adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
 Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari
diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang
dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsug lebih dari 14 hari.
ISPA dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Virus pernafasan merupakan penyebab
terbesar ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi
virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus
bersama-sama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. Sedangkan jenis yang
dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut yaitu Genus Streptococcus,
Pneumococcus, Hemofilus, Bordettalla dan Corynebacterium.17
Pada penderita ISPA akan didapatkan tanda dan gejala klinis yaitu demam, batuk, pilek, sesak
nafas, produksi saluran sputum yang berlebihan dan susah keluar. Biasanya infeksi ini
berlangsung sampai dengan 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk
beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA dapat berlangsung lebih dari 14
hari.18 Penatalaksanaan untuk pasien yang mengalami ISPA menurut Depkes RI (2006).
kemudian mengelompokannya berdasarkan golongan dan jenis tanda dan gejala dari ISPA:19
 Untuk penatalaksanaan ISPA yang tergolong non peneumonia adalah jika anak menderita
ISPA ringan maka perawatan cukup dilakukan lakukan dirumah tidak perlu dibawa ke
dokter atau puskesmas.Dirumah cukup diberikan obat penurun panas yang dijual ditoko-
toko obat atau apotik, akan tetapi jika dalam 2 hari gejala belum berkurang anak harus
segera dibawa kedokter atau puskesmas terdekat selain itu juga bisa dengan cara
tradisional yaitu dengan ½ sendok teh jeruk nipis, ½ sendok teh kecap manis/madu
diminumkan pada anak 3-4 kali sehari diminumkan kurang lebih 2-3 hari jika batuk tidak
kunjung sembuh bawa kedokter atau puskesmas.
 Untuk penatalaksanaan ISPA yang tergolong sedang atau penemoni, maka harus
diperiksakan kepelayanan kesehatan untuk mendapatkan teherapi obat. Anti mikro/ anti
biotic untuk membunuh virus dan bakteri yang ada dan mendapatkan terapi oksigen yang
dibutuhkan 2-4 liter dalam sehari.

26
 Untuk penatalaksanaan ISPA yang tergolong berat atau penemonia berat harus dirawat
di RS atau peskesmas, karena perlu mendapatkan perawatan dengan perawatan khusus
seperti oksigen dan cairan infus.

Rhinitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.20 Menurut
WHO ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2010, rinitis alergi adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Berdasarkan penyebabnya, ada 2
golongan rinitis:20
1. Rinitis alergi  disebabkan oleh adanya alergen yang terhirup oleh hidung.
2. Rinitis non alergi  disebabkan oleh faktor-faktor pemicu tertentu : rinitis vasomotor,
rinitis medikamentosa, rinitis struktural
Menurut WHO Iniative ARIA (Allergic Rinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:20
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.20,21
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah,
tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,
coklat, ikan, udang, dan kacang-kacangan.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.22

27
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan : anamnesis sangat penting, karena sering kali
serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset
dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan
pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih
gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer
lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif.23
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu,
dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute).Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga
dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media.23
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. Skin
Prick Test dimana dicari alergen penyebab dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit (skin
Prick test). Pemeriksaan ini dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen
dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.23

28
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1. Antagonis reseptor histamin H1
berikatan dengan reseptor H1 tanpa mengaktivasi reseptor, yang mencegah ikatan dan kerja
histamin. Merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP)
dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik.24
Generasi kedua lebih bersifat lipofobik dan memiliki ukuran molekul lebih besar sehingga
lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma dan berkurang kemampuannya
melintasi otak. Generasi kedua AH1 mempunyai rasio efektivitas, keamanan dan
farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta bekerja cepat (kurang dari 1
jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat generasi terbaru ini kurang
efektif dalam mengatasi kongesti hidung.23
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung
oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara
topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Beraksi pada reseptor adrenergik pada mukosa hidung untuk menyebabkan
vasokonstriksi, menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernapasan.23
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan
oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.23
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek sampingnya sama
seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan
untuk rinitis alergik pada anak di bawah usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan
dosis toksis yang sempit. Pada dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem
saraf pusat.21

29
Kortikosteroid digunakan sangat luas dalam pengobatan berbagai penyakit alergi oleh
karena sifat anti inflamasinya yang kuat. Beragam kerja anti inflamasi kortikosteroid
diperantarai oleh pengaturan ekspresi dari bermacam gen target spesifik. Telah diketahui
bahwa kortikosteroid menghambat sintesis sejumlah sitokin seperti interleukin IL-1 sampai
IL-6, tumor nekrosis factor-α (TNF-α), dan granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menghambat sintesis khemokin IL-8, regulated on
activation normal T cell expressed and secreted (RANTES), eotaxin, macrophage
inflammatory protein- 1α (MIP-1α), dan monocyt chemoattractant protein-1.23,24
Selain itu, terdapat pula beberapa obat yang dapat dipertimbangkan antara lain :21
 Sodium Kromolin
Sebagai suatu penstabil sel mast sehingga mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan
mediator termasuk histamin dengan cara memblokade pengangkutan kalsium yang
dirangsang antigen melewati membran sel mast.
 Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi
rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor.
 Anti-leukotrien seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, akan memblok reseptor
CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

Hipertrofi Adenoid
Adenoid merupakan jaringan limfoid yang terletak pada dinding posterior nasofaring,
termasuk dalam rangkaian cincin waldeyer. Pembesaran adenoid adalah membesarnya ukuran
adenoid pada nasofaring yang dapat diketahui dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
klinik THT dan pemeriksaan foto polos lateral.25
Etiologi pembesaran adenoid dapat dibagi menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor
infeksi. Adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya
asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan gejala. Hipertrofi adenoid
juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran
pernapasan atas ataupun anak dengan rinithis alergi.26
Akibat dari hipertrofi adenoid akan menimbulkan sumbatan koana dan sumbatan eustachius.
a. Sumbatan koana
Akibat dari sumbatan koana pasien akan bernafas melalui mulut sehingga:25

30
 Fasies adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan, arkus faring
tinggi yang menyebabkan wajah pasien seperti orang bodoh.
 Faringitis dan bronkitis
 Infeksi berulang pada adenoid akan menyebangkan penyebaran infeksi ke daerah di
sekitarnya
 Gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan sinusitis
kronis.
b. Sumbatan tuba eustachius
Terbatasnya gerakan torus tubarius ke arah posterior sehingga pembukaan muara tuba
eustachius tidak adekuat. Perubahan patensi tuba auditiva oleh hipertofi adenoid
disebabkan karena obstruksi mekanis pada lumen tuba dan penekanan pada pembuluh
limfati sekitar lumen tuba. Hal tersebut dapat berujung pada efusi di dalam telinga
tengah.27
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:25
1. Tanda dan gejala klinik.
2. Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum
mole pada waktu fonasi.
3. Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
4. Palpasi Adenoid
5. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara
langsung.
Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral dapat melihat pembesaran adenoid.
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan obstruksi
hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain.
Indikasi adenoidektomi:28
1. Sinusitis kronis atau rinorea purulent berulang yang terjadi 4 kali atau lebih dalam
setiap 12 bulan, pada anak dibawah usia 12 tahun
2. Adanya gejala adenoiditis menetap setelah pemberian dua kali terapi antibiotic,
dimana salah satunya telah diberkan antibiotic golongan beta lactam selama 2 minggu.
3. Gangguan tidur dengan obstruksi saluran nafas yang menetap selama 3 bulan
4. Hyponasal speech
5. Otitis media dengan efusi lebih dari 3 bulan
6. Kelainan bentuk wajah atau pertumbuhan gigi.

31
7. Kecurigaan neoplasma jinak / ganas
8. Adanya komplikasi kardio-pulmonal (AAO-HNS, 2012)
Kontraindikasi adenoidektomi:28
1. Gangguan perdarahan yang parah, yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan koagulasi,
praoperasi, intraoperatif, dan pasca operasi.
2. Anak – anak dengan palatoskizis, dengan kelemahan otot atau penyakit saraf lainnya.

6. Barotrauma29
Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba-tiba di luar
telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau menyelam yang menyebabkan tuba gagal
untuk membuka.(lihat gambar.1) Apabila perbedaan tekanan melebihi 90cmHg, maka otot
yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi tekanan
negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari pembluh darah kapiler mukosa
dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah, sehingga cairan di telinga tengah
dan rongga mastoid tercampur darah.
Keluhan pasien berupa kurang dengar, rasa nyeri dalam telinga, autofoni, perasaan ada air
dalam telinga dan kadang-kadang tinitus dan vertigo. Pengobatan cukup dengan cara
konservatif saja, yaitu dengan memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat
valsava selama tidak terdapat infeksi di jalan napas atas. Apabila cairan atau cairan yang
bercampur darah menetap di telinga tengah sampai beberapa minggu, maka dianjurkan untuk
tindakan miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi (Grommet).
Usaha preventif terhadap barotrauma dapat dilakukan dengan selalu mengunyah permen karet
atau melakukan perasat valsava, terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk
mendarat.

Gambar 8. Keadaan Tuba Eustachius pada Barotrauma


32
7. Atelektasis Telinga Tengah8
Atelektasis telinga tengah adalah retraksi sebagian atau seluruh membran timpani sebagian
atau seluruh membran timpani akibat gangguan fungsi tuba yang kronik. Keluhan pasien
berupa tidak ada atau berupa gangguan pendengaran ringan. Pada pemeriksaan otoskop
tampak membran timpani menjadi tipis atau atrofi bila retraksi sudah berlangsung lama. Pada
kasus yang tidak terlalu berat retraksi mungkin terjadi hanya pada satu kuadran saja
sedangkan pada kasus lanjut seluruh membran dapat menempel pada inkus, stapes dan
promontorium.

8. Otitis Media Non Supuratif8


Otitis media non supuratif disebut juga dengan nama otitis media serosa, otitis
mediamusinosa, otitis media efusi, otitis media sekretoria, otitis media mucoid (glue ear).
Otitis media non supuratif adalah suatu keadaan pada telinga tengah yang ditandai dengan
terdapatnya sekret yang nonpurulen dan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang.
Adanya cairan di telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi
disebut juga otitis media dengan efusi.
Jenis efusi:
1. Encer : otitis media serosa
2. Kental seperti lem : otitis media mukoid (glue ear)
Otitis Media Serosa terjadi akibat adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh
darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan tekanan
hidrostatik. Otitis Media Mukoid terjadi karena cairan yang ada di telinga tengah timbul
akibat sekresi aktif darikelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius dan rongga mastoid. Factor yang berperan utama dalam hal ini adalah
terganggunya fungsi tuba eustachius.Factor lain yang dapat berperan sebagai penyebab adalah
adenoid hipertropi, adenoitis, sumbing palatum, tumor, nasofaring, barotrauma, sinusitis
rhinitis, defisiensi imunologik atau metabolik. Keadaan alergik sering berperan sebagai factor
tambahan dalam timbulnya cairan ditellinga tengah (efusi telinga tengah). Keadaan
terdapatnya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi
tuba.
Otitis Media Serosa akut8
Keadaan terdapatnya sekret di telinga tengah secara tiba-tiba yang disebabkan olehgangguan
fungsi tuba. Keadaan akut pada otitis tipe ini dapat disebabkan oleh:

33
a. Sumbatan tuba, pada keadaan tersebut terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan
oleh tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma
b. Virus, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus
pada jalan napas atas
c. Alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan keadaan
alergi pada jalan napas atas
d. Idiopatik
Gejala yang menonjol biasanya pendengaran berkurang. Pasien dapat mengeluh rasa
tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda pada telinga
yang sakit (diplacusis binauralis). Kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam
telinga pada saat posisi kepala berubah. Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi pada
saat awal tuba terganggu, yang menyebabkan timbul tekanan negatif pada telinga tengah,
tetapi setelah sekret terbentuk tekanan negatif ini pelan-pelan hilang. Tinitus, vertigo atau
pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang ringan. Otoskopi terlihat membran timpani
retraksi. Kadang-kadang tampak gelembung udara atau permukaan cairan dalam kavum
timpani. Pada tuli konduktif bisa dibuktikan dengan tes garpu tala.
Pengobatan dapat secara medikamentosa dan pembedahan. Pada pengobatan medikal
diberikan obat vasokonstriktor lokal (tetes hidung), anti histamin serta perasat Valsava, bila
tidak ada tanda-tanda infeksi di jalan napas atas. Setelah satu atau dua minggu, bila gejala-
gejala masih menetap, dilakukan miringotomi dan bila masih belum sembuh maka dilakukan
miringotomi serta pemasangan pipa ventilasi (grommet tube).
Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)8
Batasan antara kondisi otitis media serosa akut dengan otitis media kronik hanya pada cara
terbentuknya sekret. Pada otitis media serosa akut sekret terjadi secara tiba-tiba di telinga
tengah dengan disertai rasa nyeri pada telinga, sedangkan pada keadaan kronis sekret
terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dengan gejala-gejala pada telinga yang
berlangsung lama. Otitis media serosa kronik dapat terjadi sebagai gejala sisa dari otitis
media akut yang tidak sembuh sempurna. Penyebab lain diperkirakan adanya hubungan
dengan infeksi virus, keadaan alergi atau gangguan mekanis pada tuba.
Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem (glue ear). Perasaan tuli pada
lebih menonjol (40 – 50 dB) akibat sekret kental. Pada anak- anak yang beumur 5-8 tahun
keadaan ini sering diketahui secara kebetulan waktu dilakukan pemeriksaan THT atau
dilakukan uji pendengaran. Pada Otoskopi terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram,
kuning kemerahan atau keabu-abuan.

34
Pengobatan yang harus dilakukan adalah mengeluarkan sekret dengan miringitomi dan
memasang pipa ventilasi (Grommet). Pada kasus yang masih baru, pemberian dekongestan
tetes hidung serta kombinasi antihistamin – dekongesan per oral kadang-kadang bisa
berhasil. Pengobatan medikamentosa dianjurkan selama 3 bulan, bila tidak berhasil baru
dilakukan tindakan operasi. Disamping itu harus pula dinilai serta diobati faktor-faktor
penyebab seperti alergi, pembesaran adenoid atau tonsil, infeksi hidung dan sinus.
Otitis Media Adhesiva8
Otitis media adhesiva adalah keadaan terjadinya jaringan fibrosis ditelinga tengah akibat
proses peradangan yang berlangsung lama sebelumnya. Keadaan ini dapat merupakan
komplikasi dari otitis media supuratif atau nonsupuratif yang menyebabkan rusaknya mukosa
telinga tengah. Gejala klinis berupa pendengaran berkurang dengan adanya riwayat infeksi
telinga sebelumnya, terutama di waktu kecil. Pada pemeriksaan otoskopik gambaran
membran timpani dapat bervariasi mulai dari sikatriks minimal, suram sampai
retraksi berat, disertai bagian-bagian yang atrofi atau “timpanosklerosis plaque” (bagian
membran timpani yang menebal berwarna putih seperti lempeng kapur).

9. Sumbing Bibir dan Palatum


Sumbing bibir dan palatum merupakan kelainan kongenital yang sering kali menyebabkan
menurunnya fungsi bicara, pengunyahan, dan penelanan yang sangat berat. Sering kali terjadi
peningkatan prevalensi gangguan yang berhubungan dengan malformasi kongenital seperti
ketidakmampuan bicara sekunder serta menurunnya fungsi pendengaran.33 Sumbing bibir dan
palatum ditemukan pada hampir 50% kasus. Sumbing bibir saja merupakan 25% kasus, dapat
terjadi pada 1 di antara 700-1.000 kelahiran dengan predileksi ras yang bervariasi. Sumbing
palatum saja lebih sedikit dibanding sumbing bibir, insidennya antara 1 di antara 1.500-3.000
kelahiran. Sumbing bibir dengan atau tanpa sumbing palatum lebih sering pada pria dan
sumbing palatum saja lebih sering pada wanita.33
Umumnya, sumbing bibir dan palatum dibagi dalam empat kelompok besar:
• sumbing bibir
• sumbing palatum
• sumbing bibir dan palatum unilateral
• sumbing bibir dan palatum bilateral.
Sumbing bibir dan mulut lainnya adalah:
 pit pada bibir

35
 cekungan linear pada bibir
 sumbing palatum submukosa
 bifida uvula dan lidah
 sumbing muka yang meluas melalui hidung, bibir, dan rongga mulut
Deformitas sumbing dapat sangat bervariasi dari alur dalam kulit dan mukosa sampai meluas
membelah tulang dan otot. Kombinasi sumbing bibir dan palatum merupakan deformitas
sumbing yang paling sering terlihat.33

Etiologi dan Patogenesis


Biasanya, sumbing bibir dan palatum disertai kelainan bawaan lain, misal hidrosefalus
(peninggian tekanan intra-kranial), sindaktilia (jari-jari saling melekat) atau polidaktilia (jari-
jari berlebih).33 Sumbing bibir dapat terjadi bilateral pada regio insisif lateral dan kaninus.
Lebih sering terjadi unilateral, sisi kiri lebih sering dari sisi kanan. Bila terjadi bilateral, mirip
dengan bibir kelinci. Sumbing dapat sempurna meluas ke dasar hidung atau tidak sempuma
sebagai lekukan pada bibir atas.33
Penyebab sumbing bibir dan palatum tidak diketahui dengan pasti. Sebagian besar kasus
sumbing bibir atau sumbing palatum atau keduanya dapat dijelaskan dengan hipotesis
multifaktor. Teori multifaktor yang diturunkan menyatakan bahwa gen-gen yang berisiko
berinteraksi satu dengan lainnya dan dengan lingkungan, menyebabkan cacat pada per-
kembangan janin. Sumbing bibir dan palatum merupakan kegagalan bersatunya jaringan
selama perkembangan. Gangguan pola normal pertumbuhan muka dalam bentuk defisiensi
prosesus muka merupakan penyebab kesalahan perkembangan bibir dan palatum. Sebagian
besar ahli embriologi percaya bahwa dehsiensi jaringan terjadi pada semua deformitas
sumbing sehingga struktur anatomi normal tidak terbentuk.33
Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga sumbing bibir dapat terjadi
terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjadi bersama-sama dan bervariasi
dalam derajat keparahannya bergantung pada luas sumbing yang dapat bervariasi mulai dari
lingir alveolar (alveolar ridge) sampai ke bagian akhir dari palatum lunak. Variasi dapat pula
dimulai dari takik ringan pada sudut mulut atau bifid uvula sampai deformitas berat berupa
sumbing bibir yang meluas ke tulang alveolar dan seluruh palatum secara bilateral.33
Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari deviasi rangkaian perkembangan palatum
yang dimulai pada minggu ke-8 pada regio premaksila dan berakhir pada minggu ke-12 pada
uvula di palatum lunak. Jadi, jika faktor penyebab bekerja pada minggu ke-8, sumbing akan

36
terjadi lebih ke posterior dan juga anterior termasuk alveolus, palatum keras dan palatum
lunak, serta uvula, membentuk cacat yang serius. Sebaliknya, jika penyebab bekerja dekat
akhir periode perkembangan (minggu ke-11), sumbing yang terlihat hanya pada palatum
lunak bagian posterior, menyebabkan terjadinya sumbing sebagian atau hanya pada uvula
sebagai cacat ringan yang tidak membutuhkan terapi.33 Sumbing yang hanya mengenai bibir
dinamakan cheiloschisis. Sumbing bibir umumnya terjadi pada minggu ke-6-7 intrauterin,
sesuai dengan waktu perkembangan bibir normal dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari
sel mesodermal pada groove epitel di antara prosesus nasalis medialis dan lateralis. Lebih
sering terjadi pada bayi laki-laki dan lebih sering pada bagian kiri dari pada kanan (2:1).
Sumbing pada bibir bawah selalu di bagian tengah akibat gagalnya perpaduan kedua
processus mandibularis.33
Pada sindrom Pierre Robin yang menyerang wanita, ditemukan sumbing palatum lunak
tanpa sumbing bibir dan disertai mikrognasia (rahang yang kecil) dan mikroglosia (lidah yang
kecil).33 Sumbing sempurna yang meliputi kelainan yang dimulai dari perbatas-an bibir dan
kulit melalui lulang alveolar rahang atas sampai bagian bawah (dasar) rongga hidung dan
rongga mulut disebut cheilognathoschisis.33
Sumbing palatum terjadi pada minggu ke-8 akibat kegagalan fusi prosesus palatinus dan
prosesus premaksila. Sumbing yang sudah melibatkan palatum dinamakan
cheilognathopalatoschisis.33
Sumbing sempurna dan unilateral, dari luar (muka) tampak suatu rongga hidung yang pada
satu sisi medial dibatasi oleh sekat/septum hidung dan sisi lain (lateral) oleh concha. Pada
sumbing sempurna, bagian palatum lunak juga ikut terbelah. Pada sumbing sempurna dan
bilateral, rongga hidung langsung menjadi satu dengan rongga mulut, tidak terbentuk sekat
hidung, rongga dibatasi kanan dan kiri oleh concha.33

Gambaran Klinis
Klasifkasi Veau untuk sumbing bibir dan palatum digunakan secara luas oleh klinikus untuk
menggambarkan variasi sumbing bibir dan palatum. Klasifkasi ini terbagi dalam empat
kategori utama berdasarkan derajat sumbing. Sumbing bibir dapat bervariasi, dari pit atau
takik kecil pada tepi merah bibir sampai sumbing yang meluas ke dasar hidung.33
 Kelas I : Takik unilateral pada tepi merah bibir dan meluas sampai bibir.
 Kelas II: Bila takik pada merah bibir sudah meluas ke bibir, tetapi tidak mengenai dasar
hidung.

37
 Kelas III: Sumbing unilateral pada merah bibiryang meluas melalui bibir ke dasar
hidung.
 Kelas IV: Setiap sumbing bilateral pada bibir yang menunjukkan takik tak sempurna
atau merupakan sumbing yang sempurna
Menurut sistem Veau, sumbing palatum dapat dibagi dalam empat tipe klinis, yaitu:
- Kelas I : Sumbing yang terbatas pada palatum lunak.
- Kelas II : Cacat pada palatum keras dan lunak, meluas tidak melampaui foramen
insisivum dan terbatas hanya pada palatum sekunder.
- Kelas III: Sumbing pada palatum sekunder dapat komplet atau tidak komplet. Sumbing
palatum komplet meliputi palatum lunak dan keras sampai foramen insisivum. Sumbing
tidak komplet meliputi palatum lunak dan bagian palatum keras, tetapi tidak meluas
sampai foramen insisivum. Sumbing unilateral yang komplit dan meluas dari uvula
sampai foramen insisivum di garis tengah dan prosesus alveolaris unilateral juga
termasuk kelas III.
- Kelas IV : Sumbing bilateral komplet meliputi palatum lunak dan keras serta prosesus
alveolaris pada ke dua sisi pre-maksila, meninggalkan daerah itu bebas dan sering kali
bergerak.33
Sumbing submukosa tidak termasuk sistem klasifikasi ini, tetapi dapat diidentifikasi secara
klinis dengan adanya bifid uvula, takik yang lunak pada bagian posterior palatum keras dan
lunak serta adanya daerah cerah pada selaput tipis translusen yang menutupi daerah yang
cacat. Sumbing palatum lunak dan submukosa sering kali berhubungan dengan gangguan
fungsi faringeal dan tuba eustachii. Otitis media rekuren dan gangguan pcndengaran
merupakan komplikasi yang umum ditemukan. Gangguan palatal-faringeal disebabkan
gagalnya palatum lunak dan dinding faringeal berkontak selama penelanan dan bicara
sehingga mencegah penutupan otot yang diperlukan antara hidung dan faring.33
Penanganannya hanya dengan operasi, beberapa cara penanganan sumbing untuk yaitu:
Konservatif:
1) Dengan plester atau elastic bands (Head Cap traction).
2) Dengan atur posisi tidur : tengkurap dengan miring kesisi lesi, untuk mendekatkan gap,
tetapi hati-hati karena bayi dapat mati tiba-tiba.34
Aggressive:
1) Dengan cara Letham.
2) Operasi approximasi simple segera, bisa merusak pertumbuhan.

38
3) Wiring dental arch: lama dan dengan active appliance with screw hasilnya bisa sama.
4) Terapi dengan memperbaiki gangguan pada chromosome.34
Penanganan yang menyeluruh kepada orang tua yaitu melalui rentetan proses yang harus
dilakukan:
1) Berdasarkan diagnosa yaitu : Sumbing bibir, sumbing wajah, sumbing yang
syndromatik, sumbing yang non syndromatik. Sebab beda penanganan sumbing bibir
dan sumbing wajah. Penanganan emergency Sumbing dengan syndrome, yaitu, mis:
Piere Robin Syndrome dengan sumbing (mikrognasia), tindakan yang ini dengan
fiksasi lidah. Pada sumbing syndrome synostosis dengan gangguan pernapasan dan
napas yang berbunyi tindakannya adalah palatoplasty.34
2) Gangguan fungsi: Pertumbuhan, pernafasan, bicara, pendengaran. Gangguan estetis,
Gangguan psikis.34
3) Penyebab: Genetik (turunan), gangguan pada gen (tunggal), gangguan pada
Chromosome. Aqcuired (didapat).: Akibat deficiency micronutrien, akibat bahan-
bahan teratogenik, akibat trauma / Infeksi, akibat mutasi gen (multifaktorial).34
4) Penanganan. Tindakan operasi sesuai rule over ten: - BB >10pon (5kg), - Hb >10%, -
usia >10minggu. Dengan memperhatikan: Faktor Emergency, faktor Psychis orang tua
dan anak. , faktor Keserasian pertumbuhan jaringan, factor Fungsi jaringan/organ,
faktor Estetika, waktu operasi.34
5) Pencegahan: Hindari Kawin Keluarga, Hindari Kawin dengan Sumbing, Hindari
Bahan yang Teratogenik, Hindari stress/trauma psikis/fisik, Lengkapi kebutuhan
makanan harian.34
Komplikasi yang dapat terjadi pascaoperasi cheilonasoraphy dan paltoraphy, yaitu:
Perdarahan, infeksi, wound dehiscense, hematoma dan dapat terjadi obstruksi jalan nafas.34

10. Kegagalan Mekanisme Pembukaan (Obstruksi Fungsional)


Dalam salah satu jenis yang paling umum dari disfungsi tuba eustachius, lumen bagian tulang
rawan dari tuba eustachius gagal untuk membuka selama menelan kegiatan (tuba eustachius
tidak akan membuka). Hal ini mungkin karena :
1. Runtuhnya terus-menerus dari tuba eustachius karena meningkatnya kepatuhan tuba
(yaitu, kurangnya kekakuan).
2. Mekanisme pembukaan aktif tidak efisien
3. Keduanya cacat. Hal ini merupakan obstruksi fungsional tuba eustachius. Tuba secara
anatomis (yaitu, mekanis) terhambat, tetapi secara fungsional terhambat dan dianggap

39
sebagai salah satu fitur yang belum matang dari infant tube. Kekurangan ini pertama kali
dijelaskan pada bayi dengan celah palatum unrepaired yang memiliki otitis media kronis
dengan efusi.35 Kegagalan mekanisme pembukaan tuba eustachius adalah hal yang umum
pada bayi dan anak-anak muda tanpa langit-langit atau riwayat penyakit telinga tengah,
tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak dengan penyakit telinga tengah.36,37,38,39
Kegagalan eustachius tabung untuk membuka dapat disebabkan oleh kolaps terus-menerus
dari tulang rawan tuba karena ada sedikit tulang rawan pada bayi dari pada anak-anak yang
lebih tua dan orang dewasa. Densitas sel tulang rawan juga menurun dengan bertambahnya
usia dan dapat mempengaruhi kekakuan tulang rawan tuba pada bayi dan anak kecil.40,41
Jika tulang rawan tuba tidak memiliki kekakuan (tabung terlalu lentur), lumen mungkin tidak
terbuka ketika otot tensor veli palatini kontraksi. Juga, kepadatan elastin di tulang rawan
lebih rendah pada bayi, dan OSTMANN fat pad yang lebih rendah dalam volume pada bayi
dibandingkan pada orang dewasa.42,43
Kegagalan mekanisme membuka tuba eustachius juga mungkin disebabkan oleh otot tensor
veli palatini tidak efisien, yang berkaitan dengan efek usia pada dasar kraniofasial. Sudut
tabung anak adalah berbeda dari orang dewasa. Pada orang dewasa, tabung adalah sekitar 45
derajat relatif terhadap bidang horizontal. Pada bayi, kecenderungan ini hanya 10 derajat.44
Beberapa orang berpikir perbedaan dalam sudut berkaitan dengan kemungkinan masalah izin
pada anak-anak, tetapi hipotesis ini belum dikonfirmasi. Apa yang lebih mungkin adalah
bahwa perbedaan dalam angulasi mempengaruhi fungsi mekanisme pembukaan aktif (yaitu,
tensor veli palatini kontraksi otot). Swarts dan Rood menemukan bahwa hubungan sudut
antara otot palatini tensor veli dan tulang rawan bervariasi pada bayi tapi relatif stabil pada
orang dewasa.45
Salah satu cara di mana tuba eustachius menjadi fungsional terhalang adalah dengan
pengembangan tekanan negatif tiba-tiba tinggi di kedua ujung sistem tuba eustachius. Hal ini
secara grafis ditunjukkan oleh model flask. Salah satu perbedaan utama antara tabung flask
dengan leher kaku dan biologic tube (seperti tuba eustachius) bahwa isthmus dari tuba
manusia memiliki compliant. Compliant adalah proses untuk menyesuaikan sesuai keadaan.
Pengaruh tekanan negatif diterapkan dalam flask dengan leher sesuai ditunjukkan pada
Gambar. Aliran cairan akan ditampilkan sebagai media untuk grafis , melalui tabung flask
neck tidak terjadi aliran cairan sampai tekanan negatif secara perlahan melalui ke bagian
bawah tabung flask.35 Namun, jika tekanan negatif diberikan tiba-tiba maka akan terjadi
penguncian sementara (temporary locking) dari leher tabung flask yang akan mencegah
cairan mengalir, hal ini adalah locking fenomena dari tuba eustachius. Oleh karena itu, factor

40
kecepatan dimana tekanan negatif diterapkan dan compliant dalam sistem merupakan faktor
penting apakah tabung menjadi fungsional terhambat atau tidak. Secara klinis, gas dapat
disedot ke dalam telinga tengah karena tekanan telinga tengah secara negative akan
berkembang perlahan, sehingga gas diserap oleh selaput lendir telinga tengah. Jika tekanan
telinga tengah negatif diberikan tiba-tiba (saat perubahan cepat dalam tekanan atmosfer,
seperti ketika pesawat turun, saat menyelam di dalam air, terutama scuba diving, atau saat
mencoba untuk menguji ventilasi Fungsi tuba eustachius), maka tabung dapat otomatis
mengunci untuk mencegah aliran udara.35

41
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Tuba Eustachius merupakan saluran yang menghubungkan cavum tympani dan nasofaring.
Dari muara tuba pada cavum tympani menuju ke muara tuba di nasofaring berjalan ke arah
inferomedial. Fungsi dari tuba eustachius adalah menjaga agar tekanan pada cavum tympani
sama dengan tekanan pada dunia luar dan menjamin ventilasi udara dari cavum tympani.
Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka saat mengunyah, menelan dan
menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh otot tenso veli palatini apabila terdapat perbedaan
tekanan. Disfungsi Tuba Eustachius merupakan suatu keadaan terbloknya tuba eustachius
atau tidak bisa terbuka secara baik, terbuka abnormal, myoklonus palatal, palatoskisis, dan
obstruksi tuba. Saat udara tidak dapat masuk ke dalam telinga tengah, tekanan udara di luar
membran timpani lebih besar dibandingkan tekanan udara di telinga tengah sehingga
mendorong membran timpani masuk ke dalam. Membran timpani menjadi tegang dan tidak
bergetar dengan baik ketika dilalui oleh gelombang suara.

Daftar Pustaka
1. Herawati JPB, Rukmini S. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Jakarta:
EGC; 2003.
2. Ballantyne J and Govers J. Scott Brown’s Disease of the Ear, Nose, and Throat.
Publisher: Butthworth Co.Ltd. : 1987, vol. 5
3. Boies, adams. Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta .1997
4. Moore,keith L. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta:EGC;2002
5. Snell Richard: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:EGC;
2006.
6. Bluestone, Charles D, Klein, Jerome. Otitis media and eustachian tube dysfunction In:
Pediactric otolaryngology. 4th Edition. Saunders; 2003. (6a
7. Bluestone, Charled D. Anatomy and physiology of the eustachian tube system.In: Head
and neck surgery-otolaryngology. 4th Edition. Edited by: Bailey B.J. Lippincott
Williams & Wilkin;2006.
8. Djaafar, Z.A, Helmi, Restuti, D.R. Kelainan telinga tengah dalam Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi VII. Jakarta:Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.57-69

42
9. Ganong, William. Pendengaran dan keseimbangan. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd
ed. Jakarta: EGC; 2008.h.79-85.
10. Jane NZ. Middle ear barotrauma. In Principles and practice of travel medicine. 2nd ed.
UK: John Wiley & Sons Ltd; 2013. p.370-1.
11. Mohammad M,Suhail M. Nonsuppurative otitis media and otitic barotrauma. In
Textbook of ear, nose and throat diseases.12th ed. New Delhi: JP Medical Ltd; 2013.p.58-
60.
12. Alpen A.Patel. patology of eustachian tube treatment and management. e-medicine
(serial online) 2013 Mei 29 (cited 2013 Oct 30). Available from: URL:
http://emedicine.medscape.com/article/858909-treatment#a1128
13. Dhingra. Disorder of middle ear. In: Diseases of ear, nose and throat. 4th Edition. Reed
Elsevier; India : 2007.p. 59-65.
14. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2006. Jakarta.
15. Alsagaff, dkk. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press;
2005.
16. Suryana A. Berbagai masalah kesehatan anak dan balita. Jakarta: Khilms; 2005. (18a
17. Amin M, et al. Pengantar ilmu penyakit paru. Surabaya: Airlangga University Press;
1989.
18. WHO. Penangan ISPA pada anak di RS kecil negara berkembang. Jakarta: EGC; 2003.
19. Depkes RI. Pedoman program pemberantasan penyakit ISPA untuk penanggulangan
pneumonia pada balita. Jakarta: Depkes RI; 2006.
20. Plaut M, Valentine M. Allergic Rhinitis. New England Journal of Medicine. Massacusset
Medical Society. 2009.353. h: 1934-43
21. Walker SM et al. Chronic Allergic Rhinitis. Blackwell medical publishing. 2011. 41. h.
1177-2000.
22. Ranjan RD et al. Allergic Rhinitis in Adolescence. World Allergy Association. 2011. h.
239-44
23. Sheikh J, Kaliner MA. Allergic Rhinitis : An overview. Tersedia di
http://www.emedicine.com Diakses pada 24-2-2014.
24. Small P, Kim H. Management of Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma, and Clinical
Immunology.2011.vol.7.h.1-8

43
25. Rusmarjono., Soepardy, EA. Faringitis, Tonsilitis dan hipertrofi Adenoid, Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher, ed. 6. Jakarta: Balai
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h.224 – 5.
26. Brambilla, I., Pusateri, A., Pagela, F., et al. Adenoids in Children : Advances in
Immunology, Diagnosis, and Surgery, retrieved June 18, 2016 from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24535951
27. Amar, MA., Djamin, R., Punagi, AQ. Rasio Adenoid – Nasofaring dan Gangguan telinga
tengah pada Hipertrofi Adenoid. Makassar: Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo; 2013.
28. McClay, JE., Adenoidectomy, Medscape Reference, Retrieved June 18, 2016 from
http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a0101
29. Soepardi ES, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga
hidung tenggorok kepala & leher. Edisi ke-7. Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2015.h.58.

30. Sudiono J. Gangguan tumbuh kembang dentokranium facial. Kelainan tumbuh kembang
jaringan lunak mulut, rahang, dan gigi. EGC: Jakarta; 2009.h.5-8.
31. Jurnal e-Biomedik (eBM), Volume 1, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 396-401.
32. Bluestone CD. Eustachian tube obstruction in the infant with cleft palate. Ann Otol
Rhinol Laryngol 1971;80: 1–30.
33. Bylander A, Tjernstrom O, Ivarsson A. Pressure opening and closing functions of the
eustachian tube by inflation and deflation in children and adults with normal ears. Acta
Otolaryngol (Stockh) 1983;96:255– 68.
34. Bluestone CD, Paradise JL, Beery QC. Physiology of the eustachian tube in the
pathogenesis and management of middle-ear effusions. Laryngoscope 1972;82:1654– 70.
35. Bluestone CD, Beery QC, Andrus W. Mechanics of the eustachian tube as it influences
susceptibility to and persistence of middle-ear effusions in children. Ann Otol Rhinol
Laryngol 1974;83:27–34.
36. Stenstrom C, Bylander-Groth A, Ingvarsson L. Eustachian tube function in otitis-prone
and healthy children. Int J Pediatr Otorhinolaryngol 1991;21:127– 38.
37. Sadler-Kimes D, Siegel MI, Todhunter JS. Age-related morphological differences in the
components of the eustachian tube–middle-ear system. Ann Otol Rhinol Laryngol
1989;98:854–8.

44

Anda mungkin juga menyukai