Anda di halaman 1dari 29

TUGAS MK : Etika Dan Hukum Kesehatan

DOSEN : Prof. Dr. Indar, MPH

ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN


EUTHANASIA DAN ABORSI DI INDONESIA

KELOMPOK II
ADI ANGRIAWAN BAMBI
SRI MARNIANTI IRNAWAN
SYARIFUDDIN
NURFADILLAH
SISKA
EMMY WAHYUNI
ETTY
JURIL

PRODI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
1

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakatuh,


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karuniaNYA penulis dapat menyelesaikan Makalah ini yang berkenaan dengan kasus
skenario tentang “Aspek Hukum Dalam Pelaksanaan Euthanasia Dan Aborsi Di Indonesia”.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu metode pembelajaran pada mata kuliah
Etik dan Hukum Keperawatan di Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan masukan, dorongan dan bimbingan kepada penulis dalam menyusun
makalah ini baik dari segi moril dan materil. Ucapan terima kasih tersebut ditujukan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Indar, MPHselaku dosen pengajar mata kuliah Etik dan Hukum
Keperawatan.
2. Rekan- Rekan Peminatan Keperawatan Medikal Bedah Tahun 2018 Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari sempurna, untuk
itu sangat diharapkan saran dan kritik yang sifatnya konstruktif dari semua pihak untuk
perbaikan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membaca dan bagi pengembangan ilmu keperawatan

Makassar, 12 Oktober 2018

Tim Penyusun
2

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... 1
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 3
B. Tujuan........................................................................................................................ 4
C. Manfaat...................................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Euthanasia................................................................................................................... 5
1. Definisi................................................................................................................. 5
2. Jenis-Jenis............................................................................................................. 5
3. Aspek Mediss........................................................................................................ 6
4. Aspek Hukum....................................................................................................... 8
B. Aborsi.........................................................................................................................10
1. Definisi.................................................................................................................10
2. Jenis-Jenis............................................................................................................10
3. Aspek Medis........................................................................................................11
4. Aspek Hukum..................................................................................................... 13
BAB III PEMBAHASAN
A. Skenario.................................................................................................................... 23
B. Pertanyaan................................................................................................................ 23
C. Jawaban.................................................................................................................... 23
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................... 26
B. Saran..........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 27
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupannya manusia hampir selalu terjadi hubungan hukum. Halini
disebabkan pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur, akan tetapi
keteraturan bagi seseorang belum tentu teratur bagi orang lain. Oleh sebab itu diperlukan
kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia, agar kepentingannya tidak
berbenturan atau bertentangan dengan individu dan masyarakat yang lain.
Dalam hal ini, Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus
kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri
besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.Penentuan kematian seseorang
dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria diagnosis kematian klinis/konvensional
atau kriteria diagnosis kematian mati batang otak (Menteri Kesehatan RI, 2014).
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari
Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat
waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia.Hak
pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap
dibicarakan oleh para ahli. Euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang
sedang menghadapi kematiannya(Pradjonggo, 2016). Namun masalah ini akan terus
menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Demikian pula pada masalah aborsi atau lebih dikenal dengan istilah pengguguran
kandungan, keberadaannya merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dan
bahkan menjadi bahan bahasan yang menarik serta dilema yang saat ini menjadi
fenomena sosial. Aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim
sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (Menteri Kesehatan RI, 2016). Aborsi
merupakan cara yang paling sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak
diinginkan, tetapi juga cara yang paling berbahaya.Aborsi merupakan realitas sosial yang
menggejala dikalanganmasyarakat.
4

Maraknya praktek aborsi dalam masyarakat mengakibatkan kecenderungan


adanya pergeseran nilai tentang fenomena tersebut. Tindakan aborsi bukanlah semata
masalah medis atau kesehatanmasyarakat, melainkan lebih pada problem sosial yang
terkait dengan paham kebebasan (freedom/liberalism) yang dianut suatu
masyarakat(Yusra, 2015).Berdasarkan uraian diatas, penulis sebagai perawat tertarik
ingin mengetahui aspek hukum dalam pelaksanaan euthanasia dan aborsi di Indonesia.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Euthanasia dan Aborsi dari aspek etika dan
hukum dalam kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dan profesi perawat dalam menghadapi
masalah Euthanasia dan Aborsi jika dikaitkan dengan etika dan hukum keperawatan
3. Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan
keputusan untuk kasus Euthanasia dan Aborsi.
4. Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia dan Aborsi.

C. Manfaat
Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang
seharusnya dilakukan oleh seorang perawat dalam pengambilan keputusan mengenai
masalah Euthanasia dan Aborsi.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Euthanasia
1. Definisi
Euthanasia berasaldari kata eudan Thanatos. Euberartibaiktanpapenderitaan,
Thanatos artinyamati. Olehsebabituarti euthanasia
sebenarnyaadalahmeringankanataumegurangipenderitaan orang yang
akanatausedangmenghadapikematiannyabukanmerupakanpenyebabkematian(Pradjon
ggo, 2016).
Euthanasia
adalahtindakanmembantumengurangipenderitaanpasiendenganpenyakityang
tidakdapatdisembuhkandenganmemberhentikantindakanataupengobatanbaiksecaraakti
fmaupunpasifuntukmengakhirikehidupanpasien(Rachma et al., 2017).
Sedangkan menurut Ta’adi (2012), euthanasia
adalahsuatutindakanmembantumengakhirikehidupan yang dilakukanpadapasien yang
sudahtidakadaharapanuntuksembuh yang disebabkanolehpenyakit, cedera,
atauketidakberdayaanatasdasarkasihan.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan
defenisi euthanasia yaitu suatuupayauntukmembantuseseorang yang
inginsegeramengakhiripenderitaanyakarenamerasasudahtidaksanggupmenanggung
bebanderita di duniadansegerainginmengakhirinyadengancarakematian,
inibiasanyaterjadipadakasuspenyakit yang tidakadaharapansembuh.
2. Jenis – Jenis Euthanasia
Menurut Pradjonggo (2016), jika ditinjau dari cara melakukan nya euthanasia
di bagimenjadi 2yaitu:
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktifadalahseseorangataupasien yang
diakhirikematiannyasecaraaktifoleh dokteryang
dilakukansecaramedis.Padakasussepertini
dokterakanmemberikanobatdengandosistinggi yang
akanmemacupeningkatanjantungdanpadaakhirnyajantungakanberhentibekerjaatau
denganmelepaskansegalaperalatanmedissepertialat bantu
6

napasdanalatpacujantungdandengansendirinyapernapasandanjantungpasienakanbe
rhentibekerjaatauberfungsi.
Euthanasia aktifterbagimenjadi 2 golonganyaitu:
1) Euthanasia aktiflangsung
Pemberian euthanasia aktiflangsungbiasanyadenganmenggunakanobat-
obatdosistinggimisalnyapemberiansianidaatauzatlainnya yang
sifatnyasegeramematikan. Cara
inidiperhitungkansecaramedisakansegeramengakhirikehidupanpasiensecaralan
gsung.
2) Euthanasia aktiftidaklangsung
Pemberian euthanasia
aktiftidaklangsunginibiasanyadengancaramencabutataumelepasalat bantu
kehidupanpasien. Misalnya, alatbantunapasataualat bantu kehidupanlainnya.
Secaramediscarainidiperkirakantidakakanmengakhirikehidupanpasiensecarala
ngsung. Namun,
diketahuidengancaramencabutataumelepasalatiniresikonyaadalahdapatmenyeb
abkanpasienmeninggal.
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasifbiasanyadilakukanpadapasien yang
seharusnyadiberikanobatataudipasangkanalatbantuuntukmempertahankankehidupa
nnyapadakasusgawatdarurattetapitidakdiberikandandiketahuitindakaninidapatmen
gakibatkanpasienmeninggal.
Berdasarkan sumber yang membuat keputusan, euthanasia dibagi menjadi
2, yaitu :
a. Euthanasia volunteer (euthanasia secarasukarela)
Pasienmemintasendiriuntukpemberhentianpengobatanuntukmempercepatk
ematiannya. Dan pernyataantertuliskadang-kadangtidakperludibuktikan.
b. Euthanasia involunter (euthanasia secaratidaksukarela)
Keluarga yang
memintauntukdilakukanpemberhentiantindakan/pengobatandalamhalinikeluarga
yang bertanggungjawabtentangtindakantersebut.
Karenapasiendianggaptidakmampuuntukmenyampaikankeinginannyasendiri,
tindakaninibiasanyadilakukanpadapasien yang tidaksadar,
tindakaninisulitdibedakandengantindakankriminal.
7

3. Aspek Medis
Profesitenagamedissudahsejak lama menentang euthanasia
sebabprofesikedokteranadalahuntukmenyembuhkandanbukanuntukmematikan.
Profesimedisadalahuntukmerawatkehidupandanbukanuntukmerusakkehidupan.
SumpahHipokratesjelas-jelasmenolaknya, “Sayatidakakanmemberikanracun yang
mematikanataupunmemberikan saran mengenaihalinikepadamereka yang
memintanya.” Sumpahinikemudianmenjadidasarsumpahseluruhdokter di dunia,
termasuk di Indonesia.
Dalampasal 9, bab II KodeEtikKedokteran Indonesia
tentangkewajibandokterkepadapasien,
disebutkanbahwaseorangdokterharussenantiasamengingatakankewajibanmelindungihi
dupmakhlukinsani. Iniberartibahwamenurutkodeetikkedokteran,
doktertidakdiperbolehkanmengakhirihidupseorang yang
sakitmeskipunmenurutpengetahuandanpengalamantidakakansembuhlagi.
Penghentiantindakanterapeutikharusdiputuskanolehdokter yang berpengalaman yang
mengalamikasus-kasussecarakeseluruhandandilakukansetelahdiadakankonsultasi.
Secara universal, kewajiban dokter tercantum dalam Bab II pasal 10 dari Kode
Etik Kedokteran Indonesia, yang menyatakan seorang dokter harus senantiasa ingat
kewajiban melindungi hidup mkhluk insani (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:8). Dengan demikian bagaimanapun gawatnya sakit
seorang pasien, setiap dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan hidup dari
pasien tersebut. Maka menurut etik kedokteran, dokter tidaklah diperbolehkan:
menggugurkan kandungan (abortus provocatus), mengakhiri hidup seorang pasien
yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagu (euthanasia)
(Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:18) (Rada,
2013).
Kodeetikkedokteran Indonesia menjelaskan 3 arti euthanasia, yaitu:
a. Berpindahnya kealam bakadengantenangdanamantanpapenderitaan, buat yang
berimannama Allah di bibir.
b. Waktuhidupakanberakhir, denganmemberikanobatpenenang,
dapatmeringankanpenderitaansisakit.
c. Dengansengaja, ataspermintaansendiriataukeluarganya,
mengakhiripenderitaandanhidupseorang yang sakit.
8

Dari pengertiandiatas, maka euthanasia mengandungunsur–


unsursebagaiberikut:
a. Tidakberbuatatauberbuatsesuatu.
b. Mengakhirihidupatautidakmemperpanjanghiduppasienataumempercepatkematian.
c. Menderitapenyakit yang sulituntukdisembuhkan.
d. Atasatautanpapermintaanpasienataukeluarganya.
e. Demi kepentinganpasienataukeluarganya.
4. Aspek Hukum
a. Dari Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)
Euthanasia dalam perspektif HAM adalah pelanggaran karena hak untuk
hidup pasien harus dilindungi. Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama
terutama negara hukum. Itulah sebabnya negara hukum yang baik menjunjung
tinggi hak asasi manusia. Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat
dipisahkan. Pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya yaitu
melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan persorangan
diakui, dihormati dan dijunjung tinggi (Badu, 2013).
Dalam pasal 25 Universal Declaration of Human Rights tercantum
ketentuan-ketentuan yang menyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan, yang
secara tidak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, sebagai
berikut : Pertama, Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup yang layak bagi
kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk didalamnya pangan,
pakaian, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan.
Hak-hak ini mencakup atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran, sakit,
cacat, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan oleh situasi
dan kondisi diluar kehendak yang bersangkutan. Kedua, Ibu dan anak mempunyai
hak atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang sah maupun
diluar kawin, menikmati perlindungan sosial yang sama (Badu, 2013).
b. Dari Perspekstif Hukum Islam (Al-Qur’an)
Dalam hal masalah euthanasia ini, para tokoh Islam Indonesia sangat
menentang dilakukannya euthanasia, karena persoalan hidup mati sepenuhnya hak
Allah SWT, manusia tidak boleh mengambil hak Allah SWT tersebut. Namun
diantara sekian banyak ulama yang menentang euthanasia ini, ada beberapa ulama
yang mendukungnya. Menurut pendapat para ulama, bahwa euthanasia boleh
dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular apalagi kalau tidak bisa
9

disembuhkan. Pendapat ini disandarkan pada ushul fiqh: Al-Irtitifaqu Akhaffu


Dlarurain, melakukan yang teringan dari dua mudharat. Langkah ini boleh dipilih
karena merupakan dua pilihan dari dua hal yang buruk. Pertama, penderita
mengalami penderitaan. Kedua, jika menular membahayakan sekali. Artinya
menjadi penyebab orang lain menderita karena tertular penyakitnya, dan itu dosa
besar (Rada, 2013).
Dalam Islam kedudukan jiwa sangat dihargai. Beberapa ayat suci al-qur’an
yang mengharuskan kita untuk menghargai jiwa diantaranya : surah Al-Najmm
ayat 44 yang artinya “Dan bahwasahnya Dialah yang mematikan dan
menghidupkan”. Surah Al-Hijr ayat 23 yang artinya “Dan sesungguhnya benar-
benar Kamilah yang menghidupkan dan mematikan dan Kami pulalah yang
mewarisi”. Surah Al-Isra ayat 33 yang artinya “Dan janganlah kamu membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan)
yang benar dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan”.
Tindakan merusak atau menghilangkan jiwa, milik orang lain maupun jiwa
milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum Allah. Agar supaya manusia tidak
memandang remeh terhadap jiwa manusia, maka Allah memberikan ancaman bagi
mereka yang meremehkannya (Rada, 2014).
c. Dari Perspektif Yuridis Hukum Pidana
Hukum pidana mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-
kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.
Peraturan yang dapat dihubungkan dengan euthanasia dalam KUHP dapat
ditemukan dalam Bab XIX pasal 338 sampai dengan pasal 350 tentang kejahatan
terhadap jiwa orang. Menurut KUHP, jenis kejahatan terhadap jiwa disandarkan
kepada 2 golongan yaitu :
1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang dilakukan dengan
sengaja (dolense misdrijven), pada pasal 338 sampai dengan pasal 350 KUHP.
2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena kealpaan
(culponse misdrijven), pasal 359 KUHP.
Dilihat dari sasaran kejahatan yang terkait dengan kepentingan hukum
yang dilanggar, kejahatan terhadap jiwa manusia terdiri dari 3 kelompok yaitu :
10

1) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa manusia pada umumnya.


2) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seorang anak yang sedang atau belum
lama dilahirkan.
3) Kejahatan yang ditujukan terhadap jiwa seseorang anak yang masih didalam
kandungan ibunya.
Dalam KUHP tidak ditemukan pasal yang secara eksplisit mengatur
tentang euthanasia. Akan tetapi jika dicermati maka pasal yang digunakan untuk
menunjukkan pelarangan terhadap euthanasia adalah pasal 344 yaitu mengenai
pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan sangat dan tegas oleh korban.
Pasal 344 KUHP menyebutkan “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan dengan sungguh-
sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Pasal-pasal lain yang dapat
dihubungkan dengan euthanasia adalah pasal-pasal 304, 306, 340, 345, 356, 359,
dan 531 KUHP (Yudaningsih, 2015).
Mendasarkan pada pasal 344 KUHP, euthanasia secara yuridis merupakan
perbuatan yang dilarang di Indonesia. Mengingat Indonesia menganut asas
legalitas, belum adanya parameter yang tegas menurut hukum terkait dengan
euthanasia maka dibutuhkan rumusan yang tegas mengenai pengertian euthanasia
secara hukum sehingga akan menjadi tuntunan bagi setiap orang khususnya para
dokter dan tenaga medis ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus euthanasia
(Yudaningsih, 2015).

B. Aborsi
1. Definisi
Pengertian aborsi secara medis adalah gugurnya janin atau terhentinya
kehamilan setelah nidasi, sebelum terbentuknya fetus yang variabel, yakni kurang dari
20-28 minggu (Asmarawati, 2013).
Pengertian aborsi menurut ilmu hukum adalah lahirnya buah kandungan
sebelum waktunya oleh suatu perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan
pidana kejahatan (Asmarawati, 2013).
11

2. Jenis-Jenis Aborsi
Menurut Istibsjaroh (2012), dalam ilmu kedokteran dibedakan atas dua jenis
yaitu sebagai berikut :
a. Abortus Spontaneous
Abortus spontaneous (aborsi spontan) adalah aborsiyang terjadi dengan
sendirinya, tidak disengaja dan tanpa pengaruh dari luar atau tanpa tindakan.
Aborsi spontan bisa terjadi karena keracunan, kecelakaan, dan akibat penyakit
yang diderita oleh calon ibu. Misalnya, cacar, sifilis dan diabetes Melitus.
b. Abortus Provocatus
Abortus provocatus dibagi menjadi dua jenis, yaitu abortus provocatus
criminalis atau pengguguran janin dengan sengaja tanpa indikasi medis dan
abortus provocatus therapeuiticum atau pengguguran janin dengan alasan medis.
1) Abortus Provocatus Criminalis
Abortus provocatus criminalis adalah pengguguran janin yang
dilakukan tanpa dasar medis untuk meniadakan hasil hubungan seks, baik di
luar nikah maupun wanita-wanita yang sudah menikah tetapi tidak
menghendaki kehamilan karena alasan-alasan tertentu seperti alasan
ekonomi,alasan sosial, alasan karir, alasan perzinahan.
Pengguguran janin pada umumnya dilakukan secara sengaja dan
direncanakan dengan berbagai cara, antara lain meminum jamu penghancur
janin, meminum obat-obatan pelemah kandungan, atau melakukan terapi
pelemahan dan pelelahan fisik seperti lompat-lompat, lari-lari maupun dengan
cara mengurut perut sendiri atau dengan meminta bantuan dukum beranak.
2) Abortus Provocatus Therapeuticum
Abortus Provocatus Therapeuticum adalah pengguguran janin yang
dilakukan oleh dokter atau atas dasar indikasi medis, abortus jenis ini
dilakukan untuk menjaga kepentingan ibu, baik fisik maupun mental.
Misalnya, kehamilan yang membahayakan jiwa si ibu jika diteruskan karena
ibu menderita berbagai penyakit berat seperti TBC, ginjal.
Abortus Provocatus Ttherapeuticum dibagi menjadi dua, yaitu
pengguguran janin (aborsi) terapeutik langsung dan pengguguran janin
(aborsi) terapeutik tidak langsung. Pengguguran janin (aborsi) terapeutik
langsung adalah pengguguran janin yang dilakukan untuk menyelamatkan
hidup atau kesehatan (fisik dan mental) seorang wanita hamil (istri), tindakan
12

medisnya ditujukan langsung untuk membunuh janin itu. Sementara


pengguguran janin (aborsi) terapeutik tidak langsung adalah pengguguran
janin yang dilakukan untuk menyelamatkan hidup atau kesehatan seorang
wanita hamil (istri) namun tindakan medisnya sendiri bukan ditujukan
langsung untuk membunuh janin tersebut tetapi ada alasan lain. Misalnya
pengangkatan rahim atau sel telur yang di dalamnya ada janinnya, karena
janinnya diangkat, maka janinnya mati.

3. Aspek Medis
Aborsidapatdilakukanjikaadaindikasimedis yang tepat.Menurutdr. Alvin
Nursalim (2017), alasanmedistersebutmencakup: adanyacacatjanin yang
dapatmengancamkehidupanjaninitusendiridantidakdapatdisembuhkan,
ibuterdiagnosamemilikipenyakittertentudankondisikesehatannyabiasterancamdengank
andungan yang dialaminya. Selainindikasimedistersebut, di Indonesia
jugadapatdilakukanaborsipadawanitakorbanpemerkosaandenganpersetujuantimkelaya
kanaborsi, harusadabuktipemerkosaandariketeranganahli,
harusadapersetujuanwanitahamil, sertakonselingsebelumdansesudahaborsi(Susiana,
2016).
Meskipuntindakanaborsihanyabiasdilakukanjikaadaindikasimedis,
tetapimasihbanyakjuga yang melakukantindakanaborsiatasindikasi non medik,
yangdilakukanolehtenagamedis yang kompetenmaupuntenaga yang
tidakkompeten.Tindakanaborsi yang
dilakukansecaranonmedisdianggaptindakantidaketiskarenamelanggarfalsafahsumpahk
edokteran Indonesia dankodeetik,
dimanasetiapdokterwajibmenghormatidanmelindungimakhlukhidup(Hanafiah &
Amir, 2009).
Ada beberapaalasan aborsidilakukantidaksesuaiindikasimedis.MenurutAbrori
(2014), di Amerikaalasan yang
mendasariseorangwanitamelakukanaborsitanpaindikasimedisadalah:
a. Tidakinginmemilikianak, karenakhawatirbiasmengganggusekolah, karir,
atautanggungjawablainnya (75%)
b. Tidakmampumerawatanakkarenatidakmemilikikecukupanuang (66%)
c. Tidakinginmempunyaiseoranganak, jikaanaktersebuttanpa ayah (50%)
13

Selainitu, merekajugamelontarkanbeberapaalasanlain,
misalnyasudahmemilikibanyakanak, masihterlalumuda (mereka yang
hamildiluarnikah) danmerasahamiladalahaibkeluarga.Alasan-alasaninisepertijuga
yangdilontarkanolehparawanita di Indonesia yang melakukantindakanaborsi,
merekemencobameyakiniapa yang dilakukanadalahtindakan yang benar.
Adapunrisikomelakukanaborsiadalah:
a. Risikokesehatandankeselamatanfisik
b. Kematianmendadakkarenaperdarahanhebatakibatpembiusan yang gagal
c. Kematiansecaralambat yang
disebabkaninfeksiseriusdisekitarkandungandanuterine perforation
d. Cervical laceration
e. Kankerpayudara (akibatketidakseimbangan hormone estrogen padawanita)
f. Ovarium cancer
g. Cervical cancer
h. Liver cancer
i. Kelainanpada placenta yang
akanmenyebabkancacatpadaanakberikutnyadanterjadiperdarahanhebat
j. Menjadimandul (ectopic pregnancy)
k. Endometriosis (infeksipadalapisan rahim)
l. Risikokesehatan mental
Padawanita yang melakukanaborsiresikotinggimengalami “Post Abortion
Sindrome” (PAS), dengangejala-gejalasepertiberikut:
1) Kehilanganhargadiri (82%)
2) Berteriakhisteris (51%)
3) Mimpiburukberkali-kali mengenaibayi (63%)
4) Inginmelakukanbunuhdiri (28%)
5) Mulaimencobamenggunakanobat-obatterlarang (41%)
6) Tidak bias menikmatilagihubunganseksual (59%)
7) Selainitu, wanita yang melakukanaborsiakanselalumerasabersalah yang
takakanhilangselamahidupnya.
14

4. Aspek Hukum
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Mansur Tuas (2016), menjelaskan bahwatindakan aborsi menurut
KUHP di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap nyawa. Pasal-pasal KUHP yang mengatur hal ini
adalah pasal 229, 346-349, dan 535.
Beberapa bunyi pasal yang mendukung yaitu sebagai berikut.:
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.” Pasal 346
“Barang siapa dengan sengaja mengguguran atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.” Pasal 347 ayat (1)
“Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Pasal 347 ayat (2)
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuan , diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.” Pasal 348 ayat (1)
”Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”Pasal348ayat(2)
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”Pasal 349
“Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana
untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa
diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan
tulisan tanpa diminta menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang
demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”Pasal 535
“Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa
dengan pengobatan itu kandungannya dapat digugurkan, diancam pidana penjara
15

paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah.”Pasal 299 ayat (1)
“Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan, atau bila dia
seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.”Pasal
299 ayat (2)
“Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pekerjaannya, maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat dicabut.”Pasal
299 (3)
Berdasarkan pasal-pasal KUHP tersebut di atas ternyata bahwa baik
pelaku dalam hal ini wanita yang melakukan aborsi maupun orang yang
membantu melakukan aborsi, baik itu abortusprovocatus dapat dituntut. Oleh
karena itu, seorang wanita yangmelakukan aborsi tidak bersedia memberikan
kesaksiannya di depan pengadilan dikarenakan wanita tersebut takut diancam
dengan hukuman. Oleh karenanya pula susah untuk menemukan pelaku yang
melakukan aborsi dan para tenaga medis atau dokter yang melakukan abortus
provocatus criminalis.
b. Pengaturan aborsi menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
Dalam Pasal 75 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
yang mengatur tentang abortus provocatus criminalis tetap dapat berlaku di
Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan aborsi
provokatus kriminalis menurut KUHP.
“Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum,norma agama, norma
kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat, sebagai upaya
menyelamatkan janin ibu atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan
medis tertentu”.Undang-Undang nomor 36 yang menyebutan dalam pasal 15 ayat
1 UU Kesehatan.
Dalam pasal Pasal 75 disebutkan :
- Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi tetapi di
dalam,
16

- Ayat (2) menyatakan bahwa larangan aborsi


yangterdapatdalamayat(1)dikecualikanberdasarkan atas indikasikedaruratan
medis dan akibat korban perkosaan,
Bunyi Pasalnya yaitu:
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan:
a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit
genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki
sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b) Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Dalam pasal 76 disebutkan :
“Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
1) Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama
haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang
memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
4) Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
5) Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh
Menteri.”
Dalam pasal 77 disebutkan :
“Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu,
17

tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma
agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
c. Tindak Pidana Aborsi
Tindak pidana aborsi adalah pengguguran kandungan yang disengaja,
terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan
kandungan yang tidak di inginkan dengan melanggar ketentuan hukum yang
berlaku. Tindak pidana aborsi yang dikategorikan sebagai kejahatan, baik
kejahatan terhadap kesusilaan maupun kejahatan terhadap nyawa, dapat diancam
dengan sanksi pidana penjara atau denda. Sedangkan tindak pidana aborsi yang
dikategorikan sebagai pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau denda
seperti yang dituangkan dalam pasal 535 KUHP.
Berikut bunyi pasal yang terdapat dalam KUHP mengenai tindak pidana
aborsi yaitu pasal 299, 246-249 :
1) Menurut pasal 299 seseorang yang sengaja mengobati dan menyuruh
melakukan aborsi dikatakan telah melakukan suatu tindakan pidana.
2) Menurut pasal 346 hanya merujuk kepada seorang wanita yang melakukan
tindak pidana dan menyuruh orang lain untuk membantunya.
3) Menurut pasal 347 yaitu merujuk kepada orang yang melakukan aborsi dalam
hal ini tenaga medis tetapi tanpa adanyapersetujuan dari wanita yang
bersangkutan.
4) Menurut pasal 348 merupakan kebalikan dari pasal 347 yaitu terdapat adanya
persetujuan dari seorang wanita yang melakukan aborsi tetapi sanksi yang
terdapat dalam pasal ini hanya merujuk kepada orang yang membantu
melakukan aborsi.
5) Menurutpasal 349seseorang yang melakukan hal-hal yang terdapat dalam
pasal 346-348 dalam hal ini melakukan aborsi maka akan mendapatkan sanksi
berupa pencabutan hakuntuk menjalankan mata pencariannya.
Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, dapat diuraikan
unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
1) Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan aborsi atau menyuruh orang
lain, diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun penjara.
2) Seseorang yang sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil, dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut diancam dengan hukuman penjara 12 (dua
belas) tahun dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam dengan 15 tahun.
18

3) Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam dengan hukuman


5,5tahun penjara dan apabila ibu hamil tersebut meninggal dunia diancam
dengan pidana penjara 7 tahun.

Jika yang membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga
kesehatan) ancam hukumannya ditambah sepertiga dan hak untuk melakukan praktik dapat
dicabut.
d. Abortus dalam Tinjauan Hukum Islam
Berdasarkan faktor penyebabnya itu maka tinjauan hukum terhadap
abortus dapat dibagi atas beberapa macam:
1) Abortus provocatuscriminalis, atau pengguguran kandungan yang disengaja
tanpa indikasi medis.
Hukum aborsi ini adalah haram, baik terhadap yang baru terjadi
pembuahan apalagi terhadap janin yang telah berumur 4 bulan atau lebih
(16 minggu atau lebih). Karena menurut al-Gazali, kehidupan janin mulai
dalam dua fase aitu fase kehidupan tak teramati, yang kemudian disusul
kehidupan yang bisa diamati, yang dimulai dengan terasanya gerak
pertumbuhan oleh si ibu. Kedua fase itu harus dihormati.
Dengan demikian melakukan abortus provovatus criminalis, pada
hakekatnya adalah membunuh calon manusia yang posisinya sama dengan
membunuh manusia yang telah berada di alam dunia.
Keharaman hukum abortus provocatus criminalis didasarkan
kepada beberapa dalil hukum Islam, antara lain:
a) Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5) : 32

‘…bahwasanya barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan


karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya…’
Maka secara harfiah Alquran mengibaratkan menghilangkan nyawa
manusia tanpa alasan hukum yang sah, sebagai tindakan membunuh
manusia seluruhnya. Sebab jika orang yang direnggut nyawanya itu tetap
hidup, maka kemungkinan besar dia dapat berkembang dan menghasilkan
19

keturunan manusia nantinya sehingga sangat logis jika diharamkan dalam


hukum Islam.
b) Firman Allah dalam QS. al-Mumtahanah (60) : 12
‘Hai Nabi, bila wanita-wanita mukmin dapat membai’atmu, maka
(perintahkanlah mereka agar) tidak mensekutukan Allah dengan sesuatu
yang lain, tidak mencuri, tidak berzina serta tidak membunuh anak-anak
mereka…’
Maka dapat dipahami bahwa pembunuhan anak-anak yang
dilakukan oleh kaum wanita yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah
abortus. Dan sudah jelas bahwa Alquran secara tekstual telah melarang
abortus, dan menurut kaedah ushul fiqh, semua larangan menunjukkan
bahwa yang dilarang itu adalah haram (al-asl fi al-amr li al-tahrim).
c) Firman Allah dalam QS al-An’am (6): 151
‘… Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka (anak-
anakmu)…’
Berdasarkan ayat ini kemiskinan yang sedang dialami dan
diantisipasi tidak membenarkan pembunuhan anak-anak termasuk
pengguguran janin yang sedang dikandung si ibu. Kandungan ayat ini pada
hakekatnya merupakan informasi terhadap fenomena abortusyang terjadi
dalam kehidupan manusia yang disebabkan oleh pertimbangan ekonomi.
Disimpulkan bahwa abortus yang dilakukan dengan alasan kemiskinan
dipandang oleh Alquran sebagai salah satu tindakan yang dilarang dan
tergolong perbuatan haram.
2) Abortus provocatus therapicus.
Aborsi semacam ini tergolong aborsi karena darurat, karena adanya
uzur yang benar-benar tidak mungkin dapat dihindari yang dalam istilah fiqh
disebut keadaan darurat, yaitu apabila janin dipertahankan tumbuh dalam
rahim akan berakibat kematian ibu.
Jelasnya, bahwa jika menurut indikasi medis, kehamilan dapat
mengancam keselamatan jiwa si ibu atau jika kesehatan kedua-duanya tidak
bisa dikompromikan, maka ulama sepakat janin boleh dikorbankan melalui
aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu, karena:
20

a) Ibu adalah akar sedangkan janin adalah cabang. Ibu adalah asal bagi
terjadinya janin. Dalam kaitan ini keselamatan si ibu lebih utama daripada
si janin karena ibu merupakan sendi keluarga dan dia telah memiliki
beberapa hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan mau pun terhadap
sesama manusia.
b) Pada umumnya bila si ibu meninggal, maka janin pun akan turut
meninggal pula.
Kondisi yang dilematis dan amat mendesak seperti itu telah masuk
dalam keadaan darurat, padahal kondisi darurat membolehkan hal-hal yang
dilarang, sebagaimana ditegaskan dalam kaedah fiqh:
Suatu hajat yang sangat penting menempati posisi sebagai keadaan
yang darurat dan keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (oleh
syara’).’
Dengan demikian, abortus yang dilakukan berdasarkan indikasi medis
adalah boleh berdasarkan ijma para ulama.
3) Abortus sebelum ditiupkan Roh.
Pada kasus abortus sebelum ditiupkan roh ini diperselisihkan
ulama.Pendapat pertama mengatakan boleh dilakukan aborsi secara mutlak
tanpa dikaitkan dengan uzur (indikasi medis) sama sekali. Pendapat ini
dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian mazhab Hanafiah dan
sebagian mazhab Syafi’iah.
Pendapat kedua, bahwa aborsi dibolehkan jika ada uzur (indikasi
medis) dan makruh hukumnya bila tanpa uzur. Uzur yang mereka maksudkan
adalah mengeringnya air susu ibu ketika kehamilan sudah mulai kelihatan,
sementara sang ayah tidak mampu membiayai anaknya untuk menyusu kepada
wanita lain jika lahir nanti. Pendapat ini berasal dari sebagian mazhab
Hanafiah dan sebagian mazhab Syafi’iah.
Pendapat ketiga, bahwa aborsi sebelum ditiupkan roh, hukumnya
makruh secara mutlak. Pendapat ini berasal dari sebagian ulama Malikiah.
Pendapat keempat, bahwa haram melakukan aborsi sekalipun roh
belum ditiupkan karena air mani telah menetap di dalam rahim, meskipun
belum melewati masa 40 hari, tidak boleh dikeluarkan. Pendapat ini dianut
oleh jumhur ulama Malikiah dan mazhab al-Zahiriah.
4) Abortus karena Pertimbangan Eugenetika
21

Berkaitan dengan masalah penggguran kandungan atau abortus dengan


pertimbangan tingkat kerdasan janin-yang mengalami down syndrom, yang
memiliki IQ antara 10 -20, menurut Masjfuk Zuhdi dibolehkan.Berbeda
halnya dipandang jika dokter membuat diagnosa, bahwa setelah lahir nanti si
janin (anak) akan mengaloami cacat- seperti buta, tuli, bisumaka menurut
Yusuf Qardawi, tidak dapat dianggap sebagai sebab yang membolehkan
abortus.
Jelasnya, cacat fisik tidak menjadi indikasi medis yang membolehkan
abortus. Karena dalam kenyataan, bahwa banyak penyandang cacat fisik
namun mereka mampu menjalani kehidupan dengan baik, bahkan ada yang
melampaui kemampuan orang normal. Hal ini tentu sulit dilakukan orang yang
ber-IQ sangat rendah. Penyandang cacat hanya fisiknya yang kurang namun
jika IQ-nya tinggi, maka dia dapat eksis dalam kehidupannya.
5) Abortus terhadap kehamilan akibat pemerkosaan
Dalam suatu kasus pemerkosaan ada kemungkinan menyebabkan
korban (wanita) itu hamil. Masalahnya, adalah dalam kasus ini kehamilannya
merupakan sesuatu yang dipaksakan. Bagaimana jika kehamilan akibat
pemerkosaan ini menimpa wanita yang mengalami stres (trauma) berat?
Apakah boleh kehamilannya diaborsi?

Sesuai firmannya dalam QS. Al- Nahl (16): 106

‘Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…’
Wanita korban pemerkosaan itu akan mendapat pahala, jika dia tetap
sabar dan konsisten dengan keislamannya, dengan memahami kasus yang
menimpanya sebagai cobaan (ujian) serta mengharapkan ridha Allah dalam
menghadapi gangguan dan penderitaan itu. Rasulullah saw bersabda:
‘Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan,
kesedihan, gangguan atau kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri,
kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan peristiwa-peristiwa itu.’
(HR Bukhari)
22

Apabila seorang muslim mendapat pahala hanya karena dia tertusuk


duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak orang dan kemuliannya
dikotori?Demikian juga kesabarannya memelihara janin akibat pemerkosaan
itu, sebab janin tidak berdosa. Jadi tidak boleh diabortus jika wanita korban
rela memelihara dengan kondisi psikologis yang normal(Chusna, 2016).

BAB III
PEMBAHASAN

Skenario
Seorang ibuNy.T berumur36tahun,diantarolehtenaga kesehatan keRS.C,klien
melahirkananakpertama,ibudilakukantindakanoperasiceaser oleh dokter. Pada saat
operasitiba-tiba TD menurun,dokter memberikanobatuntukmeningkatkan TD, tapi
kondisiklien malah sebaliknya, kesadaran menurun, keadaan umummemburuk dan
akhirnyakliendirawatdiruanganICU, bayiklienselamat. Saatinisudah lebih1 bulan kliendiICU
dengandiagnosa Braindeath.Keluarga tidaksanggupmembayar biaya perawatan dan
keluargamemintatindakan euthanasia saja.
23

Pertanyaan:
1. Apa yangseharusnyadilakukan olehkeluarga, tenagakesehatan dan dokter dalam kasus
ini?
2. Bagaimanaperanmasing-masingprofesijikadikaitkandenganetikdanhukum dalam kasus
tersebut?
3. Siapayangmemegangperanan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak memutuskannya. Berikan alasan!
5. Apakah adaunsur kelalaian dan malpraktek dalam kasus euthanasia?
6. Bagaimanatindakanyangprofessional?
Jawaban:
1. Halyangseharusnyadilakukan oleh:
a. Keluarga
Tindakaneuthanasiayang dimintaolehkeluargaadalahhakpasien dan
keluarga,tetapi sebaiknya pasienataukeluargatidakmeminta tindakan euthanasia
tersebut.
b. Tenagakesehatan dan dokter
Menolak permintaanpasien atau keluarga terhadaptindakaneuthanasia
tersebut.
1) Dari segiagamakematian adalah semata-matahak dariTuhan,
sehinggamanusiasebagai makhlukciptaanTuhan tidak mempunyai hak untuk
menentukan kematiannya.
2) Dari segi hukum mengenai masalahini berbeda-beda di tiap negara
danseringkaliberubahseiring denganperubahannorma- norma budaya,dibeberapa
Negaraeuthanasiadianggaplegal, sedangkandinegara
laindianggapmelanggarhukum.Dinegara majusepertiAmerikaSerikat,Belanda
diakuihakuntukmati walaupun tidakmutlak. Dalamkeadaantertentueuthanasia
diperbolehkan untukdilakukan diAmerikaSerikat, namun di Indonesia
masalaheuthanasia tetap di larang.
2. Peran masing-masingprofesi:
a. Peran perawat
Memberikanasuhankeperawatanseoptimaldansemaksimalmungkin dan tidak
melakukan tindakan yang mengarah kepada tindakan euthanasia, seperti: melepas
alat ventilator, melepas selangoksigen, dll.
b. Peran dokter
24

Memberikanpenjelasan kepadakeluargapasiententangpenyakitdan perkembangan


kesehatanpasien tersebut.
3. Yangmemegangperananpenting:
Dokter,perawatdantenagakesehatanlainnya memegang peranan penting
dalampengambilan keputusan,akantetapikeluargaadalah penentudan pemegang
perananyangpaling penting dalam pengambilankeputusantersebut.
Doktermemberikanmasukankepada keluarga untukmemikirkankembali niatnyameminta
tindakaneuthanasia,sebabajalada ditanganTuhan.Bisajadi keadaanpasiensekarang
yangberadadi ruangan ICUdengan dilakukannyaperawatan secaraintensifmaka akan
mengalami kemajuan secaraperlahan-lahan dalam pemulihan kesehatannya.
4. Solusiyangdilakukan:
Memberikanpenjelasankepada keluarga bahwatindakaneuthanasiaitu dilarang di
Indonesia, jika masalah pasien adalah biaya perawatan, masalah
tersebutbiasdicarisolusinya. Seperti,meminta bantuan ke Dinas Sosialuntuk mendapatkan
jaminan kesehatan.
5. Tidak ada unsur kelalaian dan malpraktek
Karenaselama operasi berlangsung sudah sesuai dengan standar operasional
prosedur SC,tenaga kesehatansudahmelakukantindakanmedisyang
benarpadasaatkondisipasien menurun dengan memberikan obatuntukmenaikkan tekanan
darah. Tetapikondisi pasien tidak juga membaik dan akhirnyapasien di kirim keICU.
Dalam kasus ini perawat mempunyai peran dalam memberikan asuhan
keperawatan.Peranadvokat(pelindung) serta sebagaicounseloryaitumembela dan
melindungipasientersebutuntukhidupdanmenyelamatkanjiwanya dariancaman kematian.
6. Tindakan yang profesional
Perawatdiharapkan mampu memberikan pengarahan dan penjelasan kepada
keluargapasienbahwa pasienberhakuntukmendapatkan pelayanankesehatan yangoptimal
dan tidak melakukan euthanasia.Perawathendaknya menyarankan kepada keluargauntuk
mencari alternatif jalankeluar dalamhalmencarisumberbiayayang lainsepertimelaluiBazda,
Dinas Sosial, Jamkesda, Jamkesmas dll.
Perawat berusaha menjadi jembatan penghubung diantara dokter, tenaga
kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan informasiyang sejelas-
jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar kemungkinan untuk sembuh dan
berapabesar biayayangtelahdan akan dikeluarkan.Perawatmemberikanpertimbangan-
pertimbanganyangpositifpadakeluarga
25

dalamhalpengambilankeputusanuntukmembawapulang pasienNy.Tatau
dilakukannyaeuthanasiapasif.
Perawattetapmemberikanperawatanpadapasien,pemenuhankebutuhandasar pasien
selamaperawatandiICU.Membantukeluargadalamhalpermohonanatauperingananbiayapera
watan rumah sakit.
26

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tindakan euthanasia merupakan salah satu pelanggaran hukum, baik dalam
perspektif HAM, hukum islam maupun hukum pidana.Lain halnya dengan
aborsi,diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam aspek hukum
aborsi merupakan pelanggaran atau tindakan criminal dan dilarang, tetapi
dikecualikan jika terdapat indikasi kedaruratan medis dan akibat korban perkosaan.
Dokter,perawatdantenagakesehatanlainnya adalah sebagai educator baik dari
aspek hukum maupun kesehatan, sedangkan pasien dan keluargaadalah penentudan
pemegang perananpenting dalam pengambilankeputusantersebut.
Oleh karena itu, Untuk mencegah semakin maraknya kasus aborsi, perlu
ditanamkan pendidikan agama sejak dini dalam keluarga dan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada remaja tentang bahaya dan dampak buruk akibat aborsi.

B. Saran
Sebagai perawat educator selalu memberikan pengetahuan dan wawasan
mengenai aborsi dan euthanasia kepada keluarga dan masyarakat termasuk dampak
yang ditimbulkan bagi kesehatan maupun hukum.
27

DAFTAR PUSTAKA

Abrori. (2014). Di Simpang Jalan Aborsi (sebuah studi kasus terhadap remaja yang
mengalami kehamilan tak diinginkan). Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. Retrieved
from https://books.google.co.id
Achadiat chrisdiono M. (2007). Dinamika Etika & Hukum KEDOKTERAN dalam tatanan
zaman. (Huriawati, Ed.) (1st ed.). Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Asmarawati, T. (2013). Hukum dan Abortus. yogyakarta: CV. Budi Utama.
Badu, L. (2013). Euthanasia dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Keperawatan Indonesia, 112–
117.
Chusna, A. (2016). ABORSI DAN HAK ATAS PELAYANAN KESEHATAN: Sebuah
Tinjauan Teologis, Yuridis, dan Medis. https://doi.org/10.21154
Hanafiah, M. J., & Amir, A. (2009). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan (4th ed.).
Jakarta: EGC. Retrieved from https://books.google.co.id
Indrianita, V., Putri, A., & Nugraha, H. S. (2018). Perbuatan aborsi dalam aspek hukum
pidana dan kesehatan. https://doi.org/10.31219
Istibsjaroh. (2012). Aborsi dan Hak-Hak Reproduksi Dalam Isalam (I). yogyakarta: LKiS.
Mansur Tuas. (2016). Tinjauan pustaka ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM RUANG
LINGKUP ABORSI DAN PRAKTIK KEDOKTERAN, 20–71.
Menteri Kesehatan RI. (2014). Permenkes Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ Donor.
Menteri Kesehatan RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Nursalim, A. (2017). Menggugurkan Kandungan Dengan Alasan Medis. Retrieved
September 24, 2018, from https://www.klikdokter.com/tanya-
dokter/read/3058133/menggugurkan-kandungan-dengan-alasan-medis
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan
Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 1(1), 56–63.
Rachma, D., Tsani, K., Simanjuntak, E. L., Psikologi, F., Katolik, U., & Mandala, W. (n.d.).
SIKAP TERHADAP EUTHANASIA DITINJAU DARI JENJANG, 667, 81–92.
Rada, A. (2013). Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Kedokteran Indonesia,
XVIII(2), 108–117.
Rada, A. (2014). Euthanasia Sebagai Konsekuensi Kebutuhan Sains dan Teknologi. Jurnal
Kedokteran Indonesia, 332–343.
28

Susiana, S. (2016). Aborsi dan hak kesehatan reproduksi perempuan, VIII(06). Retrieved
from www.pengkajian.dpr.go.id
Ta’adi. (2012). Hukum Kesehatan: Sanksi Dan Motivasi Bagi Perawat. Jakarta: EGC.
Yudaningsih, L. P. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana.
Jurnal Ilmu Hukum, 110–126.
Yusra, N. (2015). Aborsi dalam perspektif hukum islam, V(2), 1–30.

Anda mungkin juga menyukai