KELOMPOK II
ADI ANGRIAWAN BAMBI
SRI MARNIANTI IRNAWAN
SYARIFUDDIN
NURFADILLAH
SISKA
EMMY WAHYUNI
ETTY
JURIL
KATA PENGANTAR
Tim Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... 1
DAFTAR ISI..................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 3
B. Tujuan........................................................................................................................ 4
C. Manfaat...................................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Euthanasia................................................................................................................... 5
1. Definisi................................................................................................................. 5
2. Jenis-Jenis............................................................................................................. 5
3. Aspek Mediss........................................................................................................ 6
4. Aspek Hukum....................................................................................................... 8
B. Aborsi.........................................................................................................................10
1. Definisi.................................................................................................................10
2. Jenis-Jenis............................................................................................................10
3. Aspek Medis........................................................................................................11
4. Aspek Hukum..................................................................................................... 13
BAB III PEMBAHASAN
A. Skenario.................................................................................................................... 23
B. Pertanyaan................................................................................................................ 23
C. Jawaban.................................................................................................................... 23
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................... 26
B. Saran..........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 27
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupannya manusia hampir selalu terjadi hubungan hukum. Halini
disebabkan pada dasarnya manusia mempunyai hasrat untuk hidup teratur, akan tetapi
keteraturan bagi seseorang belum tentu teratur bagi orang lain. Oleh sebab itu diperlukan
kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan manusia, agar kepentingannya tidak
berbenturan atau bertentangan dengan individu dan masyarakat yang lain.
Dalam hal ini, Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus
kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia
dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus
kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri
besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya.Penentuan kematian seseorang
dapat dilakukan dengan menggunakan kriteria diagnosis kematian klinis/konvensional
atau kriteria diagnosis kematian mati batang otak (Menteri Kesehatan RI, 2014).
Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari
Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat
waktu kematian. Tetapi bagaimana dengan hak pasien untuk mati guna menghentikan
penderitaannya. Hal itulah yang masih menjadi pembahasan hangat di Indonesia.Hak
pasien untuk mati, yang seringkali dikenal dengan istilah euthanasia, sudah kerap
dibicarakan oleh para ahli. Euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan
kematian, akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang
sedang menghadapi kematiannya(Pradjonggo, 2016). Namun masalah ini akan terus
menjadi bahan perdebatan, terutama jika terjadi kasus-kasus menarik.
Demikian pula pada masalah aborsi atau lebih dikenal dengan istilah pengguguran
kandungan, keberadaannya merupakan suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri dan
bahkan menjadi bahan bahasan yang menarik serta dilema yang saat ini menjadi
fenomena sosial. Aborsi adalah upaya mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam rahim
sebelum janin dapat hidup diluar kandungan (Menteri Kesehatan RI, 2016). Aborsi
merupakan cara yang paling sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak
diinginkan, tetapi juga cara yang paling berbahaya.Aborsi merupakan realitas sosial yang
menggejala dikalanganmasyarakat.
4
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar mengenai Euthanasia dan Aborsi dari aspek etika dan
hukum dalam kasus tersebut.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran keluarga dan profesi perawat dalam menghadapi
masalah Euthanasia dan Aborsi jika dikaitkan dengan etika dan hukum keperawatan
3. Untuk mengetahui siapa yang memegang peranan penting dalam pengambilan
keputusan untuk kasus Euthanasia dan Aborsi.
4. Untuk mencari dan menentukan solusi yang akan dilakukan dan siapa yang akan
memutuskan dalam penangan kasus Euthanasia dan Aborsi.
C. Manfaat
Mampu menerapkan dan melaksanakan peran sebagai perawat dan apa saja yang
seharusnya dilakukan oleh seorang perawat dalam pengambilan keputusan mengenai
masalah Euthanasia dan Aborsi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Euthanasia
1. Definisi
Euthanasia berasaldari kata eudan Thanatos. Euberartibaiktanpapenderitaan,
Thanatos artinyamati. Olehsebabituarti euthanasia
sebenarnyaadalahmeringankanataumegurangipenderitaan orang yang
akanatausedangmenghadapikematiannyabukanmerupakanpenyebabkematian(Pradjon
ggo, 2016).
Euthanasia
adalahtindakanmembantumengurangipenderitaanpasiendenganpenyakityang
tidakdapatdisembuhkandenganmemberhentikantindakanataupengobatanbaiksecaraakti
fmaupunpasifuntukmengakhirikehidupanpasien(Rachma et al., 2017).
Sedangkan menurut Ta’adi (2012), euthanasia
adalahsuatutindakanmembantumengakhirikehidupan yang dilakukanpadapasien yang
sudahtidakadaharapanuntuksembuh yang disebabkanolehpenyakit, cedera,
atauketidakberdayaanatasdasarkasihan.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan
defenisi euthanasia yaitu suatuupayauntukmembantuseseorang yang
inginsegeramengakhiripenderitaanyakarenamerasasudahtidaksanggupmenanggung
bebanderita di duniadansegerainginmengakhirinyadengancarakematian,
inibiasanyaterjadipadakasuspenyakit yang tidakadaharapansembuh.
2. Jenis – Jenis Euthanasia
Menurut Pradjonggo (2016), jika ditinjau dari cara melakukan nya euthanasia
di bagimenjadi 2yaitu:
a. Euthanasia aktif
Euthanasia aktifadalahseseorangataupasien yang
diakhirikematiannyasecaraaktifoleh dokteryang
dilakukansecaramedis.Padakasussepertini
dokterakanmemberikanobatdengandosistinggi yang
akanmemacupeningkatanjantungdanpadaakhirnyajantungakanberhentibekerjaatau
denganmelepaskansegalaperalatanmedissepertialat bantu
6
napasdanalatpacujantungdandengansendirinyapernapasandanjantungpasienakanbe
rhentibekerjaatauberfungsi.
Euthanasia aktifterbagimenjadi 2 golonganyaitu:
1) Euthanasia aktiflangsung
Pemberian euthanasia aktiflangsungbiasanyadenganmenggunakanobat-
obatdosistinggimisalnyapemberiansianidaatauzatlainnya yang
sifatnyasegeramematikan. Cara
inidiperhitungkansecaramedisakansegeramengakhirikehidupanpasiensecaralan
gsung.
2) Euthanasia aktiftidaklangsung
Pemberian euthanasia
aktiftidaklangsunginibiasanyadengancaramencabutataumelepasalat bantu
kehidupanpasien. Misalnya, alatbantunapasataualat bantu kehidupanlainnya.
Secaramediscarainidiperkirakantidakakanmengakhirikehidupanpasiensecarala
ngsung. Namun,
diketahuidengancaramencabutataumelepasalatiniresikonyaadalahdapatmenyeb
abkanpasienmeninggal.
b. Euthanasia pasif
Euthanasia pasifbiasanyadilakukanpadapasien yang
seharusnyadiberikanobatataudipasangkanalatbantuuntukmempertahankankehidupa
nnyapadakasusgawatdarurattetapitidakdiberikandandiketahuitindakaninidapatmen
gakibatkanpasienmeninggal.
Berdasarkan sumber yang membuat keputusan, euthanasia dibagi menjadi
2, yaitu :
a. Euthanasia volunteer (euthanasia secarasukarela)
Pasienmemintasendiriuntukpemberhentianpengobatanuntukmempercepatk
ematiannya. Dan pernyataantertuliskadang-kadangtidakperludibuktikan.
b. Euthanasia involunter (euthanasia secaratidaksukarela)
Keluarga yang
memintauntukdilakukanpemberhentiantindakan/pengobatandalamhalinikeluarga
yang bertanggungjawabtentangtindakantersebut.
Karenapasiendianggaptidakmampuuntukmenyampaikankeinginannyasendiri,
tindakaninibiasanyadilakukanpadapasien yang tidaksadar,
tindakaninisulitdibedakandengantindakankriminal.
7
3. Aspek Medis
Profesitenagamedissudahsejak lama menentang euthanasia
sebabprofesikedokteranadalahuntukmenyembuhkandanbukanuntukmematikan.
Profesimedisadalahuntukmerawatkehidupandanbukanuntukmerusakkehidupan.
SumpahHipokratesjelas-jelasmenolaknya, “Sayatidakakanmemberikanracun yang
mematikanataupunmemberikan saran mengenaihalinikepadamereka yang
memintanya.” Sumpahinikemudianmenjadidasarsumpahseluruhdokter di dunia,
termasuk di Indonesia.
Dalampasal 9, bab II KodeEtikKedokteran Indonesia
tentangkewajibandokterkepadapasien,
disebutkanbahwaseorangdokterharussenantiasamengingatakankewajibanmelindungihi
dupmakhlukinsani. Iniberartibahwamenurutkodeetikkedokteran,
doktertidakdiperbolehkanmengakhirihidupseorang yang
sakitmeskipunmenurutpengetahuandanpengalamantidakakansembuhlagi.
Penghentiantindakanterapeutikharusdiputuskanolehdokter yang berpengalaman yang
mengalamikasus-kasussecarakeseluruhandandilakukansetelahdiadakankonsultasi.
Secara universal, kewajiban dokter tercantum dalam Bab II pasal 10 dari Kode
Etik Kedokteran Indonesia, yang menyatakan seorang dokter harus senantiasa ingat
kewajiban melindungi hidup mkhluk insani (Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:8). Dengan demikian bagaimanapun gawatnya sakit
seorang pasien, setiap dokter tetap harus melindungi dan mempertahankan hidup dari
pasien tersebut. Maka menurut etik kedokteran, dokter tidaklah diperbolehkan:
menggugurkan kandungan (abortus provocatus), mengakhiri hidup seorang pasien
yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagu (euthanasia)
(Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983, 1988:18) (Rada,
2013).
Kodeetikkedokteran Indonesia menjelaskan 3 arti euthanasia, yaitu:
a. Berpindahnya kealam bakadengantenangdanamantanpapenderitaan, buat yang
berimannama Allah di bibir.
b. Waktuhidupakanberakhir, denganmemberikanobatpenenang,
dapatmeringankanpenderitaansisakit.
c. Dengansengaja, ataspermintaansendiriataukeluarganya,
mengakhiripenderitaandanhidupseorang yang sakit.
8
B. Aborsi
1. Definisi
Pengertian aborsi secara medis adalah gugurnya janin atau terhentinya
kehamilan setelah nidasi, sebelum terbentuknya fetus yang variabel, yakni kurang dari
20-28 minggu (Asmarawati, 2013).
Pengertian aborsi menurut ilmu hukum adalah lahirnya buah kandungan
sebelum waktunya oleh suatu perbuatan seseorang yang bersifat sebagai perbuatan
pidana kejahatan (Asmarawati, 2013).
11
2. Jenis-Jenis Aborsi
Menurut Istibsjaroh (2012), dalam ilmu kedokteran dibedakan atas dua jenis
yaitu sebagai berikut :
a. Abortus Spontaneous
Abortus spontaneous (aborsi spontan) adalah aborsiyang terjadi dengan
sendirinya, tidak disengaja dan tanpa pengaruh dari luar atau tanpa tindakan.
Aborsi spontan bisa terjadi karena keracunan, kecelakaan, dan akibat penyakit
yang diderita oleh calon ibu. Misalnya, cacar, sifilis dan diabetes Melitus.
b. Abortus Provocatus
Abortus provocatus dibagi menjadi dua jenis, yaitu abortus provocatus
criminalis atau pengguguran janin dengan sengaja tanpa indikasi medis dan
abortus provocatus therapeuiticum atau pengguguran janin dengan alasan medis.
1) Abortus Provocatus Criminalis
Abortus provocatus criminalis adalah pengguguran janin yang
dilakukan tanpa dasar medis untuk meniadakan hasil hubungan seks, baik di
luar nikah maupun wanita-wanita yang sudah menikah tetapi tidak
menghendaki kehamilan karena alasan-alasan tertentu seperti alasan
ekonomi,alasan sosial, alasan karir, alasan perzinahan.
Pengguguran janin pada umumnya dilakukan secara sengaja dan
direncanakan dengan berbagai cara, antara lain meminum jamu penghancur
janin, meminum obat-obatan pelemah kandungan, atau melakukan terapi
pelemahan dan pelelahan fisik seperti lompat-lompat, lari-lari maupun dengan
cara mengurut perut sendiri atau dengan meminta bantuan dukum beranak.
2) Abortus Provocatus Therapeuticum
Abortus Provocatus Therapeuticum adalah pengguguran janin yang
dilakukan oleh dokter atau atas dasar indikasi medis, abortus jenis ini
dilakukan untuk menjaga kepentingan ibu, baik fisik maupun mental.
Misalnya, kehamilan yang membahayakan jiwa si ibu jika diteruskan karena
ibu menderita berbagai penyakit berat seperti TBC, ginjal.
Abortus Provocatus Ttherapeuticum dibagi menjadi dua, yaitu
pengguguran janin (aborsi) terapeutik langsung dan pengguguran janin
(aborsi) terapeutik tidak langsung. Pengguguran janin (aborsi) terapeutik
langsung adalah pengguguran janin yang dilakukan untuk menyelamatkan
hidup atau kesehatan (fisik dan mental) seorang wanita hamil (istri), tindakan
12
3. Aspek Medis
Aborsidapatdilakukanjikaadaindikasimedis yang tepat.Menurutdr. Alvin
Nursalim (2017), alasanmedistersebutmencakup: adanyacacatjanin yang
dapatmengancamkehidupanjaninitusendiridantidakdapatdisembuhkan,
ibuterdiagnosamemilikipenyakittertentudankondisikesehatannyabiasterancamdengank
andungan yang dialaminya. Selainindikasimedistersebut, di Indonesia
jugadapatdilakukanaborsipadawanitakorbanpemerkosaandenganpersetujuantimkelaya
kanaborsi, harusadabuktipemerkosaandariketeranganahli,
harusadapersetujuanwanitahamil, sertakonselingsebelumdansesudahaborsi(Susiana,
2016).
Meskipuntindakanaborsihanyabiasdilakukanjikaadaindikasimedis,
tetapimasihbanyakjuga yang melakukantindakanaborsiatasindikasi non medik,
yangdilakukanolehtenagamedis yang kompetenmaupuntenaga yang
tidakkompeten.Tindakanaborsi yang
dilakukansecaranonmedisdianggaptindakantidaketiskarenamelanggarfalsafahsumpahk
edokteran Indonesia dankodeetik,
dimanasetiapdokterwajibmenghormatidanmelindungimakhlukhidup(Hanafiah &
Amir, 2009).
Ada beberapaalasan aborsidilakukantidaksesuaiindikasimedis.MenurutAbrori
(2014), di Amerikaalasan yang
mendasariseorangwanitamelakukanaborsitanpaindikasimedisadalah:
a. Tidakinginmemilikianak, karenakhawatirbiasmengganggusekolah, karir,
atautanggungjawablainnya (75%)
b. Tidakmampumerawatanakkarenatidakmemilikikecukupanuang (66%)
c. Tidakinginmempunyaiseoranganak, jikaanaktersebuttanpa ayah (50%)
13
Selainitu, merekajugamelontarkanbeberapaalasanlain,
misalnyasudahmemilikibanyakanak, masihterlalumuda (mereka yang
hamildiluarnikah) danmerasahamiladalahaibkeluarga.Alasan-alasaninisepertijuga
yangdilontarkanolehparawanita di Indonesia yang melakukantindakanaborsi,
merekemencobameyakiniapa yang dilakukanadalahtindakan yang benar.
Adapunrisikomelakukanaborsiadalah:
a. Risikokesehatandankeselamatanfisik
b. Kematianmendadakkarenaperdarahanhebatakibatpembiusan yang gagal
c. Kematiansecaralambat yang
disebabkaninfeksiseriusdisekitarkandungandanuterine perforation
d. Cervical laceration
e. Kankerpayudara (akibatketidakseimbangan hormone estrogen padawanita)
f. Ovarium cancer
g. Cervical cancer
h. Liver cancer
i. Kelainanpada placenta yang
akanmenyebabkancacatpadaanakberikutnyadanterjadiperdarahanhebat
j. Menjadimandul (ectopic pregnancy)
k. Endometriosis (infeksipadalapisan rahim)
l. Risikokesehatan mental
Padawanita yang melakukanaborsiresikotinggimengalami “Post Abortion
Sindrome” (PAS), dengangejala-gejalasepertiberikut:
1) Kehilanganhargadiri (82%)
2) Berteriakhisteris (51%)
3) Mimpiburukberkali-kali mengenaibayi (63%)
4) Inginmelakukanbunuhdiri (28%)
5) Mulaimencobamenggunakanobat-obatterlarang (41%)
6) Tidak bias menikmatilagihubunganseksual (59%)
7) Selainitu, wanita yang melakukanaborsiakanselalumerasabersalah yang
takakanhilangselamahidupnya.
14
4. Aspek Hukum
a. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam Mansur Tuas (2016), menjelaskan bahwatindakan aborsi menurut
KUHP di Indonesia dikategorikan sebagai tindakan kriminal atau dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap nyawa. Pasal-pasal KUHP yang mengatur hal ini
adalah pasal 229, 346-349, dan 535.
Beberapa bunyi pasal yang mendukung yaitu sebagai berikut.:
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.” Pasal 346
“Barang siapa dengan sengaja mengguguran atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.” Pasal 347 ayat (1)
“Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Pasal 347 ayat (2)
“Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuan , diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.” Pasal 348 ayat (1)
”Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”Pasal348ayat(2)
“Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu
kejahatan diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan
dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.”Pasal 349
“Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana
untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa
diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan
tulisan tanpa diminta menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan yang
demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.”Pasal 535
“Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh
supaya diobati, dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa
dengan pengobatan itu kandungannya dapat digugurkan, diancam pidana penjara
15
paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu
rupiah.”Pasal 299 ayat (1)
“Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau
menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan, atau bila dia
seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat ditambah sepertiga.”Pasal
299 ayat (2)
“Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan
pekerjaannya, maka haknya untuk melakukan pekerjaan itu dapat dicabut.”Pasal
299 (3)
Berdasarkan pasal-pasal KUHP tersebut di atas ternyata bahwa baik
pelaku dalam hal ini wanita yang melakukan aborsi maupun orang yang
membantu melakukan aborsi, baik itu abortusprovocatus dapat dituntut. Oleh
karena itu, seorang wanita yangmelakukan aborsi tidak bersedia memberikan
kesaksiannya di depan pengadilan dikarenakan wanita tersebut takut diancam
dengan hukuman. Oleh karenanya pula susah untuk menemukan pelaku yang
melakukan aborsi dan para tenaga medis atau dokter yang melakukan abortus
provocatus criminalis.
b. Pengaturan aborsi menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan
Dalam Pasal 75 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
yang mengatur tentang abortus provocatus criminalis tetap dapat berlaku di
Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan aborsi
provokatus kriminalis menurut KUHP.
“Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan
apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum,norma agama, norma
kesusilaan, dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat, sebagai upaya
menyelamatkan janin ibu atau janin yang dikandungnya, dapat diambil tindakan
medis tertentu”.Undang-Undang nomor 36 yang menyebutan dalam pasal 15 ayat
1 UU Kesehatan.
Dalam pasal Pasal 75 disebutkan :
- Ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi tetapi di
dalam,
16
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma
agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
c. Tindak Pidana Aborsi
Tindak pidana aborsi adalah pengguguran kandungan yang disengaja,
terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan
kandungan yang tidak di inginkan dengan melanggar ketentuan hukum yang
berlaku. Tindak pidana aborsi yang dikategorikan sebagai kejahatan, baik
kejahatan terhadap kesusilaan maupun kejahatan terhadap nyawa, dapat diancam
dengan sanksi pidana penjara atau denda. Sedangkan tindak pidana aborsi yang
dikategorikan sebagai pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau denda
seperti yang dituangkan dalam pasal 535 KUHP.
Berikut bunyi pasal yang terdapat dalam KUHP mengenai tindak pidana
aborsi yaitu pasal 299, 246-249 :
1) Menurut pasal 299 seseorang yang sengaja mengobati dan menyuruh
melakukan aborsi dikatakan telah melakukan suatu tindakan pidana.
2) Menurut pasal 346 hanya merujuk kepada seorang wanita yang melakukan
tindak pidana dan menyuruh orang lain untuk membantunya.
3) Menurut pasal 347 yaitu merujuk kepada orang yang melakukan aborsi dalam
hal ini tenaga medis tetapi tanpa adanyapersetujuan dari wanita yang
bersangkutan.
4) Menurut pasal 348 merupakan kebalikan dari pasal 347 yaitu terdapat adanya
persetujuan dari seorang wanita yang melakukan aborsi tetapi sanksi yang
terdapat dalam pasal ini hanya merujuk kepada orang yang membantu
melakukan aborsi.
5) Menurutpasal 349seseorang yang melakukan hal-hal yang terdapat dalam
pasal 346-348 dalam hal ini melakukan aborsi maka akan mendapatkan sanksi
berupa pencabutan hakuntuk menjalankan mata pencariannya.
Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut di atas, dapat diuraikan
unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
1) Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan aborsi atau menyuruh orang
lain, diancam dengan hukuman 4 (empat) tahun penjara.
2) Seseorang yang sengaja melakukan aborsi terhadap ibu hamil, dengan tanpa
persetujuan ibu hamil tersebut diancam dengan hukuman penjara 12 (dua
belas) tahun dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam dengan 15 tahun.
18
Jika yang membantu melakukan aborsi tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga
kesehatan) ancam hukumannya ditambah sepertiga dan hak untuk melakukan praktik dapat
dicabut.
d. Abortus dalam Tinjauan Hukum Islam
Berdasarkan faktor penyebabnya itu maka tinjauan hukum terhadap
abortus dapat dibagi atas beberapa macam:
1) Abortus provocatuscriminalis, atau pengguguran kandungan yang disengaja
tanpa indikasi medis.
Hukum aborsi ini adalah haram, baik terhadap yang baru terjadi
pembuahan apalagi terhadap janin yang telah berumur 4 bulan atau lebih
(16 minggu atau lebih). Karena menurut al-Gazali, kehidupan janin mulai
dalam dua fase aitu fase kehidupan tak teramati, yang kemudian disusul
kehidupan yang bisa diamati, yang dimulai dengan terasanya gerak
pertumbuhan oleh si ibu. Kedua fase itu harus dihormati.
Dengan demikian melakukan abortus provovatus criminalis, pada
hakekatnya adalah membunuh calon manusia yang posisinya sama dengan
membunuh manusia yang telah berada di alam dunia.
Keharaman hukum abortus provocatus criminalis didasarkan
kepada beberapa dalil hukum Islam, antara lain:
a) Firman Allah dalam QS. al-Maidah (5) : 32
a) Ibu adalah akar sedangkan janin adalah cabang. Ibu adalah asal bagi
terjadinya janin. Dalam kaitan ini keselamatan si ibu lebih utama daripada
si janin karena ibu merupakan sendi keluarga dan dia telah memiliki
beberapa hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan mau pun terhadap
sesama manusia.
b) Pada umumnya bila si ibu meninggal, maka janin pun akan turut
meninggal pula.
Kondisi yang dilematis dan amat mendesak seperti itu telah masuk
dalam keadaan darurat, padahal kondisi darurat membolehkan hal-hal yang
dilarang, sebagaimana ditegaskan dalam kaedah fiqh:
Suatu hajat yang sangat penting menempati posisi sebagai keadaan
yang darurat dan keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (oleh
syara’).’
Dengan demikian, abortus yang dilakukan berdasarkan indikasi medis
adalah boleh berdasarkan ijma para ulama.
3) Abortus sebelum ditiupkan Roh.
Pada kasus abortus sebelum ditiupkan roh ini diperselisihkan
ulama.Pendapat pertama mengatakan boleh dilakukan aborsi secara mutlak
tanpa dikaitkan dengan uzur (indikasi medis) sama sekali. Pendapat ini
dikemukakan oleh ulama mazhab Zaidiyah, sebagian mazhab Hanafiah dan
sebagian mazhab Syafi’iah.
Pendapat kedua, bahwa aborsi dibolehkan jika ada uzur (indikasi
medis) dan makruh hukumnya bila tanpa uzur. Uzur yang mereka maksudkan
adalah mengeringnya air susu ibu ketika kehamilan sudah mulai kelihatan,
sementara sang ayah tidak mampu membiayai anaknya untuk menyusu kepada
wanita lain jika lahir nanti. Pendapat ini berasal dari sebagian mazhab
Hanafiah dan sebagian mazhab Syafi’iah.
Pendapat ketiga, bahwa aborsi sebelum ditiupkan roh, hukumnya
makruh secara mutlak. Pendapat ini berasal dari sebagian ulama Malikiah.
Pendapat keempat, bahwa haram melakukan aborsi sekalipun roh
belum ditiupkan karena air mani telah menetap di dalam rahim, meskipun
belum melewati masa 40 hari, tidak boleh dikeluarkan. Pendapat ini dianut
oleh jumhur ulama Malikiah dan mazhab al-Zahiriah.
4) Abortus karena Pertimbangan Eugenetika
21
‘Barangsiapa yang kafir setelah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa
kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…’
Wanita korban pemerkosaan itu akan mendapat pahala, jika dia tetap
sabar dan konsisten dengan keislamannya, dengan memahami kasus yang
menimpanya sebagai cobaan (ujian) serta mengharapkan ridha Allah dalam
menghadapi gangguan dan penderitaan itu. Rasulullah saw bersabda:
‘Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan,
kesedihan, gangguan atau kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri,
kecuali Allah akan menghapus dosa-dosanya dengan peristiwa-peristiwa itu.’
(HR Bukhari)
22
BAB III
PEMBAHASAN
Skenario
Seorang ibuNy.T berumur36tahun,diantarolehtenaga kesehatan keRS.C,klien
melahirkananakpertama,ibudilakukantindakanoperasiceaser oleh dokter. Pada saat
operasitiba-tiba TD menurun,dokter memberikanobatuntukmeningkatkan TD, tapi
kondisiklien malah sebaliknya, kesadaran menurun, keadaan umummemburuk dan
akhirnyakliendirawatdiruanganICU, bayiklienselamat. Saatinisudah lebih1 bulan kliendiICU
dengandiagnosa Braindeath.Keluarga tidaksanggupmembayar biaya perawatan dan
keluargamemintatindakan euthanasia saja.
23
Pertanyaan:
1. Apa yangseharusnyadilakukan olehkeluarga, tenagakesehatan dan dokter dalam kasus
ini?
2. Bagaimanaperanmasing-masingprofesijikadikaitkandenganetikdanhukum dalam kasus
tersebut?
3. Siapayangmemegangperanan penting?
4. Apa solusi yang akan dilakukan dan siapa yang berhak memutuskannya. Berikan alasan!
5. Apakah adaunsur kelalaian dan malpraktek dalam kasus euthanasia?
6. Bagaimanatindakanyangprofessional?
Jawaban:
1. Halyangseharusnyadilakukan oleh:
a. Keluarga
Tindakaneuthanasiayang dimintaolehkeluargaadalahhakpasien dan
keluarga,tetapi sebaiknya pasienataukeluargatidakmeminta tindakan euthanasia
tersebut.
b. Tenagakesehatan dan dokter
Menolak permintaanpasien atau keluarga terhadaptindakaneuthanasia
tersebut.
1) Dari segiagamakematian adalah semata-matahak dariTuhan,
sehinggamanusiasebagai makhlukciptaanTuhan tidak mempunyai hak untuk
menentukan kematiannya.
2) Dari segi hukum mengenai masalahini berbeda-beda di tiap negara
danseringkaliberubahseiring denganperubahannorma- norma budaya,dibeberapa
Negaraeuthanasiadianggaplegal, sedangkandinegara
laindianggapmelanggarhukum.Dinegara majusepertiAmerikaSerikat,Belanda
diakuihakuntukmati walaupun tidakmutlak. Dalamkeadaantertentueuthanasia
diperbolehkan untukdilakukan diAmerikaSerikat, namun di Indonesia
masalaheuthanasia tetap di larang.
2. Peran masing-masingprofesi:
a. Peran perawat
Memberikanasuhankeperawatanseoptimaldansemaksimalmungkin dan tidak
melakukan tindakan yang mengarah kepada tindakan euthanasia, seperti: melepas
alat ventilator, melepas selangoksigen, dll.
b. Peran dokter
24
dalamhalpengambilankeputusanuntukmembawapulang pasienNy.Tatau
dilakukannyaeuthanasiapasif.
Perawattetapmemberikanperawatanpadapasien,pemenuhankebutuhandasar pasien
selamaperawatandiICU.Membantukeluargadalamhalpermohonanatauperingananbiayapera
watan rumah sakit.
26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindakan euthanasia merupakan salah satu pelanggaran hukum, baik dalam
perspektif HAM, hukum islam maupun hukum pidana.Lain halnya dengan
aborsi,diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Dalam aspek hukum
aborsi merupakan pelanggaran atau tindakan criminal dan dilarang, tetapi
dikecualikan jika terdapat indikasi kedaruratan medis dan akibat korban perkosaan.
Dokter,perawatdantenagakesehatanlainnya adalah sebagai educator baik dari
aspek hukum maupun kesehatan, sedangkan pasien dan keluargaadalah penentudan
pemegang perananpenting dalam pengambilankeputusantersebut.
Oleh karena itu, Untuk mencegah semakin maraknya kasus aborsi, perlu
ditanamkan pendidikan agama sejak dini dalam keluarga dan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada remaja tentang bahaya dan dampak buruk akibat aborsi.
B. Saran
Sebagai perawat educator selalu memberikan pengetahuan dan wawasan
mengenai aborsi dan euthanasia kepada keluarga dan masyarakat termasuk dampak
yang ditimbulkan bagi kesehatan maupun hukum.
27
DAFTAR PUSTAKA
Abrori. (2014). Di Simpang Jalan Aborsi (sebuah studi kasus terhadap remaja yang
mengalami kehamilan tak diinginkan). Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. Retrieved
from https://books.google.co.id
Achadiat chrisdiono M. (2007). Dinamika Etika & Hukum KEDOKTERAN dalam tatanan
zaman. (Huriawati, Ed.) (1st ed.). Penerbit Buku Kedokteran: EGC.
Asmarawati, T. (2013). Hukum dan Abortus. yogyakarta: CV. Budi Utama.
Badu, L. (2013). Euthanasia dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Keperawatan Indonesia, 112–
117.
Chusna, A. (2016). ABORSI DAN HAK ATAS PELAYANAN KESEHATAN: Sebuah
Tinjauan Teologis, Yuridis, dan Medis. https://doi.org/10.21154
Hanafiah, M. J., & Amir, A. (2009). Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan (4th ed.).
Jakarta: EGC. Retrieved from https://books.google.co.id
Indrianita, V., Putri, A., & Nugraha, H. S. (2018). Perbuatan aborsi dalam aspek hukum
pidana dan kesehatan. https://doi.org/10.31219
Istibsjaroh. (2012). Aborsi dan Hak-Hak Reproduksi Dalam Isalam (I). yogyakarta: LKiS.
Mansur Tuas. (2016). Tinjauan pustaka ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM RUANG
LINGKUP ABORSI DAN PRAKTIK KEDOKTERAN, 20–71.
Menteri Kesehatan RI. (2014). Permenkes Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 tentang
Penentuan Kematian Dan Pemanfaatan Organ Donor.
Menteri Kesehatan RI. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Nursalim, A. (2017). Menggugurkan Kandungan Dengan Alasan Medis. Retrieved
September 24, 2018, from https://www.klikdokter.com/tanya-
dokter/read/3058133/menggugurkan-kandungan-dengan-alasan-medis
Pradjonggo, T. S. (2016). Suntik Mati (Euthanasia) ditinjau dari Aspek Hukum Pidana dan
Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 1(1), 56–63.
Rachma, D., Tsani, K., Simanjuntak, E. L., Psikologi, F., Katolik, U., & Mandala, W. (n.d.).
SIKAP TERHADAP EUTHANASIA DITINJAU DARI JENJANG, 667, 81–92.
Rada, A. (2013). Euthanasia Dalam Perspektif Hukum Islam. Jurnal Kedokteran Indonesia,
XVIII(2), 108–117.
Rada, A. (2014). Euthanasia Sebagai Konsekuensi Kebutuhan Sains dan Teknologi. Jurnal
Kedokteran Indonesia, 332–343.
28
Susiana, S. (2016). Aborsi dan hak kesehatan reproduksi perempuan, VIII(06). Retrieved
from www.pengkajian.dpr.go.id
Ta’adi. (2012). Hukum Kesehatan: Sanksi Dan Motivasi Bagi Perawat. Jakarta: EGC.
Yudaningsih, L. P. (2015). Tinjauan Yuridis Euthanasia Dilihat Dari Aspek Hukum Pidana.
Jurnal Ilmu Hukum, 110–126.
Yusra, N. (2015). Aborsi dalam perspektif hukum islam, V(2), 1–30.