Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 29 TAHUN DENGAN


ASCITES DAN SUSPEK TUMOR ABDOMEN

Disusun oleh:
Andrio Palayukan

Pembimbing/DPJP:
Dr. Primo A. Memah, SpPD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT MITRA MASYARAKAT
MIMIKA
2018
KASUS

IDENTITAS

Nama : Tn. A
Usia : 29 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Protestan
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jl. Sp II Samping Pemda
No RM : 106005
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 21 Juni 2018
Tanggal Keluar RS : 22 Juni 2018 (+)

ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Rasa panas di perut..
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan rasa panas di perut sejak 1 hari sebelum masuk RS.
Rasa panas dirasakan di seluruh lapang perut dan terus menerus seperti
terbakar. Untuk mengurangi keluhan pasien hanya berbaring, tidak sempat
mengonsumsi obat pereda sakit perut. Pasien juga mengeluhkan mencret
secara terus menerus sejak 1 hari sebelum masuk RS.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Diabetes : disangkal
Alergi : disangkal
TB : +, pasien sudah menjalani pengobatan perikarditis TB
pada tahun 2016 selama 8 bulan. Pada tahun 2017 pasien
menjalani pengobatan TB paru dan TB peritoneal.
Penyakit lain : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga

1
Keluhan serupa di dalam keluarga pasien disangkal. Riwayat sakit TB
dalam keluarga disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang, compos mentis
2. Vital sign : Tekanan darah : 118/56 mmHg
Nadi : 110x/menit
Frekuensi napas : 24x/menit
Suhu : 380C
3. Kepala : Mesocephale

4. Mata : Conjungtiva pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/


+), isokhor 3mm/3mm, mata cekung (-/-)
5. Mulut : mukosa basah (+), tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
6. Leher : KGB tidak teraba, JVP R+2cm
7. Thoraks : Simetris, retraksi (-)
8. Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II reguler, bising (-), gallop (-)
9. Paru : Inspeksi : Pergerakan dada kanan = kiri, iga
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : Sonor / sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), ST (-/-)
10. Abdomen : Inspeksi : Distensi (+)
Auskultasi : Bising usus sulit dievaluasi
Perkusi : Shifting dullness (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
undulasi (+)
11. Extremitas : Oedem (-/-), akral dingin (-/-), CRT <2 detik

2
PEMERIKSAAN PENUNJANG Tanggal : 21 Juni 2018

Nilai Satuan Rujukan

HEMATOLOGI RUTIN

Haemoglobin 15.9 g/dL 14.0 – 17.5

Hematokrit 46 % 40 - 52

Leukosit 3.84 ribu/uL 4.4 – 11.3

Trombosit 144 ribu/uL 150-400

Eritrosit 5.6 juta/uL 4.5-5.9

INDEX ERITROSIT

MCV 81 fL 80 – 96

MCH 28 pg 28 – 33

MCHC 35 g/dl 33 – 36

DIAGNOSIS
- Ascites
- Suspek tumor abdomen

3
TERAPI
- IVFD NS : D5 : Aminovel 1 : 1 : 1 / 24 jam
- Furosemide inj 20 mg 1 - 1 - 0
- Spironolakton tab 50 mg 0 - 1 - 0
- Pungsi ascites 500 - 1500 cc

PLAN
- Cek DL, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit

PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tanggal : 21 Juni 2018

Nilai Satuan Rujukan

KIMIA KLINIK

SGPT 27 U/I < 45

SGOT 45 U/I < 35

Ureum 20 mg/dL 13 - 43

Creatinin 1.0 mg/dL < 1.9

ELEKTROLIT

Kalsium (Ca) 5.9 mg/dL 8.4 - 9.7

Kalium (K) 3.1 mmol/L 3.3 – 5.1

Clorida (Cl) 100 mmol/L 98 - 106

DIAGNOSIS

- Ascites
- Suspek tumor abdomen
- Hipokalsemia

TERAPI
- Drip Ca gluconas 1 amp dalam D5PB / 12 jam

4
- Terapi lain lanjut

Jam 20.00
S : Pasien dilaporkan kesadaran menurun, kebiruan di bibir.

O : Keadaan umum : Tampak sakit berat, somnolen


Tekanan darah : 40/palpasi
Nadi : 118 x/menit
Akral dingin, sianosis
GDS : 45 mg/dL
A : Penurunan kesadaran ec sespis dd syok hipovolemik
P : - O2 NRM 8 lpm
- Inj D40 3 flash
- IVFD loading NS 500 cc dalam 30 menit lanjut NS : D10 1 : 1 / 24
jam
- Drip vascon dalam D5 0.05 mcg
- Norit 3x3 tab
- Cek GDS tiap 30 menit
- Cek AGD --> reagen kosong

Tanggal 22 Juni 2018


Jam 08.00
S : sesak, perut membesar

O : Keadaan umum : Tampak sakit berat, CM


Tekanan darah : 80/50 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernapasan : 30 x/menit
Suhu : 35.8oC
Kepala : mesocephal, CA -/-, SI -/-
Thorax : cor dan pulmo dalam batas normal
Abdomen : distensi, BU sulit dievaluasi, shifting dullness +
Ekstremitas : Akral dingin, CRT > 2”
GDS : 51 mg/dL
A : - Syok septik dd hipovolemik
- Ascites

5
- Suspek tumor abdomen
- Hipoglikemia
- Hipokalsemia
P : - Head up 30 - 45o
- O2 NRM 10 - 12 lpm
- IVFD NS loading 500 cc lanjut NS 1500 cc / 24 jam
- Inj. Furosemide 20 mg - 20 mg - 0
- Inj. D40 2 flash
- Drip Ca gluconas dalam D5PB 2 amp / 24 jam
- Drip vascon dalam D5PB 0.05 mcg
- Inj. Meropenem 1 g / 12 jam
- Pindah HCU
- Cek GDS tiap 30 menit
- Cek AGD --> reagen kosong

Jam 12.00
S : sesak

O : Keadaan umum : Tampak sakit berat, CM


Tekanan darah : 90/45 mmHg
Nadi : 128 x/menit
Pernapasan : 16 x/menit
Suhu : 35.2oC
A : tetap
P : terapi lanjut

Jam 13.00
GDS : low
A : hipoglikemia
P :- Bolus D40% 2 flash
- Terapi lain lanjut

Jam 14.00
S : Penurunan kesadaran, muntah darah, kejang
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat, E2V2M4
Tekanan darah : 50/20 mmHg

6
Nadi : 118 x/menit
Pernapasan : 35 x/menit
Suhu : 35.0oC
GDS : 69
A : - Penurunan kesadaran ec suspek sepsis dd perdarahan saluran cerna
- Hematemesis ec stress ulcer dd DIC
P : - Pasang ventilator
- IVFD NS : D5 2 : 2 / 24 jam
- Drip vascon dalam NSPB
- Inj. Meropenem 1g / 8jam
- Inj. Asam tranexamat 500mg / 8jam
- Inj. Omeprazole 40 mg / 12 jam
- Inj. Diazepam 1 amp
- Sucralfate syr II C / 6jam
- Pasang NGT --> CMS hitam --> spooling dengan air dingin 50 cc
- Cek GDS / 6jam, jika GDS < 70, bolus D40 2 flash
- Furosemid dan spironolakton stop

Jam 15.00
S : pasien kejang
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat, E2V2M4
Tekanan darah : 70/50 mmHg
Nadi : 118 x/menit
Pernapasan : on ventilator
GDS : 77
A : tetap
P : - Inj diazepam 1 ampul IV
- terapi lanjut

Jam 16.45
S :-

7
O : Keadaan umum : Tampak sakit berat, E1V1M1
Tekanan darah : 42/20 mmHg
Nadi : 159 x/menit
Pernapasan : on ventilator
Akral dingin
Produksi CMS : +/- 2000 cc, kehitaman
GDS : 167
A : tetap
P : - IVFD Asering 1000 cc dalam 1 - 2 jam, lanjut D10 2000 cc/24 jam
- Drip dobutamin start 5 mcg, titrasi sampai maks. 15 mcg
- Drip vascon 1.2 mcg, titrasi sampai mencapai target MAP > 60mmHg
- Pro foto thorax --> tunda

Jam 17.00
S :-
O : GCS : E1V1M1
HR : 30 x/m
GDS : 124 mg/dL
A : tetap
P : - Inj. SA 2 ampul
- KIE ad malam, pro RJP jika henti jantung, keluarga menolak RJP -->
SP (+)

Jam 17.10
S :-
O : EKG : Asistol
Pupil midriasis maksimal
Refleks cahaya -/-
Pasien dinyatakan (+)

8
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ascites
ascites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum.
ascites dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan
di rongga peritoneum dapat terjadi melalui mekanisme dasar yaitu transudasi dan
eksudasi. sites merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa
penyakit. ascites juga menyebabkan pengelolaan penyakit dasar jadi semakin
kompleks. Infeksi pada cairan ascites dapat memperparah penyakit dasarnya oleh
karena itu ascites ini harus dikelola dengan baik.
ascites secara klinis di kelompokkan menjadi :
 ascites eksudatif (sekarang disebut high albumin gradient), memiliki
kandungan protein tinggi dan terjadi pada peradangan (biasanya infektif,
misalnya TB) atau proses keganasan
 ascites transudatif (sekarang disebut low albumin gradient, terjadi pada
sirosis hepatis akibat hipertensi portal

Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi ascites, antara lain


teori underfilling, teori overfilling dan teori peripheral vasodilatation. Saat ini
teori peripheral vasodilatation yang banyak dianut, dimana menurut teori ini
faktor patogenesis pembentukan ascites yang amat penting adalah hipertensi porta
yang sering disebut faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut
faktor sistemik.
Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan
resistensi system porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena
porta diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen.
Peningkatan system porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat
vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap.
Hipertensi porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan
selanjutnya kapiler usus. Transudat akan terkumpul diruang peritoneum,
vasodilatator endogen yang dicurigai berperan adalah glucagon, nitric oxide (NO),
calcitonine gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial

9
(ANF), polipeptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin,
enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF).
Vasodilatator endogen pada saatnya akan memengaruhi sirkulasi arterial
sistemik, terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses
underfilling relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktivitas system
saraf simpatik, system renin-agiotensin-aldosteron dan arginin vasopressin. Akibat
selanjutnya adalah peningkatan reabsorbsi aor dan garam oleh ginjal dan
peningkatan indeks jantung.
Tuberkulosis peritonitis didahului oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar paru
termasuk peritoneum. Dengan perjalanan waktu dan menurunnya daya tahan
tubuh dapat mengakibatkan terjadinya Tuberkulosis peritonitis. Cara lain adalah
dengan penjalaran langsung dari kelenjar mesenterika atau dari tuberkulosis usus.
Pada peritoneum terjadi tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat membentuk
satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya dapat terjadi
penggumpalan atau pembentukan nodul tuberkulosis pada omentum di daerah
epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen dan lapisan viseral maupun
parietal sehingga dapat menyebabkan obstruksi usus dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan tuberkulosis peritonitis. Selain itu, kelenjar limfe yang terinfeksi
dapat membesar yang menyebabkan penekanan pada vena porta yang
mengakibatkan pelebaran vena dinding abdomen dan ascites. Terjadinya
Tuberkulosis peritonitis melalui beberapa cara, yaitu :1,2
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi

Pada kasus yang jarang terjadi, tekanan yang meningkat dalam sistem portal dapat
disebabkan oleh hambatan internal atau eksternal dari pembuluh portal,yang
berakibat hipertensi portal tanpa cirrhosis. Contohnya dapat berupa massa yang
menekan pada pembuluh-pembuluh portal dari rongga perut bagian dalam atau

10
pembentukan bekuan darah dalam pembuluh portal yang menghalangi aliran
normal dan meningkatkan tekanan dalam pembuluh (contoh, Budd-Chiari
syndrome).

Ada juga pembentukan ascites sebagai akibat dari kanker, yang disebut malignant
ascites. Tipe-tipe ascites ini secara khas adalah manifestasi dari kanker yang telah
lanjut dari organ-organ dalam rongga perut, seperti, kanker usus besar, kanker
pankreas, kanker lambung, kanker payudara, lymphoma, kanker paru-paru, atau
kanker indung telur.

Pancreatic ascites dapat terlihat pada orang-orang dengan pancreatitis atau


peradangan pankreas kronis. Penyebab yang paling umum dari pankreatitis kronis
adalah penyalahgunaan alkohol yang berkepanjangan. Pancreatic ascites dapat
juga disebabkan oleh pankreatitis akut serta trauma pada pankreas.

Ascites lanjut amat mudah dikenali. Pada inspeksi akan tampak perut
membuncit seperti perut katak, umbilicus seolah bergerak kearah kaudal
mendekati simpisis os pubis. Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan
intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi pekak samping meningkat dan terjadi
shifting dullness. ascites yang masih sedikit belum menunjukkan tanda – tanda
fisik yang nyata. Diperlukan puddle sign untuk menemukan ascites. Pemeriksaan
penunjang yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi ascites adalah
ultrasonografi. Untuk menegakkan diagnosis ascites, ultrasonografi mempunyai
ketelitian tinggi.

Parasentesis sebaiknya dilakukan pada setiap pasien ascites baru.


Pemeriksaan cairan ascites dapat memberikan informasi yang amat penting untuk
pengelolaan selanjutnya, Misalnya:

1. Gambaran makroskopik. Cairan ascites hemoragik, sering dihubungkan


dengan keganasan. Warna kemerahan dapat dijumpai pada ascites karena
sirosis hati akibat ruptur kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan
tanda ruptur pembuluh limfe tumpah ke peritoneum.

11
2. Gradient nilai albumin serum dan ascites. Pemeriksaan ini sangat
berhubungan untuk membedakan mana ascites yang berhubungan dengan
hipertensi porta atau ascites eksudat. Disepakati jika nilai lebih dari 1,1
gram/dL maka disebut gradient tinggi, tetapi jika kurang dari itu dikatakan
gradient rendah. Gradient tinggi terdapat pada ascites transudasi dan
berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradient rendah
lebih sering terdapat pada ascites eksudat. Dan konsentrasi dasar ascites
dapat menunjukkan asal ascites tersebut, misalkan: protein ascites < 3
gram/dL lebih sering terdapat pada ascites transudat sedangkan konsentrasi
protein > 3 gram/dL sering dihubungkan dengan ascites eksudat tapi untuk
kadar protein pemeriksaan ini hanya efektif 40% saja.

a. Gradient tinggi terjadi pada sirosis hati, gagal hati akut, metastasis
hati massif, gagal jantung kongestif, sindrom budd-chiari, penyakit
veno-oklusif dan miksedema

b. Gradient rendah terjadi pada karsinomatosis peritoneum, peritonitis


tuberkulosa, ascites surgical, ascites biliaris, penyakit jaringan ikat,
sindroma nefrotik dan ascites pankreatik.

3. Hitung sel. Peningkatan jumlah leukosit mengindikasikan pada adanya


inflamasi. Lebih tepat dengan hitung sel, karena kalo ada inflamasi sel
PMN akan meningkat lebih dari 250 mm 3 ini menunjukkan peritonitis
bakteri spontan, sedangkan peningkatan MN lebih sering terjadi pada
peritonitis tuberkulosa atau karsinomatosis.

4. Biakan kuman, sebaiknya dilakukan pada semua pasien yang dicurigai


terinfeksi, ascites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan menghasilkan
kuman polimikroba sedangkan peritonitis yang spontan biasanya
monomikroba, pengambilan sample menggunakan bed side inoculation
blood culture bottle.

5. Pemeriksaan sitologi. Pada kasus – kasus karsinomatosis peritoneum


pemeriksaan sitologi ascites dengan cara yang baik memberikan hasil true

12
positive hampir 100%. Sampel untuk pemeriksaan sitologi harus cukup
banyak, kira – kira 200ml untuk meningkatkan sensivitas. Harus diingat
kalo banyak juga tumor yang menghasilkan ascites tidak melalui
mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat dipastikan
melalui pemeriksaan serologi ascites. Tumor – tumor itu misalnya
karsinoma hepato seluler massif, tumor hati metastasis, dan limfoma yang
menekan aliran darah.

Penatalaksanaan

 Tirah baring, tirah baring memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien


ascites transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan
efek diuretika tersebut berhubungan dengna perbaikan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan
aktivitas simpatis dan system rennin-angiotensisn-aldosteron menurun.
Yang dimaksud dengan tirah baring disini adalah tidur telentang dengan
kaki sedikit diangkat selama beberapa jam setelah minum obat diuritika.

 Diet. Diet rendah garam sangat disarankan untuk membantu diuresis.


Konsumsi garam NaCl dibatasi hingga 40-60 meq/hari. Hiponatremia
ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan
diet rendah garam mengingat hiponatremia pada pasien ascites transudat
bersifat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya diatas normal.
Biasanya diet rendah garam yang mengandung NaCL kurang dari 40
mEg/hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl yang amat rendah justru
dapat mengganggu fungsi ginjal.

 Diuretika.

o Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai


antialdosteron. Misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan
diuretika yang hemat kalium, bekerja di tubulus distal dan
menahan reabsorpsi Na. sebenarnya potensi natriuretik distal lebih
rendah dari pada natriuretik diuretika loop bila etiologi

13
peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan
hiperaldosteronisme. Efektifitas obat ini lebih bergantung pada
konsentrasinya di plasma, semakin tinggi semakin efektif. Dosis
yang dianjurkan antara 100 – 600 mg/hari. Jarang diperlukan dosis
yang lebih tinggi lagi.

o Diuretika loop sering dibutuhkan sebagai kombinasi. Diuretika ini


sebenarnya lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis
hati, karena mekanisme utama reabsorpsi air dan natrium adalah
hiperaldosteronisme, diuretika loop menjadi kurang efektif.

o Target yang dicapai dengan tirah baring, diet garam dan terapi
diuretika adalah peningkatan dieresis sehingga berat badan turun
400 – 800 g/hari. Pasien dengan edema perifer penurunan berat
badan sampai 1500 g/hari. Sebagian besar pasien berhasil baik
dengan terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan
diuretic yang dikombinasikan. Setelah cairan ascites dapat
dimobilisasi, dosis diuretika dapat disesuaikan. Biasanya diet
rendah garam dan spirolakton masih tetap diperlukan untuk
mempertahankan dieresis dan natriuresis sehingga ascites tidak
terbentuk lagi.

o Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai.


Komplikasi itu misalnya : gagal ginjal fungsional, gangguan
elektrolit, gangguan keseimbangan asam-basa, dan ensefalopati
hepatikum. Spirolakton dapat menyebabkan libido menurun,
ginekomastia pada laki – laki dan ganguan menstruasi pada
perempuan.

 Terapi parasentesis. Parasentesis sebenernya merupakan cara pengobatan


ascites yang tergolong kuno. Pada mulanya karena berbagai komplikasi.
Cara pengobatan ini tidak disukai. Tetapi Parasentesis kembali dianjurkan
karena mempunyai banyak keuntungan dibandingan terapi konvensional
bila dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan ascites dikeluarkan

14
sebaiknya diikuti dengan subtitusi albumin paraenteral sebanyak 6-8 gram.
Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan.
Parasentesis ascites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan
child-pugh C, kecuali ascites tersebut refrakter.

Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari. ascites sebagai komplikasi


penyakit-penyakit yang dapat diobati dengan penyembuhan penyakit yang
mendasari akan dapat menghilangkan ascites. Sebagai contoh adalah ascites pada
peritonitis tuberkulosa, ascites yang merupakan komplikasi penyakit yang tidak
dapat disembukan memerlukan pengobatan tersendiri, ascites eksudat yang
penyebabya tidak dapat disembuhkan, misalnya karsinomatosis peritoneum,
sering hanya dilakukan pengobatan paliatif dengan parasentesis berulang.

Syok

Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi


kebutuhan oksigen jaringan tubuh. Syok terjadi akibat penurunan perfusi jaringan
vital atau menurunnya volume darah secara bermakna. Syok juga dapat terjadi
akibat dehidrasi jika kehilangan cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau
kehilangan darah ≥ 20% EBV (estimated blood volume). Secara umum, syok
dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan penyebab, yaitu: 1. Hipovolemik
(volume intravaskuler berkurang) 2. Kardiogenik (pompa jantung terganggu) 3.
Obstruktif (hambatan sirkulasi menuju jantung) 4. Distributif (vasomotor
terganggu)
Syok hipovolemik terjadi karena volume intravaskuler berkurang akibat
perdarahan, kehilangan cairan akibat diare, luka bakar, muntah, dan third space
loss, sehingga menyebabkan pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tidak adekuat.
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok hipovolemik
adalah CO (cardiac output) ↓, BP (blood pressure) ↓, SVR (systemic vascular
resistance) ↑, dan CVP (central venous pressure) ↓. Terapi syok hipovolemik
bertujuan untuk restorasi volume intravaskuler, dengan target utama
mengembalikan tekanan darah, nadi, dan perfusi organ secara optimal. Bila

15
kondisi hipovolemia telah teratasi dengan baik, selanjutnya pasien dapat diberi
agen vasoaktif, seperti dopamine, dobutamine. Penanganan syok hipovolemik
adalah sebagai berikut:
1. Tentukan defisit cairan
2. Atasi syok: cairan kristaloid 20 mL/kgBB dalam ½ - 1 jam, dapat diulang
3. Sisa defisit: 50% dalam 8 jam pertama, 50% dalam 16 jam berikutnya
4. Cairan RL atau NaCl 0,9%
5. Kondisi hipovolemia telah teratasi/ hidrasi, apabila produksi urin: 0,5 – 1 mL/
kgBB/jam

Syok kardiogenik terjadi apabila terdapat gangguan kontraktilitas miokardium,


sehingga jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah
jantung yang adekuat. Disfungsi ini dapat terjadi pada saat sistolik atau diastolik
atau dapat terjadi akibat obstruksi pada sirkulasi jantung. Terapi syok kardiogenik
bertujuan untuk memperbaiki fungsi miokardium dan sirkulasi. Beberapa
perubahan hemodinamik yang terjadi pada kondisi syok kardiogenik adalah CO↓,
BP↓, SVR↑, dan CVP↑. Penanganan yang dapat dilakukan untuk mengatasi syok
kardiogenik adalah sebagai berikut:
1. Infus cairan untuk memperbaiki sirkulasi
2. Inotropik
3. Apabila CO↓, BP↓, SVR↑, berikan dobutamine 5 μg/kg/min
4. Pada keadaan tekanan darah sangat rendah harus diberi obat yang berefek
inotropik dan vasopressor, seperti norepinephrine.

Syok obstruktif terjadi apabila terdapat hambatan aliran darah yang menuju
jantung (venous return) akibat tension pneumothorax dan cardiac tamponade.
Beberapa perubahan hemodinamik yang terjadi pada syok obstruktif adalah CO↓,
BP↓, dan SVR↑. Penanganan syok obstruktif bertujuan untuk menghilangkan
sumbatan; dapat dilakukan sebagai berikut:
2. Pemberian cairan kristaloid isotonik untuk mempertahankan volume
intravaskuler

16
3. Pembedahan untuk mengatasi hambatan/obstruksi sirkulasi

Syok distributif apabila terdapat gangguan vasomotor akibat maldistribusi aliran


darah karena vasodilatasi perifer, sehingga volume darah yang bersirkulasi tidak
adekuat menunjang perfusi jaringan.6 Vasodilatasi perifer dapat menyebabkan
hipovolemia. Beberapa syok yang termasuk dalam golongan syok distributif ini
antara lain:
1. Syok Anafilaktik Syok anafilaktik adalah syok yang disebabkan reaksi antigen-
antibodi (antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan mediator kimiawi
endogen, seperti histamin, serotonin, yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas endotelial vaskuler disertai bronkospasme. Gejala klinis dapat
berupa pruritus, urtikaria, angioedema, palpitasi, dyspnea, dan syok. Terapi syok
anafi laktik: Baringkan pasien dengan posisi syok (kaki lebih tinggi) Adrenaline:
Dewasa 0,3-0,5 mg SC (subcutaneous); anak 0,01 mg/kgBB SC (larutan 1:1000)
Fungsi adrenaline: meningkatkan kontraktilitas miokard, vasokonstriksi vaskuler,
meningkatkan tekanan darah dan bronkodilatasi Pasang infus RL Kortikosteroid:
dexamethasone 0,2 mg/ kgBB IV (intravena) Bila terjadi bronkospasme dapat
diberi aminophyline 5-6 mg/kgBB IV bolus secara perlahan, dilanjutkan dengan
infus 0,4-0,9 mg/kgBB/menit.
2. Syok Neurogenik Umumnya terjadi pada kasus cervical atau high thoracic
spinal cord injury. Gejala klinis meliputi hipotensi disertai bradikardia.
Gangguan neurologis akibat syok neurogenik dapat meliputi paralisis fl
asid, refl eks ekstremitas hilang dan priapismus. Penanganan syok
neurogenik: Resusitasi cairan secara adekuat Berikan vasopressor.
3. Insufisiensi Adrenal Akut Insuf siensi adrenal akut dapat disebabkan oleh
beberapa hal, seperti: Kegagalan adrenal gland: penyakit autoimun,
adrenal hemorrhagic, infeksi HIV, penggunaan ketoconazole dosis tinggi,
meningococcemia, penyakit granulomatous. Kegagalan
hypothalamic/pituitary axis: efek putus obat dari terapi glucocorticoid
Gejala klinisnya antara lain hiperkalemia, hiponatremia, asidosis,
hipoglikemia, azotemia prarenal. Kelompok pasien yang memiliki risiko

17
tinggi insufi siensi adrenal akut adalah pasien dengan sepsis, penggunaan
antikoagulan pasca CABG (coronary artery bypass graft), putus obat pada
terapi glukokortikoid dalam jangka 12 bulan, HIV AIDS, tuberkulosis
diseminata. Gejala umumnya meliputi lemah, mual/muntah, nyeri
abdominal, hipotensi ortostatik, hipotensi refrakter terhadap resusitasi
volume atau agen vasopressor, dan demam. Terapi: Infus D5% atau NS
untuk mempertahankan tekanan darah Dexamethasone 4 mg IV ,
dilanjutkan dengan 4 mg tiap 6 jam Atasi faktor pencetus Bila diagnosis
telah pasti, dapat diberikan hydrocortisone 100 mg setiap 8 jam atau infus
kontinu 300 mg/24 jam Ambil sampel darah, periksa elektrolit dan
kortisol.

4. Syok Septik Syok septik adalah sepsis yang disertai hipotensi (tekanan sistolik
< 90 mmHg) dan tanda-tanda hipoperfusi meskipun telah dilakukan resusitasi
cairan secara adekuat. Syok septik merupakan salah satu penyebab kematian
utama pada unit perawatan intensif.7 Patofi siologi: Vasodilatasi akibat
menurunnya SVR Kebocoran kapiler difus disebabkan peningkatan permeabilitas
endotelial vaskuler yang menyebabkan penurunan preload bermakna, sehingga
berdampak perburukan perfusi jaringan Penanganan syok septik antara lain: 1.
Pemberian antibiotik, umumnya dengan golongan spektrum luas 2. Perbaiki dan
mempertahankan hemodinamik dengan terapi berikut: a. Terapi cairan: Meskipun
syok septik tergolong dalam syok hiperdinamik (terjadi hipovolemi relatif akibat
vasodilatasi dan hipovolemi absolut akibat kebocoran kapiler), cairan yang
direkomendasikan tetap cairan kristaloid b. Vasopressor: Norepinephrine c.
Inotropik: Dobutamine d. Oksigen

KATEGORI/STADIUM

Perbaikan kondisi syok dan outcome klinis dipengaruhi oleh stadium syok. Secara
umum stadium syok dibagi menjadi 3 kategori, yaitu stadium kompensasi,

18
stadium dekompensasi, dan stadium irreversible; setiap stadium syok memiliki
mekanisme dan patofisiologi yang berbeda, sebagai berikut:
1. Stadium Kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi
fi siologis tubuh dengan cara meningkatkan refl eks simpatis, sehingga resistensi
sistemik meningkat, meningkatkan denyut jantung sehingga CO meningkat; dan
meningkatkan sekresi vasopressin, RAAS (renin-angiotensinaldosterone system)
menyebabkan ginjal menahan air dan sodium di dalam sirkulasi. Gejala klinis
pada syok dengan stadium kompensasi ini adalah takikardi, gelisah, kulit pucat
dan dingin, pengisian kapiler lambat.
2. Stadium Dekompensasi
Beberapa mekanisme terjadi pada fase dekompensasi, seperti memburuknya
perfusi jaringan yang menyebabkan penurunan O2 bermakna, mengakibatkan
metabolisme anaerob sehingga produksi laktat meningkat menyebabkan asidosis
laktat. Kondisi ini diperberat oleh penumpukan CO2 yang menjadi asam karbonat.
Asidemia akan menghambat kontraktilitas miokardium dan respons terhadap
katekolamin. Selain itu, terdapat gangguan metabolisme energy dependent
Na+/K+ pump di tingkat seluler, menyebabkan integritas membran sel terganggu,
fungsi lisosom dan mitokondria memburuk yang dapat berdampak pada kerusakan
sel. Pada stadium dekompensasi ini aliran darah lambat, rantai kinin serta sistem
koagulasi rusak, akan diperburuk dengan agregrasi trombosit dan pembentukan
trombus yang disertai risiko perdarahan. Pelepasan mediator vaskuler, seperti
histamin, serotonin, dan sitokin, menyebabkan terbentuknya oksigen radikal serta
platelet aggregating factor. Pelepasan mediator oleh makrofag menyebabkan
vasodilatasi arteriol dan permeabilitas kapiler meningkat, sehingga menurunkan
venous return dan preload yang berdampak pada penurunan CO. Gejala pada
stadium dekompensasi ini antara lain takikardi, tekanan darah sangat rendah,
perfusi perifer buruk, asidosis, oligouria, dan kesadaran menurun.
3. Stadium Irreversible
Stadium ini merupakan stadium lanjut syok yang tidak mendapatkan penanganan
tepat dan berkelanjutan. Pada stadium ini akan terjadi kerusakan dan kematian sel

19
yang dapat berdampak pada terjadinya MOF (Multiple Organ Failure). Pada
stadium ini,tubuh akan kehabisan energi akibat habisnya cadangan ATP
(adenosine triphosphate) di dalam sel. Gejala klinis stadium ini meliputi nadi tak
teraba, tekanan darah tak terukur, anuria, dan tanda-tanda kegagalan organ
(MODS – Multiple Organ Dysfunctions).

20
PENANGANAN SYOK

Tujuan penanganan tahap awal adalah untuk mengembalikan perfusi dan


oksigenasi jaringan dengan memulihkan volume sirkulasi intravaskuler. Terapi
cairan paling penting pada syok distributif dan syok hipovolemik, yang paling
sering terjadi pada trauma, perdarahan, dan luka bakar. Pemberian cairan
intravena akan memperbaiki volume sirkulasi intravaskuler, meningkatkan curah
jantung dan tekanan darah. Cairan kristaloid umumnya digunakan sebagai terapi
lini pertama, dapat dilanjut - kan dengan cairan koloid apabila cairan kristaloid
tidak adekuat atau membutuhkan efek penyumbat untuk membantu mengurangi
perdarahan. Cairan kristaloid yang umum digunakan sebagai cairan resusitasi
pada syok adalah RL, NaCl 0,9%, dan dextrose 5%. Terapi pada syok antara lain:
1. Tentukan defisit cairan.
2. Atasi syok: berikan infus RL (jika terpaksa NaCl 0,9%) 20 mL/kgBB dalam ½-
1 jam, dapat diulang. Apabila pemberian cairan kristaloid tidak adekuat/gagal,
dapat diganti dengan cairan koloid, sepert HES, gelatin, dan albumin.
3. Bila dosis maksimal, cairan koloid tidak dapat mengoreksi kondisi syok, dapat
diberi noradrenaline, selanjutnya apabila tidak terdapat perbaikan, dapat
ditambahkan dobutamine.
4. Sisa defisit 8 jam pertama: 50% defi sit + 50% kebutuhan rutin; 16 jam
berikutnya : 50% defi sit + 50% kebutuhan rutin.
5. Apabila dehidrasi melebihi 3-5% BB, periksa kadar elektrolit; jangan memulai
koreksi defi sit kalium apabila belum ada diuresis. Terapi resusitasi cairan
dinyatakan berhasil dengan menilai perbaikan outcome hemodinamik klinis,
seperti: • MAP (mean arterial pressure) ≥65 mmHg • CVP (central venous
pressure) 8-12 mmHg • Urine output ≥0,5 mL/kgBB/jam • Central venous
(vena cava superior) atau mixed venous oxygen saturation ≥70% • Status
mental normal

21
PEMBAHASAN

Ascites dapat disebabkan oleh faktor intraperitoneal maupun ekstraperitoneal.


Dari anamnesis, pasien mengatakan bahwa saat ini ia mengeluh panas pada
perutnya yang memang sudah membesar sejak lama, yaitu sekitar 2 tahun lalu.
Pasien sudah menjalani pengobatan TB peritoneal sebanyak 2 kali. Pada periode
pertama, pasien menjalani pengobatan selama 8 bulan. Sedangkan pada periode
kedua, pasien mengonsumsi OAT selama 9 bulan. Ada kemungkinan kondisi yang
dialami saat ini masih berhubungan dengan penyakit sebelumnya. Namun,
kemungkinan penyebab lain sehingga terjadi ascites seperti sirosis hati atau tumor
tidak dapat disingkirkan.

Pada saat dirawat-inapkan, keadaan umum pasien adalah sakit sedang dengan
tanda-tanda vital yang stabil. Namun pada malam harinya, keadaan pasien
dilaporkan menurun. Pasien tampak kebiruan pada bibir. Tekanan darah
dilaporkan 40 mmHg per palpasi. Beberapa hal yang memungkinkan terjadinya
kondisi-kondisi tersebut antara lain adanya gangguan perfusi jaringan berupa
syok. Syok yang dialami pasien ini sudah masuk dalam stadium dekompensasi.
Syok bisa berupa syok hipovolemik, obstruktif atau septik. Saat datang ke Rumah
Sakit, pasien juga mengatakan bahwa ia mengalami diare. Diare yang terjadi terus
menerus bila tidak diimbangi dengan intake cairan adekuat dapat menyebabkan
volume plasma berkurang sehingga terjadi syok.

Kondisi ascites yang masif juga dapat menekan organ lain pada abdomen,
termasuk pembuluh darah. Penekanan yang kuat dan lama pada pembuluh darah
menyebabkan venous return menuju jantung berkurang. Hal tersebut
menyebabkan volume darah yang beredar ikut berkurang sehingga terjadi
gangguan perfusi jaringan.

Pada pasien yang mengalami ascites, ada kemungkinan bakteri mengalami


translokasi dari usus menuju rongga peritoneum dan menyebabkan peritonitis

22
bakterial spontan. Penelitian yang dilakukan oleh Karvellas dkk pada tahun 2015
menunjukkan bahwa pasien yang mengalami syok septik karena peritonitis
bakterial spontan memiliki tingkat mortalitas mencapai 80%.

Dari hasil pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal dan fungsi hati, tidak didapatkan
kelainan berarti. Namun dari hasil pemeriksaan elektrolit, didapatkan kadar
kalsium serum yang sangat rendah. Penyebab umum yang mendasari
hipokalsemia adalah hipoalbuminemia. Albumin selain memiliki fungsi menjaga
tekanan onkotik plasma sehingga cairan dalam pembuluh darah tidak mengalami
ekstravasasi juga berperan mengikat kalsium. Sebagian besar kalsium dalam darah
akan berikatan dengan albumin. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa ada
kemungkinan kadar albumin pada pasien ini juga rendah (meskipun belum sempat
diperiksa). Hipoalbumin umum dijumpai pada pasien dengan malnutrisi,
gangguan fungsi ginjal dan atau hepar.

Syok yang berkelanjutan akan menyebabkan sel kehabisan bahan baku untuk
membentuk ATP. Hal ini mengakibatkan kematian sel, sehingga terjadi kegagalan
multi organ. Pada pasien ini, kegagalan multi organ yang dapat diamati adalah
penurunan kesadaran, kejang, serta frekuensi napas dan nadi yang semakin lambat
lalu berhenti. Kombinasi dari berbagai poin tersebut diakhiri dengan kematian.

Tense ascites, yang menekan diafragma, secara tidak langsung berpengaruh pada
sistem pernapasan. Kapasitas oksigen pulmo akan berkurang. Kondisi ini
menyebabkan oksigen yang beredar di sirkulasi juga berkurang. Sebagai bentuk
kompensasi awal, frekuensi napas akan meningkat. Pada akhirnya otot pernapasan
tidak mampu lagi mengkompensasi kurangnya oksigen di dalam sirkulasi.
Ketiadaan oksigen ke jaringan seperti halnya yang terjadi pada syok,
menyebabkan kematian sel dan kegagalan mult organ.

Terapi yang diberikan pada pasien ini sudah sesuai dengan kondisinya. Terhadap
pasien sudah dianjurkan untuk tirah baring, namun dari pihak pasien tidak

23
kooperatif. Pasien juga sudah diberikan diuretika berupa spironolakton dan
furosemid. Diet yang diberikan juga merupakan diet rendah garam.

Hasil pemeriksaan penunjang yang menunjukkan hipoglikemia dan hipokalsemia


juga sudah diberikan penanganan berupa bolus dextrose 40 % dilanjutkan infus
dextrose 10%, serta pemberian Ca gluconas.

Pada saat tekanan darah dilaporkan turun, sudah dilakukan upaya resusitasi
dengan pemberian cairan. Setelah dievaluasi kembali dan tidak ada perbaikan
tanda vital yang signifikan, terapi dilanjutkan dengan pemberian vasoaktif berupa
norepinefrin yang dititrasi hingga tercapai target tanda vital.

Dan pada saat terjadi kondisi yang mengancam nyawa pada pasien, sudah
dilakukan berbagai tindakan live saving seperti pemasangan definitive airway
berupa ETT dan cairan resusitasi. Lalu untuk kejang yang dialami, sudah
diberikan diazepam. Secara umum penanganan yang diberikan kepada pasien ini
sudah sesuai dengan kondisi yang dialami.

24
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Ascites dapat disebabkan oleh faktor ekstraperitoneal dan intraperitoneal
2. Ascites dapat berkembang menjadi kondisi yang mengancam nyawa

B. Saran
1. Diperlukan pemeriksaan fisik yang teliti dalam mengenali tanda-tanda
yang dapat mengancam nyawa
2. Gradien albumin serum-ascites dapat digunakan sebagai alternatif dalam
memperkirakan etiologi terjadinya ascites

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata K, Setiati S. editor.


Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid 1. Interna Publishing:
Jakarta; 2009.
2. Sulaiman A, Akbar N, Lesmana L, Noer S. Buku ajar ilmu penyakit
hati. Jayadi : Jakarta; 2007.
3. Worthley LI. Shock: A review of pathophysiology and management.
Part I. Crit Care Resusc. 2000;2(1):55-65.
4. Vincent JL, De Backer D. Circulatory shock. N Engl J Med.
2013;369(18):1726-34.
5. Kanaparthi LK, Pinsky MR. Distributive shock [Internet]. 2013 [cited
2014 Aug 15]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/168689-overview
6. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM,
et al. Surviving sepsis campaign: International guidelines for
management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med.
2013;41(2):580-637.
7. Guillot AP. Fluid and electrolyte management [Internet]. [cited 2014
Aug 15]. Available from:
http://www.med.uvm.edu/pediatrics/downloads/Fluid_and_Electrolyte
_Management.pdf

26
8.

27

Anda mungkin juga menyukai