Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Infeksi Odontogenik

Infeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi

yang paling sering kita jumpai pada manusia. Pada kebanyakan pasien

infeksi ini bersifat minor atau kurang diperhitungkan dan seringkali ditandai

dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva pada gigi yang

mengalami gangguan.8

Fistula Bakteremie-Septikemie

Selulitis Acute-Chronic Infeksi Spasium


Periapikal Infection yang dalam

Abses intra oral Osteomielitis Ke spasium yang


lebih
Atau jaringan lunak-kutis tinggi – infeksi
serebral

Gambar 2.1 : Arah Penyebaran Infeksi odontogenik


Sumber : Oral and Maxillofacial Infection, Topazian Richard G,
Morton H Goldberg, James R hupp. 4th ed;Philadelphia, W.B.Saunders
Co.

6
Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling

sering terjadi. Infeksi odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan

penyakit periodontal, perikoronal, trauma, atau infeksi pasca pembedahan. 5

Infeksi odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa jenis bakteri

seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara

cepat ke sisi wajah lain.9

2.1.1 Klasifikasi Infeksi odontogenik10

I. Berdasarkan organisme penyebab Infeksi

 Bakteri

 Virus

 Parasit

 Mikotik

II. Berdasarkan Jaringan

 Odontogenik

 Non-odontogenik

III. Berdasarkan lokasi masuknya

 Pulpa

 Periodontal

 Perikoronal

 Fraktur

 Tumor

 Oportunistik

IV. Berdasarkan tinjauan klinis

7
 Akut

 Kronik

V. Berdasarkan spasium yang terkena

 Spasium kaninus

 Spasium bukal

 Spasium infratemporal

 Spasium submental

 Spasium sublingual

 Spasium submandibula

 Spasium masseter

 Spasium pterigomandibular

 Spasium temporal

 Spasium Faringeal lateral

 Spasium retrofaringeal

 Spasium prevertebral

2.1.2 Faktor-faktor yang berperan terjadinya infeksi11

1. Virulensi dan Quantity

Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis.

Apabila lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora

normal maupun bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan

bakteri bersifat patogen. Patogenitas bakteri biasanya berkaitan

dengan dua faktor yaitu virulensi dan quantity. Virulensi berkaitan

8
dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi, toksisitas, enzim dan

produk-produk lainnya. Sedangkan Quantity adalah jumlah dari

mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan

dengan jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.

2. Pertahanan Tubuh Lokal

Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier

anatomi, berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya

bakteri ke jaringan di bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini

dengan cara insisi poket periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang

nekrosis akan membuka jalan masuk bakteri ke jaringan di bawahnya.

Gigi-gigi dan mukosa yang sehat merupakan pertahanan tubuh lokal

terhadap infeksi. Adanya karies dan saku periodontal memberikan

jalan masuk untuk invasi bakteri serta memberikan lingkungan yang

mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri.

Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri

normal di dalam mulut, bakteri ini biasanya hidup normal di dalam

tubuh host dan tidak menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri

tersebut berkurang akibat penggunaan antibiotik, organisme lainnya

dapat menggantikannya dan bekerjasama dengan bakteri penyebab

infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih berat.

9
3. Pertahanan Humoral

Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan

cairan tubuh lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri.

Dua komponen utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen.

Imunoglobulin adalah antibodi yang melawan bakteri yang

menginvasi dan diikuti proses fagositosis aktif dari leukosit.

Imunoglobulin diproduksi oleh sel plasma yang merupakan

perkembangan dari limfosit B.Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75 %

terdiri dari Ig G merupakan pertahanan tubuh terhadap bakteri gram

positif. Ig A sejumlah 12 % merupakan imunoglobulin pada kelenjar

ludah karena dapat ditemukan pada membran mukosa. Ig M

merupakan 7 % dari imunoglobulin yang merupakan pertahanan

terhadap bakteri gram negatif. Ig E terutama berperan pada reaksi

hipersensitivitas. Fungsi dari Ig D sampai saat ini belum diketahui.

Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral

lainnya, merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan

harus di aktifkan untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang

penting adalah yang pertama dalam proses pengenalan bakteri, peran

kedua adalah proses kemotaksis oleh polimorfonuklear leukosit yang

dari aliran darah ke daerah infeksi. Ketiga adalah proses opsonisasi,

untuk membantu mematikan bakteri. Keempat dilakukan fagositosis.

10
Terakhir membantu munculnya kemampuan dari sel darah putih untuk

merusak dinding sel bakteri.

4. Pertahanan Seluler

Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit.

Sel fagosit yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit

polimorfonuklear. Sel-sel ini keluar dari aliran darah dan bermigrasi e

daerah invasi bakteri dengan proses kemotaksis. Sel-sel ini melakukan

respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus hidupnya pendek, dan

hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil bakteri. Fase

ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke jaringan dan

disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai fagositosis,

pembunuh dan menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup

lama dibandingkan leukosit polimorfonuklear. Monosit biasanya

terlihat pada infeksi lanjut atau infeksi kronis.

Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi

dari limfosit, seperti telah di sebutkan sebelumnya limfosit B akan

berdifernsiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang

spesifik seperti Ig G. Limfosit T berperan pada respon yang spesifik

seperti pada rejeksi graft (penolakan cangkok) dan tumor suveillance

(pertahanan terhadap tumor).

11
2.1.3 Tahapan Infeksi10

Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka

menjalani resolusi:

1. Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan

adonannya konsisten.

2. Antara 5 sampai 7 hari – tengahnya mulai melunak dan abses merusak

kulit atau mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin

dapat dilihat lewat lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.

3. Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah

pembedahan secara drainase. Selama fase pemecahan, regio yang

terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi disebabkan oleh proses pemisahan

jaringan dan jaringan bakteri.

2.1.4 Patogenesis11,15

Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap

abses dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut

yang merupakan tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri

dapat masuk ke jaringan melalui suatu luka ataupun melalui folikel rambut.

Pada abses rahang dapat melalui foramen apikal atau marginal gingival.

Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan

gigi atau karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di

daerah membran periodontal berupa suatu periodontitis apikalis.

Rangsangan yang ringan dan kronis menyebabkan membran periodontal di

apikal mengadakan reaksi membentuk dinding untuk mengisolasi

12
penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi tersebut

dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.

2.1.5 Macam-macam Infeksi odontogenik11

Macam-macam infeksi odontogenik dapat berupa : infeksi

dentoalveolar, infeksi periodontal, infeksi yang menyangkut spasium,

selulitis, flegmon, osteomielitis, dan infeksi yang merupakan komplikasi

lebih lanjut.

2.1.6 Tanda dan Gejala12

1. Adanya respon Inflamasi

Respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi adalah inflamasi.

Pada keadaan ini substansi yang beracun dilapisi dan dinetralkan. Juga

dilakukan perbaikan jaringan, proses inflamasi ini cukup kompleks dan

dapat disimpulkan dalam beberapa tanda :

A. Hiperemi yang disebabkan vasodilatasi arteri dan kapiler dan

peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya

aliran darah pada vena.

B. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antiobodi

dan nutrisi dan berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan.

C. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti

migrasi leukosit polimorfonuklear dan kemudian monosit pada

daerah luka.

13
D. Terbentuknya jalinan fibrin dari eksudat, yang menempel pada

dinding lesi.

E. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya

F. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik

2. Adanya gejala infeksi

Gejala-gejala tersebut dapat berupa : rubor atau kemerahan

terlihat pada daerah permukaan infeksi yang merupakan akibat

vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah

infeksi. Kalor atau panas merupakan akibat aliran darah yang relatif

hangat dari jaringan yang lebih dalam, meningkatnya jumlah aliran

darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor atau rasa sakit, merupakan

akibat rangsangan pada saraf sensorik yang di sebabkan oleh

pembengkakan atau perluasan infeksi. Akibat aksi faktor bebas atau

faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada

akhiran saraf juga dapat menyebabkan rasa sakit. Fungsio laesa atau

kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah dan

kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah

inflamasi disebabkan oleh faktor mekanis dan reflek inhibisi dari

pergerakan otot yang disebabkan oleh adanya rasa sakit.

3. Limphadenopati

Pada infeksi akut, kelenjar limfe membesar, lunak dan sakit. Kulit

di sekitarnya memerah dan jaringan yang berhubungan membengkak.

Pada infeksi kronis perbesaran kelenjar limfe lebih atau kurang keras

14
tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan pembengkakan

jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Lokasi perbesaran

kelenjar limfe merupakan daerah indikasi terjadinya infeksi. Supurasi

kelenjar terjadi jika organisme penginfeksi menembus sistem

pertahanan tubuh pada kelenjar menyebabkan reaksi seluler dan

memproduksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan

memerlukan insisi dan drainase.

2.2 Definisi Abses Odontogenik

Abses adalah infeksi akut yang terlokalisir pada rongga yang

berdinding tebal, manifestasinya berupa keradangan, pembengkakan yang

nyeri jika ditekan, dan kerusakan jaringan setempat.10

Abses rongga mulut adalah suatu infeksi pada mulut, wajah, rahang,

atau tenggorokan yang dimulai sebagai infeksi gigi atau karies gigi.

Kehadiran abses dentoalveolar sering dikaitkan dengan kerusakan yang

relatif cepat dari alveolar tulang yang mendukung gigi. Jumlah dan rute

penyebaran infeksi tergantung pada lokasi gigi yang terkena serta penyebab

virulensi organisme.6

2.3 Macam-macam Abses Odontogenik11

1. Abses periapikal

Abses periapikal sering juga disebut abses dento-alveolar, terjadi di

daerah periapikal gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi

keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi segera setelah kerusakan

jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi infeksi

15
akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba

penyebab infeksi umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal

sistemik (bakteremia).

Gambar 2.2 : Abses periapikal


Sumber : http://www.dental-health-index.com/toothabscess.html.,
(diakses 19 juli 2012.)

2. Abses subperiosteal

Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan

lunak mulut dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke

ekstra oral, warna kulit sedikit merah pada daerah gigi penyebab.

Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta tidak

terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar

pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi

masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

16
a b
Gambar 2.3 : a. Ilustrasi gambar Abses subperiosteal dengan lokalisasi di
daearah lingual
b. Tampakan Klinis Abses Subperiosteal
Sumber : Oral Surgery, Fargiskos Fragiskos D, Germany, Springer

3. Abses submukosa

Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan

kelanjutan abses subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai

dibawah mukosa setelah periosteum tertembus. Rasa sakit mendadak

berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar. Gejala lain yaitu

masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-kadang disertai

demam.lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi

podotip. Bila abses berasal darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial

mendatar, terangatnya sayap hidung dan kadang-kadang pembengkakan

pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar dan sakit

pada palpasi.

17
a b
Gambar 2.4 : a. Ilustrasi gambar Abses Submukosa dengan lokalisasi
didaerah bukal.
b. Tampakan klinis Abses Submukosa
Sumber : Oral Surgery, Fargiskos Fragiskos D, Germany, Springer

4. Abses fosa kanina

Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi

rahang atas pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta

memudahkan terjadinya akumulasi cairan jaringan. Gejala klinis ditandai

dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus nasolabialis dan

edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas bengkak,

seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah.

a b

18
Gambar 2.5 : a. Ilustrasi abses Fossa kanina
b. Tampakan klinis Abses Fossa kanina
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

5. Abses spasium bukal

Spasium bukal berada diantara m. masseter ,m. pterigoidus interna

dan m. Businator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam

diantara otot pengunyah, menutupi fosa retrozogomatik dan spasium

infratemporal. Abses dapat berasal dari gigi molar kedua atau ketiga

rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.

Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukaldan

menonjol ke arah rongga mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses

supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab kadang-kadang tidak jelas.

Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya. Pada

pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada

perabaan.

a b

19
Gambar 2.6 : a. Ilustrasi gambar memperlihatkan penyebaran abses
lateral ke muskulus buccinator
b. Tampakan Klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

6. Abses spasium infratemporal

Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan

sering menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak

di bawah dataran horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi

oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh m.pterigoid interna. Bagian

atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui a.maksilaris

interna dan n.mandibula,milohioid,lingual,businator dan n.chorda timpani.

Berisi pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus

faringeal.

a b

Gambar 2.7 : a. Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga


infratemporal
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fargisos Fragiskos D, Germany, Springer

20
7. Abses spasium submasseter

Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara

insersi otot masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini

berupa suatu celah sempit yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo

m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas dan belakang

antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah

belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar fibromuskular.

Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah,

berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini.

Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula

bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang

berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior ramus mempunyai

daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.

a b

Gambar 2.8 : a. Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke


daerah submasseter
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

21
8. Abses spasium submandibula

Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang

memisahkannya dari spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial

bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus

dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi kelenjar ludah

submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi

kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial

yang tipis dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna.

Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar,

abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau

molar mandibula.

a b

Gambar 2.9 : a. Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah


submandibular di bawah muskulus mylohyoid
b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

22
9. Abses sublingual

Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek

diatas m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan

lateral oleh permukaan lingual mandibula.

Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah

terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak

menonjol karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan

mengalami kesulitan menelen dan terasa sakit.

a b

Gambar 2.10 : a. Perkembangan abses di daerah sublingual


b. Pembengkakan mukosa pada dasar mulut dan elevasi
lidah ke arah berlawanan
Sumber : Oral surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

10. Abses spasium submental

Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di

depannya melintang m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental.

23
Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke spasium mandibula dan

sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi penyebab

biasanya gigi anterior atau premolar.

Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada regio submental. Tahap

akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada

npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-

kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya.

Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah spasium yang

terdekat terutama kearah belakang.

a b

Gambar 2.11 : a. Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental


b. Tampakan klinis
Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, Germany, Springer

11. Abses spasium parafaringeal

Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan

apeks bergabung dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh

24
muskulus pterigoid interna dan sebelah dalam oleh muskulus kostriktor.

sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus prevertebalis dan

prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini.

Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena

jugularis dan nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal,

simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe.

Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai

foramina menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses

otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat

melalui selubung karotis sampai mediastinuim.

2.4 Penatalaksanaan Abses Odontogenik1

Perawatan abses odontogenik dapat dilakukan secara lokal/sitemik.

Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan

perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit,

terapi antibiotik, dan terapi pendukung. Walaupun kelihatannya pasien

memerlukan intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih bijaksana apabila

diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya bakterimia dan difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari

manipulasi (perawatan) yang dilakukan.

Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan

(purulensi), yang bisa dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan

tindakan lokal. Apabila abses mempunyai dinding yang tertutup, yang

merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital yang dilakukan

25
perlahan-lahan terhadap lesi yang teranestesi bisa menunjukkan adanya

fluktuasi yang merupakan bukti adanya pernanahan.

Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranestesi bisa

diperiksa/dicari dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila

interdental atau operkulum. Pada daerah tersebut biasanya juga terdapat

debris makanan, yang merupakan benda asing yang dapat mendukung proses

infeksi.

2.4.1 Alat dan Bahan1

1. Jarum 18 atau 20 gauge

2. Spoit disposibel 3ml

2.4.2 Insisi dan Drainase1

Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, baik abses periodontal

maupun periapikal, dirawat secara lokal yaitu insisi dan drainase, maka

anestesi yang dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu sebelum aspirasi

sudah dianggap cukup untuk melanjutkan tindakan ini. Lokasi standar untuk

melakukan insisi abses adalah daerah yang paling bebas, yaitu daerah yang

paling mudah terdrainase dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi. Seperti

pada pembuatan flap, biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah

membuat insisi yang terlalu kecil. Insisi yang agak lebih besar

mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain

yang dipakai adalah suatu selang karet dan di pertahankan pada posisinya

dengan jahitan.

26
Gambar 2.12 : Ilustrasi gambar untuk insisi Abses
Sumber : Oral Surgery, Frgaiskos Fragiskos D, germany, Springer

Gambar 2.12 : Ilustrasi gambar setelah dilakukan insisi Abses


Sumber : Oral Surgery, Fragiskos Fragiskos D, germany, Springer

2.4.3 Perawatan Pendukung1

Pasien diberi resep antibiotik (Penicillin atau erythromycin) dan obat-

obatan analgesik (kombinasi narkotik/non-narkotik). Perlu di tekankan

kepada pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila

menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat, onsentrasinya 1 sendok

27
teh garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan dilaukan paling tidak seiap

selesai makan. Pasien dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-

gejala penyebaran infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan

pembengkakan, trismus/disfagia.

2.5 Demam

Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, 16 yaitu diatas

37,2˚C (99,5˚F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di

hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam sangat

berguna sebagai pertanda adanya suatu proses inflamasi, biasanya tingginya

demam mencerminkan tingkatan dari proses inflamasinya. Dengan

peningkatan suhu tubuh juga dapat menghambat pertumbuhan dan

perkembangan bakteri maupun virus.17

Suhu tubuh normal adalah berkisar antara 36,6˚C - 37,2˚C. Suhu oral

sekitar 0,2 – 0,5˚C lebih rendah dari suhu rektal dan suhu aksila 0,5˚C lebih

rendah dari suhu oral. Suhu tubuh terendah pada pagi hari dan meningkat

pada siang dan sore hari. Pada cuaca yang panas dapat meningkat hingga

0,5˚C dari suhu normal. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam

merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.

Temperatur oral dapat bervariasi sekitar 2 derajat C pada sisi yang

terinfeksi dibandingkan sisi lainnya yang normal. Karena itu pengukuran

temperatur pada rektal lebih dianjurkan untuk hasil yang lebih akurat. Jika

pengukuran temperatur rektal lebih memungkinkan, termometer dapat

ditempatkan pada sisi mulut yang terinfeksi selama 5 menit. Temperatur

28
penderita harus diperhatikan terutama jika tidak sesuai dengan hasil

laboratorium dan gejala klinis. Dilaporkan anak-anak dengan bakteremia

dan infeksi abses pyogenik, dengan sakit kepala yang diikuti dengan demam

adalah akibat hasil penekanan pada struktur-struktur sensitif disekitar arteri

di daerah intrakranial.

2.6 Etiologi Demam17

Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu

normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi,

vaksin, agen biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag,

interferon dan interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma,

suntikan intramuskular, luka bakar), keganasan (leukemia, limfoma,

hepatoma, penyakit metastasis), obat-obatan (demam obat, kokain,

amfoterisin B), gangguan imunologik-reumatologik (lupus eritematosus

sistemik, artritis reumatoid), penyakit radang (penyakit radang usus), penyakit

granulomatosis (sarkoidosis), ganggguan endokrin (tirotoksikosis,

feokromositoma), ganggguan metabolik (gout, uremia, penyakit fabry,

hiperlipidemia tipe 1), dan wujud-wujud yang belum diketahui atau kurang

dimengerti (demam mediterania familial).

2.7 Patogenesis Demam17

Tanpa memandang etiologinya, jalur akhir penyebab demam yang

paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung

29
mengubahset-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan

konversi panas.

Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis

pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal

dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu sendiri

mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang

disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor

Necrosis Factor (TNF), interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-

11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang

merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini

merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang

kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

2.7.1 Pirogen Eksogen

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah

terpapar. Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau

monosit, untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain

yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin,

bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi,

racun DDT dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan

efek langsung terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi

eksotoksin yang akan merangsang secara langsung makrofag dan monosit

untuk melepas IL-1. Mekanisme ini dijumpai pada scarlet feverdan toxin

30
shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari mikroba dan non-

mikroba.

2.7.2 Bakteri Gram-Negatif14

Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli,

Salmonela) disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu

suatu pirogen eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif

endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS).

Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari

dosis (dose-related). Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat

dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit,

makrofag jaringan dan natural killer cell (NK cell). Seluruh sel ini

selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan interleukin-

1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga segera

menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem

komplemen dan aktifasi faktor hageman.

2.7.2 Bakteri Gram-Positif

Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah

peptidoglikan dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin,

dimana eksotoksin ini dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang

berasal dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi demam. Per

unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini

menerangkan perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan

infeksi bakteri gram-negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya

31
demam yang disebabkan infeksi pneumokokus diduga proses imunologik.

Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh basil gram-positif

(misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam yang

ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik

atau bakteri gram-negatif lainnya.

2.8 Penggolongan Demam17

Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi

dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam

disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang

sesudah masa yang pendek. Demam dapat digolongkan sebagai:

1. Demam yang singkat dengan tanda-tanda yang khas terhadap suatu

penyakit sehingga diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat

klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji laboratorium;

2. Demam tanpa tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit,

sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak memberi kesan

diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi;

3. Demam yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown

Origin= FUO).

32

Anda mungkin juga menyukai