Anda di halaman 1dari 44

ASUHAN KEBIDANAN

IBU POST SC ATAS INDIKASI SECONDARY ARREST


DI RUANG CENDERAWASIH RSUD DR. SOETOMO SURABAYA

OLEH:
MARIA S. A. GUSTI
NIM. 010810088

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kematian ibu memang menjadi perhatian dunia internasional. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO, 2005) memperkirakan diseluruh dunia lebih dari
585.000 ibu meninggal tiap tahun saat hamil atau bersalin. Artinya, setiap menit
ada satu perempuan yang meninggal. Di Indonesia menurut Survei Demografi
Kesehatan Indonesia ( SDKI ) tahun 2007 Angka Kematian Ibu ( AKI ) masih
cukup tinggi, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup atau setiap jam terdapat 2
orang ibu bersalin meninggal dunia karena berbagai sebab. Penyebab kematian
ibu 90% disebabkan oleh pendarahan, toksemia gravidarum, infeksi, partus lama
dan komplikasi abortus. Kematian ini paling banyak terjadi pada masa sekitar
persalinan yang sebenarnya dapat dicegah, Sedangkan 10% disebabkan oleh
komplikasi persalinan lain (Depkes RI, 2005).
Salah satu penyebab kematian ibu di atas telah di uraikan bahwa di
sebabkan oleh partus lama, Persalinan lama atau kasep merupakan masalah besar
di Indonesia karena pertolongan di daerah pedesaan masih dilakukan oleh dukun.
Persalinan lama adalah persalinan yang berjalan lebih dari 24 jam untuk
primigravida dan 18 jam bagi multigravida. Persalinan lama adalah fase laten
lebih dari 8 jam, persalinan telah berlangsung 12 jam atau lebih tanpa kelahiran
bayi (persalinan lama), dan dilatasi serviks di kanan garis waspada
(Prawirohardjo, 2002). Persalinan lama disebut juga distosia, didefinisikan
sebagai persalinan abnormal/sulit (Prawiroharjo, 2009).
Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada
partus lama terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan
amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion
sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin,
akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.
Bidan sebagai mempunyai peran penting dalam melakukan asuhan
kebidanan pada masa prenatal, natal, dan post natal, sehingga jika ditemukan
kasus persalinan lama karena panggul sempit dapat segera dilakukan
penatalaksanaan secara tepat sesuai dengan tingkat prognosisnya agar dapat
mengurangi angka mortalitas dan morbiditas yaitu dengan seksio sesaria.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat melaksanakan asuhan kebidanan ibu post SC atas
indikasi secondary arrest
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan konsep dasar masa nifas, konsep dasar seksio sesarea, konsep
dasar partus lama, dan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu post SC atas
indikasi secondary arrest.
2. Melakukan pengumpulan data subyektif dan data obyektif
3. Menganalisa data dan menentukan diagnosa
4. Menyusun rencana asuhan kebidanan.
5. Melakukan rencana asuhan kebidanan tersebut.
6. Mengevaluasi rencana asuhan kebidanan yang telah dilakukan.

1.3 Sistematika Penulisan


1. Bab I Pendahuluan menguraikan latar belakang, tujuan, pelaksanaan, dan
sistematika penulisan.
2. Bab II Landasan Teori menguraikan konsep dasar masa nifas, konsep dasar
seksio sesarea, konsep dasar partus lama, konsep dasar asuhan kebidanan pada
ibu post SC atas indikasi secondary arrest
3. Bab III Tinjauan Kasus terdiri dari data subjektif, objektif, analisa, dan
penatalaksanaan.
4. Bab IV Pembahasan terdiri dari pembahasan yang membandingkan antara
landasan teori dengan tinjauan kasus
5. Bab V Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Masa Nifas


2.1.1 Pengertian Nifas
Masa nifas (puerperium) adalah masa yang dimulai setelah plasenta keluar
dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan semula (sebelum
hamil). Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. Selama masa
pemulihan tersebut berlangsung, ibu akan mengalami banyak perubahan, baik
secara fisik maupun psikologis (Sulistyawati, 2009)
Masa nifas adalah masa 2 jam setelah lahirnya placenta sampai enam
minggu berikutnya (Hendry,2009).
Masa nifas atau puerpurium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Saifuddin, 2008)

2.1.2 Tahapan Masa Nifas


Masa nifas dibagi menjadi 3 tahap, yaitu, puerperium dini, puerperium
intermedial, dan remote puerperium.
1. Puerperium Dini merupakan masa kepulihan, yang dalam hal ini ibu telah
diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan.
2. Puerperium Intermedial merupakan masa kepulihan menyeluruh alat-alat
genitalia, yang lamanya sekita 6-8 minggu.
3. Remote Puerperium merupakan masa yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna. Waktu untuk sehat sempurna dapat berlangsung selama berminggu-
minggu, bulanan, bahkan tahunan (Sulistyawati, 2009).

2.1.3 Perubahan Fisiologis Masa Nifas


Hampir semua organ mengalami perubahan pada masa nifas. Rentang
penyesuaian dapat terjadi mulai dari yang ringan sampai berat. Beberapa
perubahan penting yang harus diketahui :
1. Beberapa ibu menggigil segera setelah melahirkan namun suhu tubuh tidak
berubah.
2. Frekuensi nadi melambat, normal atau menjadi cepat akan tetapi tidak diatas
100 dpm
3. Tekanan darah bervariasi, dalam keadaan normal tidak melebihi 140 / 90
mmHg
4. Berat badan menurun rata-rata 8 kg pasca persalinan, penurunan berat badan
lebih lanjut merupakan akibat involusi uterus, diuresis dan tergantung
apakah memberikan ASI atau tidak.

1) Perubahan Sistem Reproduksi


(1) Uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada kondisi sebelum
hamil. Dengan involusi uterus ini, lapisan luar dari desidua yang mengelilingi
situs plasenta akan menjadi neurotic. Perubahan ini dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan palpasi untuk meraba di mana TFU:
a. Pada saat bayi lahir, TFU setinggi pusat dengan berat 1000 gram.
b. Pada akhir kala III, TFU teraba 2 jari di bawah pusat.
c. Pada 1 minggu post partum, TFU teraba pertengahan pusat simpisis dengan
berat 500 gram.
d. Pada 2 minggu post partum, TFU teraba di atas simpisis dengan berat 350
gram.
e. Pada 6 minggu post partum, fundus uteri mengecil (tak teraba dengan berat 50
gram).
Involusi uterus terjadi melalui 3 proses yang bersamaan antara lain:
a. Autolysis
Proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam intra uteri. Enzim
proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah sempat mengendur hingga
10 kali panjangnya dari semula dan lima kali lebarnya dari sebelum hamil.
Sitoplasma sel yang berlebihan tercerna sendiri sehingga tertinggal jaringan fibro
elastic dalam jumlah renik sebagai bukti kehamilan.
b. Atrofi Jaringan
Jaringan yang berproliferasi dengan adanya estrogen dalam jumlah besar,
kemudian mengalami atrofi sebagai reaksi terhadap penghentian produksi
estrogen yang menyertai pelepasan plasenta. Selain perubahan atrofi pada otot-
otot uterus, lapisan desidua akan mengalami atrofi dan terlepas dengan
meninggalkan lapisan basal yang akan bergenerasi menjadi endometrium yang
baru.
c. Efek Oksitosis (kontraksi)
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi
lahir. Hal tersebut diduga terjadi sebagai respon terhadap penurunan volume
intrauterine yang sangat besar, Hormon oksitosin yang dilepas dari kelenjar
hipofise memperkuat dan mengatur kontraksi uterus, mengompresi pembuluh
darah, dan membantu proses homeostatis. Kontraksi dan retraksi otot uteri akan
mengurangi suplai darah ke uterus. Proses ini akan membantu mengurangi bekas
luka tempat implantasi plasenta dan mengurangi perdarahan. Luka bekas
pelekatan plasenta memerlukan waktu 8 minggu untuk sembuh total.
Lochia adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas. Lochia
mengandung darah dan sisa jaringan desidua yang nekrotik dari dalam uterus.
Lochia mempunyai reaksi basa/alkalis yang dapat membuat organism berkembang
lebih cepat daripada kondisi asam yang ada pada vagina normal. Lochia berbau
tidak sedap menandakan adanya infeksi. Lochia mempunyai perubahan warna dan
volume karena adanya proses involusi. Lochia dibedakan menjadi 3 jenis
berdasarkan warna dan waktu keluarnya:
a. Lochia rubra/merah
Lochia ini keluar pada hari pertama sampai hari ke-4 masa post partum.
Cairan yang keluar berwarna merah karena terisi darah segar, jaringan sisa-
sisa plasenta, dinding rahim, lemak bayi, lanugo (rambut bayi), dan
mekonium.
b. Lochia sanguinolenta
Lochia ini berwarna merah kecoklatan dan berlendir, serta berlangsung dari
hari ke-4 sampai hari ke-7 post partum.
c. Lochia serosa
Lochia ini berwarna kuning kecoklatan karena mengandung serum, leukosit,
dan robekan atau laserasi plasenta. Keluar pada hari ke-7 sampai hari ke-14.
d. Lochia alba/putih
Lochia ini mengandung leukosit, sel desidua, sel epitel, selaput lendir
serviks, dan serabut jaringan yang mati. Lochia alba ini dapat berlangsung
selama 2-6 minggu post partum (Sulistyawati, 2009).
Lochia yang menetap pada awal periode post partum menunjukkan tanda-
tanda perdarahan sekunder yang mungkin disebabkan oleh tertinggalnya sisa
atau selaput plasenta. Lochia alba atau serosa yang berlanjut dapat
menandakan adanya endometritis terutama bila disertai nyeri pada abdomen
dan demam. Bila terjadi infeksi, akan keluar cairan nanah berbau busuk
yang disebut lokhea purulenta. Pengeluaran lokhea yang tidak lancar disebut
lochia statis (Sulistyawati, 2009).
Perubahan pada serviks ialah bentuk serviks agak menganga seperti
corong segera setelah bayi lahir. Muara serviks yang berdilatasi sampai 10 cm
sewaktu persalinan akan menutup secara perlahan dan bertahap. Setelah bayi
lahir, tangan dapat masuk ke dalam rongga rahim. Setelah 2 jam, hanya dapat
dimasuki 2-3 jari. Pada minggu ke-6 post partum, serviks sudah menutup kembali
(Sulistyawati, 2009).

(2)Vulva dan Vagina


Dalam beberapa hari pertama kedua organ ini masih dalam keadaan
kendur. Setelah 3 minggu, vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil
dan rugae dalam vagina secara berangsur-angsur akan muncul kembali, sementara
labia menjadi lebih menonjol. Pada masa nifas, biasanya terdapat luka-luka jalan
lahir. Luka pada vagina umumnya tidak seberapa luas dan akan sembuh secara
perpriman (sembuh dengan sendirinya), kecuali apabila terdapat infeksi. Infeksi
ini mungkin menyebabkan sellulitis dan dapat menjalar sampai terjadi sepsis.

(3)Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya
teregang oleh tekanan bayi yang bergerak maju. Pada post natal hari ke-5,
perineum sudah mendapatkan kembali sebagian tonusnya, sekalipun lebih kendur
daripada keadaan sebelum hamil.
2) Perubahan Sistem Pencernaan
 Sering merasa haus.
 Nafsu makan bervariasi dari anoreksia sampai ‘rakus’
 Perut sering kembung dan buang angin (flatus)
 Ibu akan mengalami konstipasi setelah persalinan. Hal ini disebabkan
karena pada waktu persalinan, alat pencernaan mengalami tekanan yang
menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan berlebih pada
waktu persalinan, kurangnya asupan cairan dan makanan, serta kurangnya
aktivitas tubuh. Supaya buang air beasar kembali normal, dapat diatasi
dengan diet tinggi serat, peningkatan asupan cairan, dan ambulasi awal.
Bila ini tidak berhasil, dalam 2-3 hari dapat diberikan obat laksansia.

3) Perubahan Sistem Perkemihan


 Sering terjadi retensio urine yang merupakan akibat penurunan tonus
kandung kemih selama kehamilan dan edema urethra akibat persalinan.
Disuria dan kesulitan pasase urine menyebabkan retensio urine total atau
terjadi rentensio dengan inkontinensia. Kandung kemih penuh
mengganggu kontraksi uterus. Kemungkinan penyebab dari keadaan ini
adalah terdapat spasme sfinkter dan edema leher kandung kemih sesudah
bagian ini mengalami kompresi (tekanan) antara kepala janin dan tulang
pubis selama persalinan berlangsung. Urine dalam jumlah besar akan
dihasilkan 12-36 jam post partum.
 Kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan mengalami
penurunan yang mencolok. Keadaan tersebut disebut diuresis. Ureter yang
berdilatasi akan kembali normal dalam 6 minggu. Diuresis terjadi pada
hari kedua dan ketiga masa nifas. Pada penderita edema, diuresis terjadi
segera setelah persalinan.
 Inkontinesia (kebocoran urine) sering terjadi saat pasien tertawa atau
batuk. Inkontinensia dapat terjadi sejak saat kehamilan dan berlanjut
sampai masa nifas. Inkontinensia urine dapat menjadi semakin berat
namun biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar panggul.
 Fungsi kandung kemih dapat terganggu sementara pada pasien dengan
analgesia epidural. Dapat terjadi retensio urine total atau terjadi retensi
dengan ‘overflow’.

4) Perubahan Sistem Muskuloskeletal


Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah partus. Pembuluh-pembuluh
darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini
akan menghentikan perdarahan setelah plasenta dilahirkan. Ligamen-ligamen,
diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pda waktu persalinan, secara
berangsur-angsur menjadi ciut dan pulih kembali sehingga tak jarang uterus jatuh
ke belakang dan menjadi retrofleksi karena ligament rotundum menjadi kendor.
Stabilisasi secara sempurna terjadi 6-8 minggu setelah persalinan.

5) Perubahan Sistem Endokrin


Hormon plasenta menurun dengan cepat setelah persalinan. Prolaktin
darah akan meningkat dengan cepat. Pada wanita yang tidak menyusui, prolaktin
menurun dalam waktu 2 minggu. FSH dan LH akan meningkat pada fase
konsentrasi folikuler (minggu ke-3) dan LH tetap rendah hingga ovulasi terjadi.
Lamanya seorang wanita menstruasi dipengaruhi oleh faktor menyusui. Seringkali
menstruasi pertama bersifat anovulasi karena rendahnya kadar estrogen dan
progesteron.

6) Perubahan Tanda Vital


Dalam 1 hari post partum, suhu badan akan naik sedikit (37,5-38ºC)
sebagai akibat kerja keras sewaktu melahirkan, kehilangan cairan, dan kelelahan.
Apabila keadaan normal, suhu badan menjadi biasa. Pada hari ke-3, suhu badan
biasanya akan naik lagi karena pembentukan ASI. Bila suhu tidak turun,
kemungkinan adanya infeksi pada endometrium (mastitis, tractus genitalis, atau
sistem lain). Denyut nadi normal pada orang dewasa adalah 60-80 kali per menit.
Denyut nadi sehabis melahirkan biasanya akan lebih cepat.
Setiap denyut nadi yang melebihi 100 kali per menit adalah abnormal dan
hal ini menunjukkan adanya kemungkinan infeksi. Tekanan darah biasanya tidak
berubah. Kemungkinan tekanan darah akan lebih rendah setelah ibu melahirkan
karena ada perdarahan. Tekanan darah tinggi pada saat post partum dapat
menandakan terjadinya preeklampsi post partum. Keadaan pernapasan selalu
berhubungan dengan suhu dan denyut nadi. Bila suhu dan nadi tidak normal maka
pernapasan juga akan mengikutinya, kecuali bila ada gangguan khusus pada
saluran pencernaan.

7) Perubahan Sistem Kardiovaskuler


Setelah persalinan, shunt akan hilang tiba-tiba. Volume darah ibu akan
relatif bertambah. Keadaan ini akan menyebabkan beban pada jantung dan akan
menimbulkan decompensatio cordis pada pasien dengan vitum cardio. Keadaan
ini dapat diatasi dengan mekanisme kompensasi dengan tumbuhnya
haemokonsentrasi sehingga volume darah kembali seperti sediakala. Umumnya,
ini terjadi pada 3-5 hari post partum.

8) Perubahan Sistem Hematologi


Selama kelahiran dan post partum, terjadi kehilangan darah sekitar 200-
500 ml. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan
diasosiasikan dengan peningkatan Hmt dan Hb pada hari ke-3 sampai hari ke-7
post partum, yang akan kembali normal dalam 4-5 hari minggu post partum
(Sulistyawati, 2009).

2.1.4 Proses Adaptasi Psikologis Masa Nifas


1) Adaptasi Psikologis Ibu Masa Nifas
Setelah melahirkan, ibu mengalami perubahan fisik dan fisiologis yang
juga mengakibatkan adanya beberapa perubahan pada psikisnya. Reva Rubin
membagi periode ini menjadi 3 bagian, antara lain:
(1) Periode Taking In
Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Ibu baru pada umumnya pasif
dan tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan tubuhnya. Ia
mungkin akan mengulang-ulang menceritakan pengalamannya waktu melahirkan.
(2) Periode Taking Hold
Periode ini berlangsung pada hari ke 2-4 post partum. Ibu menjadi perhatian
pada kemampuannya menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan tanggug
jawab terhadap bayi. Ibu berkonsentrasi pada pengontrolan fungsi tubuhnya dan
berusaha keras untuk menguasai keterampilan perawatan bayi.
(3) Periode Letting Go
Periode ini biasanya terjadi setelah ibu pulang ke rumah. Periode ini pun
sangat berpengaruh terhadap waktu dan perhatian yang diberikan keluarga. Ibu
mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi dan ia harus beradaptasi
dengan segala kebutuhan bayi yang sangat bergantung padanya. Hal ini
menyebabkan berkurangnya hak ibu, kebebasan, dan hubungan sosial. Depresi
post partum umumnya terjadi pada periode ini

2) Post Partum Blues


Post partum blues biasanya dimulai pada beberapa hari setelah kelahiran
dan berakhir setelah 10-14 hari. Karakteristik post partum blues meliputi
menangis, merasa letih karena melahirkan, gelisah, perubahan alam perasaan,
menarik diri, serta reaksi negative terhadap bayi dan keluarga. Kunci untuk
mendukung wanita dalam periode ini adalah memberikan perhatian dan dukungan
yang baik baginya, serta meyakinkannya bahwa ia adalah orang yang berarti bagi
keluarga dan suami.
Faktor-faktor yang mempengaruhi suksesnya masa transisi ke masa
menjadi orang tua pada saat post partum, antara lain:
(1) Respon dan dukungan keluarga dan teman
(2) Hubungan pengalaman melahirkan terhadap harapan dan aspirasi
(3) Pengalaman melahirkan dan membesarkan anak yang lalu
(4) Pengaruh budaya

2.1.5 Kebutuhan Dasar Ibu Pada Masa Nifas


1) Kebutuhan Gizi Ibu Menyusui
Kualitas dan jumlah makanan yang dikonsumsi akan sangat
mempengaruhi produksi ASI. Ibu menyusui harus mendapatkan tambahan zat
makanan sebesar 800 kkal yang digunakan untuk memproduksi ASI dan untuk
aktivitas ibu sendiri. Selama menyusui, ibu dengan status gizi baik rata-rata
memproduksi ASI sekitar 800 cc yang mengandung sekitar 600 kkal, sedangkan
pada ibu dengan status gizi kurang biasanya memproduksi kurang dari itu.
Walaupun demikian, status gizi tidak berpengaruh besar terhadap mutu ASI,
kecuali volumenya. Beberapa anjuran yang berhubungan dengan pemenuhan gizi
ibu menyusui, antara lain:
(1) Mengkonsumsi tambahan kalori tiap hari sebanyak 500 kalori.
(2) Makan dengan diet berimbang, cukup protein, mineral, dan vitamin.
(3) Minum sedikitnya 3 liter setiap hari, terutama setelah menyusui.
(4) Mengkonsumsi tablet zat besi selama masa nifas.
(5) Minum kapsul vitamin A (200.000 unit) agar dapat memberikan vitamin A
kepada bayinya melalui ASI.

2) Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing
pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya untuk berjalan. Ambulasi
dini tidak dibenarkan pada pasien dengan penyakit anemia, jantung, paru-paru,
demam, dan keadaan lain yang masih membutuhkan istirahat. Adapun keuntungan
dari ambulasi dini, antara lain:
(1)Penderita merasa lebih sehat dan lebih kuat.
(2)Faal usus dan kandung kemih menjdai lebih baik.
(3)Memungkinkan bidan untuk memberkan bimbingan kepada ibu mengenai cara
merawat bayinya.
(4)Lebih ekonomis.

3) Eliminasi
Dalam 6 jam pertama post partum, pasien sudah harus dapat buang air
kecil. Semakin lama urine tertahan dalam kandung kemih maka dapat
mengakibatkan kesulitan pada organ perkemihan, misalnya infeksi. Dalam 24 jam
pertama, pasien juga sudah harus dapat buang air besar karena semakin lama feses
tertahan dalam usus maka akan semakin sulit baginya untuk buang air besar
secara lancar. Feses yang tertahan dalam usus semakin lama akan mengeras
karena cairan yang terkandung dalam feses akan selalu terserap oleh usus.

4) Kebersihan Diri
Beberapa langkah penting dalam perawatan kebersihan diri ibu post partum,
antara lain:
(1) Jaga kebersihan seluruh tubuh untuk mencegah infeksi dan alergi kulit pada
bayi. Kulit ibu yang kotor karena keringat atau debu dapat menyebabkan kulit
bayi mengalami alergi melalui sentuhan kulit ibu dengan bayi.
(2) Membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa ibu
mengerti untuk membersihkan vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang,
baru kemudian membersihkan daerah anus.
(3) Mengganti pembalut setiap kali darah sudah penuh atau minimal 2 kali sehari.
Kadang hal ini terlewat untuk disampaikan kepada pasien. Masih adanya luka
terbuka di dalam rahim dan vagina sebagai satu-satunya port de entre kuman
penyebab infeksi rahim maka ibu harus senantiasa menjaga suasana
keasaman dan kebersihan vagina dengan baik.
(4) Mencuci tangan dengan sabun dan air satiap kali ia selesai membersihkan
daerah kemaluannya.
(5) Jika mempunyai luka episiotomy, hindari untuk menyentuh daerah luka ini.
Ini yang kadang kurang diperhatikan oleh pasien dan tenaga kesehatan.

5) Istirahat
Ibu post partum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk
memulihkan kembali keadaan fisiknya. Kurang istirahat pada ibu post partum
akan mengakibatkan beberapa kerugian, misalnya:
(1) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.
(2) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan.
(3) Menyebabkan depresi dan ketidaknyamanan untuk merawat bayi dan dirinya
sendiri.
6) Seksual
Secara fisik, aman untuk melakukan hubungan seksual begitu darah merah
berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa
rasa nyeri. Banyak budaya dan agama yang melarang untuk melakukan hubungan
seksual sampai masa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu
setelah melahirkan. Keputusan bergantung pada pasangan yang bersangkutan.

7) Latihan/ Senam Nifas


Untuk mencapai hasil pemulihan otot yang maksimal, sebaiknya latihan
masa nifas dilakukan seawal mungkin dengan catatan ibu menjalani persalinan
normal dan tidak ada penyulit post partum (Sulistyawati, 2009).

2.1.6 Komplikasi Pada Masa Nifas


1) Perdarahan Pervaginam
Perdarahan pervaginam dapat disebabkan atonia uteri, robekan jalan lahir,
retensio plasenta, tertinggalnya sisa plasenta, dan inversion uteri.

2) Infeksi Masa Nifas


Infeksi yang terjadi dapat berupa infeksi pada vulva, vagina, dan serviks
(vulvitis, vaginitis, servitis), endometritis, septicemia dan pyemia, peritonitis,
salpingitis, dan ooforitis. Antibiotika memegang peranan penting dalam
pengobatan infeksi masa nifas. Pemilihan jenis obat berdasarkan hasil
pertimbangan yang akurat. Pertimbangan dapat dilakukan melalui pembiakan
getah vagina dan serviks sehingga kuman yang diketahui dapat dipastikan peka
terhadap antibiotic tertentu. Karena pembiakan ini memakan waktu, terkadang
sudah dilakukan pemberian antibiotic sebelum menunggu hasil. Dalam hal ini,
dapat diberikan Penicillin dalam dosis tinggi atau antibiotic dengan spectrum luas,
seperti tetrasiklin. Di samping pemberian antibiotika, pemberian roborantia untuk
meningkatkan daya tahan tubuh pasien perlu untuk diberikan.
3) Sakit Kepala, Nyeri Epigastrik, Pembengkakan di Wajah atau Ekstremitas dan
Penglihatan Kabur
Data subjektif menunjukkan ibu mengatakan kepalanya terasa sakit, nyeri
di daerah perut atas samping, penglihatan kabur, mual, bahkan sampai muntah.
Data objektif menunjukkan ekspresi wajah ibu kelihatan menahan sakit, mata
dikerjab-kerjabkan supaya pandangannya lebih jelas, tekanan darah meningkat
dari normal, kenaikan berat badan yang drastic sejak kehamilan, kaki oedem dua-
duanya, dan pemeriksaan laboratorium menunjukkan terdapat proteinuria.
Penanganan yang dilakukan adalah perbanyak istirahat, diet TKTP, pemantauan
melekat vital sign, rujuk ke RS
(1) Pre eklampsi ringan
Rawat Jalan: banyak Istirahat; Diet TKTP; Diet rendah garam, lemak, dan
karbohidrat; Konsumsi multivitamin sayuran dan buah; Pemberian sedative ringan
(Diazepam 3x2mg atau Luminal 3x30mg selama seminggu); Cek lab darah dan
urin; Kontrol tiap minggu.
Rawat Inap: dalam 2 minggu rawat jalan tidak menunjukkan perubahan,
BB bertambah, dan timbul salah satu pre eklampsi berat.
(2) Pre eklampsi berat
Penderita dirawat di ruang tenang; Diet cukup protein dan kurang garam;
Infus RL 125/jam (20 tetes per menit); MgSO4.

4) Demam, Muntah, Rasa Sakit Waktu Berkemih


Data subjektif menunjukkan ibu mengatakan suhu badan naik dan
menggigil, tidak enak badan, muntah setiap habis makan, sakit waktu dan terasa
panas, kalau kencing seperti anyang-anyangen, sakit mulai hari ke-5 setelah
melahirkan. Data objektif menunjukkan suhu badan meningkat, denyut nadi cepat,
sakit saat ditekan di bagian atas symphisis pubis dan daerah lipatan paha.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit meningkat dan terdapat
bakteri. Penangannya adalah dengan pemberian parasetamol 500mg sebanyak 3-4
kali sehari, antibiotic sesuai dnegan mikroorganisme yang ditemukan, minum
yang banyak, katerisasi bila perlu, makan makanan yang bergizi, jaga kebersihan
daerah genitalia.
5) Payudara Berubah Menjadi Merah, Panas, dan Sakit
(1)Pembendungan ASI
Penangannya dengan menyusukan ASI pada bayi. Apabila bayi belum
menyusu dengan bayi, ASI dapat dikeluarkan dengan pijatan. Pembendungan
dilakukan dengan jalan menyokong payudara dnegan BH dan memberikan
analgesik.
(2)Mastitis
Tanda-tanda yang muncul berupa rasa panas-dingin disertai kenaikan
suhu, penderita merasa lesu, tidak ada nafsu makan, payudara membesar, nyri,
kulit merah pada suatu tempat, membengkak sedikit, nyeri pada perabaan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan perawatan puting susu pada masa laktasi;
perawatan dengan cara membersihkan putting dengan minyak dan air hangat
sebelum dan sesudah menyusui untuk menghilangkan kerak dan susu yang sudah
mongering; bila ada kerak atau luka pada puting sebaiknya bayi jangan menyusu
pada bagian payudara yang sakut sampai luka sembuh. ASI dilakukan dengan
pemijatan. Pengobatan dapat dilakukan dengan menghentikan pemberian ASI dari
payudara yang sakit, pemberian antibiotic, dan bila ada abses, nanah perlu
dikeluarkan dengan sayatan sejajar agar tidak merusak duktus laktiferus.

6) Kehilangan Nafsu Makan untuk Jangka Waktu yang Lama


Penanganan dapat dilakukan dengan memberi dukungan mental pada ibu,
member KIE mengenai pentingnya asupan gizi yang baik untuk ibu dan bayinya,
kaji sejauh mana dukungan keluarga untuk mengatasi permasalahan ini, fasilitasi
dengan pemberian bimbingan dalam menyusun menu seimbang sesuai selera ibu.

7) Merasa Sedih atau Tidak Mampu untuk Merawat Bayi Sendiri


Penanganan dapat dilakukan dengan memberikan dukungan mental
kepada ibu dan keluarga, memberikan bimbingan cara perawatan bayi dan dirinya,
meyakinkan ibu bahwa ia pasti mampu melakukan perannya, mendengarkan
semua keluh ibu, memfasilitasi suami dan keluarga dalam memberikan dukungan
kepada ibu (Sulistyawati, 2009).
2.2 Konsep Dasar Seksio Sesarea
2.2.1 Definisi
Kelahiran janin melalui abdominal (laparotomi) yang memerlukan insisi
ke dalam uterus (Norwitz, 2008).

2.2.2 Indikasi
Sebagian besar indikasi bedah sesar bersifat relatif dan bergantung pada
penilaian penolong, Indikasi paling umum untuk bedah sesar primer (pertama)
adalah kegagalan proses persalinan. Disproporsi sefalopelvik absolute adalah
kondisi klinis ketika janin terlalu besar dibandingkan rongga tulang panggul
sehingga tidak dapat dilakukan persalinan per vaginam bahkan dalam kondisi
paling optimum sekalipun. CPD relative adalah ketika janin terlalu besar bagi
tulang panggul karena adanya kondisi malpresentasi (Norwitz, 2008).
Absolut Relatif
Ibu  Induksi persalinan gagal  Bedah sesar elektif
 Distosia persalinan berulang
 Disproporsi Sefalopelvik  PEB, Penyakit Jantung,
Diabetes, Kanker Serviks
Uteroplasenta  Sesar Klasik (bedah uterus  Riwayat bedah uterus
sebelumnya) sebelumnya (miomektomi
 Riwayat rupture uterus dengan ketebalan penuh)
 Obstruksi jalan lahir  Presentasi funik (tali
 Plasenta previa, abruption pusat) pada saat
plasenta berukuran besar persalinan
Janin  Gawat janin/hasil  Malpresentasi janin
pemeriksaan janin yang tidak (sungsang, presentasi alis,
meyakinkan presentasi gabungan)
 Prolaps tali pusat  Makrosomia
 Malpresentasi janin (post  Kelainan janin
melintang) (hidrosefalus)
(Norwitz, 2008).

2.2.3 Pertimbangan Teknis


Bedah sesar elektif dapat dilakukan setelah usia gestasi 39 minggu.
Analgesik regional lebih disukai daripada analgesia umum. Penggunaan antibiotik
profilaktik rutin akan mengurangi insidensi kesakitan yang berkaitan dengan
demam pascaoperasi. Insisi kulit dilakukan secara Pfannenstiel (insisi transversal
bawah yang bersifat memisahkan otot, kuat, tetapi bukaan terbatas), vertikal di
garis tengah (memberikan bukaan terbaik tetapi lemah), atau paramedian (insisi
vertikal di sebelah lateral otot rektus, jarang digunakan). Insisi Pfannensiel
kadang-kadang dimodifikasi untuk memperluas bukaan dengan cara membuka
otot rektus secara horizontal (insisi Maylard) atau pengangkatan rektus dari tulang
pubis (insisi Cherney). Pembedahan elektif (seperti miomektomi) tidak boleh
dilakukan pada saat sesar karena adanya resiko perdarahan. Jenis-jenis histerotomi
sebagai berikut:
a. Histerotomi Vertikal
Histerotomi vertikal tinggi (klasik) memiliki resiko kehilangan darah lebih
besar dan hanya dilakukan pada kondisi terpilih, yaitu dengan indikasi tidak ada
akses ke segmen bawah (perlengketan, massa panggul), segmen bawah kurang
berkembang (bayi lahir sangat preterm, sungsang preterm), letak melintang
dengan impaksi, plasenta previa, janin abnormal besar (hidrosefalus, teratoma
sakrokosigeal berukuran besar), histerotomi yang direncanakan (kanker)
(Norwitz, 2008).
b. Histerotomi Transversal
Histerotomi segmen uterus bagian bawah ini paling sering dilakukan dan
memiliki kehilangan darah lebih rendah (karena segmen uterus bawah tipis dan
kurang tervaskularisasi) (Norwitz, 2008).
c. Histerotomi Vertikal Segmen Bawah (Kronig)
Histerotomi ini menghindari risiko robekan ke pembuluh darah uterus.
Indikasi yang mungkin adalah kehamilan kembar, malpresentasi (terutama posisi
melintang), kelahiran bayi premature berukuran sangat kecil, histerotomi masa
nifas yang telah direncanakan/elektif (Norwitz, 2008).

2.2.4 Komplikasi
1) Perdarahan (kemungkinan membutuhkan transfusi darah)
2) Infeksi (faktor resiko untuk infeksi pascaoperasi termasuk diabetes, obesitas,
bedah sesar darurat, demam intrapartum, pemantauan janin internal, anemia,
riwayat pembedahan abdomen sebelumnya, hematoma, induksi persalinan,
status sosioekonomi rendah, ketuban pecah memanjang)
3) Cedera pada janin
4) Cedera pada organ di dekat uterus (usus, kandung kemih, ureter, pembuluh
darah)
5) Mungkin perlu pembedahan lebih lanjut (histerektomi, masa nifas, jahitan di
usus) (Norwitz, 2008).

2.2.5 Penatalaksanakan pra dan post pembedahan


1) Persiapan pra pembedahan
Menurut Manuaba, persiapan tindakan operasi perlu dilakukan dengan
pedoman “Psikosomatik” untuk mempersiapkan penderita menjalani tindakan
fisik operasi. Diantaranya adalah sebagai berikut :
(1)Informed Consent
Setelah penderita mendapatkan penjelasan tentang penyakitnya yang
memerlukan tindakan operasi diminta untuk mengisi “Surat persetujuan operasi”
untuk menghindari tuntutan hukum. Dengan demikian dokter yang melakukan
tindakan operasi terhindar dari tuntutan hukum, bila terjadi komplikasi yang berat
sampai kematian.
(2)Persiapan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi hal sebagai berikut :
- Anamnesa
- Pemeriksaan penunjang (Laboratorium, rontgen, USG)
- Konsultasi terhadap Laboratorium terkait (Interna, Kardiologi, dll) dan
Laboratorium Anastesia.
- Malam menjelang operasi (sedativ untuk ketenangan, membersihkan bagian
yang akan menjadi lapangan operasi, Lavement sehingga usus kosong).
- Saat operasi : pemasangan dower catheter, I.V.F. Drip, anestesia (General,
Lumbal, Lokal), tindakan operasi yang akan dilakukan dengan legeartis

2) Penanganan pasca bedah


Setelah menjalani operasi penyakit kandungan penderita dibawa ke kamar isolasi-
pengawasan intensif. Pengawasan yang perlu dilakukan adalah :
1. Kesadaran penderita
- Pulihnya kesadaran
- Kembalinya rasa nyeri dari pengaruh anestesia
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit
- Kontrol cairan masuk dan keluar melalui dower katheter
- Pemeriksaan paru-paru untuk menegakkan edema paru
- Tranfusi darah bila diperlukan
3. Pemeriksaan keadaan umum
- TD, nadi, temperatur
- Bising usus
- Ulang pemeriksaan Laboratorium
4. Mobilisasi penderita (mobilisasi dini sehingga fungsi organ segera dapat pulih)
5. Profilaksis :
- Antibiotika adekuat
- Obat-obatan penunjang yang dipandang perlu seperti alinamin.
6. Pengawasan Lokal
- Luka operasi = infeksi: dolor, kalor, fungsiolesa
- Pernanahan atau abses
- Buka jahitan hari ke-3 dan ke-7 serta dapat dipulangkan
7. Kontrol setelah 7 hari
- Untuk konsultasi dan melihat luka operasi
- Memberikan nasehat tentang hasil operasi dan permasalahan ikutan
Sebagai akibat anestesi, biasanya timbul rasa mual kadang sampai muntah.
Pasien tidak boleh minum sampai rasa enek hilang dan boleh minum sedikit-
sedikit untuk lambat laun ditingkatkan. Dalam 24-48 jam pascabedah hendaknya
diberi makanan cairan, jika sudah flatus dapat diberikan makanan lunak yang
bergizi untuk selanjutnya lambat laun menjadi makanan biasa. Peristaltik usus
biasanya kembali lagi pada hari ke-2 pascaoperasi dengan gejala mules dan
kadang-kadang sedikit kembung. Terapi : Analgetik, Antibiotik, Antiemetik,
Antihistamin, dan Vitamin C
2.2.6. Fase Penyembuhan Luka Operasi
Penyembuhan luka (pembedahan) adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan
yang berhubungan dengan regenerasi sel/jaringan.
a. Fase Inflamatori
- Fase ini terjadi segera setelah luka sampai 3-4 hari
- Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu, hemostasis dan pagositosis
b. Fase Proliferatif
- Berlangsung hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan
- Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) ke daerah luka mulai 24 jam
pertama
- Dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar menjadi proteoglikan kira-
kira 5 hari setelah luka
c. Fase Maturasi
- Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah
pembedahan
- Fibroblast terus mensintesis kolagen
- Kolagen menjalin dirinya menyatukan sistem struktur yang lebih kuat
- Bekas luka menjadi kecil
- Kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih

2.3 Konsep Dasar Partus Lama


2.3.1 Definisi
Persalinan lama disebut juga distosia, didefinisikan sebagai persalinan
abnormal/sulit (Prawiroharjo, 2009).

2.3.3 Patofisilogi
Faktor yang
mempengaruhi
persalinan

Power Passage Passenger

KELAINAN HIS: KELAINAN JALAN


KELAINAN JANIN:
LAHIR:
inersia uteri, his letak dan bentuk
terlampau kuat, bentuk, ukuran, CPD
incoordinate uterine
action

Persalinan Lama

Dampak bagi Ibu: Dampak bagi Janin:


- Infeksi Intrapartum - Infeksi
- Ruptura uteri - Kaput suksedenum
- Cincin retraksi patologis - Molase kepala janin
- Pembentukan fistula

Gambar 2.1 Patofisiologi Persalinan Lama (Prawirohardjo, 2009)

2.3.4 Tanda, Gejala, dan Diagnosis


Tanda dan Gejala Diagnosis
Serviks tidak membuka Belum inpartu
Tidak didapatkan his/his tidak teratur
Pembukaan serviks tidak melewati 4 Fase laten memanjang
cm sesudah 8 jam inpartu dengan his
yang teratur
Pembukaan serviks melewati kanan - Fase aktif memanjang
garis waspada partograf
- Frekuensi his kurang dari 3 his per - Inersia uteri
10 menit dan lamanya kurang dari
40 detik
- Pembukaan serviks dan turunnya - Disporposi sevalopelvik
bagian janin yang dipresenrasi tidak
maju, sedangkan his baik
- Pembukaan serviks dan turunnya - Obstruksi kepala
bagian janin yang dipresentasi tidak
maju dengan kaput, terdapat
moulase hebat, edema serviks, tanda
rupture uteri imminens, gawat janin
- Kelainan presentasi (selain verteks
dengan oksiput anterior)
Pembukaan serviks lengkap, ibu ingin Kala II lama
mengedan, tetapi tidak ada kemajuan
penurunan
(Prawirohardjo, 2008)

Kriteria diagnostik kelainan persalinan akibat persalinan lama atau persalinan


macet
Pola Persalinan Nulipara Multipara
Persalinan lama (protaction disorder)
Pembukaan <1,2 cm/jam <1,5 cm/jam
Penurunan <1,0 cm/jam <2,0 cm/jam
Persalinan macet (arrest disorder)
Tidak ada pembukaan > 2 jam > 2 jam
Tidak ada penurunan > 1 jam > 1 jam

Kelainan Pada Persalinan Lama


1) Kelainan Kala Satu
Friedman mengembangkan konsep tiga tahap fungsional pada persalinan untuk
menjelaskan tujuan-tujuan fisiologis persalinan (Cunningham, 2006) :

(1) Tahap persiapan (preparatory division), termasuk fase laten dan akselerasi.
Hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, tapi cukup banyak perubahan yang
terjadi di komponen jaringan ikat serviks.
(2) Tahap pembukaan (dilatational division)
Saat pembukaan berlangsung paling cepat, tidak dipengaruhi oleh sedasi atau
anestesia regional.
(3) Tahap panggul (pelvic division) yang berawal dari fase deselarasi pembukaan
serviks.
Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan
persalinan normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase
laten dan fase aktif. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi,
fase lereng (kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.
2) Fase Laten Memanjang
Friedman dan sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan
apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada ibu
multipara (Prawirohardjo, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase
laten antara lain adalah anestesia regional atau sedasi yang berlebihan,keadaan
serviks yang buruk (misal tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak
membuka), dan persalinan palsu. Istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif
dan amannya dalam memperbaiki fase laten yang berkepanjangan. Istirahat lebih
disarankan karena persalinan palsu sering tidak disadari (Prawirohardjo, 2008).
(1) Fase Aktif Memanjang
Friedman membagi masalah fase aktif menjadi :
a. Protaction (berkepanjangan/berlarut-larut), yaitu kecepatan pembukaan atau
penurunan yang lambat, untuk nulipara kecepatan pembukaan kurang dari 1,2
cm per jam atau kecepatan penurunan kurang dari 1 cm per jam. Untuk
multipara, protaksi didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan kurang dari 1,5
cm per jam atau penurunan kurang dari 2 cm per jam (Prawirohardjo, 2008).
b. Arrest (macet, tak maju), didefinisikan sebagai tidak adanya pembukaan
serviks dalam 2 jam (arrest of dilatation) dan tidak ada penurunan janin dalam
1 jam (arrest of descent) (Prawirohardjo, 2008). Secondary arrest adalah
kelainan pada persalinan lama yang terjadi pada kala satu yang disebabkan
oleh fase aktif yang memanjang sehingga tidak adanya pembukaan serviks
dalam 2 jam (arrest of dilatation)dan tidak ada penurunan janin dalam 1 jam
(arrest of descent) (Prawirohardjo, 2008).
3) Kelainan Kala Dua
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan
keluarnya janin.Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20 menit
untuk multipara (Prawirohardjo, 2008).
(1)Kala Dua Memanjang
Keluarnya janin mulai dari pembukaan lengkap lebih dari 2 jam dan
diperpanjang 3 jam apabila digunakan analgesia regional, dan pada multipara
lebih dari 1 jam dari pembukaan lengkap dan diperpanjang 2 jam pada
penggunaan analgesia regional (Prawirohardjo, 2008).
(2) Penyebab kurang adekuatnya gaya ekspulsif
Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat terganggu
secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina.
Sedasi berat atau anestesia regional (epidural lumbal, kaudal atau intratekal)
kemungkinan besar mengurangi dorongan refleks untuk mengejan, dan pada
saat yang sama mungkin mengurangi kemampuan pasien mengontraksikan
otot-otot abdomen.

2.3.5 Penanganan
1) Penanganan umum
- Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk tanda vital
dan tingkat hidrasinya)
- Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada dalam persalinan, nilai
frekuensi dan lamanya his
- Perbaiki keadaan umum dengan dukungan emosi, perubahan posisi, periksa
keton dalam urin, berikan cairan (oral dan parenteral), upayakan buang air
kecil, berikan analgesia (tramadol atau petidin 25 mg IM (maksimum 1mg/kg)
atau morfin 10 mg IM, jika pasien merasakan nyeri yang sangat)

2) Penanganan khusus
(1)Persalinan palsu/belum in partu (false labour)
Periksa apakah ada infeksi saluran kemih atau ketuban pecah. Jika
didapatkan adanya infeksi, obati secara adekuat. Jika tidak ada pasien boleh rawat
jalan.
(2) Fase laten memanjang (Prolong Latent Phase)
Diagnosis fase laten memanjang dibuat secara retrospektif. Jika his
berhenti, pasien disebut belum inpartu atau persalinan palsu. Jika his makin
teratur dan pembukaan makin bertambah lebih dari 4 cm, pasien masuk dalam
fase aktif. Jika fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-tanda kemajuan,
lakukan penilaian ulang terhadap serviks. Jika tidak ada perubahan pada
pendataran atau pembukaan serviks dan tidak ada gawat janin, mungkin pasien
belum inpartu. Jika ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan serviks,
lakukan amniotomi dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.
Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam. Jika pasien tidak masuk fase aktif setelah
dilakukan pemberian oksitosin selama 8 jam, lakukan seksio sesarea.
Jika didapatkan tanda-tanda infeksi (demam, cairan vagina berbau),
lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin. BErikan antibiotika kombinasi
sampai persalinan, ampisilin 2 g IV selama 6 jam ditambah gentamisin 5mg/kg
BB IV setiap 24 jam, jika terjadi persalinan pervaginam stop antibiotika
pascapersalinan, jika dilakukan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika ditambah
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam sampai ibu bebas demam selama 48 jam.
(3) Fase aktif memanjang (Prolong Active Phase)
Jika tidak ada tanda-tanda disproporsi sefalopelvik atau obstruksi dan
ketuban masih utuh, pecahkan ketuban. Nilai his: jika his tidak adekuat (kurang
dari 3 his dalam 10 menit dan lamanya kurang dari 40 detik) pertimbangkan ada
inersia uteri. Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40
detik), pertimbangkan adanya disproporsi, obstruksi, malposisi atau
malpresentasi. Lakukan penangan umum yang akan memperbaiki his dan
mempercepat kemajuan persalinan.

Disproporsi sefalopelvik
Disproporsi sefalopelvik terjadi karena janin terlalu besar atau panggul ibu
kecil, sehingga persalinan macet. Penilaian ukuran panggul yang baik adalah
dengan melakukan partus percobaan (trial of labor). Kegunaan pelvimetri klinis
terbatas. Jika diagnosis diproporsi, lakukan seksio sesarea. Jika bayi mati, lakukan
kraniotomi, bila tidak memungkinkan kraniotomi, lakukan seksio sesarea.
Obstruksi (partus macet)
Jika bayi hidup dan pembukaan serviks sudah lengkap dan penurunan
kepala 1/5, lakukan ekstraksi vakum. Jika bayi hidup dengan pembukaan serviks
belum lengkap atau kepala bayi masih terlalu tinggi untuk ekstraksi vakum,
lakukan seksio sesarea. Jika bayi mati, lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi.
His tidak adekuat (inersia uteri)
Jika his tidak adekuat sedangkan disproporso dan obstruksi dapat
disingkirkan, kemungkinan penyebab persalinan lama adalah inersia uteri.
Pecahkan ketuban dan lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin. Evaluasi
kemajuan persalinan dengan pemeriksaan vaginal 2 jam setelah his adekuat, jika
tidak ada kemajuan, lakukan seksio sesarea. Jika ada kemajuan, lanjutkan infuse
oksitosin dan evaluasi setiap 2 jam.
(4) Kala II memanjang
Upaya mengedan ibu menambah risiko pada bayi karena mengurangi
jumlah oksigen ke plasenta. Dianjurkan mengedan secara spontan (mengedan dan
menahan nafas terlalu lama, tidak dianjurkan). Jika malpresentasi dan tanda-tanda
obstruksi bisa disingkirkan, berikan infuse oksitosin. Jika tidak ada kemajuan
penurunan kepala: Jika kepala tidak lebih dari 1/5 di atas simfisis pubis, atau
bagian tulang kepala di stasion (0), lakukan ekstraksi vakum atau cunam. Jika
kepala di antara 1/5-3/5 di atas simfisis pubis, atau bagian tulang kepala di atas
stasion (0)-(-2), lakukan ekstraksi vakum. Jika kepala lebih dari 3/5 di atas
simfisis pubis, atau bagian tulang kepala di atas stasion (-2), lakukan seksio
sesarea (Prawirohardjo, 2002).

2.3.6 Komplikasi Persalinan Lama


1) Bagi Ibu
(1)Infeksi Intrapartum
Infeksi adalah bahaya yang serius yang mengancam ibu dan janinnya pada
partus lama terutama bila disertai pecahnya ketuban. Bakteri di dalam cairan
amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta pembuluh korion
sehingga terjadi bakteremia dan sepsis pada ibu dan janin. Pneumonia pada janin,
akibat aspirasi cairan amnion yang terinfeksi, adalah konsekuensi serius lainnya.
Pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri vagina ke
dalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan, terutama apabila
dicurigai persalinan lama.
(2)Ruptura Uteri
Penipisan abnormal segmen bawah uterus menimbulkan bahaya serius
selama partus lama, terutama pada ibu dengan paritas tinggi dan pada mereka
dengan riwayat seksio sesarea. Apabila disproporsi antara kepala janin dan
panggul sedemikian besar sehingga kepala tidak cakap (engaged) dan tidak terjadi
penurunan, segmen bawah uterus menjadi sangat teregang kemudian
menyebabkan rupture. Pada kasus ini mungkin terbentun cincin retraksi patologis
yang dapat diraba sebagai sebuah krista transversal atau oblik yang berjalan
melintang di uterus antara simfisis dan umbilikus. Apabila dijumpai keadaan ini,
diindikasikan persalinan perabdominan segera.
(3)Cincin Retraksi Patologis
Walaupun sangat jarang, dapat timbul konstriksi atau cincin lokal uterus
pada persalinan berkepanjangan. Tipe yang paling sering adalah cincin retraksi
patologis bandle, yaitu pembentukan cincin retraksi normal yang berlebihan.
Cincin ini sering timbul akibat persalinan yang terhambat, disertai peregangan dan
penipisan berlebihan segmen bawah uterus.
(4)Pembentukan Fistula
Apabila bagian bawah janin menekan kuat ke pintu atas panggul, tetapi
tidak maju untuk jangka waktu yang cukup lama, bagian jalan lahir yang terletak
di antaranya dan dinding panggul dapat mengalami tekanan yang berlebihan.
Karena gangguan sirkulasi, dapat terjadi nekrosis yang akan jelas dalam beberapa
hari setelah melahirkan dengan munculnya fistula vesikovaginal, atau
rektovaginal. Umumnya nekrosis akibat penekanan ini pada persalinan kala dua
yang berkepanjangan (Prawiroharjo, 2009).

2) Bagi Janin
(1) Kaput suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput
suksedaneum yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat
berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Kaput
dapat hampir mencapai panggul sementara kepala sendiri belum cakap.
(2) Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besarm suatu proses yang
disebut molase (molding moulage). Biasanya batas median tulang parietal yang
berkontak dalam promontorium bertumpang tindih dengan tulang di sebelahnya,
hal yang sama terjadi pada tulang-tulang yang frontal. Namun, tulang oksipital
terdorong ke bawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa
menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak apabila distorsi yang terjadi
mencolokm molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh
darah janin, dan perdarahan intracranial pada janin (Prawiroharjo, 2009).
2.4 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan dengan Post SC atas indikasi secondary
arrest
Pengkajian
Tanggal, waktu, oleh mahasiswa : sebagai pertanggung jawaban isi.

A. DATA SUBYEKTIF
1) Biodata
- Nama klien dan suami
jelas dan lengkap untuk membedakan diagnosa pasien lain
- Usia klien dan suami
Untuk menentukan resiko tinggi terhadap proses nifas dan penerimaan
keadaan
- Suku/bangsa
Untuk mengetahui rhesus dan social budaya serta tradisi yang mungkin
menghambat proses nifas
- Agama.
Sangat berpengaruh dalam kehidupan, termasuk kesehatan, dengan
mengetahui agama pasien, dapat memudahkan bidan untuk memberikan
asuhan
- Pendidikan.
Menurut Depkes RI 1995.14 untuk mengetahui tingkat pendidikan dan
pengetahuan ibu atau taraf kemampuan berfikir ibu. Sehingga bidan bisa
menyampaikan penyuluhan KIE kepada pasien dengan lebih mudah
- Pekerjaan
Menurut Christina 1993:85 yang dinyatakan pekerjaan suami dan ibu
sendiri untuk mengetahui bagaimana taraf hidup dan sosial ekonomi
penderita agar nasihat yang diberikan sesuai
- Alamat
Menurut Christina 1993:34 ,untuk mengetahui ibu tinggal dimana dan
diperlukan bila mengadakan kunjungan rumah (home care)
2) Keluhan Utama
Keluhan utama ibu post SC antara lain nyeri luka bekas jahitan SC, mules,
gangguan mobilisasi, belum BAB, ASI belum keluar
3) Riwayat Obstetri Lalu
Riwayat obstetri yang lalu terdiri dari riwayat kehamilan, persalinan, nifas,
dan bayi yang telah dilahirkan.
4) Riwayat Persalinan Sekarang
- Jenis persalinan : SC
- Lama tindakan
- Penyulit : secondary arrest
- BBL : lahir jam, panjang, berat, A-S, penyulit
- Perdarahan yang dikeluarkan
5) Riwayat Kesehatan
Klien dengan hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, hepatitis, DM, TB
bisa mempengaruhi ibu pada masa nifas.
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang memiliki penyakit hipertensi, DM, TB, penyakit ginjal,
penyakit jantung) dapat menurun ataupun menular (pada penyakit menular)
pada klien.
7) Pola Fungsional Kesehatan
Terdiri dari pola nutrisi, pola eliminasi, pola istirahat, dan pola aktivitas klien
8) Riwayat Sosial Budaya
- Pernikahan
Status pernikahan: menikah berapa kali dan lama menikah
- Kondisi psikis ibu saat nifas ini (penerimaan terhadap kelahiran ini,
bounding attachment, cara memegang bayi, cara menetek, kebiasaan yang
menguntungkan/merugikan)

B. DATA OBYEKTIF
1) Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum:
- Tekanan darah : Normal 110/70 – 130/90 mmHg
- Nadi : Normal 60 – 100 kali per menit
- Suhu : Normal 36,5 – 37,5 oC
- RR : Normalnya 16-24 kali per menit
2) Pemeriksaan Fisik
- Muka: tidak pucat, tidak oedema
- Mata: konjungtiva merah muda (tidak anemia), sklera putih (tidak
icterus)
- Mulut: tidak ada caries gigi (berhubungan dengan asupan kalsium)
- Leher : tidak ada bendungan vena jugularis, tidak ada pembesaran
kelenjar limfe, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid (berhubungan
dengan panyakit tiroid)
- Payudara : kebersihan, puting susu menonjol, kolostrum sudah keluar,
tidak ada nyeri tekan
- Abdomen/uterus : ada bekas luka SC, konsistensi uterus keras
(berhubungan dengan perdarahan), kontraksi baik, kandung kemih teraba
tidak penuh
TFU :
Setelah plasenta lahir uterus menjadi kecil dan TFU teraba kira-kira 1 jari
dibawah pusat atau sepusat.
Hari ke 1-2 : TFU 2 jari dibawah pusat
Hari ke 3 : TFU 2-3 jari dibawah pusat
Hari ke 4-5 : TFU pertengahan pusat-symphisis
Hari ke 7 : TFU 2-3 jari diatas symphisis
Hari ke 9 : TFU 1 jari diatas symphisis
Hari ke 10-12: TFU tak teraba dari luar
- Genetalia :
a. Vulva dan vagina : kebersihan, lochia, tidak ada varises, tidak
oedema, tidak ada kondiloma lata, tidak ada kondiloma acuminata,
tidak ada infeksi kelenjar bartholini, tidak ada infeksi kelenjar skene.
Pengeluaran pervaginam/pengeluaran lochea :
Hari ke 1-2 : lochea rubra, warna merah
Hari ke 3-7 : lochea sanguinolenta, warna merah kekuningan
Hari ke 7-14 : lochea serosa, warna kuning
> 14 hari : lochea alba, warna putih
Jumlah : 400- 1200 ml (keseluruhan)
Bau : lochea normal memiliki bau apek
b. Perineum : tidak terdapat luka episiotomi
c. Anus : tidak ada hemorroid
- Ekstremitas atas/bawah : tidak oedema dan tidak ada varises (bawah)
Refleks patella : positif
3) Pemeriksaan Penunjang
- USG : untuk membantu menegakkan diagnosis dan penyebab secondary
arrest, apakah benar adanya cephalo disporpotional dan low high sehingga
rencana pertolongan persalinan dapat ditetapkan.
- Laboratorium
Hb : normalnya 11 g/dL

C. Identifikasi Diagnosa dan Masalah


Diagnosa Aktual:
P (aterm, premature, abortus, hidup) Post SC hari ke … / …. Jam a.i secondary
arrest
Masalah yang sering muncul pada ibu post SC:
Nyeri luka bekas jahitan SC, mules, gangguan mobilisasi, belum BAB, ASI belum
keluar
Kebutuhan :
Kebutuhan perawatan luka bekas jahitan SC, mobilisasi dini, perawatan payudara
Diagnosa Masalah Potensial :
Gangguan BAB (konstipasi), bendungan ASI
Identifikasi Kebutuhan Tindakan Segera
Mencakup tentang tindakan segera untuk menangani diagnosa/masalah potensial
yang dapat berupa kolaborasi

D. Penatalaksanaan
1. Informasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan kepada ibu
dan keluarga.
R: dengan mengetahui kondisi dan tindakan selanjutnya secara jelas, ibu dan
keluarga dapat secara aktif ikut serta dalam pemulihan setelah masa
persalinan menuju masa nifas
2. HE kepada ibu tentang perawatan luka SC
R : Mengurangi gangguan rasa nyeri, menghindarkan infeksi, dan memberi
kenyamanan pada ibu.
3. HE kepada ibu tentang perawatan payudara.
R: ASI dapat keluar lancar dan menghindari terjadinya bendungan ASI
4. HE kepada ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
R: dengan mengerti manfaat, tujuan serta cara yang benar dapat menstimulasi
ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif.
5. HE kepada ibu tentang personal hygiene, mobilisasi bertahap, asupan nutrisi
tinggi kalori tinggi protein, imunisasi, dan KB
R: meningkatkan pengetahuan ibu berguna untuk meningkatkan kemauan dan
secara sadar melakukan HE yang diberikan
6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan terapi obat.
R: Menjaga kondisi ibu tetap stabil.
7. jadwal kunjungan selanjutnya
R: Memantau kondisi ibu dan bayi.
BAB 3
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU POST SC
P1001 HARI KE-0 ATAS INDIKASI SECONDARY ARREST
DI RUANG CENDRAWASIH RSU DR. SOETOMO SURABAYA

PENGKAJIAN
TanggaL : 9 Desember 2012 Register : 12. 20. xx. xx
Oleh : Maria S. A. Gusti Pukul : 13.00 WIB

3.1 DATA SUBYEKTIF


3.1.1 Biodata
Nama : Ny. “R” Nama Suami : Tn. “M”
Umur : 24 tahun Umur : 25 tahun
Agama : Islam Agama : Islam
Suku / bangsa : Madura/Indonesia Suku / bangsa : Madura/Indonesia
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani jagung Pekerjaan :Petani Jagung
Alamat : Bangkalan - Madura

3.1.2 KeluhanUtama
Nyeri luka jahitan operasi, sulit bergerak karena nyeri luka operasi. Ibu belum
flatus.

3.1.3 Riwayat Obstetri


Kehamilan Persalinan Bayi/Anak Nifas
Anak Hidup Ket
Suami UK Pnylt Penol. Jenis Tmpt Pnylt Seks BB Pnylt ASI
ke Mati
Sec.
Hid
arrest 3150
up
1 1 9 bl - dr SC RS ai ♂ g NIFAS INI
usia
malpres
1 hr
entasi

3.1.4 Riwayat Persalinan


Ibu datang ke VK IRD tanggal 8 Desember 2012, kiriman dari PKM Tanah kali
kedinding dengan kehamilan postdate dan oksitosin drip gagal. Ibu melahirkan
dengan SC tanggal 8 Desember 2012 jam 20.30 WIB, bayi AS 3-5, perdarahan
300cc. Ibu pindah ke ruang Cenderawasih dari ROI tanggal 9 Desember 2012
jam 12.00 dengan diberi terpasang infuse RL sisa + 300cc, terpasang dower
catheter.

3.1.5 Riwayat Kesehatan Ibu


Ibu tidak mempunyai penyakit hipertensi, jantung, ginjal, hepatitis, TB, dan DM.
Ibu mempunyai sakit astma

3.1.6 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga ibu tidak ada yang mempunyai penyakit menurun dan menular seperti
hipertensi, jantung, ginjal, hepatitis, DM, dan TB.

3.1.7 Data Fungsional Kesehatan


Data Selama MRS
Nutrisi Minum sedikit-sedikit
Eliminasi Belum BAB
Personal Hygiene Pembalut ibu sudah diganti sebelum pindah
ruangan
Aktivitas Ibu sudah bisa duduk

3.1.8 Riwayat Sosial Budaya


1) Pernikahan
Status pernikahan: menikah 1x, lama menikah 2 tahun
2) Keadaan Psikososial
Ibu dan suami merencanakan kehamilan ini dan merasa sangat senang
dengan kelahiran bayi ini
3) Tradisi dan Budaya
Ibu merupakan keluarga Madura yang memegang teguh budaya termasuk
dalam hal nifas, terbukti dengan pengakuan ibu tentang adanya budaya tarak
atau pantang saat nifas, kemudian jamu nifas, dan tidak boleh bergerak
bebas saat setelah operasi.
3.1.9 Riwayat KB
Ibu tidak pernah menggunakan KB tetapi berencana menggunakan KB hormonal
(suntik 3 bulan).
3.2 DATA OBYEKTIF
3.2.1 Pemeriksaan Umum
1) Kesadaran : compos mentis
2) Tanda-Tanda Vital
 Tekanan darah : 100/70 mmHg
 Nadi : 78 kali/menit
 Suhu : 368˚C
 RR : 20 kali/menit
3.2.2 Pemeriksaan Fisik
1) Muka : konjungtiva tidak pucat, sclera putih, tidak edema
2) Mulut : tidak ada caries gigi, bibir kering
3) Leher : tidak ada bendungan vena jugularis, tidak ada pembesaran
kelenjar limfe dan thyroid.
4) Thorax : gerakan dada normal, tidak ada whezing
5) Payudara : bersih, pembesaran simetris, puting susu menonjol, pengeluaran
colostrum (+), tidak teraba bendungan ASI pada payudara kanan dan kiri,
tidak ada nyeri tekan
6) Abdomen/uterus: ada bekas luka SC tertutup kassa steril, TFU 1 jari bawah
pusat, konsistensi uterus keras, kontraksi uterus baik, kandung kemih teraba
kosong
7) Genetalia :
 vulva/vagina: bersih, lochea rubra ½ pembalut, tidak ada fluxux aktif
 luka perineum: tidak ada luka bekas jahitan perineum
 terpasang dower catheter dengan tertampung urine + 200cc
8) Anus : tidak ada hemorroid
9) Ekstremitas atas/bawah :
 Ekstrimitas atas : terpasang infuse RL sisa + 300cc di tangan kiri
Tidak oedem
 Ekstrimitas bawah: tidak oedem
 Varises : bawah tidak ada varises
3.2.3 PemeriksaanPenunjang
Laboratorium :
9 Desember 2012 Jam 10.05 Post Op
Hasil Nilai Normal
WBC 13,5 x 103/uL 4,5-10,5 x 103/uL
Ly 7,3 % 20,5-51,1%
Mo 7,4 % 1,7-9,3%
Gr 85,3 % 52,2-75,2%
Ly# 1,1 x 103/uL 1,2-3,4 x 103/uL
Mo# 1,1 x 103/uL 0,1-0,6 x 103/uL
Gr# 11,5 x 103/uL 1,4-6,5 x 103/uL
Rbc 4,07 x 106/uL 4-6 x 106/uL
HgB 10,1 g/dL 11,0-18,0 g/dL
Hct 29,3 % 35,0-60,0%
MCV 71,9 fL 80,0-99,9 fL
MCH 24,8 pg 27,0-31,0 pg
MCHC 34,4 g/dL 33,0-37,0 g/dL
RDN 15,6 % 11,6-13,7%
PLT 316,0 x 103/uL 150-450 x 103/uL
MPV 7,7fL 7,8-11fL

3.3 ANALISA
Diagnosa :P1001 Post SC hari ke-0 a.i secondary arrest ec malpresentasi
letak puncak
3.4 PENATALAKSANAAN
Tanggal/Jam: 9 Oktober 2012 13
NO. PUKUL PENATALAKSANAAN PARAF
1 13.30 Menginformasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang
akan diberikan kepada ibu, ibu mengerti
2 14.00 Menyeka dan membersihkan vulva hygine kepada ibu
3 15.00 Melakukan observasi TTV, tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 82 kali/menit, suhu 36˚C
4 15.30 Visite dokter PPDS ObsGyn
Advice:
 MSS
 Mobilisasi bertahap
 Inj alinamin F 3x1 amp
 Inj vit C 3x1 amp
 Inj Ketorolac 3x1 amp
 Bila flatus (+) aff Dower cath, infuse. Terapi ganti
as.mef 3x500mg dan roborantia 1x1
 Obs kel/ vs/ mx
5 16.00 Inj alinamin F 1 amp, Inj vit C 1 amp, Inj Ketorolac 1
amp, reaksi (-)
6 16.45 Ibu flatus
Melakukan aff dower catheter dan infuse
7 17.00 Memantau diit TKTP lunak, habis satu porsi
8 17.30 Memberikan HE untuk mobilisasi, ibu mengerti dan mau
ke kamar mandi untuk BAK
9 19.00 Melakukan observasi TTV, tekanan darah 110/80 mmHg,
nadi 88 kali/menit, suhu 365˚C

CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 10 Desember 2012 Pukul 08.00
S : Tidak ada keluhan
O : Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 92 kali/menit, Suhu 36,8ºC,
Kolostrum keluar kanan dan kiri, terdapat balutan luka operasi pada abdomen,
bersih, tidak ada rembesan, kontraksi uterus baik, TFU 2 jari bawah pusat, tidak
ada fluxus aktif. Ibu sudah BAB.
A : P2002 Post SC hari ke-1
P :
NO. PUKUL PENATALAKSANAAN PARAF
1 08.00 Menjelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan dan
asuhan yang akan diberikan kepada ibu, ibu
mengerti
2 09.00 Menjelaskan kepada ibu pentingnya memenuhi
kebutuhan nutrisi dengan menu yang seimbang
(karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) serta
minum air putih yang cukup, ibu mengerti dan dapat
menjelaskan kembali penjelasan bidan.
3 12.00 Menfasilitasi ibu rawat gabung dengan bayi
4 12.30 Menjelaskan kepada ibu tentang pentingnya ASI
eksklusif, ibu mengerti dan dapat menjelaskan
kembali penjelasan bidan
5 13.00 Mengajarkan ibu cara menyusui bayi
E/Ibu mengerti dan dapat menyusui bayinya
6 13.30 Memantau ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
(makan dan minum), 1 porsi habis.
7 14.00 Memberikan terapi per oral asam mefenamat 500mg dan
Roborantia 1 tab

Tanggal 11 Desember 2012 jam 08.00


S : tidak ada keluhan
O : Tekanan darah 110/80 mmHg, suhu 36ºC, nadi 80 kali/menit, Kolostrum
keluar kanan dan kiri, terdapat balutan luka operasi pada abdomen, bersih, tidak
ada rembesan, kontraksi uterus baik, TFU 2 jari bawah pusat, tidak ada fluxus
aktif. BAK dan BAB lancar
A : P2002 Post SC hari ke-2
P :
NO. PUKUL PENATALAKSANAAN PARAF
1 08.00 Menjelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan dan
asuhan yang akan diberikan kepada ibu, ibu
mengerti
2 08.30 Memberikan HE tentang pemenuhan kebutuhan nutrisi
tanpa pantangan, ibu mengerti dan akan berusaha
melakukannya dirumah .
3 09.00 Ibu ikut penyuluhan KB oleh mahasiswa PSIK
4 12.30 Memberikan HE tentang cara menyimpan ASI yang
baik dan benar dan cara merawat bayi sehari-hari,
ibu mengerti
Menjawab pertanyaan ibu tentang cara mengatasi
bendungan ASI , ibu mengerti
5 13.00 Memantau ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
(makan dan minum), 1 porsi habis.
7 14.00 Memberikan terapi per oral asam mefenamat 500mg dan
Roborantia 1 tab

Tanggal 12 Desember 2012 jam 08.00


S : tidak ada keluhan
O : Tekanan darah 120/70 mmHg, suhu 36ºC, nadi 98 kali/menit, Kolostrum
keluar kanan dan kiri, terdapat balutan luka operasi pada abdomen, bersih, tidak
ada rembesan, kontraksi uterus baik, TFU 3 jari bawah pusat, tidak ada fluxus
aktif.
A : P2002 Post SC hari ke-3
P :
1. Menjelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan ibu
E/ Ibu mengerti hasil pemeriksaan ibu
2. Melakukan kolaborasi dengan dokter Obgyn dalam pemberian terapi per oral,
asam mefenamat 500mg dan roborantia 1 tablet, pemberian diet tinggi kalori
tinggi protein, dan perawatan luka operasi (jika hasil rawat luka baik, ibu
boleh pulang)
E/Tidak ada reaksi alergi setelah ibu mendapat terapi per oral. Hasil rawat
luka: luka operasi baik, tidak ada rembesan, tidak ada pus, tidak ada darah,
luka tertutup suprasoft.
3. Membolehkan ibu pulang hari ini dan memberitahukan jadwal kunjungan
nifas selanjutnya
E/Ibu datang kontrol sesuai tanggal yang telah dijadwalkan yaitu 18
Desember 2012.
BAB 4
PEMBAHASAN

Dari pengkajian data subjektif didapatkan Ny. R tidak memiliki keluhan,


mendapat nutrisi dengan menu yang seimbang, ibu sudah BAK dan BAK, ibu
dapat beristirahat, ibu sudah dapat berjalan, dan mengganti pembalut bila dirasa
penuh. Hal ini sesuai dengan keadaan ibu nifas fisiologis. Sulistyawati (2009)
menjelaskan kebutuhan ibu nifas yang harus dipenuhi adalah nutrisi dengan
peningkatan kalori dan diet berimbang yang diperlukan untuk pemulihan ibu
setelah melahirkan dan produksi ASI, sudah BAK maksimal 6 jam pertama
setelah melahirkan, sudah BAB pada 24 jam pertama setelah melahirkan, istirahat
yang diperlukan untuk pemulihan kondisi setelah melahirkan, mobilisasi bertahap
untuk memperlancar peredarahan darah, dan kebersihan untuk mencegah adanya
infeksi.
Dari pengkajian data objektif didapatkan Ny.R dengan payudara bersih,
pembesaran simetris, puting susu menonjol, terdapat pengeluaran colostrum, tidak teraba
bendungan ASI pada payudara kanan dan kiri, tidak ada nyeri tekan. Abdomen/uterus ibu
terdapat bekas luka SC tertutup kassa steril, TFU 1 jari bawah pusat, konsistensi uterus
keras, kontraksi uterus baik, kandung kemih teraba kosong. Vulva/vagina ibu bersih,
lochea rubra ½ pembalut, tidak ada fluxux aktif dan Hb ibu 10,1 g/dL. Hal ini
menunjukkan keadaan ibu nifas fisiologis. Sulistyawati (2009) menjelaskan
setelah plasenta lahir, TFU setinggi 2 jari bawah pusat; hari ke 1-2, TFU 2 jari
dibawah pusat; hari ke-3, TFU 2-3 jari dibawah pusat. Pengeluaran lochea pada
hari ke 1-4 adalah lochea rubra, warna merah.
Dari hasil pengkajian data subjektif dan objektif didapatkan diagnosa P1001
Post SC hari ke 0. Asuhan kebidanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan
kenyamanan ibu yaitu pemberian HE tentang personal hygiene, tanda bahaya nifas, dan
nutrisi. Pada asuhan ini juga dilakukan kolaborasi dengan dokter obgyn dalam pemberian
terapi.
BAB V
PENUTUP

5.1. Simpulan
Perawatan ibu post SC sedikit berbeda dengan ibu post partum Spt B.
Pada ibu post SC terdapat pemberian cairan per infus dan pemasangan doer
katether, pemasangan tersebut biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulai dengan pemberian minum dan makan per oral. Pada post SC
hari ke-3 dilakukan rawat luka.

5.2. Saran
1 Sebagai tenaga medis profesional diharapkan mampu memberikan
asuhan kebidanan secara tepat dan sesuai kebutuhan
2 Sebagai tenaga medis profesional diharapkan mampu berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain pada saat memberikan pelayanan kepada
pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Norwitz E dan Schorge J. 2006. At Glance Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:


Penerbit EGC.

Prawirohardjo S. 2009. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta: Yayasan Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Prawirohardjo S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Prawirohardjo S. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Sulistyawati, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.

Varney, H., Kriebs, J. M., Gegor, C. L. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai