LP Post SC Secondary Arrest
LP Post SC Secondary Arrest
OLEH:
MARIA S. A. GUSTI
NIM. 010810088
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mahasiswa dapat melaksanakan asuhan kebidanan ibu post SC atas
indikasi secondary arrest
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan konsep dasar masa nifas, konsep dasar seksio sesarea, konsep
dasar partus lama, dan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu post SC atas
indikasi secondary arrest.
2. Melakukan pengumpulan data subyektif dan data obyektif
3. Menganalisa data dan menentukan diagnosa
4. Menyusun rencana asuhan kebidanan.
5. Melakukan rencana asuhan kebidanan tersebut.
6. Mengevaluasi rencana asuhan kebidanan yang telah dilakukan.
(3)Perineum
Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya
teregang oleh tekanan bayi yang bergerak maju. Pada post natal hari ke-5,
perineum sudah mendapatkan kembali sebagian tonusnya, sekalipun lebih kendur
daripada keadaan sebelum hamil.
2) Perubahan Sistem Pencernaan
Sering merasa haus.
Nafsu makan bervariasi dari anoreksia sampai ‘rakus’
Perut sering kembung dan buang angin (flatus)
Ibu akan mengalami konstipasi setelah persalinan. Hal ini disebabkan
karena pada waktu persalinan, alat pencernaan mengalami tekanan yang
menyebabkan kolon menjadi kosong, pengeluaran cairan berlebih pada
waktu persalinan, kurangnya asupan cairan dan makanan, serta kurangnya
aktivitas tubuh. Supaya buang air beasar kembali normal, dapat diatasi
dengan diet tinggi serat, peningkatan asupan cairan, dan ambulasi awal.
Bila ini tidak berhasil, dalam 2-3 hari dapat diberikan obat laksansia.
2) Mobilisasi Dini
Mobilisasi dini adalah kebijaksanaan untuk selekas mungkin membimbing
pasien keluar dari tempat tidurnya dan membimbingnya untuk berjalan. Ambulasi
dini tidak dibenarkan pada pasien dengan penyakit anemia, jantung, paru-paru,
demam, dan keadaan lain yang masih membutuhkan istirahat. Adapun keuntungan
dari ambulasi dini, antara lain:
(1)Penderita merasa lebih sehat dan lebih kuat.
(2)Faal usus dan kandung kemih menjdai lebih baik.
(3)Memungkinkan bidan untuk memberkan bimbingan kepada ibu mengenai cara
merawat bayinya.
(4)Lebih ekonomis.
3) Eliminasi
Dalam 6 jam pertama post partum, pasien sudah harus dapat buang air
kecil. Semakin lama urine tertahan dalam kandung kemih maka dapat
mengakibatkan kesulitan pada organ perkemihan, misalnya infeksi. Dalam 24 jam
pertama, pasien juga sudah harus dapat buang air besar karena semakin lama feses
tertahan dalam usus maka akan semakin sulit baginya untuk buang air besar
secara lancar. Feses yang tertahan dalam usus semakin lama akan mengeras
karena cairan yang terkandung dalam feses akan selalu terserap oleh usus.
4) Kebersihan Diri
Beberapa langkah penting dalam perawatan kebersihan diri ibu post partum,
antara lain:
(1) Jaga kebersihan seluruh tubuh untuk mencegah infeksi dan alergi kulit pada
bayi. Kulit ibu yang kotor karena keringat atau debu dapat menyebabkan kulit
bayi mengalami alergi melalui sentuhan kulit ibu dengan bayi.
(2) Membersihkan daerah kelamin dengan sabun dan air. Pastikan bahwa ibu
mengerti untuk membersihkan vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang,
baru kemudian membersihkan daerah anus.
(3) Mengganti pembalut setiap kali darah sudah penuh atau minimal 2 kali sehari.
Kadang hal ini terlewat untuk disampaikan kepada pasien. Masih adanya luka
terbuka di dalam rahim dan vagina sebagai satu-satunya port de entre kuman
penyebab infeksi rahim maka ibu harus senantiasa menjaga suasana
keasaman dan kebersihan vagina dengan baik.
(4) Mencuci tangan dengan sabun dan air satiap kali ia selesai membersihkan
daerah kemaluannya.
(5) Jika mempunyai luka episiotomy, hindari untuk menyentuh daerah luka ini.
Ini yang kadang kurang diperhatikan oleh pasien dan tenaga kesehatan.
5) Istirahat
Ibu post partum sangat membutuhkan istirahat yang berkualitas untuk
memulihkan kembali keadaan fisiknya. Kurang istirahat pada ibu post partum
akan mengakibatkan beberapa kerugian, misalnya:
(1) Mengurangi jumlah ASI yang diproduksi.
(2) Memperlambat proses involusi uterus dan memperbanyak perdarahan.
(3) Menyebabkan depresi dan ketidaknyamanan untuk merawat bayi dan dirinya
sendiri.
6) Seksual
Secara fisik, aman untuk melakukan hubungan seksual begitu darah merah
berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya ke dalam vagina tanpa
rasa nyeri. Banyak budaya dan agama yang melarang untuk melakukan hubungan
seksual sampai masa waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari atau 6 minggu
setelah melahirkan. Keputusan bergantung pada pasangan yang bersangkutan.
2.2.2 Indikasi
Sebagian besar indikasi bedah sesar bersifat relatif dan bergantung pada
penilaian penolong, Indikasi paling umum untuk bedah sesar primer (pertama)
adalah kegagalan proses persalinan. Disproporsi sefalopelvik absolute adalah
kondisi klinis ketika janin terlalu besar dibandingkan rongga tulang panggul
sehingga tidak dapat dilakukan persalinan per vaginam bahkan dalam kondisi
paling optimum sekalipun. CPD relative adalah ketika janin terlalu besar bagi
tulang panggul karena adanya kondisi malpresentasi (Norwitz, 2008).
Absolut Relatif
Ibu Induksi persalinan gagal Bedah sesar elektif
Distosia persalinan berulang
Disproporsi Sefalopelvik PEB, Penyakit Jantung,
Diabetes, Kanker Serviks
Uteroplasenta Sesar Klasik (bedah uterus Riwayat bedah uterus
sebelumnya) sebelumnya (miomektomi
Riwayat rupture uterus dengan ketebalan penuh)
Obstruksi jalan lahir Presentasi funik (tali
Plasenta previa, abruption pusat) pada saat
plasenta berukuran besar persalinan
Janin Gawat janin/hasil Malpresentasi janin
pemeriksaan janin yang tidak (sungsang, presentasi alis,
meyakinkan presentasi gabungan)
Prolaps tali pusat Makrosomia
Malpresentasi janin (post Kelainan janin
melintang) (hidrosefalus)
(Norwitz, 2008).
2.2.4 Komplikasi
1) Perdarahan (kemungkinan membutuhkan transfusi darah)
2) Infeksi (faktor resiko untuk infeksi pascaoperasi termasuk diabetes, obesitas,
bedah sesar darurat, demam intrapartum, pemantauan janin internal, anemia,
riwayat pembedahan abdomen sebelumnya, hematoma, induksi persalinan,
status sosioekonomi rendah, ketuban pecah memanjang)
3) Cedera pada janin
4) Cedera pada organ di dekat uterus (usus, kandung kemih, ureter, pembuluh
darah)
5) Mungkin perlu pembedahan lebih lanjut (histerektomi, masa nifas, jahitan di
usus) (Norwitz, 2008).
2.3.3 Patofisilogi
Faktor yang
mempengaruhi
persalinan
Persalinan Lama
(1) Tahap persiapan (preparatory division), termasuk fase laten dan akselerasi.
Hanya terjadi sedikit pembukaan serviks, tapi cukup banyak perubahan yang
terjadi di komponen jaringan ikat serviks.
(2) Tahap pembukaan (dilatational division)
Saat pembukaan berlangsung paling cepat, tidak dipengaruhi oleh sedasi atau
anestesia regional.
(3) Tahap panggul (pelvic division) yang berawal dari fase deselarasi pembukaan
serviks.
Pola pembukaan serviks selama tahap persiapan dan pembukaan
persalinan normal adalah kurva sigmoid. Dua fase pembukaan serviks adalah fase
laten dan fase aktif. Friedman membagi lagi fase aktif menjadi fase akselerasi,
fase lereng (kecuraman) maksimum, dan fase deselerasi.
2) Fase Laten Memanjang
Friedman dan sachtleben mendefinisikan fase laten berkepanjangan
apabila lama fase ini lebih dari 20 jam pada nulipara dan 14 jam pada ibu
multipara (Prawirohardjo, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi durasi fase
laten antara lain adalah anestesia regional atau sedasi yang berlebihan,keadaan
serviks yang buruk (misal tebal, tidak mengalami pendataran atau tidak
membuka), dan persalinan palsu. Istirahat atau stimulasi oksitosin sama efektif
dan amannya dalam memperbaiki fase laten yang berkepanjangan. Istirahat lebih
disarankan karena persalinan palsu sering tidak disadari (Prawirohardjo, 2008).
(1) Fase Aktif Memanjang
Friedman membagi masalah fase aktif menjadi :
a. Protaction (berkepanjangan/berlarut-larut), yaitu kecepatan pembukaan atau
penurunan yang lambat, untuk nulipara kecepatan pembukaan kurang dari 1,2
cm per jam atau kecepatan penurunan kurang dari 1 cm per jam. Untuk
multipara, protaksi didefinisikan sebagai kecepatan pembukaan kurang dari 1,5
cm per jam atau penurunan kurang dari 2 cm per jam (Prawirohardjo, 2008).
b. Arrest (macet, tak maju), didefinisikan sebagai tidak adanya pembukaan
serviks dalam 2 jam (arrest of dilatation) dan tidak ada penurunan janin dalam
1 jam (arrest of descent) (Prawirohardjo, 2008). Secondary arrest adalah
kelainan pada persalinan lama yang terjadi pada kala satu yang disebabkan
oleh fase aktif yang memanjang sehingga tidak adanya pembukaan serviks
dalam 2 jam (arrest of dilatation)dan tidak ada penurunan janin dalam 1 jam
(arrest of descent) (Prawirohardjo, 2008).
3) Kelainan Kala Dua
Tahap ini berawal saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir dengan
keluarnya janin.Median durasinya adalah 50 menit untuk nulipara dan 20 menit
untuk multipara (Prawirohardjo, 2008).
(1)Kala Dua Memanjang
Keluarnya janin mulai dari pembukaan lengkap lebih dari 2 jam dan
diperpanjang 3 jam apabila digunakan analgesia regional, dan pada multipara
lebih dari 1 jam dari pembukaan lengkap dan diperpanjang 2 jam pada
penggunaan analgesia regional (Prawirohardjo, 2008).
(2) Penyebab kurang adekuatnya gaya ekspulsif
Kekuatan gaya yang dihasilkan oleh kontraksi otot abdomen dapat terganggu
secara bermakna sehingga bayi tidak dapat lahir secara spontan melalui vagina.
Sedasi berat atau anestesia regional (epidural lumbal, kaudal atau intratekal)
kemungkinan besar mengurangi dorongan refleks untuk mengejan, dan pada
saat yang sama mungkin mengurangi kemampuan pasien mengontraksikan
otot-otot abdomen.
2.3.5 Penanganan
1) Penanganan umum
- Nilai dengan segera keadaan umum ibu hamil dan janin (termasuk tanda vital
dan tingkat hidrasinya)
- Kaji kembali partograf, tentukan apakah pasien berada dalam persalinan, nilai
frekuensi dan lamanya his
- Perbaiki keadaan umum dengan dukungan emosi, perubahan posisi, periksa
keton dalam urin, berikan cairan (oral dan parenteral), upayakan buang air
kecil, berikan analgesia (tramadol atau petidin 25 mg IM (maksimum 1mg/kg)
atau morfin 10 mg IM, jika pasien merasakan nyeri yang sangat)
2) Penanganan khusus
(1)Persalinan palsu/belum in partu (false labour)
Periksa apakah ada infeksi saluran kemih atau ketuban pecah. Jika
didapatkan adanya infeksi, obati secara adekuat. Jika tidak ada pasien boleh rawat
jalan.
(2) Fase laten memanjang (Prolong Latent Phase)
Diagnosis fase laten memanjang dibuat secara retrospektif. Jika his
berhenti, pasien disebut belum inpartu atau persalinan palsu. Jika his makin
teratur dan pembukaan makin bertambah lebih dari 4 cm, pasien masuk dalam
fase aktif. Jika fase laten lebih dari 8 jam dan tidak ada tanda-tanda kemajuan,
lakukan penilaian ulang terhadap serviks. Jika tidak ada perubahan pada
pendataran atau pembukaan serviks dan tidak ada gawat janin, mungkin pasien
belum inpartu. Jika ada kemajuan dalam pendataran dan pembukaan serviks,
lakukan amniotomi dan induksi persalinan dengan oksitosin atau prostaglandin.
Lakukan penilaian ulang setiap 4 jam. Jika pasien tidak masuk fase aktif setelah
dilakukan pemberian oksitosin selama 8 jam, lakukan seksio sesarea.
Jika didapatkan tanda-tanda infeksi (demam, cairan vagina berbau),
lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin. BErikan antibiotika kombinasi
sampai persalinan, ampisilin 2 g IV selama 6 jam ditambah gentamisin 5mg/kg
BB IV setiap 24 jam, jika terjadi persalinan pervaginam stop antibiotika
pascapersalinan, jika dilakukan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika ditambah
metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam sampai ibu bebas demam selama 48 jam.
(3) Fase aktif memanjang (Prolong Active Phase)
Jika tidak ada tanda-tanda disproporsi sefalopelvik atau obstruksi dan
ketuban masih utuh, pecahkan ketuban. Nilai his: jika his tidak adekuat (kurang
dari 3 his dalam 10 menit dan lamanya kurang dari 40 detik) pertimbangkan ada
inersia uteri. Jika his adekuat (3 kali dalam 10 menit dan lamanya lebih dari 40
detik), pertimbangkan adanya disproporsi, obstruksi, malposisi atau
malpresentasi. Lakukan penangan umum yang akan memperbaiki his dan
mempercepat kemajuan persalinan.
Disproporsi sefalopelvik
Disproporsi sefalopelvik terjadi karena janin terlalu besar atau panggul ibu
kecil, sehingga persalinan macet. Penilaian ukuran panggul yang baik adalah
dengan melakukan partus percobaan (trial of labor). Kegunaan pelvimetri klinis
terbatas. Jika diagnosis diproporsi, lakukan seksio sesarea. Jika bayi mati, lakukan
kraniotomi, bila tidak memungkinkan kraniotomi, lakukan seksio sesarea.
Obstruksi (partus macet)
Jika bayi hidup dan pembukaan serviks sudah lengkap dan penurunan
kepala 1/5, lakukan ekstraksi vakum. Jika bayi hidup dengan pembukaan serviks
belum lengkap atau kepala bayi masih terlalu tinggi untuk ekstraksi vakum,
lakukan seksio sesarea. Jika bayi mati, lahirkan dengan kraniotomi/embriotomi.
His tidak adekuat (inersia uteri)
Jika his tidak adekuat sedangkan disproporso dan obstruksi dapat
disingkirkan, kemungkinan penyebab persalinan lama adalah inersia uteri.
Pecahkan ketuban dan lakukan akselerasi persalinan dengan oksitosin. Evaluasi
kemajuan persalinan dengan pemeriksaan vaginal 2 jam setelah his adekuat, jika
tidak ada kemajuan, lakukan seksio sesarea. Jika ada kemajuan, lanjutkan infuse
oksitosin dan evaluasi setiap 2 jam.
(4) Kala II memanjang
Upaya mengedan ibu menambah risiko pada bayi karena mengurangi
jumlah oksigen ke plasenta. Dianjurkan mengedan secara spontan (mengedan dan
menahan nafas terlalu lama, tidak dianjurkan). Jika malpresentasi dan tanda-tanda
obstruksi bisa disingkirkan, berikan infuse oksitosin. Jika tidak ada kemajuan
penurunan kepala: Jika kepala tidak lebih dari 1/5 di atas simfisis pubis, atau
bagian tulang kepala di stasion (0), lakukan ekstraksi vakum atau cunam. Jika
kepala di antara 1/5-3/5 di atas simfisis pubis, atau bagian tulang kepala di atas
stasion (0)-(-2), lakukan ekstraksi vakum. Jika kepala lebih dari 3/5 di atas
simfisis pubis, atau bagian tulang kepala di atas stasion (-2), lakukan seksio
sesarea (Prawirohardjo, 2002).
2) Bagi Janin
(1) Kaput suksedaneum
Apabila panggul sempit, sewaktu persalinan sering terjadi kaput
suksedaneum yang besar di bagian terbawah kepala janin. Kaput ini dapat
berukuran cukup besar dan menyebabkan kesalahan diagnostik yang serius. Kaput
dapat hampir mencapai panggul sementara kepala sendiri belum cakap.
(2) Molase kepala janin
Akibat tekanan his yang kuat, lempeng-lempeng tulang tengkorak saling
bertumpang tindih satu sama lain di sutura-sutura besarm suatu proses yang
disebut molase (molding moulage). Biasanya batas median tulang parietal yang
berkontak dalam promontorium bertumpang tindih dengan tulang di sebelahnya,
hal yang sama terjadi pada tulang-tulang yang frontal. Namun, tulang oksipital
terdorong ke bawah tulang parietal. Perubahan-perubahan ini sering terjadi tanpa
menimbulkan kerugian yang nyata. Di lain pihak apabila distorsi yang terjadi
mencolokm molase dapat menyebabkan robekan tentorium, laserasi pembuluh
darah janin, dan perdarahan intracranial pada janin (Prawiroharjo, 2009).
2.4 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan dengan Post SC atas indikasi secondary
arrest
Pengkajian
Tanggal, waktu, oleh mahasiswa : sebagai pertanggung jawaban isi.
A. DATA SUBYEKTIF
1) Biodata
- Nama klien dan suami
jelas dan lengkap untuk membedakan diagnosa pasien lain
- Usia klien dan suami
Untuk menentukan resiko tinggi terhadap proses nifas dan penerimaan
keadaan
- Suku/bangsa
Untuk mengetahui rhesus dan social budaya serta tradisi yang mungkin
menghambat proses nifas
- Agama.
Sangat berpengaruh dalam kehidupan, termasuk kesehatan, dengan
mengetahui agama pasien, dapat memudahkan bidan untuk memberikan
asuhan
- Pendidikan.
Menurut Depkes RI 1995.14 untuk mengetahui tingkat pendidikan dan
pengetahuan ibu atau taraf kemampuan berfikir ibu. Sehingga bidan bisa
menyampaikan penyuluhan KIE kepada pasien dengan lebih mudah
- Pekerjaan
Menurut Christina 1993:85 yang dinyatakan pekerjaan suami dan ibu
sendiri untuk mengetahui bagaimana taraf hidup dan sosial ekonomi
penderita agar nasihat yang diberikan sesuai
- Alamat
Menurut Christina 1993:34 ,untuk mengetahui ibu tinggal dimana dan
diperlukan bila mengadakan kunjungan rumah (home care)
2) Keluhan Utama
Keluhan utama ibu post SC antara lain nyeri luka bekas jahitan SC, mules,
gangguan mobilisasi, belum BAB, ASI belum keluar
3) Riwayat Obstetri Lalu
Riwayat obstetri yang lalu terdiri dari riwayat kehamilan, persalinan, nifas,
dan bayi yang telah dilahirkan.
4) Riwayat Persalinan Sekarang
- Jenis persalinan : SC
- Lama tindakan
- Penyulit : secondary arrest
- BBL : lahir jam, panjang, berat, A-S, penyulit
- Perdarahan yang dikeluarkan
5) Riwayat Kesehatan
Klien dengan hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, hepatitis, DM, TB
bisa mempengaruhi ibu pada masa nifas.
6) Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga yang memiliki penyakit hipertensi, DM, TB, penyakit ginjal,
penyakit jantung) dapat menurun ataupun menular (pada penyakit menular)
pada klien.
7) Pola Fungsional Kesehatan
Terdiri dari pola nutrisi, pola eliminasi, pola istirahat, dan pola aktivitas klien
8) Riwayat Sosial Budaya
- Pernikahan
Status pernikahan: menikah berapa kali dan lama menikah
- Kondisi psikis ibu saat nifas ini (penerimaan terhadap kelahiran ini,
bounding attachment, cara memegang bayi, cara menetek, kebiasaan yang
menguntungkan/merugikan)
B. DATA OBYEKTIF
1) Pemeriksaan Umum
- Keadaan umum:
- Tekanan darah : Normal 110/70 – 130/90 mmHg
- Nadi : Normal 60 – 100 kali per menit
- Suhu : Normal 36,5 – 37,5 oC
- RR : Normalnya 16-24 kali per menit
2) Pemeriksaan Fisik
- Muka: tidak pucat, tidak oedema
- Mata: konjungtiva merah muda (tidak anemia), sklera putih (tidak
icterus)
- Mulut: tidak ada caries gigi (berhubungan dengan asupan kalsium)
- Leher : tidak ada bendungan vena jugularis, tidak ada pembesaran
kelenjar limfe, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid (berhubungan
dengan panyakit tiroid)
- Payudara : kebersihan, puting susu menonjol, kolostrum sudah keluar,
tidak ada nyeri tekan
- Abdomen/uterus : ada bekas luka SC, konsistensi uterus keras
(berhubungan dengan perdarahan), kontraksi baik, kandung kemih teraba
tidak penuh
TFU :
Setelah plasenta lahir uterus menjadi kecil dan TFU teraba kira-kira 1 jari
dibawah pusat atau sepusat.
Hari ke 1-2 : TFU 2 jari dibawah pusat
Hari ke 3 : TFU 2-3 jari dibawah pusat
Hari ke 4-5 : TFU pertengahan pusat-symphisis
Hari ke 7 : TFU 2-3 jari diatas symphisis
Hari ke 9 : TFU 1 jari diatas symphisis
Hari ke 10-12: TFU tak teraba dari luar
- Genetalia :
a. Vulva dan vagina : kebersihan, lochia, tidak ada varises, tidak
oedema, tidak ada kondiloma lata, tidak ada kondiloma acuminata,
tidak ada infeksi kelenjar bartholini, tidak ada infeksi kelenjar skene.
Pengeluaran pervaginam/pengeluaran lochea :
Hari ke 1-2 : lochea rubra, warna merah
Hari ke 3-7 : lochea sanguinolenta, warna merah kekuningan
Hari ke 7-14 : lochea serosa, warna kuning
> 14 hari : lochea alba, warna putih
Jumlah : 400- 1200 ml (keseluruhan)
Bau : lochea normal memiliki bau apek
b. Perineum : tidak terdapat luka episiotomi
c. Anus : tidak ada hemorroid
- Ekstremitas atas/bawah : tidak oedema dan tidak ada varises (bawah)
Refleks patella : positif
3) Pemeriksaan Penunjang
- USG : untuk membantu menegakkan diagnosis dan penyebab secondary
arrest, apakah benar adanya cephalo disporpotional dan low high sehingga
rencana pertolongan persalinan dapat ditetapkan.
- Laboratorium
Hb : normalnya 11 g/dL
D. Penatalaksanaan
1. Informasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan kepada ibu
dan keluarga.
R: dengan mengetahui kondisi dan tindakan selanjutnya secara jelas, ibu dan
keluarga dapat secara aktif ikut serta dalam pemulihan setelah masa
persalinan menuju masa nifas
2. HE kepada ibu tentang perawatan luka SC
R : Mengurangi gangguan rasa nyeri, menghindarkan infeksi, dan memberi
kenyamanan pada ibu.
3. HE kepada ibu tentang perawatan payudara.
R: ASI dapat keluar lancar dan menghindari terjadinya bendungan ASI
4. HE kepada ibu untuk memberikan ASI eksklusif.
R: dengan mengerti manfaat, tujuan serta cara yang benar dapat menstimulasi
ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif.
5. HE kepada ibu tentang personal hygiene, mobilisasi bertahap, asupan nutrisi
tinggi kalori tinggi protein, imunisasi, dan KB
R: meningkatkan pengetahuan ibu berguna untuk meningkatkan kemauan dan
secara sadar melakukan HE yang diberikan
6. Kolaborasi dengan dokter untuk memberikan terapi obat.
R: Menjaga kondisi ibu tetap stabil.
7. jadwal kunjungan selanjutnya
R: Memantau kondisi ibu dan bayi.
BAB 3
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU POST SC
P1001 HARI KE-0 ATAS INDIKASI SECONDARY ARREST
DI RUANG CENDRAWASIH RSU DR. SOETOMO SURABAYA
PENGKAJIAN
TanggaL : 9 Desember 2012 Register : 12. 20. xx. xx
Oleh : Maria S. A. Gusti Pukul : 13.00 WIB
3.1.2 KeluhanUtama
Nyeri luka jahitan operasi, sulit bergerak karena nyeri luka operasi. Ibu belum
flatus.
3.3 ANALISA
Diagnosa :P1001 Post SC hari ke-0 a.i secondary arrest ec malpresentasi
letak puncak
3.4 PENATALAKSANAAN
Tanggal/Jam: 9 Oktober 2012 13
NO. PUKUL PENATALAKSANAAN PARAF
1 13.30 Menginformasikan hasil pemeriksaan dan asuhan yang
akan diberikan kepada ibu, ibu mengerti
2 14.00 Menyeka dan membersihkan vulva hygine kepada ibu
3 15.00 Melakukan observasi TTV, tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 82 kali/menit, suhu 36˚C
4 15.30 Visite dokter PPDS ObsGyn
Advice:
MSS
Mobilisasi bertahap
Inj alinamin F 3x1 amp
Inj vit C 3x1 amp
Inj Ketorolac 3x1 amp
Bila flatus (+) aff Dower cath, infuse. Terapi ganti
as.mef 3x500mg dan roborantia 1x1
Obs kel/ vs/ mx
5 16.00 Inj alinamin F 1 amp, Inj vit C 1 amp, Inj Ketorolac 1
amp, reaksi (-)
6 16.45 Ibu flatus
Melakukan aff dower catheter dan infuse
7 17.00 Memantau diit TKTP lunak, habis satu porsi
8 17.30 Memberikan HE untuk mobilisasi, ibu mengerti dan mau
ke kamar mandi untuk BAK
9 19.00 Melakukan observasi TTV, tekanan darah 110/80 mmHg,
nadi 88 kali/menit, suhu 365˚C
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 10 Desember 2012 Pukul 08.00
S : Tidak ada keluhan
O : Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 92 kali/menit, Suhu 36,8ºC,
Kolostrum keluar kanan dan kiri, terdapat balutan luka operasi pada abdomen,
bersih, tidak ada rembesan, kontraksi uterus baik, TFU 2 jari bawah pusat, tidak
ada fluxus aktif. Ibu sudah BAB.
A : P2002 Post SC hari ke-1
P :
NO. PUKUL PENATALAKSANAAN PARAF
1 08.00 Menjelaskan kepada ibu hasil pemeriksaan dan
asuhan yang akan diberikan kepada ibu, ibu
mengerti
2 09.00 Menjelaskan kepada ibu pentingnya memenuhi
kebutuhan nutrisi dengan menu yang seimbang
(karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) serta
minum air putih yang cukup, ibu mengerti dan dapat
menjelaskan kembali penjelasan bidan.
3 12.00 Menfasilitasi ibu rawat gabung dengan bayi
4 12.30 Menjelaskan kepada ibu tentang pentingnya ASI
eksklusif, ibu mengerti dan dapat menjelaskan
kembali penjelasan bidan
5 13.00 Mengajarkan ibu cara menyusui bayi
E/Ibu mengerti dan dapat menyusui bayinya
6 13.30 Memantau ibu dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
(makan dan minum), 1 porsi habis.
7 14.00 Memberikan terapi per oral asam mefenamat 500mg dan
Roborantia 1 tab
5.1. Simpulan
Perawatan ibu post SC sedikit berbeda dengan ibu post partum Spt B.
Pada ibu post SC terdapat pemberian cairan per infus dan pemasangan doer
katether, pemasangan tersebut biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulai dengan pemberian minum dan makan per oral. Pada post SC
hari ke-3 dilakukan rawat luka.
5.2. Saran
1 Sebagai tenaga medis profesional diharapkan mampu memberikan
asuhan kebidanan secara tepat dan sesuai kebutuhan
2 Sebagai tenaga medis profesional diharapkan mampu berkolaborasi
dengan tenaga kesehatan lain pada saat memberikan pelayanan kepada
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Sulistyawati, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
Varney, H., Kriebs, J. M., Gegor, C. L. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.