Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan dakwah sangat bergantung pada kedekatan juru dengan umatnya. Juru
dakwah yang lahir dari suatu lingkungan tentu akan memahami denga sempurna lorong-
lorong kesesatan dan liku-liku kebodohan yang membungkus kaumnya. Ia mengenali jiwa
mereka dan pintu-pintu yang harus dilaluinya. Hal ini dapat membuka jiwa mereka umtuk
menerima ajaran-ajaran dakwah dan mengambil petunjuknya. Komunikasi diantara kedua
belah pihak dengan satu bahasa merupakan lambang bagi kesamaan komunitas sosial
dalam segala bentuknya. Dalam hal ini Allah berfirman “Dan Kami tidak mengutus
seorang Rasul-pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan
kepada mereka..” (Ibrahim: 4).
Qur’an mulia diturunkan kepada Rasul berbangsa Arab dengan bahasa Arab yang
jelas. Fenomena ini merupakan tuntutan sosial bagi keberhasilan risalah Islam. Dan sejak
saat itu bahasa Arab menjadi satu bagian dari eksistensi Islam dan asas komunikasi
penyampaian dakwahnya. Misi Rasul kita adalah kepada umat manusia seluruhnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tarjamah?
2. Bagaimana hukum tarjamah harfiyah?
3. Apa yang dimaksud dengan tarjamah maknawiyah?
4. Bagaimana hukum tarjamah maknawiyah?
5. Apa yang dimaksud dengan tarjamah Tafsiriyah?
6. Bagaimana Membaca Qur’an Dalam Sholat Dengan Selain Bahasa Arab?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tarjamah
Secara harfiah terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari
satu bahasa ke bahasa kain, atau singkatnya mengalih bahasakan. Sedangkan terjemahan,
berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain.
Kata "terjemah” dapat dipergunakan pada dua arti :
1. Terjemah Harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz – lafadz dari satu bahasa ke
dalam lafadz – lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga sususan
dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
2. Terjemah Tafsiriyah atau Terjemah Maknawiyah , yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata – kata bahasa asal atau
memperhatikan susunan kalimatnya.
Mereka yang mengetahui pengetahuan tentang bahasa – bahasa tentu mengetahui
bahwa terjemah harfiyah dengan pengertian sebagaimana diatas tidak mungkin dicapai
dengan baik jika konteks bahasa asli dan cakupan semua maknanya tetap dipertahankan.
Sebab karakteristik setiap bahasa berbeda satu dengan yang lainya dalam hal tertib bagian
– bagian kalimatnya. Sebagai contoh jumlah fi’liyah (kalimat verbal) dalam bahsa Arab
dimulai dengan “fi’il” (kata kerja yang berfungsi sebagai predikat), kemudian “fail”
(subyek), baik dalam kalimat tanya (istifham) maupun lainya.
Selain itu bahasa Arab dicelah – celahnya mengandung rahasia – rahasia bahasa yang
tidak mungkin digantikan oleh ungkapan lain dalam bahasa non Arab. Sebab, lafadz –
lafadz dalam terjemahan itu tidak akan sama maknanya dalam segala aspeknya, terlebih
lagi dalam susunanya.
Kekakuan terjemahan harfiah dan keluwesan terjemah tafsiriah akan semakin terasa
manakala digunakan untuk menerjemahkan al quran. Sebagai ilustrasi perhatikan ayat
berikut;
‫سو ررا‬
‫ح س‬
‫م ح‬ ‫م سلو ر‬
‫ما م‬ ‫ط فم ت م ح‬
‫ق عس د م م‬ ‫ل ا ل حب م ح‬
‫س ط‬ ‫س ط ح مها ك س ل‬
‫ك وم مل ت مب ح س‬
‫ق م‬
‫ى عس ن س ط‬ ‫م غح سلو ل م ر م‬
‫ة إ طل ى‬ ‫ل ي مد م م‬
‫ك م‬ ‫وم مل ت م ح‬
‫ج عم ح‬

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. QS. Al isra’ : 29

Jika ayat tersebut diterjemahkan secara harfiah, maka pengertiannya berarti Allah
melarang seseorang membelenggu atau mengikat tangannya diatas pundaknya. Padahal
2
yang dimaksud adalah larangan bersikap pelit dalam membelanjakan harta disamping
melarang bersikap boros.
B. Hukum Terjemah Harfiyah
Atas dasar pertimbangan diatas maka tidak seorang pun merasa ragu tentang
haramnya menerjemahkan al-Qur’an dengan terjemah harfiyah. Sebab Qur’an adalah
Kalamullah yang diturunkan kepada Rosul-Nya, merupakan mukjizat dengan lafadz dan
maknanya, serta membacanya dipandang sebagai suatu ibadah. Disamping itu, tidak
seorang manusia pun berpendapat, kalimat – kaliamat itu jika diterjemahkan, dinamakan
pula Kalamullah. Sebab Allah tidak berfirman kecuali dengan Qur’an yang kita baca
dengan bahasa Arab, dan kemukjizatan pun tidak akan terjadi dengan terjemahan, karena
kemukjizatan hanya khusu bagi Qur’an yang diturunkan dalam bahsa Arab. Kemudian
yang dipandang sebagai ibadah dengan membacanya ialah Qur’an berbahasa Arab yang
jelas, berikut lafadz – lafadz, huruf – huruf dan tertib kata – katanya.
Dengan demikian, penerjemahan Qur’an dengan terjemah harfiyah, betapapun
penerjemah memahami betul bahasa, dan susunan kalimatnya, dipandang telah
mengeluarkan Qur’an dari keadaannya sebagai Qur’an.
C. Terjemah Maknawiyah
Qur’an al–Karim, demikian juga kalam Arab yang mempunyai makna – makna asli
(pokok, utama) dan makna – maknasanawi(sekunder). Yang dimaksud dengan makna asli
adalah makna yang dipahami secara sama oleh setiap orang yang mengetahui pengertian
lafadz secara mufrad (berdiri sendiri) dan mengetahui pula segi – segi susunanya secara
global. Sedangkan yang dimaksud makna sanawi berarti karakteristik (keistimewaan)
susunan kalimat yang menyebabkan suatu perkataan berkualitas tinggi. Dan dengan makna
inilah Qur’an dinilai sebagai mukjizat.
Makna asli sebagai ayat terkadang sejalan dengan prosa dan puisi kalam Arab. Tetapi
hal ini tidak menyentuh, mempengaruhi kemukjizatan Qur’an, karena kemukjizatanya
terletak pada keindahan susunan dan penjelasanya yang sangat mempesona, yaitu dengan
makna sanawi. Itulah yang dimaksud dengan pernyataan Zamakhsyari dalam al-kasyasyaf-
nya, “sesunggguhnya didalam kalam Arab, terutama Qur’an, terdapat kepelikan dan
kelembutan makna yang tidak dapat diberikan oleh bahasa manapun juga.
D. Hukum Terjemah Maknawiyah
Menerjemahkan makna – makna sanawi Qur’an bukanlah hal mudah, sebab tidak
terdapat satu yang sesuai dengan bahasa Arab dalam dalalah (petunjuk) lafadz – lafadznya
terhadap makna – makna yang oleh ahli illmu bayan dinamakan khawassut-
3
tarkib(karakteristik – karakteristik susunan). Hal demikian tidak mudak didakwahkan
seseorang. Dan itulah yang dimaksud Zamakhsyari dalam pernyataan diatas. Segi – segi
balgah Qur’an dalam lafadz atau susunan, baik makirah dan ma’rifatnya, taqdimdaan
ta’khirnya, disebutkan dan dihilangkanya maupuan hal – hal lainnya adalah yang menjadi
keunggulan bahasa Qur’an. Dan ini mempunya pengaruh tersendiri terhadaap jiwa. Segi –
segi kebalagahan Qur’an ini tidak mungkin terpenuhi jika makna – makna tersebut
dituangkan dalam bahsa lai, karena bahasa manapun tidak mempunyai khawas tersebut.
Adapun makna – makna asli, dapat dipindahkan kedalam bahasa lain. Dalam al-
muwaffaqat, syatibi menyebutkan makna – makna asli dan makna – makana sanawi. Ia
menjelaskan , menerjemahkan Qur’an dengan cara pertama yakni dengan memperhatikan
makna asli adalah mungkin. Dari segi inilah dibenarkan menafsirkan Qur’an dan
menjelaskan makna – maknanya kepada kalangan awan dan mereka tidaak mempunyai
pemahaman kuat untuk mengetahui makna – maknanya. Cara demikian diperbolehkan
berdasarkan konsensus ulama islam. Dan konsensus ini menjadi hujjah dibenarkanya
penerjemahan makna asli Qur’an.
Namun demikian terjemahan makna – makna asli itu tidak terlepas dari kerusakan
karena satu buah lafadz di dalam Qur’an terkadang mempunyai dua makna atau lebih yang
diberikan ayat. Maka dalam keadaan demikian biasanya penerjemah hanya meletakan satu
lafadz yang menunjukan satu makna, karena ia tidak mendapatkan lafadz serupa dengan
lafadz Arab yang dapat memberikan lebih dari satu makna itu.
Terkadang Qur’an menggunakan sebuah lafadz dalam pengertian majas (kiasan),
maka dalam hal demikian penerjemah hanya mendatangkan satu lafadz yang sama dengan
lafadz Arab dimaksud dalam pengertianya yang hakiki. Karena hal ini dan lainya maka
terjadi banyak kesalahan dalam penerjemahan makna – makna Quran.
Pendapat yang dipilih oleh Syatibi diatas yang dianggapnya sebagai hujjah tentang
kebolehan menerjemahkan makna – makna asli Qur’an tidaklah mutlak. Sebab sebgaian
ulama membatasi kebolehan penerjemah seperti itu dengan kadar darurat dalam
menyampaikan dakwah. Yaitu yang berkenaan dengan tauhid dan rukun – rukun ibadah,
tidak lebih dari itu. Sedang bagi mereka yang ingin menambah pengetahuanya ,
diperintahkan untuk mempelajari bahasa Arab.
E. Terjemah Tafsiryah
Terjemah tafsiriyah merupakan penerjemahan makna – makna Qur’an dengan penuh
kejujuran dan kecermatan. Dalam arti mensyarahi (mengomentari) perkataan dan
menjelaskanya dengan bahsa lain. Usaha seperti ini tidak ada halangan, karena Allah
4
mengutus Muhammad untuk menyampaikan risalah islam kepada seluruh umat manusia.
Dengan segala bangsa dan ras yang berbeda – beda .Nabi menjelaskan :
“setiap Nabi yang diutus kepda kaumnya secara khusus, sedang aku diutus kepada
manusia seluruhnya.”
Dalam hal itu salah satu syarat risalah ialah balag (sampai kepada umat rosul
bersangkutan) dan Quur’an yang diturunkan dalam bahasa Arab itu, penyampaianya
kepada umat Arab merupakan suatu keharusan . akan tetapi uma-uamat lain yang tidak
pandai bahasa Arab atau tidak mengerti sama sekali, penyampaian dakwah kepda mereka
tergantung penerjemah dakwah itu kedalam bahasa mereka. Padahal kita mengetahui
mengenai kemustakhilan dan keharaman terjemah harfiyah dan juga kemustakhilan
terjemah makna sanawi, sulitnya terjemah makna asli dan bahaya yang terdapat
didalamnya. Oleh karena itu, jalan satu – satunya yang dapat ditempuh ialah
menerjemahkan tafsir Qur’an yang mengandung asas – asas dakwah dengan cara yang
sesuai dengan nas – nas Kitab dab Sunah, ke dalam bahasa setiap suku bangsa. Maka
dengan cara ini sampailah dakwah kepada mereka dan tegaklah hujjah.
Corak terjemah tafsiriyah berbeda dengan terjemah maknawiyah. Sekalipun peneiliti
tidak membedakan antara keduanya. Sebab dalam terjemah maknawiyah terkesan seakan –
akan penerjemah telah mengmbil makna – makna Qur’an dengan berbagai aspeknya dan
memindahkanya ke dalam bahasa asing, non-Arab. Sebagaimana dalam terjemahan selain
Qur’an yang biasa disebut “terjemah yang sesuai dengan bahasa aslinya”.
Syarat PenerjemahMutarjim alquran pada dasarnya harus memenuhi prasyarat yang
dikenakan pada mufassir seperti memiliki I’tikad baik, niat yang tulus (husn al niyah),
menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan semisal ilmu kalam, fikh, ushul fikih, ilmu akhlak
dan lain-lain. Dengan persyaratan ini penrjemah diharapkan terhind dari salah/keliru dalam
menerjemahkan alquran.Mutarjim alquran harus memiliki akidah islamiah yang kuat dan
lurus (shihat al I’tiqad). Sebab orang yang tidak memiliki akidah islamiah yang sehat, pada
dasarnya tidak dibolehkan untuk menerjemahkan dan atau menafsirkan alquran karena
tidak sejalan dengan tujuan utama dari penurunan itu sendiri yakni sebagai buku
petunjuk.Mutarjim harus menguasai dengan baik dua bahasa yang bersangkutan, yakni
bahasa asal yang diterjemahkan disatu pihak dalam konteks ini bahasa alquran ( arab ) dan
bahasa terjemahan itu sendiri dalam hal ini bahasa indonesia dipihak lain. Apabila
menguasai salah satunya saja, maka tidaklah mungkin dapat melahirkan terjemahan
alquran dan lain-lain yang benar-benar handal. Sebelum menrjemahkan alquran,
penerjemah harus lebih dulu menuliskan ayat-ayat alquran itu sendiri yang hendak
5
diterjemahkan, dan baru kemudian diterjemahkan dan atua ditafsirkan sekaligus. Selain
dimaksudkan untuk memudahkan pembaca mengecek makna yang sesungguhnya
manakala terdapat terjemahan alquran yang diragukan kebenarannya, juga terutama dalam
rangka mempertahankan otentitas teks alquran yang wahyu Allah itu.
F. Membaca Qur’an Dalam Sholat Dengan Selain Bahasa Arab
Pendapat para ulama dalam hal pembacaan qur’an dalam salat dengan selain bahasa
arab, terbagi atas dua madzhab
1. boleh secara mutlak atau disaat tidak sanggup mengucapkan dengan bahasa
arab
2. haram, dan salat dengan bacaan seperti ini tidak sah
Pendapat pertama adalah pendapt ulama madzhab hanafi. Diriwayatkan dari abu
hanifah bahwa ia berpendapat, boleh dan sah membaca alqur’an dalam salat dengan bahasa
persia.dan atas dasar ini sebagian sahabat (muridnya) memperbolehkan pula membacanya
dengan bahasa turki, indi, dan bahasa-bahasa lainya. Nampaknya mereka memandang
dalam hal ini, quran adalah nama bagi makna-makna (substansi, hakikat) yang ditunjukkan
oleh lafadz dan bahasa.
Dua orang murid abu hanifah, abu yusuf dan muhammad bin husain, membatasi hal
tersebut dengan “dalam keadaan darurat’’, mereka memperbolehkan bagi yang tidak
mampu mengucpakan bahasa arab, membaca qur’an dalam salat dengan bahasa asing,
tetapi tidak bagi yang sanggup membacanya dengan bahasa arab. Dalam mi’rajud dirayah
dikemukakan. Kami memperbolehkan membaca terjemah quran dalam salat bagi yang
tidak mampu jika hal itu tidak termasuk makna, sebab terjemahan tersebut adalah quran
juga dilihat dari cakupannya terhadap makna. Oleh karena itu maka membacanya lebih
baik daripada meninggalkannya samasekali karena pembebanan (taklif) itu sesuia dengan
kemampuan. Diriwayatkan abu hanifah mencabut kembali “ kebolehan secara mutlak”
yang di nukil dari beliau tersebut
Pendapat kedua adalah pendapat jumhur. ulama madzhab hanafi, syafi’I dan hambali
tidak memperbolehkan bacaan terjemah qur’an dalam sholat, baik ia mampu membaca
bahasa arab ataupun tidak, sebab terjemah quran bukanlah qur’an. Qur’an adalah susunan
perkataan mukjizat yaitu kalamullah yang menurut – Nya sendiri berbahasa arab, dan
dengan menerjemahkannya hilanglah kemukjizatanyya dan terjemahannya itu bukan
kalamullah.
Berkata Qadi Abu Bakr ibnul arabi salah sesorang fuqaha maliki, ketika menafsirkan
firman Allah: ’’Dan sekiranya Qur’an kami jadikan sebagai bacaan dalam bahasa selain

6
bahasa arab niscaya mereka mengatakan : ‘mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?
“apakah patut (Qur’an) dalam bahasa selain bahasa arab sedang (rasul), orang arab ? “
(fussilat: 44)
Para ulama mengatakan, ayat ini membatalkan pendapat Abu hanifah yang
menyatakan bahwa menerjemahkan Qur’an dengan menggantikan bahasa arabnya dengan
bahasa persia itu boleh,. Sebab, Allah telah berfirman dalam surat fussilat ayat 44. Dalam
ayat ini Allah menafikan jalan bagi bahasa asing untuk dapat masuk kedalam Qur’an,
tetapi mengapakah abun hanifah malah membawanya kepada apa yang dinafikan Allah
tersebut?
Syaikhul ibnul Taimiyah berkata, salah seorang fuqaha hambali, sekalipun ia
mempunyai ijtihad-ijtihad sendiri : “ Adapun mendatangkan lafaz untuk menjelaskan
makna seperti penjelasan lafaz-lafaz Quran maka hal ini tidak mungkin samasekali. Oleh
karena ittu para pemimpmin agama berpendapat, tidak boleh membaca Quran dengan
selain bahasa arab maupun bagi yang tidak mampu, sebab yang demikian akan
mengeluarkan Quran daei statusnya sebagai Qur’an yang diturunkan Allah.
Agama mewajibkan kepada para pemeluknya agar mempelajari bahasa arab, kaarena
bahasa ini adalah bahasa qur’an dan kunci untuk memahaminya. Kata ibnu taimiyah dalam
al iqtida. Karena bahasa arab itu sendiri termasuk agma dna mengetahuinya adalah fardu
yang wajib, karena memahami kitab dan sunah adalah fardu,. Keduanya tidak dapat
dipahami kecuali dengan memahami bahasa arab,. Sesuatu, yang kewajiban tidak dapat
dijalankan secara sempurna kecuali dengannya, maka ia adsalah wajib.
Adapun pendapat ulama mazhab hanafi mengenai kebolehan solat dengan
terjemahan Qur’an, maka mereka yang membolehkan memandang kebolehan ini hanya
sebagai rukhsah (dispensasi) bagi orang yang tidak mampu. Namun mereka tetap
sependapat bahwa terjemahan Qur’an tidaklah dinamakan Qur’an. Terjemahan itu
dibolehkan agar semata-mata agar sholat menjadi sah. Dan status terjemahan ini sama
dengan status zikir kepada Allah dalam pendapat ulama diluar mazhab hanafi.

7
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Secara harfiah terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu pembicaraan dari
satu bahasa ke bahasa kain, atau singkatnya mengalih bahasakan. Sedangkan terjemahan,
berarti salinan bahasa, atau alih bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain.
Terjemah Harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz – lafadz dari satu bahasa ke dalam
lafadz – lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga sususan dan tertib
bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.
Terjemah Tafsiriyah atau Terjemah Maknawiyah , yaitu menjelaskan makna
pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata – kata bahasa asal atau
memperhatikan susunan kalimatnya.

Anda mungkin juga menyukai