Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang


myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin
dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf. Substansi
lemak yang dikenal sebagai myelin (mengelilingi dan membungkus serat saraf
dan sebagai fasilitator konduksi dari transmisi impuls saraf mengalami kerusakan
secara intermiten (demyelinisasi). Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang
efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron
yang terdemyelinisasi akan menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut,
terjadi kelemahan dan kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik
tertentu di berbagai bagian tubuh.1,2,3
Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-kira 400,000 orang
Amerika tercatat menderita MS, dan pada setiap minggunya sekitar 200 orang
didiagnosis MS. Di seluruh dunia, MS mungkin diderita 2.5 juta individu.
Umumnya serangan terjadi dalam dekade ketiga dan keempat, walaupun penyakit
ini bisa mulai dalam masa kanak-kanak dan juga di atas usia 60 tahun. Secara
keseluruhan, MS terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki, dengan
perbandingan adalah kira-kira 2:1.2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang menyerang
myelin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan kerusakan myelin
dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi konduksi saraf.
Peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang belakang yang menyerang
daerah substansia alba dan merupakan penyebab utama kecacatan pada dewasa
muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh banyak faktor, terutama proses
autoimun. Focal lymphocytic infiltration atau sel T bermigrasi keluar dari lymph
node ke dalam sirkulasi menembus sawar darah otak (blood brain barrier) secara
terus-menerus menuju lokasi dan melakukan penyerangan pada antigen myelin
pada sistem saraf pusat seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya inflamasi, kerusakan pada myelin (demyelinisasi),
neuroaxonal injury, astrogliosis, dan proses degenerative. 1,2
Substansi lemak yang dikenal sebagai myelin (mengelilingi dan membungkus
serat saraf dan sebagai fasilitator konduksi dari transmisi impuls saraf mengalami
kerusakan secara intermiten (demyelinisasi). Demyelinisasi menyebabkan ‘scar’
dan mengerasnya (sclerotik=skleros (Mesir) dari serat saraf pada otak, medulla
spinalis, batang otak, dan nervus optikus, yang menyebabkan hantaran impuls
saraf menjadi lambat dan akibatnya terjadi kelemahan, gangguan sensorik, nyeri
dan gangguan penglihatan.3
Akibat demyelinasi neuron menjadi kurang efisien dalam potensial aksi.
Transmisi impuls yang disampaikan oleh neuron yang terdemyelinisasi akan
menjadi buruk. Akibat 'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan
kesulitan dalam mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu di berbagai
bagian tubuh.2

2
(a) (b)
Gambar 1. Perbandingan saraf normal (a) dan saraf yang mengalami demyelinisasi (b)

2.2 Epidemiologi
Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-kira 400,000 orang
Amerika tercatat menderita MS, dan pada setiap minggunya sekitar 200 orang
didiagnosis MS. Di seluruh dunia, MS mungkin diderita 2.5 juta individu.
Umumnya serangan terjadi dalam dekade ketiga dan keempat, walaupun penyakit
ini bisa mulai dalam masa kanak-kanak dan juga di atas usia 60 tahun. Secara
keseluruhan, MS terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki, dengan
perbandingan adalah kira-kira 2:1.2

2.3 Patologi
Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medula spinalis,
serta nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan mielin
dengan akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang
relatif tampak normal yang berselang – seling dengan fokus inflamasi dan
demyelinisasi yang disebut juga plak, yang sering kali terletak dekat venula.
Demyelinisasi inflamasi jalur Sistem Saraf Pusat (SSP) menyebabkan penurunan
dan gangguan kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran
informasi oleh jaras tertentu.5

3
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada tahap
awal terjadi perombakan lokal sawar darah otak, diikuti inflamasi dengan edema,
hilangnya mielin, dan akhirnya jaringan parut SSP yaitu gliosis. Hasil akhir akan
menyebabkan daerah sklerosis yang mengerut, yang berkaitan dengan defisit
klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini sebagian disebabkan
oleh remielinisasi yang merupakan potensi SSP, dan juga memperjelas
kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema. Keadaan patologis ini
berhubungan dengan pola klinis relaps multipel sklerosis, yaitu terjadi gejala
untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara parsial atau total.
Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada
sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.5
Plak tidak harus berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika
plak hanya kecil saja dan terletak pada area SSP yang relatif tenang.5 MS ditandai
oleh fokus demielinisasi (plak) dan berikutnya, pengrusakan dari badan sel akson
dan neuronal. Perubahan ini bisa tampak dimanapun dalam sistem saraf pusat
tetapi mempunyai tempat predileksi di daerah periaquaduktus, dasar ventrikel
keempat, dan area subpial saraf tulang belakang. Neuron dalam substansi abu-abu
sering terlihat utuh dan astrosit sedikit meningkat jumlahnya. Plak di substansi
alba berwarna abu-abu dan keras, ditandai dengan proliferasi glial, fibrillary
gliosis, dan peningkatan kepadatan serat retikulin. Multipel dan fokus sklerotik
inilahyang memberikan nama pada penyakit ini.9, 15

2.4 Etiologi dan Patogenesis


Penyebab dari multipel sklerosis tetap tidak diketahui, walaupun kegiatan
penelitian dibidang ini sudah banyak dilakukan. Hipotesis yang tidak terhitung
banyaknya sudah diajukan. Sebagian besar multipel sklerosis di Eropa adalah tipe
HLA-A3, B7, DW2 dan DR2. Selama serangan akut, jumlah sel-sel supresor
dalam darah perifer berkurang. Penelitian eksperimental mendukung teori dari
infeksi slow virus atau reaksi autoimun. Inokulasi ke dalam domba berupa
jaringan saraf yang diambil dari pasien dengan multipel sklerosis memprovokasi
serangan penyakit Scrapie, suatu penyakit SSP yang dapat ditransmisikan pada
domba setelah interval laten kira-kira 18 bulan. Dua penyakit SSP progresif

4
kronik lainnya pada manusia diketahui dapat ditransmisikan pada simpanse yaitu
penyakit Kuru dan penyakit Creutzfeldt-Jacob. Walaupun titer campak yang
meningkat sering terdapat pada pasien multipel sklerosis, tetapi virus campak
tidak dapat dianggap sebagai virus yang bertanggung jawab untuk penyakit ini.
Patogenesis dari multipel sklerosis sebagian komplemen dan sebagian berlawanan
dengan mekanisme autoimun, teori ini didukung oleh model percobaan
ensefalomielitis alergika eksperimental pada binatang. Pada tahun-tahun terakhir
ini, perjalanan penyakit yang berulang telah ditemukan pada binatang percobaan.
Suatu sensitisasi yang terlambat terhadap protein sensefalitogenik dari SSP telah
diperlihatkan terjadi melalui reaksi imun seluler. Limfosit yang tersensitisasi
merupakan karier yang paling penting dari proses ini.15 Peran mekanisme imun
pada patogenesis multipel sklerosis didukung beberapa temuan, seperti adanya sel
inflamasi kronik pada plak aktif dan hubungan kondisi ini dengan gen spesifik
pada kompleks histokompatibilitas mayor (major histocompatibility, MHC).
Banyak gangguan autoimun yang ternyata berhubungan dengan kelompok gen
ini.5 Hubungan dengan MHC merupakan salah satu bukti pengaruh komponen
genetik dalam etiologi multipel sklerosis, begitu pula adanya kasus pada keluarga,
dan temuan peningkatan kejadian pada kasus kembar identik (monozigot)
dibandingkan kembar nonidentik (dizigot). Akan tetapi, belum ditemukan gen
tunggal yang penting untuk terjadinya multipel sklerosis.5 Fokal area dari
destruksi mielin di dalam MS terjadi dengan latar belakang suatu proses radang
yang didominasi oleh penyusupan dari T-limfosit, hematogen makrofag, aktivasi
dari lokal mikroglia, dan adanya sedikit B-limfosit atau sel-sel plasma. Proses
peradangan ini berhubungan dengan peningkatan berbagai cytokines di dalam lesi
MS, mencakup interleukin-1,2,4,6,10,12, gamma-interferon (c-IFN), tumor
necrosis alfa factor (TNF-a), dan transforming growth beta faktor (TGF-b).16
Tanda patologik multipel sklerosis adalah multisentrik, inflamasi SSP multifasik
dan demielinisasi. Pada mulanya, setiap luka multipel sklerosis kemungkinan
melalui suatu peristiwa dari demielinisasi dan remielinisasi menuju ke plak kronik
dengan preserfasi relatif dari akson serta gliosis. Dengan begitu, terjadi disfungsi
neuropsikologikal, meskipun jaringan neural yang esensial utuh, sampai akhir
perjalanan penyakit. Bagaimanapun, penelitian saat ini telah menemukan axonal

5
transections benar-benar terjadi selama eksaserbasi akut; selanjutnya, kerusakan
axonal, yang dilihat dengan magnetic resonance spektroscopy, berhubungan
dengan kelainan klinis. Jelas, diperlukan lebih banyak usaha untuk memahami
asosiasi antara peradangan-media demielinisasi, axonal injury, dan kelainan
klinis.17 Untuk alasan belum jelas, karakteristik luka mencakup saraf mata dan
substansi alba periventrikular serebelum, batang otak, ganglia fundamental, dan
medula spinalis. Mengidentifikasikan lesi multipel sklerosis dalam sejumlah besar
spesimen adalah sulit, untuk mengidentifikasikan lesi multipel sklerosis dalam
substansi alba dengan pencitraan radiografis; karenanya, tempat predileksi di
dalam otak mungkin tidak berhubungan dengan gejalanya. Sistem saraf perifer
jarang terlibat.17

2.5 Manifestasi Klinis


Sindrom klinis pada sklerosis multipel secara klasik ditemukan adanya
gangguan yang bersifat relaps dan remisi yang mengenai sistem saraf dengan
onset pada usia muda, dengan variasi gambaran klinis yang ditemukan sering
beragam, variasi ini termasuk dalam hal onset usia, manifestasi awal, frekuensi,
berat ringannya penyakit dan gejala sisa relaps, tingkat progresifitas dan
banyaknya gejala neuro logy yang timbul 3,7,8
Variasi gambaran klinis ini menggambarkan banyaknya atau luasnya daerah
system saraf yang rusak (sklerosis multipel plak). Secara umum seorang dokter
mencurigai suatu kasus sklerosis multipel bila ditemukan gejala :
 Pasien mendapat 2 serangan dari gangguan neurologi (tiap serangan lebih dari
24 jam dan berlangsung lebih dari 1 bulan), atau
 Perkembangan gejala yang progresif secara perlahan selama periode paling
sedikit 6 bulan

Gejala atau simptom yang timbul pada MS dapat berupa : 7


1. Gangguan penglihatan
Sebagian besar pasien menderita gangguan penglihatan sebagai gejala-
gejala awal. Dapat terjadi kekaburan penglihatan, lapang pandang yang
abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada kedua
mata. Salah satu mata mungkin mengalami kebutaan total selama beberapa

6
jam sampai beberapa hari. Gangguan-gangguan visual ini mungkin
diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu, juga ditemukan diplopia
akibat lesi pada batang otak yang menyerang nukleus atau serabut-serabut
traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus.
Neuritis Optika adalah gangguan penglihatan yang paling sering terjadi
14-23% kasus dan 50%, biasanya muncul secara akut atau subakut dan
unilateral dengan diikuti rasa nyeri pada mata terutama dengan adanya
gerakan bola mata. Neuritis Optika bilateral sangat jarang terjadi, bila
ditemukan biasanya asimetris dan lebih berat pada satu mata. Neuritis optika
bilateral biasanya terjadi pada anak dan ras Asia.
2. Gangguan sensorik
Gangguan sensorik merupakan gejala awal yang paling sering
ditemukan pada sklerosis multipel (21-55%) dan berkembang/timbul hamper
pada semua pasien sklerosis multipel. Hipestesi (baal), parestesi (kesemutan),
disestesi (rasa terbakar) dan hiperestesi adalah gejala yang
tersering.Gangguan ini dapat timbul disemua daerah distribusi, satu atau lebih
dari satu anggota gerak,,wajah atau badan (trunkal).Pasien sering datang
dengan keluhan rasa baal atau kesemutan dimulai pada satu kaki yang
merambat keatas (ascending) pada satu sisi kemudian kesisi yang lain (kontra
sisi).
Gangguan sensorik dapat naik keatas dengan suatu level sensorik dan
biasanya diikuti dengan gangguan keseimbangan, kelemahan, gangguan
BAK, konstipasi dan munculnya tanda Lhermitte’s bila kepala difleksikan
secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini
mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi sensitivitasnya
meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.
3. Gangguan kognitif
Masalah kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi, gangguan memori,
dan gangguan mental terdapat pada 40-70 % pasien sklerosis multipel.
Banyak penderita sklerosis multipel meninggalkan pekerjaannya akibat
masalah diatas. Pada ± 10% kasus, disfungsi mental berat dan demensia dapat

7
tejadi. Gangguan ini mungkin berhubungan dengan depresi yang dilaporkan
ditemukan pada 25-50% kasus sklerosis multipel.
Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa depresi pada sklerosis
multipel bukan karena masalah psikologi,umur atau lamanya menderita
penyakit tetapi dipengaruhi oleh jumlah lesi yang ditemukan pada gambaran
MRI (Swirsky-Sacchetti T et al 1992). Atrofi otak, pembesaran ventrikel dan
menipisnya korpus kalosum juga penyebab gejala gangguan kognitif diatas.
4. Gangguan Gerakan Bola Mata
Gangguan gerakan bola mata sering terjadi pada pasien MS biasanya
berhubungan dengan gangguan saraf penggerak bola mata, Nervus cranial
VI,III dan jarang pada nervus VI. Nistagmus adalah gejala yang paling sering
muncul (Dell’Osso, Daroff, Troost, 1990) berupa “jelly like nystagmus”
berupa gerakan cepat dengan amplitudo kecil. Internuklear ophtalmoplegia
(INO) juga sering ditemukan, dan bila ditemukan bilateral biasanya
didapatkan juga adanya nistagmus vertical dan upward gaze.
5. Gangguan Motorik
Gejala awal motorik ditemukan pada 32-41% kasus sklerosis multipel
dan lebih dari 60% kasus sklerosis multipel mempunyai gejala motorik.
Gangguan motorik terjadi akibat terlibatnya traktus piramidalis yang
menyebabkan kelemahan, spastisitas, gangguan gerakan tangkas, dan
hiperrefleks. Gangguan ini dapat timbul akut atau kronik progresif dengan
kelemahan satu atau lebih anggota gerak, kelemahan otot wajah, kekakuan
tungkai yang dapat menyebabkan gangguan dalam berjalan dan
keseimbangan atau terjadi suatu spastisitas. Latihan atau panas biasanya
menyebabkan gejala memburuk.
Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada
sklerosis multipel meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di
medula spinalis dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis
transversa yang mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level
sensorik dan gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau
hiperrefleksia bilateral dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan
manifestasi yang lebih sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral.

8
Yang khas, meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu
bilateral. Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien
sklerosis multipel. Kelelahan atau fatigue merupakan gejala non spesifik pada
sklerosis multipel dan terjadi pada hampir 90% pasien sklerosis multipel.
Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada waktu exercise berlebihan
ataupun pada temperatur panas maupun kelelahan/kelambatan mental.
6. Gangguan Cerebelum
Gangguan cerebellum menimbulkan gangguan keseimbangan,
gangguan koordinasi dan “slurred speech”. Bisa juga terjadi tremor intensi
pada anggota gerak kepala. Berjalan terganggu karena adanya ataksia trunkus.
Nistagmus, gerakan saccadic, dismetria okuli, scanning speech dapat terjadi.
Gejala cerebellum biasanya bercampur dengan gejala traktus piramidalis.
7. Gangguan Berkemih, BAB dan disfungsi seksual
Gangguan berkemih merupakan salah satu gejala sklerosis multipel
yang sering ditemukan. Pada saat awal terjadi “urgency dan frekuensi”
kemudian terjadi inkontinensia urin. Konstipasi lebih sering ditemukan (39-
53%) dibandingkan inkontinensia alvi. Hal diatas merupakan masalah yang
serius bagi penderita sklerosis multipel karena dapat menyebabkan infeksi
pada saluran kemih.
Gangguan seksual terjadi pada lebih dari 70% pasien sklerosis multipel.
Disfungsi seksual merupakan gabungan dari berbagai masalah yang timbul
baik masalah motorik dan sensorik maupun masalah psikologis penderita.
8. Manifestasi lainnya
Nyeri jarang terjadi pada sklerosis multipel, walaupun beberapa pasien
dapat mengalami neuralgia trigeminal tipikal akibat plak di batang otak dan
pada kasus lain dapat terjadi nyeri ekstremitas. Terdapat peningkatan
insidensi epilepsi pada pasien sklerosis multipel.

9
Gambar 3. Gambaran klinis pada sklerosis multipel

Sklerosis multipel diklasifikasikan menjadi 2 kategori mayor :


1. Relaps Remisi (Relapsing remitting)
2. Progresifitas Kronis (Chronic Progressive) sklerosis multipel yang terbagi
menjadi :
 Progresifitas primer (Primary progressive)
 Progresifitas Sekunder (Secondary Progressive)
 Relaps Progresif (Progressive Relapsing)

Klasifikasi ini digunakan dalam memperkirakan prognosis pasien dan


sebagai pedoman dalam pemberian terapi.
1. Relaps-Remisi (Relapsing Remitting)
Merupakan periode perburukan neurology yang akut dari sklerosis
multipel (relaps, serangan, atau eksaserbasi) yang diikuti oleh periode pulihnya
sebagian atau seluruh gejala progresifitas penyakit yang ada (remisi).
Frekuensi : ± 85 %

10
2. Progresifitas Primer (Primary Progressive)
Sklerosis multipel dengan perburukan penyakit yang perlahan dan
berlanjut sejak awal serangan tanpa adanya relaps atau remisi.,tetapi
progresifitas yang ada berbeda dari waktu ke waktu biasanya mendatar atau
perburukan minimal .
Frekuensi : Jarang. ± 10 %
3. Progresifitas Sekunder (Secondary Progressive)
Sklerosis multipel dengan awalnya mengalami relaps remisi kemudian
penderita mengalami perburukan secara tetap tanpa mengalami perbaikan
minimal (remisi) atau menetap.
Frekuensi : 50 % sklerosis multipel Relaps remisi berkembang menjadi bentuk
ini
4. Relaps Progresif (Progressive Relapsing)
Sklerosis multipel dengan perburukan penyakit yang terus menerus sejak
awal serangan diikuti oleh kekambuhan (serangan akut baru) tanpa atau dengan
perbaikan.
Frekuensi : Jarang.± 5 %

2.6 Diagnosis
Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS. Multiple
sclerosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan diagnosis
mempergunakan kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald. Saat ini yang
dipergunakan adalah kriteria McDonald revisi 2010. 1

11
Kriteria McDonald menekankan adanya pemisahan menurut waktu atau
disseminated in time (dua serangan atau lebih) dan pemisahan oleh ruang atau
disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang berbeda). Seseorang
dinyatakan definite menderita sklerosis multipel bila terjadi pemisahan waktu dan
ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap
tetapi didukung oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).3

12
Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau
lebih dimana jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan
minimal berlangsung 24 jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah
terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis obyektif yang mencerminkan dua lesi
yang diagnosis topiknya berbeda.10
Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4
kriteria:
1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil
2. Minimal 1 lesi infratentorial
3. Minimal 1 lesi juxtakortikal
4. Minimal 3 lesi periventrikel
MRI selama 10 tahun terakhir merupakan modalitas pilihan dalam
penegakan diagnose. Plak sklerosis multipel biasanya ditemukan di daerah
periventrikular, korpus kalosum, sentrum semi ovale, struktur substansia alba lain
dan ganglia basalis. Gambaran khas plak sklerosis multipel adalah demielinisasi
berbentuk oval atau linier, biasanya tegak lurus permukaan ventrikel. Plak ini
hanya ditemukan pada sustansia alba dan beberapa pada korpus kalosum .10
Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului
oleh pembesaran ventrikel.

Gambar 4. Plak atau lesi yang tampak pada pemeriksaan MRI (panah putih)
Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis (LCS) sangat
membantu diagnosis sklerosis multipel. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan
dapat mencapai 95% dan bila terdapat peningkatan oligoclonal band pada LCS

13
maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk memenuhi kriteria disseminated in
space. 10
Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan
penunjang yang cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain)
untuk sklerosis multipel dimana terjadi pemanjangan latensi VEP yang
disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP secara dini dapat
mendeteksi kelainan meskipun pada pasien sklerosis multipel yang secara klinis
belum terdapat gejala klinis neuritis optik.10
Diagnosis sklerosis multipel ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan
penunjang yang mendukung diagnosa. Pemeriksaan yang sering dilakukan adalah
neuroimaging, terutama MRI, analisa cairan otak dan pemeriksaan evoked
potensial 7,8,9,10
Pemeriksaan darah pada penderita sklerosis multipel tidak ada yang spesifik,
biasanya dilakukan pemeriksaan asam folat dan B12 untuk menyingkirkan
penyebab lain yaitu defisiensi asam folat dan B12, dan melihat adanya tanda-
tanda infeksi.6

2.7 Diagnosa Banding


Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung pada
manifestasi neurologis dalam kasus:1,11,12
 Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis lesi
fokal, seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari
serebelopontine angel, suatu tumor di foramen magnum, suatu optik glioma
atau sphenoid wing meningioma dengan atrofi saraf optik, suatu brainstem
astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain.
 Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak atau
stroke.
 Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf
tulang belakang atau cervical spondylotic myelopathy.
 Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu malformasi
vaskular pada saraf tulang belakang.

14
 Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala dari
batang otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau bentuk
malformasi batang otak atau craniocervical junction. Beberapa gejala sering
misdiagnosed sebagai multipel sklerosis. Bentuk malformasi vaskuler batang
otak, juga dapat menyebabkan gejala neurologis yang berubah-ubah dengan
onset usia pertengahan atau usia tua.
 Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus erythematosus,
sarcoidosis, penyakit vaskuler, toxic encephalomyelopathy, hypothyroidism,
atau funicular myelosis.
 Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan dengan
suatu vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-sama dengan
kelainan neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-Koyanagi-Harada
syndrom), suatu hal yang jarang, kiranya adalah sindrom virus dimana terjadi
uveitis, gangguan gaya berjalan, leukodermia, munculnya uban, encephalitis,
dan tanda meningeal yang berubah-ubah.
 Behcet’s disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular, dan
manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.

2.8 Penatalaksanaan
Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya
adalah :1,12, 13
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program
exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan
ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur.
Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen
antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat
diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.

15
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan
pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan
ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder
atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif
untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan
harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi.
Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat
memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten
dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare
cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido,
gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa
sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi
ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien
dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi
suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil
disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang
memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat
narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki
efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu
kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada
pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan
pada Oktober hingga Maret.

16
Terapi Relaps
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon 500-1000
mg IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada pagi hari dalam
saline normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon lebih dari 5 hari tidak
memberikan hasil yang lebih baik.1
Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy.
Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial,
masukan dari perawat, dan partisipasi dalam patient support group merupakan
bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.1

Disease-Modifying Therapies
Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun 1b.
Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi inflamasi 50-80% yang terlihat pada
MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan terapi Interferon
Beta.1

Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein. Pemberian
Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan frekuensi relaps pada
RRMS.1

Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral. Fingolimod
diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya
apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil yang
memuaskan.1

Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS yang
agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil optimal dengan
Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat dialihkan ke

17
Natalizumab, atau pada kasus-kasus yang intoleran terhadap obat-obat sebelumya.
Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua dalam terapi MS.1

Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan progresifitas
MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat aktif atau SPMS
yang sangat progresif. Mitoxantrone tergolong dalam obat lini ke 3 dalam terapi
MS.1

2.9 Prognosis
Prognosis untuk seseorang dengan multipel sklerosis tergantung pada
subtipe penyakit; jenis kelamin individu, ras, umur, gejala awal, dan derajat
kerusakan. Harapan hidup dari penderita multipel sklerosis, untuk tahun-tahun
awal, saat ini hampir sama halnya dari pada orang normal. Hal ini disebabkan
terutama karena peningkatkan metoda dari pencegahan progresif penyakit, seperti
fisioterapi dan terapi bicara, bersama-sama dengan penanganan yang menangani
komplikasi umum, seperti radang paru-paru dan infeksi saluran kemih. Meskipun
demikian, setengah kematian dari pasien dengan multipel sklerosis adalah secara
langsung berhubungan dengan komplikasi dari penyakit, sementara 15% lebih
berhubungan dengan bunuh diri.1 Secara umum sangatlah sulit untuk meramalkan
prognosis multipel sklerosis. Setiap individu memiliki variasi kelainan, tetapi
sebagian besar pasien dengan multipel sklerosis bisa mengharapkan 95% harapan
hidup normal. Beberapa penelitian telah menunjukankan pasien yang mempunyai
sedikit serangan di tahun pertama setelah diagnosis, interval yang lama antar
serangan, pemulihan sempurna dari serangan, dan serangan yang berhubungan
dengan saraf sensoris (misalnya., baal atau perasaan geli) cenderung untuk
memiliki prognosis yang lebih baik. Pasien yang sejak awal memiliki gejala
tremor, kesukaran dalam berjalan, atau yang mempunyai serangan sering dengan
pemulihan yang tidak sempurna, atau lebih banyak lesi yang terlihat oleh MRI
scan sejak dini, cenderung untuk mempunyai suatu tingkat penyakit yang lebih
progresif.14

18
BAB 3

KESIMPULAN

Multipel sklerosis adalah satu kondisi autoimun dimana sistem kekebalan


tubuh menyerang sistem saraf pusat (SSP), mendorong ke arah terjadinya
demielinisasi. Penyakit ini menyebabkan luka-luka pada sarung pelindung mielin
(lemak yang melingkupi akson sel-sel saraf ), oligodendrosit (sel-sel yang
menghasilkan mielin), akson dan sel-sel saraf. Gejala dari multipel sklerosis
bervariasi, tergantung pada lokasi dari plak (daerah dari jaringan parut) di dalam
sistem saraf pusat.
Menurut National Multiple Sclerosis Society, kira-kira 400,000 orang
Amerika tercatat menderita MS, dan pada setiap minggunya sekitar 200 orang
didiagnosis MS. Di seluruh dunia, MS mungkin diderita 2.5 juta individu. MS
terjadi lebih sering pada wanita dibandingkan laki-laki, dengan perbandingan
adalah kira-kira 2:1.
Selama bertahun – tahun, diagnosis multipel sklerosis ditegakkan
berdasarkan gejala klinis, timbulnya paling sedikit dua lesi SSP dengan
karakteristik klinis yang tepat, terpisah waktu dan ruang. Sehubungan dengan
luasnya ruang lingkup dan gejala, maka multipel sklerosis tidak boleh didiagnosis
hanya setelah beberapa bulan sampai 1 tahun setelah serangan gejala.

19
20
21

Anda mungkin juga menyukai