Anda di halaman 1dari 21

Pembaharuan dalam penanganan trauma obstetrik.

Nesrine Refa*, Reham Abdel Rahman Ali dan Hala Gomaa


*Email korespondensi: nesrinerefai@gmail.com

Ringkasan
Trauma selama kehamilan adalah penyebab tertinggi kematian ibu non-obstetrik dan
masih menjadi penyebab paling sering dari gugurnya kandungan. Trauma mengenai 6%-8%
kehamilan, 0,4% memerlukan rawat inap di rumah sakit dan 0,1% menderita trauma berat
(Skor Keparahan Cedera (ISS)>15).
Kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan domestik menyumbang angka yang
cukup besar untuk kasus trauma berat pada ibu hamil, sedangkan terjatuh, luka bakar,
pembunuhan, bunuh diri, trauma tusukan, dan pajanan terhadap racun menyumbang sisanya.
Penanganan untuk kasus trauma memerlukan tim dari beberapa bidang terdiri atas
dokter emergensi, ahli obstetri, anestesi & bedah. Trauma mayor menyebabkan komplikasi
obstetrik & fetus & dapat menyebabkan kematian ibu hamil. Seksio caesarea post-mortem
penting untuk dapat menyelamatkan baik ibu dan bayinya. Korban trauma kehamilan
memiliki mortalitas 2 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak hamil.

DEFINISI DAN DIAGNOSIS


Trauma selama kehamilan adalah penyebab tertinggi kematian ibu non-obstetrik dan
masih menjadi penyebab paling sering dari gugurnya kandungan. Trauma mengenai 6%-8%
kehamilan, 0,4% memerlukan rawat inap di rumah sakit dan 0,1% menderita trauma berat
(Skor Keparahan Cedera (ISS)>15).1,2
Evaluasi dan penanganan awal pada pasien hamil dengan trauma memerlukan sebuah
tim dari beberapa bidang berbeda, untuk menyediakan perawatan yang optimal baik bagi ibu
dan janinnya. Meskipun resusitasi pada pasien hamil yang mengalami cedera mengikuti
protokol algoritma bagi semua pasien trauma, namun pernting untuk memahami seluruh
perubahan anatomikal dan fisiologikal yang terjadi selama masa kehamilan. Hasil akhir bagi
janin secara langsung berkaitan dengan resusitasi dini dan agresif pada ibu hamil.3
Kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan domestik berperan pada kebanyakan
kasus trauma berat pada ibu hamil, sedangkan selebihnya terjadi kebanyakan akibat terjatuh,
luka bakar, pembunuhan, bunuh diri, trauma tusuk, dan pajanan terhadap racun.4
Sebuah ulasan sitematis tahun 2013 tentang studi pada trauma dalam kehamilan4
melaporkan bahwa rerata insidensi kecelakaan kendaraan bermotor/motor vehicle crash
(MVC) selama kehamilan diperkirakan terjadi sekitar 207/100.000 kehamilan. Sedangkan
insidensi kekerasan domestik sebesar 8307/100.000 kelahiran hidup. Trauma tumpul
berperan pada 69% kasus trauma diantara wanita hamil, sedangkan trauma tusuk berperan
hanya pada 1,5% trauma selama kehamilan.

Epidemiologi dari Trauma obstetrik


Kekerasan Fisik
Kekerasan interpersonal selama kehamilan berisiko tinggi baik bagi ibu dan
janinnya. Sebuah ulasan sistemik glibal menggambarkan prevalensi sebesar 1-20% selama
kehamilan.4 Kekerasan partner intim merupakan mayoritas kasus dan meningkat seiring
dengan kemiskinan seperti terlihat di India (21-28%)5, dan beberapa negara di Asia (4-
48%).6 Hal ini juga berkaitan dengan budaya, agama, kemiskinan dan keluarga besar dalam
komunitas. Das et al., pada tahun 2013 melaporkan bahwa satu dari tujuh wanita mengalami
kekerasan oleh partner intimnya selama atau sesaat setelah kehamilan di perkampungan
miskin Mumbai.5 Sebuah studi serupa di Vietnam menggambarkan bahwa pajanan terhadap
kekerasan oleh partner intim selama kehamilan meningkatkan risiko dari kelahiran preterm
dan berat badan lahir rendah.4
Ibrahim et al., meneliti kekerasan selama kehamilan pada 1,857 wanita Mesir yang
berusia 18-43 tahun dan melaporkan prevalensi kekerasan sebesar 44,1% pada kelompok
studi tersebut.7

Kecelakaan Kendaraan Bermotor


Kecelakaan kendaraan bermotor yang melibatkan pengemudi ibu hamil berkaitan
dengan peningkatan rerata hasil akhir yang buruk, termasuk kelahiran preterm, kelahiran
mati, gangguan plasenta, dan premature rupture of membrane (PROM).
Pada tahun 2013, Chathrine, et al., menyatakan bahwa diantara pengemudi ibu hamil
yang terlibat dalam satu atau lebih kecelakaan, 2% dilaporkan tidak menggunakan sabuk
keselamatan dan 18% dilaporkan mengemudi dalam kendaraan yang tidak memiliki airbag.8
Hubungan kuat antara kecelakaan kendaraan bermotor dan trauma dalam kehamilan
meningkatkan betapa pentingnya penggunaan yang benar dari sabuk keselamatan. Cara yang
benar untuk menggunakan sabuk keselamatan selama kehamilan menjaga agar bagian dari
sabuk tetap rendah, pada tulang pelvis, dan menempatkan ikatan pada bahu diantara
payudara (gambar 1).8,9

Gambar 1: Cara yang benar untuk menggunakan sabuk keselamatan

Pembunuhan & Bunuh Diri


Pihak kesehatan pemerintahan yang berwenang di banyak negara telah mengadopsi
sebuah sistem pemantauan, mencari mortalitas diantara wanita hamil. Mereka bertujuan
untuk mengidentifikasi penyebab paling umum non-obstetrik dari kematian termasuk
kekerasan, pembunuhan, bunuh diri, dan keracunan.
Pada tahun 2016, sebuah studi dilakukan oleh Wallace et al., yang mengulas
mengenai kematian di Amerika Serikat dengan menggunakan pemantauan mortalitas
kehamilan dari tahun 2005-2010. Mereka membandingkan mortalitas diantara empat
kelompok wanita: hamil, segera setelah postpartum, lama setelah postpartum dan tidak
sedang hamil/tidak baru saja melahirkan. Mereka memperkirakan rasio mortalitas terkait
kehamilan dan membandingkan dengan rasio mortalitas tidak hamil/tidak baru saja
melahirkan. Mereka mendapatkan hasil dimana pembunuhan lebih sering pada korban ibu
hamil yang masih muda usianya, berkulit hitam, dan memiliki tingkat pendidikan yang
kurang sedangkan bunuh diri terkait kehamilan terjadi paling sering diantara wanita berkulit
putih berusia lebih tua. Mereka juga menyimpulkan bahwa risiko pembunuhan diantara
wanita hamil/postpartum adalah sebesar 1,84 kali dibandingkan wanita tidak hamil/ tidak
baru saja melahirkan, sedangkan risiko bunuh diri justru menurun.10
PENDEKATAN TERHADAP PENILAIAN DAN PENANGANAN TRAUMA
OBSTETRIK
Trauma dalam kehamilan dapat diklasifikasikan kedalam tiga tipe yang berbeda:
trauma tumpul abdominal, fraktur pelvis, dan trauma tusuk. Trauma obstetrik telah dikaitkan
dengan komplikasi serius termasuk cedera pada ibu hamil, syok, perdarahan internal,
gugurnya janin intrauterin, cedera janin langsung, gangguan plasenta, dan ruptur uterus.
Karena itu, evaluasi cepat yang efisien sangatlah kritis untuk memastikan keadaan yang baik
bagi ibu dan janinnya.11

Penilaian dan Penanganan


Sebuah tim multidisiplin harus disediakan untuk mengoptimalkan hasil akhir baik
bagi ibu dan janin. Tim ini melibatkan dokter bedah ahli trauma, dokter pengobatan
emergensi, ahli kandungan, ahli neonatus, staf perawat, dan ahli teknik. Kapanpun kondisi
pasien memerlukan pembedahan, seorang ahli anestesi obstetrik harus dilibatkan.12 Tim ini
harus mempertimbangkan perubahan anatomi dan fisiologis dalam kehamilan13, yang dapat
mempengaruhi jenis dari cederan dan respon ibu terhadap trauma.14

Berdasarkan Pedoman Trauma Obstetrik tahun 201414, urutan aksi di bawah ini harus
dilaksanakan segera setelah diberikan informasi:

1. Kumpulkan informasi vital dari pemberi informasi menggunakan mnemonik MIST

M (Mechanism)Mekanisme cedera

I (Injury) ditemukan atau dicurigai cedera

S (Signs) tanda: pernapasan per menit, denyut nadi, tekanan darah, SpO2, GCS atau AVPU

T (Treatment) Pengobatan yang sudah diberikan

Primary Survey
Setiap wanita dalam usia reproduktif dengan cedera yang signifikan harus
dipertimbangkan sedang hamil hingga terbukti sebaliknya. Segera setelah dimulainya
primary survey, pasien hamil dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu harus dirawat dengan
miring ke arah lateral kiri 15-30 derajat untuk membebaskan kompresi aorto-caval.
Kemiringan 30-derajat dapat dicapai dengan menempatkan sebuah bantalan dibawah
paha kanan pasien, menggunakan bantal, handuk yang digulung atau kantong berisi cairan,
atau secara manual memindahkan uterus ke arah kiri. Cara yang terakhir disebutkan
disarankan karena dapat memberikan kompresi dada yang efektif selama resusitasi jantung
paru (gambar 2).14-15

Usia gestasi dapat diidentifikasi dari tinggi fundus. Pada usia gestasi 24 minggu,
tinggi fundus akan sama tingginya dengan umbilikus.
Sebuah pendekatan sistematis berdasarkan pada pemantauan ABCDE harus
dilakukan untuk menilai dan menangani pasien cedera akut.

Gambar 2: Memiringkan uterus secara manual

Pendekatan ABCDE: A untuk Airway, B: Breathing, C: Circulation, D: Disability,


dan E untuk Exposure.
Tujuannya adalah untuk menangani kondisi apapun yang mengancam keselamatan
dan mengidentifikasi kekhawatiran yang baru muncul, terutama pada seorang pasien hamil
yang dapat datang dengan komplikasi politrauma.

Airway dan perlindungan tulang belakang bagian servikal


Nilai stabilitas airway:
Penilaian airway termasuk tanda-tanda dari obstruksi jalan napas (penggunaan otot-
otot aksesoris, pergerakan dada paradoksikal dan respirasi see-saw). Intubasi
dipertimbangkan segera jika terdapat tanda penurunan kesadaran, atau jalan napas yang tidak
terproteksi. Intubasi bahkan dipertimbangkan lebih segera pada pasien hamil dibandingkan
dengan pasien yang tidak hamil karena wanita hamil dapat mengalami desaturasi lebih cepat
dan lebih rentan terhadap cedera hipoksik yang irreversible. Hipoksia maternal berkaitan
dengan hasil akhir yang buruk bagi janin.
Bagaimanapun juga, kecenderungan untuk terjadinya kegagalan intubasi lebih tinggi
pada pasien hamil. Karena itu, intubasi pada pasien hamil harus dicoba oleh praktisi/dokter
paling senior dan paling berpengalaman dan terlatih untuk menangani airway.15
Laringoskopi direk menggunakan sebuah laringoskop standar (bilah Macintosh) seringkali
dilakukan. Sebuah laringoskop berlengan pendek harus tersedia untuk wanita hamil
dikarenakan pembesaran payudara dapat mengganggu insersi dari laringoskop dengan
panjang lengan yang standar.16
Persiapan untuk suatu intubasi yang sulit harus dimulai secepatnya, dengan semua
peralatan yang tersedia untuk penanganan jalan napas yang sulit termasuk laringoskop rigid
dengan beberapa bilah, laringoskop McCoy (dengan ujung yang dapat digerakkan), beberapa
ukuran nasal dan oral airway, endotracheal tube berukuran kecil, peralatan supraglottic,
stilet, illuminating stylet, bougie (elastis seperti permen karet), dan laringoskopi yang
dibantu video jika tersedia.
Ketersediaan dari fibre-optic dapat membantu untuk intubasi pasien dengan jalan
napas yang telah diketahui sulit atau dengan fraktur fasial atau servikal. Pada negara dengan
keterbatasan sumberdaya, dokter ahli anestesi dapat merekrut kolega yang lain untuk
menjaga stabilisasi in-line secara manual atau untuk menjaga collar tetap pada tempatnya
selama intubasi.15
Tekanan pada krikoid dapat dipertimbangkan selama intubasi untuk menurunkan
risiko regurgitasi dari isi gaster ke dalam faring. Meskipun demikian, tekanan pada krikoid
dapat disesuaikan atau dihentikan jika mengganggu penglihatan saat intubasi.

Breathing
Disarankan untuk memberikan oksigen beraliran tinggi (15L) untuk menjaga saturasi
oksigen dari ibu hamil yang terkena trauma tetap sekitar 100%14 atau setidaknya diatas
95%.15 Rekomendasi ini bertujuan untuk menghindari hasil akhir buruk bagi janin yang telah
cukup dikenal dari hipoksia maternal. Auskultasi dada adalah sebuah keharusan untuk
mendeteksi mengi atau penurunan aliran masuk udara akibat dari cedera dada yang
mendasari. Sebuah nasogastric tube harus dipasang pada wanita hamil yang cedera dengan
kesadaran kurang atau tidak sadar untuk mencegah aspirasi dari isi gaster yang asam.
Kecurigaan fraktur dasar tengkorak harus disingkirkan sebelum memasangkan nasogastric
tube.14
Trauma tumpul pada dada mungkin diperparah dengan cedera yang mengancam
nyawa; tension pneumothorax, hemothorax atau ruptur aorta. Cedera-cedera tersebut harus
didiagnosis dengan penilaian klinis, x-ray dada, computed tomography atau ultrasonography
disisi ranjang pasien. Penanganan termasuk torakostomi dengan jarum atau chest tube.17, 18
Pada pasien hamil dengan trauma, chest tube harus dipasang satu atau dua jarak tulang kosta
lebih tinggi (pada ruang interkosta ketiga atau keempat) oleh karena peningkatan tinggi
diafragma dalam kehamilan.14

Sirkulasi
Denyut nati, tekanan darah dan vena leher dari ibu harus diperiksa, sementara tanda
dari perdarahan diperhatikan. Kemungkinan terjadinya perdarahan internal yang signifikan
dicurigai berdasarkan keterkaitannya dengan mekanisme cedera. Bagaimanapun juga, pasien
hamil mungkin tidak menunjukkan tanda perdarahan hingga terdapat pengurangan sebanyak
30% dari volume darah. Takikardi dengan tensi normal dapat dipertimbangkan sebagai tanda
awal dari kemungkinan terjadinya kehilangan darah yang signifikan.14
Pemasangan 2 kanul intravena berukuran besar (14-16 gauge) direkomendasikan
untuk semua pasien trauma dengan cedera berat untuk membantu memulai penambahan
cairan kristaloid secara cepat dan kemungkinan perlunya transfusi darah jika diperlukan.
Pemberian carian dan produk darah selama resusitasi harus dilakukan berdasarkan protokol
standar untuk trauma. Meski begitu, beberapa modifikasi harus dibuat pada korban ibu hamil
dengan trauma.
Resusitasi cairan harus dimulai jika dicurigai hipovolemia untuk menjaga perfusi
baik bagi aliran darah maternal dan fetoplasental. Pada lingkugan dengan keterbatasan
sumberdaya, penggunaan cairan kristaloid yang lebih murah masih disarankan karena
kristaloid efektif dalam meningkatkan oksigenasi neonatus jika terdapat bukti dari hipotensi
maternal.19,20 Mulai resusitasi dengan 1 hingga 2 L cairan kristaloid. Transfusi darah atau
produk darah harus dipertimbangkan untuk pemberian cairan selanjutnya. Jika kecocokan
darah dicurigai tidak sesuai, darah grup O Rh-negatif harus digunakan untuk mencegah
terbentuknya antibodi. Tujuannya adalah untuk transfusi darah dan kristaloid guna menjaga
hematokrit antara 25-30% dan produksi urin lebih dari 30cc/jam.15
Vasopressor diketahui memiliki efek samping dalam perfusi uteroplasental.
Karenanya, vasopressor dalam wanita hamil harus digunakan untuk hipotensi yang sulit
diperbaiki yang tidak merespon terhadap resusitasi cairan. Pada kasus hipotensi maternal
yang tidak merespon terhadap penambahan volume intravaskular, vasopressor yang dapat
digunakan adalah efedrin. Efedrin memiliki agen β-2 dan α-1 agonis, dan karena itu
meningkatkan aliran darah uterus dan tekanan darah maternal.3

Penilaian terfokus dengan sonografi untuk trauma (focused assessment with sonography
for trauma/FAST)
Pemeriksaan penilaian terfokus dengan sonografi untuk trauma (FAST)
dipertimbangkan sebagai tindakan paling baik saat ini. FAST menilai empat area dimana
cairan atau darah dapat terakumulasi dalam abdomen termasuk window subxifoid
pericardial, resesus hepatorenal, pandangan perisplenic dan suprapubis.12
Sebuah ulasan retrospektif berskala besar menilai bahwa pemeriksaan FAST
memiliki spesifisitas dan akurasi >90% untuk mendeteksi cairan bebas pada pasien hamil
dengan trauma (pemindaian FAST positif).13 Beberapa penulis percaya bahwa pada pasien
hamil dengan trauma yang kondisinya stabil, pemindaian computed tomography (CT)
diindikasikan hanya jika pemeriksaan FAST hasilnya positif. Sedangkan sebuah studi ulasan
retrospektif terbaru menemukan bahwa CT dapat mendiagnosis pasien gangguan plasenta
secara akurat, pada kondisi dimana hasil pemeriksaan FASTnya negatif.15 Penilaian
ultrasound obstetrik termasuk denyut jantung janin, usia kehamilan, presentasi janin,
plasenta, gangguan plasenta, bukti cedera janin, dan bukti adanya cairan
intraabdominal/intrapelvis.
Karena biaya untuk ultrasound obstetrik menjadi semakin terjangkau di negara
dengan pendapatan rendah hingga menengah (Low and Middle-income countries/LMICs),
hal ini ternyata dapat meningkatkan penanganan pasien.21 LMICs telah mempublikasikan
artikel yang mendokumentasikan pentingnya penggunaan FAST pada perawatan trauma.
Artikel dari Afrika Selatan, Liberia, Rwanda dan Peru menyimpulkan bahwa ultrasound
merupakan suatu alternatif dari computer tomography (CT) yang dapat diandalkan dan
terjangkau dalam konteks trauma.22

Disability: status neurologis


Penilaian dari status neurologis termasuk penilaian tingkat kesadaran dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) atau penliaian APVU (Alert, merespon terhadap
suara/Voice, merespon terhadap nyeri/Pain, Unresponsive).
Respons pupil dan kadar gula darah juga harus dinilai.

Exposure
Pakaian dan perhiasan pasien dilepaskan dalam rangka untuk dapat menilai seluruh
area tubuh. Adalah sebuah keharusan untuk menghindari hipotermia pada pasien hamil
dengan trauma, karena hal tersebut dapat mengarah pada asidosis metabolik dan perdarahan.
Karena itu, disarankan untuk memonitoring temperatur pasien yang bertujuan untuk menjaga
temperatur pasien diatas 36.5oC. Pasien dijaga agar tetap hangat dengan menyediakan
ruangan yang hangat dan dengan menghangatkan cairan intravena.14

Secondary survey
Secondary survey hanya boleh dimulai begitu pasien telah dalam kondisi stabil tanpa
adanya cedera yang mengancam nyawa.
Suatu pemeriksaan mendetil dari ujung kepala hingga kaki dilakukan, diikuti dengan
penilaian terhadap janin.

Riwayat pasien digali menggunakan akronim AMPLE untuk membantu dalam pengumpulan
informasi penting:

A Alergi

M Medication/pengobatan

P Past medical history/riwayat medis sebelumnya

L Last meal/makan terkhir

E Events leading to injury/kejadian yang mengarah pada cedera

Pemeriksaan kepala hingga kaki:


Pemeriksaan abdominal dalam kehamilan cukup menantang dan dipersulit oleh
perbesaran dari uterus.
Perhatian yang lebih diberikan pada tanda dari gejala di sekitar pelvis; nyeri pada
uterus, kontraksi uterus, perdarahan dari vagina atau rupturnya membran.15

Penilaian janin:
Pemantauan elektronik dari janin diindikasikan pada saat terdapat kepastian
viabilitas janin (lebih dari 24 minggu) dan peralatan yang memadai tersedia
(cardiotocography/CTG).
CTG memungkinkan pemantauan dari denyut jantung janin dan kontraksi uterus.
Denyut jantung janin normal bervariasi antara 120 hingga 160 denyut per menit.17
Jenis trauma
Trauma tumpul:
Laparotomi untuk mengontrol kerusakan/damage control laparotomy (DCL)
dipertimbangkan sebagai prosedur penyelamat nyawa dengan potensi mendiagnosa hasil
akhir klinis destruktif yang dapat diperkirakan pada kondisi trauma tumpul abdominal
dengan perdarahan.23
Dalam sebuah ulasan sistematis mengenai literatur terkini mulai dari Januari 2006
hingga Juli 2016, termasuk total sebanyak 95,949 pasien, kecelakaan kendaraan bermotor
merupakan penyebab paling sering dari trauma tumpul, diikuti oleh terjatuh, penyerangan,
baik kekerasan domestik maupun interpersonal.24
Cedera janin langsung cukup jarang dengan trauma tumpul berkat absorpsi kekuatan
trauma oleh uterus, plasenta dan cairan amnion. Meski demikian, cedera dan kematian janin
adalah sebuah akibat tidak langsung dari syok dan kematian maternal.24
Selama trimester pertama, uterus dilindungi oleh tulang pelvis.24 Seiring dengan
perbesaran dari uterus, uterus berpindah posisi menggantikan usus ke arah kranial,
menjadikan janin lebih rentan terhadap cedera. Penipisan dari dinding uterus seiring
pertumbuhan dan pengurangan relatif dari volume cairan amnion juga menyumbang
terhadap kerentanan janin. Cedera kandung kemih dan spleen serta perdarahan
retroperitoneal adalah cedera paling sering akibat dari trauma tumpul.25
Fraktur pelvis seringkali berkaitan dengan trauma tumpul dan berhubungan dengan
perdarahan retroperitoneal yang signfikan akibat dari kerusakan pembuluh darah pelvis.
Komplikasi obstetrik dari trauma tumpul abdomen termasuk persalinan preterm,
kelahiran preterm, preterm premature rupture of membrane, kerusakan plasenta, perdarahan
fetomaternal, dan yang jarang terjadi, ruptur uterus.

Trauma tusuk:

Trauma tusuk adalah akibat dari luka tusukan pisau atau cedera akibat tembakan senjata dan
memerlukan pembedahan eksplorasi segera. Uterus pada kehamilan tumbuh ke arah cranial
mendorong semua organ dalam dan berperan sebagai penahan pelindung dalam trauma tusuk.
Karena itu, cedera uterus adalah temuan umum pada kasus-kasus tersebut, yang menyebabkan
cedera janin langsung dan meningkatkan mortalitas baik ibu dan janin.

Penanganan pada trauma tusuk tidaklah berbeda antara pasien hamil dengan pasien
tidak hamil.12 Laparotomi eksplorasi bukanlah indikasi untuk persalinan caesarea, namun
uterus yang tengah terisi janin membuat sulitnya pembedahan abdomen; karena itu seksio
caesarea mungkin diperlukan.15

Luka Bakar:
Insidensi cedera luka bakar selama kehamilan bervariasi mulai dari 7% hingga
15%.26 dengan mayoritas kasus terjai di negara berkembang. Luka bakar terjadi akibat
cedera termal secara langsung, cedera inhalasi pada jalan napas, karbon monoksida, sianida,
atau penyebaran dari aliran elektrik. Risiko mortalitas ibu dan janin tergantung pada jumlah
dari total luas permukaan tubuh yang terbakar/total body surface area burned (TBSAB)
yang akan dihitung dengan rule of 9’s.27 Metode ini ditujukan untuk digunakan pada: luka
bakar derajat dua (luka bakar ketebalan parsial), luka bakar derajat tiga (luka bakar ketebalan
seluruhnya). Untuk dewasa, rule of 9 adalah:
Lengan (termasuk tangan): 9% masing-masing
Batang tubuh/trunkus anterior (bagian depan tubuh): 18%
Batang tubuh/trunkus posterior (bagian belakang tubuh): 18%
Genitalia: 1%
Kepala dan leher: 9%

Karena luka bakar berat pada wanita hamil tidak sering, karena itu masih sedikit data
yang menunjukkan terapi yang adekuat.
Resusitasi cairan adalah kepentingan tertinggi pada luka bakar selama kehamilan,
masuk ke dalam suatu kondisi hiperdinamis dengan total volume plasma tubuh diperbesar.
Karenanya, risiko syok hipovolemik meningkat dan dapat mengarah pada insufisiensi
plasenta. Meski demikian, penanganan resusitasi tidaklah berbeda dari wanita yang tidak
hamil. Penggantian cairan intravena dapat dimulai menggunakan formula Parkland
(persentase TBSA yang terbakar X 4 mL per kg berat badan).28
Terdapat banyak formula resusitasi yang diadopsi oleh beberapa unit luka bakar
seperti formula Ruijin yang merupakan suatu modifikasi dari formula Evans. Formula Ruijin
menetapkan rasio cairan kristaloid dibanding cairan koloid sebesar 1:1.29 Modifikasi yang
sesuai dari volume cairan untuk resusitasi cairan yang didasarkan pada tanda-tanda vital dan
produksi urin dari pasien sangat disarankan.
Banyak literatur mengindikasikan bahwa septikemia dan sepsis merupakan penyebab
utama kematian pada wanita hamil, karena itu pemberian antibiotik diperlukan.
Cedera inhalasi pada pasien hamil memerlukan perhatian spesial dan memerlukan
intubasi segera. Jenis cedera ini menyebabkan edema yang signifikan yang memicu edema
fisiologis pada orofaring dan laring yang berkaitan dengan kehamilan. Karbon monoksida
meningkatkan afinitas molekul hemoglobin dan menggantikan oksigen. Sirkulasi janin
memiliki peningkatan 15% dalam karbonmonoksida yang menurnkan kemampuan
oksigenasi pada janin, dan dapat mengarah pada perubahan denyut jantung janin. Keracunan
karbonmonoksida diobati dengan oksigenasi 100%, atau oksigenasi hiperbarik jika
tersedia.27
Jumlah mortalitas ibu pada penelitian bervariasi antara 30% pada penelitian oleh Ogbogu et
al.,28 hingga 70% pada penelitian yang lainnya.29,30,31
Efek dari luka bakar pada janin termasuk aborsi atau persalinan preterm sebagaimana
terkonfirmasi dari banyak penelitian. Faktor yang menentukan efek pada janin termasuk
peningkatan TBSA, hipovolemia, sepsis, cedera pulmoner (cedera inhalasi), katabolisme
dan efek samping dari obat.32,33
Persalinan caesarea segera direkomendasikan pada luka bakar seluas 55% atau lebih
untuk janin viable tanpa menunda pemberian kortikosteroid antenatal. Untuk luka bakar
dengan luas <55%, kortikosteroid antenatal dapat diberikan dengan penatalaksanaan
kehamilan.34,35,36

Pencitraan selama trauma obstetrik:


Modalitas pencitraan yang ideal selama kehamilan masih belum ditentukan, namun
computed tomography (CT) ternyata memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibanding foto
polos pada pasien tidak hamil..
Meskipun evaluasi radiografi pada pasien hamil meningkatkan kekhawatiran
mengenai kemungkinan pajanan terhadap janin, namun pencitraan diagnostik bukanlah
kontraindikasi pada pasien kehamilan, karena dapat menunjukkan komplikasi obstetrik
seperti gangguan abruptio plasenta atau ruptur uterus. Penilaian radiografi awal pada pasien
hamil dengan trauma haruslah termasuk pencitraan pada vertebra servikal, dada dan pelvis.37
Penelitian computed tomography (CT) pada abdomen, pelvis dan vertebra lumbar
hanya boleh dilakukan jika memang diperlukan, karena tindakan tersebut dapat memberikan
janin hingga 3,5 rads (dosis penyerapan radiasi). Karena cedera kepala ibu hamil adalah
salah satu penyebab utama kematian ibu dan karena CT hanya memberikan 1 rad pada setiap
kali pajanan dengan perlindungan yang tepat, tindakan ini harus dilakukan jika perlu.
Organisasi keamanan radiasi merekomendasikan dosis total tidak lebih dari 5 rad
untuk setiap wanita hamil.38
Risiko radiasi terbesar bagi janin terdapat sejak masa awal kehamilan, selama
organogenesis (minggu 2-8) dan perkembangan neural tube (hingga minggu 15).
Ultrasonografi dan magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan saat perlu dan
pantas serta tidak memberikan radiasi terhadap ibu atau janinnya.39
Ultrasonografi dapat menilai status janin terutama untuk nada denyut jantung janin,
aktivitas janin, presentasi, plasenta, abrupsio plasenta, bukti cedera janin dan
memperkirakan usia gestasional.12

Penilaian Obstetrik dan Janin:


Semua pasien hamil dengan trauma dengan kehailan yang viable (≥23 minggu) harus
menjalani pemantauan elektronik janin untuk setidaknya selama 4 jam. Pemantauan janin
secara terus-menerus harus dilakukan segera setelah kondisi ibu memungkinkan, terutama
di departemen emergensi.
FAST efektif untuk mendiagnosa abrupsio plasenta, aktivitas jantung janin, cedera
janin lainnya,15 evaluasi kantung Douglas untuk melihat hemoperitoneum dan membedakan
antara cairan intrauterus dan ekstrauterus.10
Cedera janin termasuk fraktur janin, terutama tengkorak, klavikula dan tulang
panjang, perdarahan intrakranial dan cedera tidak langsung akibat dari hipoksia janin
sekunder terhadap: hipotensi maternal, perdarahan janin, abrupsio plasenta atau cedera
lainnya, cedera tali pusat dan cedera uterus. Komplikasi janin lainnya adalah aborsi spontan,
persalinan preterm, dan isoimunisasi sel darah merah (red blood cell/RBC).19
Rh immune globulin (RhIG): 40% korban trauma akan mengalami perdarahan janin-
maternal. Semua korban trauma dengan Rh-negatif harus dipertimbangkan untuk diberikan
1 vial RhIG (300µg/IM). Hal ini ditentukan oleh tes Kleihauer-Betke (KB). Tes tersebut
adalah uji elusi asam menggunakan darah yang diambil dari pasien ibu hamil. Setelah
melisiskan sel dengan asam, tes ini memperlihatkan jumlah darah janin pada sistem
maternal. Bahkan dengan tes Kleihauer-Betke (KB) yang negatif. Harus segera diberikan
secepat mungkin, dan dalam waktu 72 jam setelah kecelakaan.14,31
Jika kondisi ibu stabil, persalinan Caesaria tidak diperlukan pada kasus kematian
janin. Metode dan waktu persalinan dapat direncanakan dengan konsultan ahli kandungan.
Jika laparotomi akan dilakukan oleh karena alasan lain, ahli kandungan harus diberitahu
secepatnya. Bagaimanapun juga, persalinan caesaria masih tidak dianjurkan kecuali terdapat
fraktur pelvis atau perdarahan dari cedera uterus.31,40

Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan Seksio Caesaria Perimortem (PMCS)


RJP efektif sangatlah sulit pada wanita hamil yang hampir cukup bulan karena
kesulitan dalam pemberian kompresi dada serta kompresi aorto-caval oleh rahim yang terisi
janin.
Modifikasi RJP pada pasien hamil dengan trauma adalah:
1. Pemindahan letak uterus ke lateral kiri adalah suatu keharusan untuk membebaskan
kompresi vena cava.
2. Defibrilasi sama dengan pada pasien tidak hamil dengan pertama-tama melepaskan
monitor janin uterus sebelum pemberian kejutan listrik.
3. Penanganan jalan napas lanjutan dilakukan segera bersama dengan menstabilisasi
vertebra servikal.
4. Kompresi dada tertutup: 100 kali per menit menggunakan rasio 30:2 dengan
ventilasi. Tangan penolong diletakkan sedikit diatas garis antar puting.
5. Cairan intravena diberikan di tahap awal.
6. Pemberian obat-obat Advanced cardiac life support (ACLS) sesuai indikasi:
adrenalin, amiodaron, magnesium, atropin dan sodium bikarbonat.
7. Jika tidak ada respons maternal setelah 4 menit ACLS, persalinan Caesarea harus
segera dilakukan di departemen emergensi. Torakotomi dan pijat jantung terbuka
dapat dipertimbangkan jika pada saat ini pasien atau janin dipercaya dapat viable.
Jika usia janin lebih dari atau sama dengan 24 minggu: lakukan percobaan untuk
menyelamatkan nyawa baik ibu dan janinnya dengan melahirkan janin untuk mengurangi
kompresi aorto-caval, yang akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung ibu & membantu
percobaan resusitasi. Jika usia gestasional kurang dari 24 minggu, persalinan Caesaria segera
tidak diperlukan karena gangguan terhadap aorto-caval cenderung tidak ada.
Penilaian denyut jantung janin harus dilakukan sepanjang resusitasi, jika kondisi
memungkinkan.41, 42, 43

Peran Anestesi pada penanganan trauma Obstetrik


Ahli anestesi memiliki beberapa pertimbangan selama membantu pasien hamil
dengan trauma berat, misalnya, resusitasi adekuat dan membantu hemostasis dalam
pembedahan. Idealnya, ahli anestesi obstetrik lebih familiar dengan fisiologi dari kehamilan
dapat memainkan peranan penting dalam resusitasi, selain untuk menyediakan anestesi
untuk intervensi pembedahan.44
Wanita yang mengalami cedera pada kecelakaan kendaraan bermotor memiliki
insidensi tinggi terhadap prosedur pembedahan dan persalinan caesarea. Kehamilan
bukanlah sebuah kontraindikasi untuk penanganan operatif pada fraktur pelvis, atau pada
intervensi bedah saraf. Tindakan tersebut tidak boleh ditunda.32,40
Indikasi untuk persalinan Caesarea emergensi termasuk ibu yang stabil dengan janin
viable yang terancam dan ruptur uterus akibat trauma.
Selama pembedahan untuk cedera akibat trauma, janin dapat berisiko hipoksemia,
teratogenisitas, dan persalinan preterm. Meski demikian, obat-obatan anestesi yang umum
digunakan dalam kehamilan dipertimbangkan aman, termasuk bensofiazepin dan anestesi
inhalasi. Saat perubahan hemodinamik yang besar diantisipasi, pemantauan janin harus
dilakukan jika lokasi pembedahan memungkinkan untuk pemantauan, untuk membantu
menilai adekuat tidaknya perfusi plasenta.19
Anestesi umum harus selalu dimulai dengan induksi urutan cepat/rapid sequence
induction dan penekanan krikoid dalam rangka menurunkan risiko regurgitasi dari isi
lambung ke faring.45
Untuk rapid sequence induction pada pasien trauma, agen induksi berikut adalah
yang umum digunakan: etomidat, propofol dan ketamine. Propofol adalah agen
anestesi/sedatif yang secara luas digunakan pada pasien hamil karena obat ini memiliki onset
cepat dan durasi aksinya yang pendek.14
The Advanced Trauma Life Support Guidelines of the American College of Surgeons
merekomendasikan penggunaan etomidate dalam kondisi dimana perlu rapid sequence
induction (RSI) dan intubasi trakea. Meski demikian, ketamin memiliki banyak sifat
farmakodinamik yang diinginkan yang membuatnya alternatif yang mumpuni bagi
etomidate, dan harus dipertimbangkan saat pasien cedera akibat trauma memerlukan intubasi
emergensi. Sifat tersebut adalah onset yang cepat, tidak perlu menyesuaikan dosis pada
kegagalan organ, efek minimal pada stabilitas hemodinamik dan mengurangi kebutuhan
opioid untuk analgesik.46
Suksinilkolin adalah sebuah obat yang cocok dan aman, dan harus digunakan untuk
RSI dan intubasi untuk pasien hamil dengan trauma, bahkan jika mereka memiliki cedera
kepala. Peningkatan tekanan intra kranial yang dipicu suksinilkolin menjadi kekhawatiran
pada masa lampau, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa signifikansi klinis dari
peningkatan tersebut hanya dilebih-lebihkan saja.45
Untuk rumatan anestesi, literatur menunjukkan bahwa opioid perioperatif
direkomendasikan dengan risiko yang kecil.14 Ketamin memiliki peranan penting sebagai
infusan berkelanjutan sepanjang operasi dan masa rawat inap Intensif. Ketamin masih tidak
terhingga nilainya karena kemampuannya menjaga stabilitas kardiorespirasi bersamaan
dengan menyediakan efek sedasi dan analgesik yang efektif.47 Obat ini dapat bermanfaat
menurunkan insidensi depresi dan PTSD (post-traumatic stress disorder) yang pada banyak
pasien trauma dapat mengurangi mortalitas.49
Profilaksis untuk tromboembolisme vena dapat dilakukan dengan alat kompresi
berurutan, heparin, atau enoxaparin. Baik heparin dan enoxaparin tidak melewati plasenta.
Jika antikoagulan diperlukan, LMW heparin & fondaparinux adalah pilihan paling aman
selama trauma obstetrik.50

Terapi transfusi:
Terapi transfusi yang direkomendasikan untuk pasien trauma termasuk:
1. Penggantian cepat segera faktor koagulasi & platelet untuk meningkatkan hasil akhir.
2. RBC (sel darah merah) diberikan pada rasio yang tinggi.
3. Transfusi empiris berdasarkan pada penilaian klinis bukan dari hasil laboratoris.51

Hasil akhir Trauma Obstetrik


Trauma selama kehamilan memiliki efek samping baik bagi morbiditas ibu hamil
maupun bayi baru lahir. Hasil akhir wanita hamil yang menderita trauma bergantung pada
jenis dan luasnya trauma. Pasien obstetrik yang bahkan hanya memiliki trauma minimal
memiliki risiko tinggi untuk mengalami komplikasi bahkan setelah secara cepat distabilkan,
diobati, dan diperbolehkan pulang.19
Trauma tusuk berperan dalam kasus mortalitas janin sebesar 30-80%, namun angka
mortalitas ibu cukup rendah karena janin melindungi organ di bagian bawah pelvis. Setelah
trauma tumpul, morbiditas dan mortalitas bergantung pada keparahan kekuatan serangan.
Beberapa rangkaian laporan melaporkan angka morbiditas 5-45% pada wanita hamil yang
mengalami trauma tumpul. Pada banyak serial kasus, keguguran janin tinggi saat perdarahan
sedang hingga berat terjadi.11,15,40
Sementara itu, kecelakaan kendaraan bermotor selama kehamilan berkaitan dengan
peningkatan hasil akhir yang buruk, termasuk kelahiran preterm, janin lahir mati, abrupsio
plasenta, dan premature rupture of membrane. Kecelakaan terutama berbahaya jika
pengemudi tidak menggunakan sabuk keselamatan.8
Meski begitu, Deshpande et al., pada tahun 2017, membandingkan ibu hamil dengan
yang tidak hamil setelah cedera akibat trauma dan ditemukan bahwa wanita hamil dan gadis
memiliki skor keparahan cedera yang lebih ringan dan secara signifikan lebih cenderung
mengalami trauma hebat. Korban hamil dengan trauma memiliki tingkat mortalitas hampir
dua kali lebih besar dibandingkan dengan mereka yang tidak hamil.52
Angka kesintasan janin dari penelitian Battaloglu et al., menunjukkan bahwa kadar
alfa-fetoprotein (MSAFP) yang tinggi mungkin menjadi suatu prediktor hasil akhir janin
yang buruk setelah trauma selama kehamilan tanpa memandang keparahan dari trauma atau
status hemodinamik ibu.54

SIMPULAN
Trauma adalah penyebab kematian dan disabilitas utama pada wanita hamil, terutama
di negara barat. Prioritas resusitasi pada trauma obstetrik sama dengan pada yang tidak
hamil; tangani pertama yang dapat membunuh pertama. Resusitasi memerlukan tim
multidisiplin yang terdiri atas dokter emergensi, ahli kandungan, ahli anestesi dan ahli bedah.

REFERENSI

1. Hill CC and Pickinpaugh J. Trauma and surgical emergencies in the obstetric patient.
Surg Clin N Am 2008; 88(2): 421–440.
2. Sperry JL, Casey BM, McIntire DD, et al. Long-term foetal outcomes in pregnant
trauma patients. Am J Surg 2006; 192(6): 715–721.
3. Emir Battaloglu, Eren Battaloglu, Justin Chu and Keith Porter. Obstetrics in trauma.
Trauma 2015, Vol. 17(1) 17–23.
4. Mendez-Figueroa H., Dahlke J.D., Vrees R.A. and Rouse D.J. Trauma in pregnancy:
An updated systematic review. American Journal of Obstetrics and Gynecology
2013, 209 (1), pp. 1-10.
5. Das S, Bapat U, Shah More N, Alcock G, Joshi W, Pantvaidya S and Osrin D.
Intimate partner violence against women during and after pregnancy: a cross
sectional study in Mumbai slums. BMC Public Health. 2013 Sep 9; 13: 817.
6. Kashif M, Murtaza K and Kirkman M: Violence against women during pregnancy in
some Asian countries: a review of the literature. Ital J Public Health 2010, 7: 6–11.
7. Ibrahim ZM, Sayed Ahmed WA, El-Hamid SA and Hagras AM. Intimate partner
violence among Egyptian pregnant women: incidence, risk factors, and adverse
maternal and fetal outcomes. Clin Exp Obstet Gynecol. 2015; 42(2): 212-9.
8. Vladutiu C J, Marshall S W, Poole C., Casteel C., Menard K. and Weiss H B. Adverse
Pregnancy Outcomes Following Motor Vehicle. Am J Prev Med. 2013; 45(5).
9. Mieghem T V, Whittle W L, Farine D, Seaward G and D’Souza R. Motor Vehicle
ccidents in Pregnancy: Implications and Management (Letter to the Editor). J Obstet
Gynaecol Can 2013; 35(4): 303–4.
10. Wallace M E, Hoyert D, Williams C. and Mendola P. Pregnancy-associated homicide
and suicide in 37 US states with enhanced pregnancy surveillance. Am J Obstet
Gynecol. 2016; 215(3): 364.e1–364.e10.
11. Mirza F G., Devine P C. and Gaddipati S. Trauma in Pregnancy: A Systematic
Approach. Am J Perinatol 2010; 27: 579–586.
12. Huls CK and Detlefs C. Trauma in pregnancy. Semin Perinatol. 2018; 42(1): 13-20.
13. Smith K A , Bryce S , Gursahani k and Synovitz C K. Trauma in the pregnant patient:
An Evidence-Based Approach to Management. Emergency Medicine Practice, April
g2013, 15 (4): 2.
14. OBSTETRIC TRAUMA GUIDELINE, Version 1.0 - 25/09/2014.p:1-31.
15. Jain V, Chari R, Maslovitz S and Farine D. Guidelines for the Management of a
Pregnant Trauma Patient. J Obstet Gynaecol Can 2015; 37(6): 553–571.
16. Mushambi MC, Kinsella SM, Popat M, et al. Obstetric Anaesthetists’ Association
and Difcult Airway Society guidelines for the management of difcult and failed
tracheal intubation in obstetrics. Anaesthesia. 2015; 70: 1286-1306.
17. Murphy N J and Quinlan J D. Trauma in Pregnancy: Assessment, Management, and
Prevention. Am Fam Physician. 2014; 90(10): 717-722.
18. Morley EJ, Johnson S, Leibner E and Shahid J. Emergency department evaluation
and management of blunt chest and lung trauma (Trauma CME). Emerg Med Pract.
2016; 18(6): 1-20.
19. Sun Moon T and Sappenfeld J .Anesthetic Management and Challenges in the
Pregnant Patient. Curr Anesthesiol Rep (2016) 6: 89–94.
20. Wise R., Faurie M., Malbrain M.and Hodgson E. Strategies for Intravenous Fluid
Resuscitation in Trauma Patients. World J Surg (2017) 41: 1170–1183.
21. Kim E T, Sin gh K, Moran A, Armbruster D. and Kozuki N. Obstetric ultrasound use
in low and middle income countries: a narrative review. Kim et al. Reproductive
Health (2018) 15: 129
22. Groen R.S., Leow J.J., Sadasivam V. and Kushner A. L. Review: indications for
ultrasound use in low- and middle-income countries. Tropical Medicine and
International Health 2011; 16, 12 pp 1525–1535.
23. Shang-Yu Wang, Chien-Hung Liao, Chih-Yuan Fu, Shih-Ching Kang, Chun Hsiang
Ouyang, I-Ming Kuo,Jr-Rung Lin, Yu-Pao Hsu, Chun-Nan Yeh4 and Shao Wei Chen
,Wang et al. An outcome prediction model for exsanguinating patients with blunt
abdominal trauma after damage control laparotomy: a retrospective study. BMC
Surgery 2014, 14: 24.
24. Petrone P, Jiménez Morillas P, Axelrad A and Marini C.P. Traumatic injuries to the
pregnant patient: a critical literature review. Eur J Trauma Emerg Surg 2017, March,
pp1-10.
25. Shah AJ and Kilcline BA: Trauma in pregnancy. Emerg. Med. Clin. N. Am 2003.
21(3), 615–629.
26. Wallner C., Kern P., Teig N., Lehnhardt M. and Behr B. The interdisciplinary
management of Severe burns in pregnancy. Burns Open 2017; 1 (1), pp74-77.
27. Yan Shi, Xiong Zhang, Bo-Gao Huang, Wen-Kui Wang and Yan Liu Shi et al.
Severe burn injury in late pregnancy: a case report and literature review. Burns &
Trauma (2015) 3:2.
28. Ogbogu C J ,Uduezue A., Anetekhai W I and Agunwa CC . Burn injuries in
pregnancy in a regional burns center in Nigeria: Presentation, maternal and fetal
outcome. Burns Open 2 (2018) 53–58.
29. Akhtar MA, Mulawkar PM and Kulkarni HR. Burns in pregnancy: effect on maternal
and fetal outcomes. Burns 1994; 20(4): 351–5.
30. Karimi H, Momeni M, Momeni M and Rahbar H. Burn injuries during pregnancy in
Iran. Int J Gynaecol Obstet 2009; 104: 132–4.
31. Mattox KL and Goetzl L: Trauma in pregnancy. Crit. Car Med. 33(10), S385.S389
(2005).
32. Pearlman M, Tintinalli J and Lorenz R: A prospective controlled study of outcome
after trauma during pregnancy. Am. J. Obstet. Gynecol. 162(6), 1502.1510 (1990).
33. Banerjee T, Karmakar A and Adhikari S. Foetal salvage by Caesarean section in a
case of maternal burn injury. Singapore Med J 2012; 53(11): e247.
34. Jain ML and Garg AK. Burns with pregnancy—a review of 25 cases. Burns. 1993;
19(2): 166–167.
35. Craft-Coffman B, Bitz G H, Culnan D M, Linticum K M, Smith L W, Kuhlmann
Capek MJ, Fagan SP and Mullins RF. Care of the Burned Pregnant Patient (Chapter
34) in Total Burn Care (Fifth Edition) 2018, Pages 364-371.e2
36. Wallner C., Kern P, Teig N., Lehnhardt M. and Behr B. The interdisciplinary
management of Severe burns in pregnancy. Burns Open 1 (2017) 74–77.
37. Jha P, Melendres G, Bijan B, et al .Trauma in pregnant women: assessing detection
of post-traumatic placental abruption on contrast-enhanced CT versus ultrasound.
Abdominal Radiol. 2017; 42 (4): 1062–1067
38. WA Trauma System and Services Implementation Committee, WA Trauma
Directors Committee, RPH Trauma Committee, Dr Anne Karczub (HoD Obstetrics,
KEMH).State Trauma Guidelines for the Management of Injured Pregnant.
Government of western Australia - Department of Health, 2014.
39. Lima GG, Gomes DG, Gensas CS, Simão MF, Rios MN, Pires LM, Kruse ML and
Leiria TL. Risk of ionizing radiation in women of childbearing age undergoing
radiofrequency ablation. Arq Bras Cardiol. 2013; 101(5): 418-22.
40. Krywko DM and Kiel J. Pregnancy Trauma. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan.
41. Jain V., Chari R., Maslovitz S., Farine D., Bujold E., Gagnon R., Basso M. and
Sanderson F. Guidelines for the Management of a Pregnant Trauma Patient (2015)
Journal of Obstetrics and Gynaecology Canada, 37 (6) , pp. 553-571.
42. Katz VL. Perimortem cesarean delivery: its role in maternal mortality. Semin
Perinatol 2012; 36: 68–72.
43. Kikuchi J and Deering S. Cardiac arrest in pregnancy. Semin Perinatol. 2018; 42(1):
33-38.
44. Mattox K L and Goetzl L. Trauma in pregnancy. Crit Care Med 2005 Vol. 33, No.
10 (Suppl.), S385-S389.
45. KUCZKOWSKI K.M. Trauma during pregnancy: a situation pregnant with danger.
Acta Anaesth. Belg., 2005, 56, 13-18.
46. Upchurch C P, Grijalva C G, Russ S, Collins S P, Semler M W, Rice T , Liu D,
Ehrenfeld J M , High k, Barrett T W, McNaughton C D and Self W H. Comparison
of Etomidate and Ketamine for Induction during Rapid Sequence Intubation of Adult
Trauma Patients. Ann Emerg Med. 2017 Jan; 69(1): 24–33.e2.
47. Linda L, Vlisides P E. Ketamine: 50 Years of Modulating the Mind: Review article.
Front. Hum. Neurosci., November 2016.
48. Mion G, Le Masson J, Granier C and Hoffmann C. A retrospective study of ketamine
administration and the development of acute or post-traumatic stress disorder in 274
war-wounded soldiers. Anaesthesia. 2017; 72(12): 1476 1483.
49. Shakur H, Elbourne D, Roberts I, et al. Effects of early tranexamic acid
administration on mortality, hysterectomy, and other morbidities in women with
post-partum haemorrhage (WOMAN): an international, randomised, double-blind,
placebo-controlled trial. Lancet. 2017; 389: 2105–2116.
50. Vera Regitz-Zagrosek and. Jolien W. Roos-Hesselink. 2018 ESC Guidelines for the
management of cardiovascular diseases during pregnancy. European Heart Journal
(2018) 00, 1–83.
51. Callum JL1, Rizoli S. Assessment and management of massive bleeding: coagulation
assessment, pharmacologic strategies, and transfusion management. Hematology
Am Soc Hematol Educ Program. 2012; 2012: 522-8.
52. Deshpande NA, Kucirka LM, Smith RN and Oxford CM. Pregnant trauma victims
experience nearly 2-fold higher mortality compared to their non -pregnant
counterparts. Am J Obstet Gynecol. 2017; 217(5): 590.e1.
53. Battaloglu E, McDonnell D, Chu J, Lecky F and Porter K. Epidemiology and
outcomes of pregnancy and obstetric complications in trauma in the United
Kingdom. Injury. 2016 Jan; 47(1): 184-7.
54. Tanizaki S1, Maeda S, Matano H, Sera M, Nagai H, Kawamura S and Ishida H.
Elevated maternal serum α-fetoprotein after minor trauma during pregnancy may
predict adverse fetal outcomes. J Trauma Acute Care Surg. 2014; 77(3): 510-3.

Anda mungkin juga menyukai