Anda di halaman 1dari 6

UVEITIS INTERMEDIATE

A. Definisi
Uveitis intermediate adalah peradangan uvea bagian tengah (intermediate) yang
meliputi vitreous anterior, corpus siliaris, dan retina perifer. Pars planitis
merupakan subset dari uveitis intermediate dimana terdapat snowball formation
yang tanpa disertai adanya penyakit infeksi atau penyakit sistemik (Hidayat,
Anita, Himawan, Wijaya, & Fatmawati, 2015).
B. Etiologi
Penyebab pasti dari uveitis intermediate ini belum dapat dipastikan. Menurut
Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) working group’s, uveitis
intermediate berhubungan dengan penyakit infeksi (misal Lyme disease) atau
penyakit sistemik (misal sarkoidosis) (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, &
Fatmawati, 2015).
C. Diagnosis
Pada anamnesis didapatkan adanya penurunan penglihatan tanpa rasa nyeri, serta
adanya floaters. Dari pemeriksaan fisik didapatkan segmen anterior biasanya
tenang atau minimal (keratic precipitates atau flare cell minimal). Sinekia
posterior dapat terjadi atau tidak. Vitritis merupakan gambaran khas pada uveitis
intermediate (kekeruhan vitreous dari trace ke 4+). Vitreous snowball dan
snowbank’s formation dapat ditemukan. Selain itu, dapat terjadi perubahan
retina, misalnya tortuositi arteri dan vena, sheating vena perifer,
neovaskularisasi, dan retinal detachment (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, &
Fatmawati, 2015).
Pemeriksaan angiografi fluoresin fundus (FFA) dapat menunjukkan adanya
Cystoid Macular Edema (CME) dan perivaskulitis. Pemeriksaan ultrasonografi
dapat menunjukkan kekeruhan vitreous dan retinal detachment. Pemeriksaan
Optical Coherence Tomography (OCT) dapat menunjukkan adanya CME.
Pemeriksaan Ultrasound Biomicroscopy (UBM) dapat menunjukkan cysclitic
membrane. Untuk mendiagnosis kelainan sistemik, diperlukan beberapa
pemeriksaan laboratorium, seperti pemeriksaan darah lengkap dam laju endap
darah. Pemeriksaan serum ACE, lisozim, kalsium, dan inorganic phosphorus
dilakukan bila diagnosis mengarah pada sarcoidosis dan lyme disease.
Pemeriksaan foto thoraks PA / HRCT chest dilakukan bila diagnosis mengarah
pada tuberkulosis atau sarcoidosis. Dapat juga dilakukan pemeriksaan mantoux
untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis dan pemeriksaan MRI otak untuk
menegakkan diagnosis multiple sclerosis (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, &
Fatmawati, 2015).
D. Diagnosis Banding
Diagnosis banding uveitis intermediate antara lain multiple sclerosis,
sarcoidosis, limfoma intraokular, sifilis, dan tuberkulosis (Hidayat, Anita,
Himawan, Wijaya, & Fatmawati, 2015).
E. Penatalaksanaan
Observasi dilakukan pada kasus uveitis intermediate ringan, visus 6/12, dan
tidak didapatkan adanya CME. Pada kasus sedang sampai berat atau bila
didapatkan adanya CME, dapat dilakukan penatalaksanaan menggunakan
Modified Four-Step Kaplan Approach: (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, &
Fatmawati, 2015)
1. Injeksi posterior subtenon dengan kortikosteroid (triamcinolone acetonide
40 mg) dapat diulang setiap 4 minggu, 3 – 4 kali.
2. Bila terapi lokal tidak efektif atau terdapat gejala yang berat pada kedua mata
maka diperlukan kortikosteroid oral (prednisolone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari).
3. Sistemik imunomodulator diindikasikan pada bilateral disease, atau bila
dengan kortikosteroid gagal, atau kontraindikasi kortikosteroid (dengan
azathioprine, methotrexate, mycophenolate mofetil).
4. Dengan cryotherapy atau vitrectomy bila terapi oral gagal atau terjadi
rekurensi inflamasi saat penggunaan kortikosteroid.
Penderita diedukasi untuk evaluasi rutin. Pemakaian obat dosis tinggi harus
dalam pantauan dokter. Prognosis uveitis intermediate adalah dubia ad
bonam/malam (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, & Fatmawati, 2015).

UVEITIS POSTERIOR
A. Definisi
Uveitis posterior adalah peradangan uvea bagian posterior yang biasanya disertai
dengan peradangan jaringan di sekitarnya, dengan lokasi primer infeksi terdapat
pada retina dan koroid. Dapat berupa fokal, multifokal atau difus koroiditis;
korioretinitis; retinokoroiditis; retinitis; neuroretinitis. Peradangan uvea bagian
posterior ini dapat berdiri sendiri, tetapi dapat bersamaan dengan uveitis anterior
yang sering disebut sebagai panuveitis (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, &
Fatmawati, 2015) (Soewono & Eddyanto, 2006).
B. Etiologi
Berdasarkan etiologi, uveitis posterior dibagi menjadi: (Hidayat, Anita,
Himawan, Wijaya, & Fatmawati, 2015)
1. Infeksiosa
a. Toksoplasmosis
b. Toksokariasis
c. Tuberkulosis
d. Sifilis
e. Bartonella
f. Virus (Herpes Simplex Virus (HSV), Varicella Zooster Virus (VZV),
CMV, HIV)
2. Non infeksiosa
a. Acute Posterior Multifocal Placoid Pigment Epitheliopathy (APMPPE)
b. Multiple Evanescent White Dot Syndrome (MEWDS)
c. Geographic Helicoid Peripapillary Choroidopathy (GHPC)
d. Multifocal Choroiditis (MFC)
e. Puctate Inner Choroidopathy (PIC)
f. Birdshot Choroidopathy
g. Sarcoidosis
C. Patofisiologi
Penyebab tersering uveitis posterior adalah reaksi hipersensitivitas, baik
terhadap mikroorganisme maupun gerak autogenik. Infeksi terjadi karena di
salah satu bagian tubuh kemudian terjadi sensitisasi jaringan karena
mikroorganisme atau proteinnya dalam darah sebagai antigen (Soewono &
Eddyanto, 2006).
D. Diagnosis
Penderita tidak merasa nyeri namun terdapat gangguan kotoran atau bercak-
bercak pada lapang pandang yang semakin banyak. Terjadi penurunan tajam
penglihatan yang cukup signifikan dan kadang disertai fotopsia, yaitu sensasi
melihat adanya kilatan cahaya pada lapang pandang (Soewono & Eddyanto,
2006). Selain itu dapat juga ditemukan keluhan floaters (bintik-bintik pada
penglihatan), metamorfopsia (distorsi visual yang konsisten dalam mengubah
persepsi ukuran atau bentuk objek), skotoma (bintik buta atau blond spot pada
penglihatan), nyctalopia (rabun senja), atau kombinasi dari gejala-gejala di atas
(Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, & Fatmawati, 2015).
Dari anamnesis dapat ditemukan adanya riwayat kontak dengan hewan
peliharaan (toksoplasma, toksocara); ulserasi orat dan genital (penyakit Behcet);
demam, penurunan berat badan, batuk lebih dari 2 minggu (tuberkulosis);
riwayat seks bebas tanpa pelindung; kondisi imunosupresif (pengguna obat-
obatan seperti kortikosteroid, obat imunosupresif lain), dan transplantasi organ;
serta riwayat penyakit sistemik (diabetes, hipertensi) (Hidayat, Anita, Himawan,
Wijaya, & Fatmawati, 2015).
Pada pemeriksaan oftalmoskop didapatkan kekeruhan badan kaca. Bila retina
masih terlihat, akan tampak fokal pucat disertai pigmen-pigmen (Soewono &
Eddyanto, 2006). Selain itu, dapat terlihat sel-sel radang (infiltrat) pada retina
dan koroid; inflammatory sheathing pada arteri dan vena; perivascular
inflammatory cuffing; hipertrofi atau atrofi Retina Pigmen Epitelial (RPE); atrofi
atau edema retina, koroid, atau papil nervus optikus; fibrosis pre atau subretina,
exudative, tractional, atau rhegmatogenous retinal detachment; serta
neovaskularisasi pada retina atau koroid (Hidayat, Anita, Himawan, Wijaya, &
Fatmawati, 2015).
Pada pemeriksaan lensa kontak 3 cermin Goldman, terlihat adanya pars planitis
sebagai fokal kepucatan dengan pigmen-pigmen. Pada pemeriksaan segmen
anterior, tidak didapatkan kelainan yang berarti, tidak didapatkan hiperemia
perikorneal (Soewono & Eddyanto, 2006).
Angiografi fluoresin fundus (FFA) dilakukan untuk mengetahui luas
peradangan, edema makula kistoid (CME), vskulitis retina, dan
neovaskularisasi. Pemeriksaan laboratorium dan konsultasi diperlukan untuk
mencari kemungkinan penyakit sistemik antara lain penyakit paru, diabetes
melitus, penyakit kolagen, histoplasmosis, toksoplasmosis, Vogt Koyanagi,
Benet Syndrome, dan AIDS (Soewono & Eddyanto, 2006).
E. Diagnosis Banding
1. Penyakit degenerasi retina
Biasanya disertai miopia tinggi, bersifat slowly progressive dan menetap,
serta tidak dapat diobati.
2. Kekeruhan badan kaca karena perdarahan
Biasanya ada penyakit sistemik, ultrasonografi jelas terlihat, dan diresorbsi
spontan dalam enam bulan.
3. Ablasio retina
Bersifat progresif, ultrasonografi jelas terlihat, bila regmatogenous ditemukan
sobekan retina, dan satu-satunya tindakan hanya operasi (Soewono &
Eddyanto, 2006).
F. Komplikasi
Komplikasi uveitis posterior yang dapat terjadi antara lain sinekia posterior,
katarak komplikata, edema makula sistoid, vaskuler dan optik atrofi, serta
traction retinal detachment (Soewono & Eddyanto, 2006).
G. Penatalaksanaan
1. Midriatik/sikloplegik
a. Sulfas atropin 1% sehari 1 kali 1 tetes
b. Homatropin 2% sehari 3 kali 1 tetes
2. Tetes/salep mata
a. Dexamethasone atau betamethasone 1%
b. Prednisolone 0,5% tetes atau salep mata
Diberikan sehari tiga kali.
3. Injeksi
a. Injeksi periokuler
 Long acting
o Methylprednisolone acetate
o Triamcinolone acetonic 40 mg/cc/minggu
 Short acting
o Betamethasone 4 mg/cc/hari
o Dexamethasone 4 mg/cc/hari
b. Injeksi subtenon anterior
Obat yang diberikan sama dengan di atas, dosis 0,5 cc untuk kasus uveitis
anterior dan pars planitis.
c. Injeksi subtenon posterior
Obat sama, 1,5 cc/injeksi untuk kasus pars planitis dan uveitis posterior.
4. Sistemik
a. Prednisolone
Dosis awal 1 – 1,5 mg/kgBB, diturunkan bertahap bila sudah ada respon.
b. Cyclosporin
Dapat diberikan bila tidak ada respon dengan steroid setelah pemberian
selama dua minggu. Dosis awal 5 mg/hari. Bila ada respon, diberikan dosis
maintenance 2 mg/kgBB/hari. Pengawasan faal hati dan ginjal (Soewono
& Eddyanto, 2006).

Anda mungkin juga menyukai