Anda di halaman 1dari 20

1.

Adelia Safitri
2. Eksel

Prinsip dan Konsep Keselamatan Pasien


A. Keselamat Pasien
Menurut Vincent (2008), keselamatan pasien didefinisikan sebagai penghindaran,
pencegahan dan perbaikan dari hasil tindakan yang buruk atau injuri yang berasal dari proses
perawatan kesehatan. Definisi ini membawa beberapa cara untuk membedakan keselamatan
pasien dari kekhawatiran yang lebih umum mengenai kualitas layanan kesehatan, yang
disebut oleh Vincent sebagai "sisi gelap kualitas". Perawatan kesehatan, dalam banyak kasus
setidaknya, sangat berbahaya dan definisi secara implisit mengakui hal ini. Definisi ini juga
mengacu pada perbaikan hasil buruk atau injuri, yang memperluas definisi di luar masalah
keselamatan tradisional terhadap area yang mungkin, di banyak industri, disebut manajemen
bencana. Dalam perawatan kesehatan, perbaikan pertama-tama mengacu pada kebutuhan
akan intervensi medis yang cepat untuk mengatasi krisis segera, tetapi juga untuk kebutuhan
merawat pasien dengan injuri dan untuk mendukung staf yang terlibat. Pengertian lain
tentang keselamatan pasien yaitu menurut Emanuel (2008), yang menyatakan bahwa
keselamatan pasien adalah disiplin ilmu di sektor perawatan kesehatan yang menerapkan
metode ilmu keselamatan menuju tujuan mencapai sistem penyampaian layanan kesehatan
yang dapat dipercaya. Keselamatan pasien juga merupakan atribut sistem perawatan
kesehatan; Ini meminimalkan kejadian dan dampak, dan memaksimalkan pemulihan dari
efek samping. Definisi singkat yang diberikan di atas bagaimanapun, tidak benar-benar
menangkap karakteristik pendefinisian keselamatan pasien dan latar belakang konseptualnya.
Badan Keselamatan Pasien Nasional Amerika Serikat berusaha melakukan ini saat membuat
agenda penelitian untuk keselamatan pasien. Mereka secara khusus menunjuk pada
kenyataan bahwa prakarsa-prakarsa kualitas tradisional belum sepenuhnya mengatasi
kesalahan dan kerugian, keamanan berada di dalam sistem dan juga orang-orang, dan
keselamatan itu harus secara aktif dikejar dan dipromosikan (Emanuel et al, 2008). Cukup
berusaha menghindari kerusakan saja tidak cukup. Sebaliknya seseorang harus mengurangi
kesalahan dari semua jenis dan mengejar keandalan tinggi sebagai komponen penting dari
perawatan berkualitas tinggi. Keselamatan pasien terutama berkaitan dengan penghindaran,
pencegahan dan perbaikan hasil buruk atau injuri yang berasal dari perawatan kesehatan itu
sendiri. Ini harus membahas kejadian yang mencakup rangkaian "kesalahan" dan
"penyimpangan" terhadap kecelakaan. Keselamatan muncul dari interaksi komponen sistem.
Ini lebih dari sekedar tidak adanya hasil yang merugikan dan ini lebih dari sekadar
menghindari kesalahan atau kejadian yang dapat dicegah. Keselamatan tidak berada dalam
diri seseorang, perangkat atau departemen. Meningkatkan keamanan tergantung pada belajar
bagaimana keselamatan muncul dari interaksi komponen. Keselamatan pasien terkait dengan
"kualitas perawatan", namun kedua konsep tersebut tidak identik. Keselamatan merupakan
bagian penting dari kualitas. Sampai saat ini, kegiatan untuk mengelola kualitas tidak
terfokus secukupnya pada
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan
pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya dilakukan (DepKes RI, 2006).
Isu, Elemen, dan Akar Penyebab Kesalahan yang Paling Umum dalam Patient safety
1. Lima isu penting terkait keselamatan (hospital risk) yaitu:
a. keselamatan pasien
b. keselamatan pekerja (nakes)
c. keselamatan fasilitas (bangunan, peralatan)
d. keselamatan lingkungan
e. keselamatan bisnis.
2. Elemen Patient safety
a. Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME) (ketidakcocokan obat/kesalahan
pengobatan)
b. Restraint use (kendali penggunaan)
c. Nosocomial infections (infeksi nosokomial)
d. Surgical mishaps (kecelakaan operasi)
e. Pressure ulcers (tekanan ulkus)
f. Blood product safety/administration (keamanan produk darah/administrasi)
g. Antimicrobial resistance (resistensi antimikroba)
h. Immunization program (program imunisasi)
i. Falls (terjatuh)
j. Blood stream – vascular catheter care (aliran darah – perawatan kateter pembuluh
darah)
k. Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident
reports (tinjauan sistematis, tindakan lanjutan, dan pelaporan pasien/pengunjung
laporan kejadian)
3. Most Common Root Causes of Errors (Akar Penyebab Kesalahan yang Paling
Umum):
a. Communication problems (masalah komunikasi)
b. Inadequate information flow (arus informasi yang tidak memadai)
c. Human problems (masalah manusia)
d. Patient-related issues (isu berkenaan dengan pasien)
e. Organizational transfer of knowledge (organisasi transfer pengetahuan)
f. Staffing patterns/work flow (pola staf/alur kerja)
g. Technical failures (kesalahan teknis)
h. Inadequate policies and procedures (kebijakan dan prosedur yang tidak memadai)

B. Pengaruh faktor manusia dan lingkungan pada keselamatan pasien


1. Pentingnya Faktor Manusia pada Keselamatan Pasien
Human factor memeriksa hubungan antara manusia dan sistem dan bagaimana mereka
berinteraksi dengan berfokus pada peningkatan efisiensi, kreativitas, produktivitas dan
kepuasan pekerjaan, dengan tujuan meminimalkan kesalahan. Kegagalan menerapkan
prinsip Human factor merupakan aspek kunci kejadian paling buruk dalam perawatan
kesehatan. Karena itu, semua petugas kesehatan harus memiliki pemahaman dasar
tentang prinsip-prinsip faktor manusia. Petugas kesehatan yang tidak mengerti dasar-
dasar faktor manusia diibaratkan seperti petugas pengendalian infeksi tapi tidak
mengetahui tentang mikrobiologi.
2. Hubungan Antara Human Factor Dengan Keselamatan Pasien
Penting bagi semua petugas layanan kesehatan untuk memperhatikan situasi yang
meningkatkan kemungkinan kesalahan bagi manusia dalam situasi apapun. Khususnya
penting untuk bagi mahasiswa kedokteran dan staf junior yang kurang berpengalaman.
Dua faktor dengan dampak paling banyak adalah kelelahan dan stres. Ada bukti ilmiah
kuat yang menghubungkan kelelahan dan penurunan kinerja sehingga menjadikannya
faktor risiko dalam keselamatan pasien. Durasi kerja berkepanjangan telah terbukti
menghasilkan penurunan performa yang sama seperti orang dengan tingkat alkohol darah
sebesar 0,05 mmol / l, yang akan membuat pengendara mobil termasuk ilegal untuk
berkendara di banyak negara. Hubungan antara tingkat stres dan kinerja juga telah
dikonfirmasi melalui penelitian. Jika stres tingkat tinggi mudah dikenali orang sebagai
hal yang kontraproduktif, penting untuk mengenali bahwa tingkat stres yang rendah juga
kontraproduktif, karena hal ini dapat menyebabkan kebosanan dan kegagalan untuk
menghadiri sebuah tugas dengan kewaspadaan yang sesuai.

C. Standar Keselamatan Pasien


Tujuh Standar Keselamatan Pasien (mengacu pada “Hospital Patient
safetyStandards” yang dikeluarkan oleh Joint Commision on Accreditation of Health
Organizations, Illinois, USA, tahun 2002), yaitu:
1. Hak pasien
Standarnya adalah pasien & keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi
tentang rencana & hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian
Tidak Diharapkan). Kriterianya adalah sebagai berikut:
a. Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan
c. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan yang jelas dan
benar kepada pasien dan keluarga tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan
atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD
2. Mendidik pasien dan keluarga
Standarnya adalah RS harus mendidik pasien & keluarganya tentang kewajiban &
tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Kriterianya adalah keselamatan dalam
pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah partner dalam
proses pelayanan. Karena itu, di RS harus ada sistim dan mekanisme mendidik pasien &
keluarganya tentang kewajiban & tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan
pendidikan tersebut diharapkan pasien & keluarga dapat:
a. Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur
b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab
c. Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti
d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan
e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan RS
f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa
g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah RS menjamin kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi
antar tenaga dan antar unit pelayanan dengan kriteri sebagai berikut:
a. Koordinasi pelayanan secara menyeluruh
b. Koordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya
c. Koordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi
d. Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan
4. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
Standarnya adalah RS harus mendisain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor & mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara
intensif KTD, & melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta KP dengan
criteria sebagai berikut:
a. Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (design) yang baik, sesuai
dengan ”Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
b. Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja
c. Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif
d. Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
a. Pimpinan dorong & jamin implementasi program KP melalui penerapan “7 Langkah
Menuju KP RS”.
b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif identifikasi risiko KP &
program mengurangi KTD.
c. Pimpinan dorong & tumbuhkan komunikasi & koordinasi antar unit & individu
berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang KP
d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, &
meningkatkan kinerja RS serta tingkatkan KP.
e. Pimpinan mengukur & mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan
kinerja RS & KP, dengan criteria sebagai berikut:
(1) Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
(2) Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program
meminimalkan insiden,
(3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah
sakit terintegrasi dan berpartisipasi
(4) Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada
pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan
penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
(5) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden,
(6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden
(7) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar
pengelola pelayanan
(8) Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan
(9) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria
objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan
keselamatan pasien
6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
a. RS memiliki proses pendidikan, pelatihan & orientasi untuk setiap jabatan mencakup
keterkaitan jabatan dengan KP secara jelas.
b. RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk
meningkatkan & memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebagai berikut:
(1) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik
keselamatan pasien
(2) Mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan inservice
training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
(3) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna
mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam rangka melayani
pasien.
7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
a. RS merencanakan & mendesain proses manajemen informasi KP untuk memenuhi
kebutuhan informasi internal & eksternal.
b. Transmisi data & informasi harus tepat waktu & akurat, dengan criteria sebagai
berikut:
(1) Disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk
memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
(2) Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi
manajemen informasi yang ada.

D. Tujuh langkah menuju keselamatan pasien RS


1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan Pasien, “ciptakan kepemimpinan & budaya
yang terbuka dan adil”
a. Bagi Rumah sakit
- Kebijakan: tindakan staf segera setelah insiden, langkah kumpul fakta, dukungan
kepada staf, pasien, keluarga
- Kebijakan: peran & akuntabilitas individual pada insiden
- Tumbuhkan budaya pelaporan & belajar dari insiden
- Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian KP
b. Bagi Tim
- Anggota mampu berbicara, peduli & berani lapor bila ada insiden
- Laporan terbuka & terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi
yang tepat
2. Pimpin dan dukung staf anda, “bangunlah komitmen & focus yang kuat & jelas tentang
KP di RS anda”
a. Bagi Rumah Sakit:
- Ada anggota Direksi yang bertanggung jawab atas KP
- Di bagian-bagian ada orang yang dapat menjadi “Penggerak” (champion) KP
- Prioritaskan KP dalam agenda rapat Direksi/Manajemen
- Masukkan KP dalam semua program latihan staf
b. Bagi Tim:
- Ada “penggerak” dalam tim untuk memimpin Gerakan KP
- Jelaskan relevansi & pentingnya, serta manfaat gerakan KP
- Tumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden
3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko, “kembangkan sistem & proses pengelolaan
risiko, serta lakukan identifikasi & asesmen hal yang potensial bermasalah”
a. Bagi Rumah Sakit:
- Strukur & proses menjamin risiko klinis & non klinis, mencakup KP
- Kembangkan indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko
- Gunakan informasi dari sistem pelaporan insiden & asesmen risiko & tingkatkan
kepedulian terhadap pasien
b. Bagi Tim:
- Diskusi isu KP dalam forum-forum, untuk umpan balik kepada manajemen terkait
- Penilaian risiko pada individu pasien
- Proses asesmen risiko teratur, tentukan akseptabilitas tiap risiko, & langkah
memperkecil risiko tersebut.
4. Kembangkan sistem pelaporan, “pastikan staf Anda agar dengan mudah dapat
melaporkan kejadian/insiden serta RS mengatur pelaporan kepada KKP-RS”
a. Bagi Rumah Sakit:
- Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden, ke dalam maupun ke luar
yang harus dilaporkan ke KKPRS – PERSI
b. Bagi Tim:
- Dorong anggota untuk melaporkan setiap insiden & insiden yang telah dicegah
tetapi tetap terjadi juga, sebagai bahan pelajaran yang penting
5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien, “kembangkan cara-cara komunikasi yang
terbuka dengan pasien”
a. Bagi Rumah Sakit:
- Kebijakan : komunikasi terbuka tentang insiden dengan pasien & keluarga
- Pasien & keluarga mendapat informasi bila terjadi insiden
- Dukungan, pelatihan & dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada
pasien & keluarga (dalam seluruh proses asuhan pasien)
b. Bagi Tim:
- Hargai & dukung keterlibatan pasien & keluarga bila telah terjadi insiden
- Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien & keluarga bila terjadi insiden
- Segera setelah kejadian, tunjukkan empati kepada pasien & keluarga.
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang Keselamatan pasien, “dorong staf anda untuk
melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana & mengapa kejadian itu
timbul”
a. Bagi Rumah Sakit:
- Staf terlatih mengkaji insiden secara tepat, mengidentifikasi sebab
- Kebijakan: kriteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (Root Cause Analysis/RCA)
atau Failure Modes & Effects Analysis (FMEA) atau metoda analisis lain,
mencakup semua insiden & minimum 1 x per tahun untuk proses risiko tinggi
b. Bagi Tim:
- Diskusikan dalam tim pengalaman dari hasil analisis insiden
- Identifikasi bagian lain yang mungkin terkena dampak & bagi pengalaman tersebut
7. Cegah cedera melalui implementasi sistem Keselamatan pasien, “Gunakan informasi
yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan”
a. Bagi Rumah Sakit:
- Tentukan solusi dengan informasi dari sistem pelaporan, asesmen risiko, kajian
insiden, audit serta analisis
- Solusi mencakup penjabaran ulang sistem, penyesuaian pelatihan staf & kegiatan
klinis, penggunaan instrumen yang menjamin KP
- Asesmen risiko untuk setiap perubahan
- Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh KKPRS-PERSI
- Umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden
b. Bagi Tim:
- Kembangkan asuhan pasien menjadi lebih baik & lebih aman
- Telaah perubahan yang dibuat tim & pastikan pelaksanaannya
- Umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan
E. Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit
WHO Collaborating Centre for Patient safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi
menerbitkan “Nine Life Saving Patient safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-
SavingKeselamatan Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh
pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari
berbagai masalah keselamatan pasien. Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud
menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien
yang mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah
(non error) mau pun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah atau
mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan Solusi ini
merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses asuhan
pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah. Komite Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk menerapkan Sembilan
Solusi Life-Saving Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi, langsung atau bertahap,
sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication
Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana
adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error)
dan ini merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang
ada saat ini di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung
terhadap nama merek atau generik serta kemasan. Solusi NORUM ditekankan pada
penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan memastikan terbacanya resep, label,
atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, maupun pembuatan resep secara
elektronik.
2. Pastikan Identifikasi Pasien.
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar
sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan;
pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya,
dsb. Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien,
termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di
semua rumah sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam
konfirmasi ini; serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan
nama yang sama.
3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima/Pengoperan Pasien.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit
pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan
cedera terhadap pasien. Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima
pasien termasuk penggunaan protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat
kritis; memberikan kesempatan bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan
pertanyaan-pertanyaan pada saat serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga
dalam proses serah terima.
4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan
pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar
adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak
benar. Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini
adalah tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi. Rekomendasinya
adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada pelaksanaan proses
verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh petugas
yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat dalam prosedur Time
out sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan identitas pasien,
prosedur dan sisi yang akan dibedah.
5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko,
cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.
Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan
pencegahan atas campur aduk/bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi
(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah
salah obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah
menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang
sedang diterima pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai
perbandingan dengan daftar saat admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan
bilamana menuliskan perintah medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada petugas
layanan yang berikut dimana pasien akan ditransfer atau dilepaskan.
7. Hindari dan Salah Kateter Salah Sambung Slang (Tube).
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar
mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa
menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta
memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah
menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang
mengenjakan pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar),
dan bilamana menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan
& slang yang benar).
8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV
yang diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah
penlunya melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik
para petugas di lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip
pengendalian infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan
infeksi melalui darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.
9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial.
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah
ukuran preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah
mendorong implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs” tersedia pada
titik-titik pelayan tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai
teknik kebarsihan taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat
kerja; dan pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui
pemantauan/observasi dan tehnik-tehnik yang lain.

F. EBP ( EVIDENCE BASED PRTICE )

EBP Untuk meningkatkan keselamatan pasien. EBP penggunaan bukti ilmiah terbaik di
kelas yang terintegrasi dengan pengalaman klinis yang menggabungkan nilai dan prefensi
pasien dalam praktik perawatan pasien profesional. (HAUSER, JUNET 2011 : 1) Evidance
Based Practice (EBP) merupakan proses penggunaan bukti-bukti terbaik yang jelas, tegas dan
berkesinambungan guna pembuatan keputusan klinik dalam merawat individu pasien
(Nurhayati, 2015). Evidence Based Practice (EBP) keperawatan adalah proses untuk
menentukan, menilai, dan mengaplikasikan bukti ilmiah terbaik dari literature keperawatan
maupun medis untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien. Dengan kata lain, EBP
merupakan salah satu langkah empiris untuk mengetahui lebih lanjut apakah suatu penelitian
dapat diimplementasikan pada lahan praktek yang berfokus pada metode dengan critical
thinking dan menggunakan data dan penelitian yang tersedia secara maksimal. Keselamatan
pasien (safety patient) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman meliputi asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan
resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Permenkes No 1691, 2011). Adapun
Model EBP yaitu :

1. Model Stetler
Model Stetler dikembangkan pertama kali tahun 1976 kemudian diperbaiki tahun 1994 dan
revisi terakhir 2001. Model ini terdiri dari 5 tahapan dalam menerapkan Evidence Base
Practice Nursing.
2. Model IOWA
Model IOWA diawali dengan adanya trigger atau masalah. Trigger bisa berupa knowledge
focus atau problem focus. Jika masalah yang ada menjadi prioritas organisasi, maka baru
dibentuklah tim. Tim terdiri atas dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain yang tertarik
dan paham dalam penelitian. Langkah berikutnya adalah minsintesis bukti-bukti yang
ada.Apabila bukti yang kuat sudah diperoleh, maka segera dilakukan uji coba dan hasilnya
harus dievaluasi dan didiseminasikan.

Implikasi EBP Bagi Perawat

Peran perawat melayani penting dalam memastikan dan menyediakan praktik berbasis
fakta. Mereka harus terus-menerus mengajukan pertanyaan, “Apa fakta untuk intervensi ini?”
atau “Bagaimana kita memberikan praktik terbaik?” dan “Apakah ini hasil terbaik yang dicapai
untuk pasien, keluarga dan perawat?” Perawat juga posisi yang baik dengan anggota tim
kesehatan lain untuk mengidentifikasi masalah klinis dan menggunakan bukti yang ada untuk
meningkatkan praktik. Banyak kesempatan yang ada bagi perawat untuk mempertanyakan
praktik keperawatan saat itu dan penggunaan bukti untuk melakukan perawatan lebih efektif.
Mengapa EBP penting untuk praktik keperawatan :

1. Memberikan hasil asuhan keperawatan yang lebih baik kepada pasien


2. Memberikan kontribusi perkembangan ilmu keperawatan
3. Menjadikan standar praktik saat ini dan relevan
4. Meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil keputusan
5. Mendukung kebijakan dan rosedur saat ini dan termasuk menjadi penelitian terbaru
6. Integrasi EBP dan praktik asuhan keperawatan sangat penting untuk meningkatkan kualitas
perawatan pada pasien.

Hambatan Untuk Menggunakan EBP

Adapun Hambatan dari perawat untuk menggunakan penelitian dalam praktik sehari-hari
telah dikutip dalam berbagai penelitian, diantaranya (Clifford &Murray, 2001) antara lain. :
1. Kurangnya nilai untuk penelitian dalam praktek.
2. Kesulitan alam mengubah praktek.
3. Kurangnya dukungan administratif.
4. Kurangnya mentor berpengetahuan.
5. Kurangnya waktu untuk melakukan penelitian.
6. Kurangnya pendidikan tentang proses penelitian
7. Kurangnya kesadaran tentang praktek penelitian atau berbasis bukti.
8. Laporan Penelitian/artikel tidak tersedia.
9. Kesulitan mengakses laporan penelitian dan artikel.
10. Tidak ada waktu dalam bekerja untuk membaca penelitian.
11. Kompleksitas laporan penelitian.
12. Kurangnya pengetahuan tentang EBP dan kritik dari artikel.
13. Merasa kewalahan.

Dari informasi yang kami dapat dari beberapa penelitian yaitu pengembangan EBP di
keperawatan bukan sesuatu hal mudah dilakukan, selain perawat harus ahli dalam riset, perawat
juga harus mempunyai pengalaman klinik yang lama dan mempunyai kemampuan berpikir kritis
yang baik. Sehingga penerapan EBP dan riset klinis merupakan tantangan bagi perawat agar
dapat memberikan tindakan keperawatan yang lebih tepat dan akuntabel, EBP juga sangat
penting bagi perawatan kesehatan profesional karena berbagaialasan, salah satunya sebagai
perawatan pasien yang efektif. Penelitian telahmenyimpulkan bahwa keselamatan pasien
meningkat saat perawatan kesehatan yangdidasari pada bukti dari penelitian yang dirancang
dengan baik dibandingkan tradisi. Menurut Undang-undang No 29 pasal 1 tahun 2004 pasien
merupakan setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Safety
merupakan derajat dimana pengembangan organisasi, peralatan, bersikap tidak membahayakan,
atau mengurangi resiko pada pasien staff, atau pengunjung.

Untuk mengurangi resiko dan mencegah cedera dalam upaya peningkatan keselamatan
pasien maka perawat dalam melakukan praktiknya baik itu di rumah sakit maupun di dalam
praktik mandiri setiap prosedur dalam upaya keselamatan pasien diperlukan Evidance Based
Practice merupakan bukti ilmiah terbaik dari literature keperawatan maupun medis untuk
meningkatkan kualitas pelayanan pasien dimana dalam praktiknya dalam pemberian asuhan
keperawatan diharapkan dapat mengidentifikasi dan memahami.

Adapun penelitian untuk membuktikan pentingnya IBP dalam penginkatan pasien safety,
Riset Evidanced Based Practice Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ns. Niken Safitri Dyan K,
S.Kep., M.Si.Med dan Ns. Henni Kusuma, S.Kep., M.Kep. Sp.Kep.M.B pada tanggal 21 Juni
2014 tentang Aplikasi Evidanced Based Practice dalam Meningkatkan Patient Safety dalam
penelitian ini dijelasakna tetang aplikasi Evidanced Based Nursing pada IPSG (International
Patient Safety Goal) jadi dia menjelaskan tentang safety merupakan derajat dimana
pengembangan organisasi, peralatan, bersikap tidak membahayakan, atau mengurangi resiko
pada pasien staff, atau pengunjung.

Patient safety merupakan pencegahan untuk tidak merugikan pasien. Dan juga Kualitas pasien
merupakan derajat untuk meningkatkan pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi
yang ditentukan dari outcomes kesehatan dan konsisten berdasarkan penilaian pengetahuan
profesional.

G. Budaya dalam lingkup kerja perawat dalam peningkatan keselamatan

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Patient
safety adalah salah satu komponen kritis dari mutu pelayanan kesehatan. Banyak kesalahan
pelayanan dikaitkan dengan budaya patient safety. Catatan tentang kesalahan pelayanan di
berbagai negara menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, sementara di Indonesia belum
ada catatan resmi. Patient safety adalah konsep pasien yang sedang dalam pelayanan
kesehatan dapat mencapai dampak yang diharapkan. patient safety (keselamatan pasien)
belum menjadi budaya yang harus diperhatikan oleh rumah sakit di Indonesia. Perubahan
paradigma dalam lembaga pelayanan kesehatan yang saat ini beralih pada patient centered
care belum benar-benar dijalankan dengan baik. Masih ada rumah sakit yang berorientasi
pada kepentingann manajemen yang pada akhirnya melupakan keselamatan pasien di rumah
sakit. Undang-undang Kesehatan no 36 tahun 2009 sudah dengan jelas bahwa rumah sakit
saat ini harus mengutamakan keselamatan pasien diatas kepentingan yang lain sehingga
sudah seharusnya rumah sakit berkewajiban menerapkan budaya keselamatan pasien.
Apabila masih ada rumah sakit yang mengabaikan keselamatan pasien sudah seharusnya
diberi sanksi yang berat baik untuk rumah sakit maupun petugas pelayanan kesehatan.
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, pihak rumah sakit bahkan petugas pelayanan
kesehatan tidak mendapat sanksi apapun sehingga menjadikan penegakan hukum kesehatan
di Indonesia masih sangat lemah. Sudah seharusnya apabila terjadi kelalaian bahkan
kesengajaan dari pihak rumah sakit yang mengakibatkan terancamnya keselamatan pasien
maka tidak hanya sanksi internal tetapi juga sudah masuk ke ranah pidana. Inilah yang
sampai saat ini belum berjalan sehingga masyarakat yang dirugikan karena lemahnya
penegakan hukum yang pada akhirnya kasusnya menguap begitu saja.

Ada beberapa faktor yang menajdi penyebab kenapa budaya keselamatan pasien belum
benar-benar diterapkan di berbagai rumah sakit.

1. Rendahnya tingkat kepedulian petugas kesehatan terhadap pasien, hal ini bisa dilihat
dengan masih ditemukannya kejadian diskriminasi yang dialami oleh pasien terutama
dari masyarakat yang tidak mampu.
2. Beban kerja petugas kesehatan yang masih terlampaui berat terutama perawat.
Perawatlah yang bertanggung jawab terkait asuhan keperawatan kepada pasien
sedangkan disisi lain masih ada rumah sakit yang memiliki keterbatasan jumlah perawat
yang menjadikan beban kerja mereka meningkat. Selain perawat, saat ini di Indonesia
juga masih kekurangan dokter terutama dokter spesialis serta distribusi yang tidak
merata. Ini berdampak pada mutu pelayanan yang tidak sama di setiap rumah sakit.
3. orientasi pragmatisme para petugas kesehatan yang saat ini masih melekat disebagian
petugas kesehatan. Masih ditemukan para petugas kesehatan yang hanya berorientasi
untuk mencari materi/keuntungan semata tanpa mempedulikan keselamatan pasien.
Keempat, lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan terhadap para
petugas kesehatan. Lemahnya pengawasan sendiri dikarenakan beberapa faktor mulai
dari terbatasnya personel yang dimiliki dinas kesehatan sampai rendahnya bargaining
position dinas kesehatan.
4. Penerapan budaya keselamatan pasien merupakan cerminan mutu dan jaminan bagi
penerima layanan kesehatan untuk terbebas dari risiko pada proses pemberian layanan
kesehatan. Keselamatan pasien sebagai suatu sistem diharapkan memberikan asuhan
kepada pasien dengan lebih aman, melakukan tindakan sesuai dengan standar, dan
mencegah cedera akibat kesalahan tindakan atau tidak melakukan tindakan yang
harusnya dilakukan. Keselamatan pasien bukan merupakan tanggung jawab perorangan
dokter atau perawat yang selalu bersentuhan langsung dengan pasien melainkan seluruh
tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit yang memberikan pelayanan kepada pasien.
MEMBANGUN BUDAYA KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
Keselamtan pasien rumah sakit merupakan suatu dimana rumah sakit membuat asuhan
pasien lebih aman. Hal ini termasuk: asesmen resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem ini memncegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Membangun budaya keselamatan pasien di RS dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
1. Seluruh personel RS memiliki kesadaran yang konstan dan aktif tentang hal yang
potensial menimbulkan kesalahan.
2. Baik staf maupun organisasi RS mampu membicarakan kesalahan, belajar dari
kesalahan tersebut dan mengambil tindakan perbaikan.
3. Bersikap terbuka dan adil / jujur dalam membagi informasi secara terbuka dan bebas,
dan penanganan adil bagi staf bila insiden terjadi.
4. Pimpinan terkait menerangkan bahwa penyebab insiden keselamatan
pasien tidak dapat dihubungkan dengan sederhana ke staf yang terlibat.
Semua insiden berkaitan juga dengan sistem tempat orang itu bekerja.
5. Perubahan nilai, keyakinan dan perilaku menuju keselamatan pasien
penting bukan hanya bagi staf, melainkan juga semua orang yang bekerja di RS serta
pasien dan keluarganya. Tanyakan apa yang bisa mereka bantu untuk meningkatkan
keselamatan pasien RS.
6. Penjelasan/pemahaman tentang aktivitas organisasi RS yang bersifat resiko tinggi dan
rentan kesalahan.
7. Lingkungan yang bebas menyalahkan, sehingga orang dapat melapor kesalahan tanpa
penghukuman.
8. Pimpinan wajib berkomitmen mendukung dan memberikan
penghargaan kepada staf yang melaporkan insiden keselamatan pasien, bahkan meskipun
kemudian dinyatakan salah.
9. Komunikasi antar staf dan tingkatan harus sering terjadi dan tulus.
10. Terdapat keterbukaan tentang kesalahan dan masalah bila terjadi pelaporan.
11. Pembelajaran organisasi. Tanggapan atas suatu masalah lebih
difokuskan untuk meningkatkan kinerja sistem daripada untuk menyalahkan seseorang.
12. Seluruh staf harus tahu apa yang harus dilakukan bila menemui
insiden: mencatat, melapor, dianalisis, memperoleh feed back, belajar dan mencegah
pengulangan.

H. Penyebab terjadinya adverse event terkait prosedut invasive

Adverse Events dalam dunia kesehatan adalah suatu dampak atau pengaruh yang
merugikan dan tidak diinginkan, yang timbul sebagai hasil dari suatu pengobatan atau
intervensi lain seperti pembedahan. Suatu pengaruh atau dampak negatif disebut sebagai efek
samping ketika hal itu timbul sebagai efek sekunder dari efek terapi utamanya. Jika efek itu
muncul sebagai hasil dari dosis atau prosedur yang tidak tepat maka disebut sebagai
kesalahan medis. (WIKIPEDIA) prosedur invasif Prosedur medis yang menyerang
(memasuki) tubuh, biasanya dengan memotong atau menusuk kulit atau dengan memasukkan
instrumen ke dalam tubuh. Penyebab utama timbulnya efek samping dalam tindakan invasif
adalah buruknya pencegahan infeksi, manajemen pasien, serta koordinasi dan komunikasi

1. Penyebab utama timbulnya efek samping prosedur invasif:


Kurangnya pengontrolan infeksi Manajemen pasien yang buruk Buruknya koordinasi
atau komunikasi antar petugas medis sebelum, selama, maupun setelah prosedur invasif.

Anda mungkin juga menyukai