Anda di halaman 1dari 13

KISAH TERJADINYA DANAU TOBA

Diceritakan, hiduplah seorang pemuda di suatu desa dekat sebuah danau. Pemuda tersebut selalu
menangkap ikan di danau dengan memakai bubu (pukat). Pada suatu hari, si pemuda
memperoleh seekor ikan yang sangat besar. Ia menjadi sangat ketakutan. Ia lalu mengamati ikan
tersebut. Saat itulah didengarnya suara yang menyapanya.

Kisah Dongeng Danau Toba

"Anak namboru" (putra saudara perempuan ayah), ternyata suara itu datang dari ikan besar
tersebut. Lalu ikan itu melanjutkan pertanyaannya, "Apakah anak namboru mau membawa aku
pulang?"

Mendengar hal itu, si pemuda kembali terkejut. Namun, karena Si ikan telah menyapanya dengan
sapaan persaudaraan menurut adat Batak, maka si pemuda menjawab, "Saya akan membawa
boru tulang (putri paman, saudara laki-laki ibu) pulang ke rumah," jawab si pemuda.

Kemudian Si ikan berkata lagi, "Kalau kau mau membawa aku pulang ke rumah, kamu harus
berjanji terlebih dahulu," kata Si Ikan. Lalu ikan berkata lagi, "Perjanjiannya, pertama kamu
tidak boleh memberi tahu siapa pun bahwa aku diperoleh dari bubu ini. Kalau kamu ingkar janji,
akan datang malapetaka yang tidak dapat dicegah." Mendengar persyaratan itu, si pemuda
menyetujuinya. Setelah mengucapkan janji, maka Si ikan menjelma menjadi seorang gadis yang
cantik jelita. Kemudian, ia mengajak gadis cantik itu pulang ke desanya dan dipersuntingnya
sebagai istri.
Pada suatu hari, kebahagiaan mereka semakin bertambah, istrinya mengandung anak mereka.

Singkat cerita, anak pertama lahir. Tidak berapa lama, istrinya hamil lagi dan kemudian lahirlah
anak kedua. Setelah anak pertama beranjak remaja, ia ditugaskan mengantar nasi dan air tajin
kepada ayahnya di ladang.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebahagiaan mereka sedikit terusik, karena istrinya tiba-tiba
tidak menyediakan air tajin kesukaannya. Kesabaran dan kesetiaan suaminya benar-benar diuji,
tetapi rasa kesal itu semakin tak terkendali. Bercampur marah dia berkata, "Dasar tidak tahu
diuntung, ibumu adalah manusia yang didapat dengan bubu ikan, dengan hanya memberi umpan
dedak dan ubi!"

Mendengar ucapan suaminya itu, ia sangat terkejut karena suaminya telah melanggar janji dan
akan terjadi malapetaka terhadap dirinya sendiri, suami, dan anak-anaknya. Kemudian, istrinya
pergi meninggalkan mereka.

Sadarlah bahwa janjinya telah dilanggar. Ia merasa sangat menyesal. Belum lama sesal itu
dirasakannya. Di luar, awan tampak gelap dan hujan pun turun dengan lebatnya. Semakin lama
hujan semakin deras, sehingga kampung tersebut dilanda banjir. Ia dan anak-anaknya tak dapat
menyelamatkan diri lagi. Demikian juga dengan semua penduduk di kampung tersebut, hanyut
terbawa banjir. Lama-kelamaan, genangan air itu menjadi besar dan tampaklah sebuah danau.
Tersebutlah nama Danau Toba atau Danau Silalahi yang ada sampai saat ini.

Setiap janji yang telah diucapkan harus dipegang teguh sampai kapan pun. Pelanggaran terhadap
janji berakibat bukan hanya pada diri sendiri, tetapi juga menimpa orang-orang yang dicintai.
Sampuraga, Kisah Anak Durhaka dari Mandailing
Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah kampung yang sepi hiduplah di sebuah gubuk reot
seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup
miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka
setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain dan mencari kayu bakar
untuk dijual. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka
kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang
rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang
dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya
kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang
Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.
“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang.
Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena
tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu
melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang
lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.
Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya
tersebut kepada ibunya.
“Bu, saya ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Sampuraga ingin
mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahuku bahwa penduduk di sana
hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu
sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf,
karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa
haru.
“Terima kasih, bu! Sampuraga berjanji akan segera kembali jika sudah berhasil. Doakan saya, ya
bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.
Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, saya berangkat! Jaga diri ibu
baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat
disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak
terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air
matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat,
lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang
Ibu.
Sampuraga dalam perjalanan perantuannya di malam hari (courtesy by komikmedan)

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah
Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan.
Suatu hari sampailah ia di desa Sirambas . Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya
ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk.
Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata
terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup
makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung
diterima langsung oleh raja Sirambas. Sang Raja sangat percaya kepadanya, karena ia sangat
rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Raja menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia
memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Raja ingin mengangkatnya menjadi
seorang raja karena raja tidak mempunyai anak laki-laki dengan menikahkan Sampuraga dengan
putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Sirambas.
“Sampuraga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?”
tanya sang Raja.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan
mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan
kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan yang terbaik juga telah
dipersiapkan untuk menghibur para undangan. Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu
telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah.
Lalu bagaimana dengan ibunya Sampuraga? Walaupun sendirian ia tetap meneruskan hidup dan
kesehariannya dengan mencari kayu bakar, tapi kerinduannya yang semakin hari semakin tak
tertahan membuatny sering sakit-sakitan. Suatu hari ia memutuskan untuk menyusul anaknya ke
Mandailing walaupun ia tidak tahu anaknya Sampuraga dimana berada karena Sampuraga
sekalipun tidak pernah memberi kabar kepada ibunya, apalagi tentang rencana pernikahannya.
Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan
kaki untuk mencari anak satu-satunya itu. Lapar dan lelah tiada dipedulikan demi mencarai anak
tercintanya. Suatu hari ketika ia sampai di kerajaan Sirambas, tampaklah sebuah keramaian dan
terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu
mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar raja Sirambas sedang
mengadakan pesta untuk pernikahan putrinya dengan seorang pemuda yang sangat dikenalnya
namanya, Sampuraga. Sampuraga ketika itu sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang
cantik jelita.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia langsung
mendatangi Bagas Godang tempat Sampuraga sedang bersanding dan berteriak memanggil
nama anaknya ” Sampuraga.. ini ibu nak…”. Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang
sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil
mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Setelah diberitahu pengawal bahwa
ada seorang perempuan tua yang mengaku ibunya di depan Bagas Godang, ia pun keluar.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua
tangannya hendak memeluk Sampuraga. Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan
istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan
terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba
mengakuinya sebagai anak. Perasaannya berkecamuk, ia takut kalau Raja tahu bahwa perempuan
tua itu adalah ibunya maka pernikahannya akan dibatalkan karena sebelumnya ia sudah mengaku
bahwa ayah dan ibunya sudah lama meninggal dan ia tinggal sebatang kara.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu
jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, tiba-tiba Sampuraga
membentak ibunya.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa
kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba
perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!”
Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu
kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun,
tak seorang pun yang berani menengahinya. Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret
oleh dua orang pengawal Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata,
perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia
pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-
sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar
seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian
menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu
singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang
selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di
sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau.
Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya
menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah
penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat
setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga” yang terletak di desa Sirambas
(sekitar 6 km dari pusat kota Panyabungan)
Sangkuriang

Pada jaman dahulu, di Jawa Barat hiduplah seorang putri raja yang bernama Dayang Sumbi. Ia
mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar
berburu di dalam hutan. Setiap berburu, dia selalu ditemani oleh seekor anjing kesayangannya
yang bernama Tumang. Tumang sebenarnya adalah titisan dewa, dan juga bapak kandung
Sangkuriang, tetapi Sangkuriang tidak tahu hal itu dan ibunya memang sengaja
merahasiakannya.

Pada suatu hari, seperti biasanya Sangkuriang pergi ke hutan untuk berburu. Setelah sesampainya
di hutan, Sangkuriang mulai mencari buruan. Dia melihat ada seekor burung yang sedang
bertengger di dahan, lalu tanpa berpikir panjang Sangkuriang langsung menembaknya, dan tepat
mengenai sasaran. Sangkuriang lalu memerintah Tumang untuk mengejar buruannya tadi, tetapi
si Tumang diam saja dan tidak mau mengikuti perintah Sangkuriang. Karena sangat jengkel pada
Tumang, maka Sangkuriang lalu mengusir Tumang dan tidak diijinkan pulang ke rumah
bersamanya lagi.

Sesampainya di rumah, Sangkuriang menceritakan kejadian tersebut kepada ibunya. Begitu


mendengar cerita dari anaknya, Dayang Sumbi sangat marah. Diambilnya sendok nasi, dan
dipukulkan ke kepala Sangkuriang. Karena merasa kecewa dengan perlakuan ibunya, maka
Sangkuriang memutuskan untuk pergi mengembara, dan meninggalkan rumahnya.

Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya. Ia berdoa setiap hari, dan
meminta agar suatu hari dapat bertemu dengan anaknya kembali. Karena kesungguhan dari doa
Dayang Sumbi tersebut, maka Dewa memberinya sebuah hadiah berupa kecantikan abadi dan
usia muda selamanya.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sangkuriang mengembara, akhirnya ia berniat untuk pulang ke


kampung halamannya. Sesampainya di sana, dia sangat terkejut sekali, karena kampung
halamannya sudah berubah total. Rasa senang Sangkuriang tersebut bertambah ketika saat di
tengah jalan bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik jelita, yang tidak lain adalah
Dayang Sumbi. Karena terpesona dengan kecantikan wanita tersebut, maka Sangkuriang
langsung melamarnya. Akhirnya lamaran Sangkuriang diterima oleh Dayang Sumbi, dan sepakat
akan menikah di waktu dekat. Pada suatu hari, Sangkuriang meminta ijin calon istrinya untuk
berburu di hatan. Sebelum berangkat, ia meminta Dayang Sumbi untuk mengencangkan dan
merapikan ikat kapalanya. Alangkah terkejutnya Dayang Sumbi, karena pada saat dia merapikan
ikat kepala Sangkuriang, Ia melihat ada bekas luka. Bekas luka tersebut mirip dengan bekas luka
anaknya. Setelah bertanya kepada Sangkuriang tentang penyebab lukanya itu, Dayang Sumbi
bertambah tekejut, karena ternyata benar bahwa calon suaminya tersebut adalah anaknya sendiri.

Dayang Sumbi sangat bingung sekali, karena dia tidak mungkin menikah dengan anaknya
sendiri. Setelah Sangkuriang pulang berburu, Dayang Sumbi mencoba berbicara kepada
Sangkuriang, supaya Sangkuriang membatalkan rencana pernikahan mereka. Permintaan Dayang
Sumbi tersebut tidak disetujui Sangkuriang, dan hanya dianggap angin lalu saja.
Setiap hari Dayang Sumbi berpikir bagaimana cara agar pernikahan mereka tidak pernah terjadi.
Setelah berpikir keras, akhirnya Dayang Sumbi menemukan cara terbaik. Dia mengajukan dua
buah syarat kepada Sangkuriang. Apabila Sangkuriang dapat memenuhi kedua syarat tersebut,
maka Dayang Sumbi mau dijadikan istri, tetapi sebaliknya jika gagal maka pernikahan itu akan
dibatalkan. Syarat yang pertama Dayang Sumbi ingin supaya sungai Citarum dibendung. Dan
yang kedua adalah, meminta Sangkuriang untuk membuat sampan yang sangat besar untuk
menyeberang sungai. Kedua syarat itu harus diselesai sebelum fajar menyingsing.

Sangkuriang menyanggupi kedua permintaan Dayang Sumbi tersebut, dan berjanji akan
menyelesaikannya sebelum fajar menyingsing. Dengan kesaktian yang dimilikinya, Sangkuriang
lalu mengerahkan teman-temannya dari bangsa jin untuk membantu menyelesaikan tugasnya
tersebut. Diam-diam, Dayang Sumbi mengintip hasil kerja dari Sangkuriang. Betapa terkejutnya
dia, karena Sangkuriang hampir menyelesaiklan semua syarat yang diberikan Dayang Sumbi
sebelum fajar.

Dayang Sumbi lalu meminta bantuan masyarakat sekitar untuk menggelar kain sutera berwarna
merah di sebelah timur kota. Ketika melihat warna memerah di timur kota, Sangkuriang mengira
kalau hari sudah menjelang pagi. Sangkuriang langsung menghentikan pekerjaannya dan merasa
tidak dapat memenuhi syarat yang telah diajukan oleh Dayang Sumbi.

Dengan rasa jengkel dan kecewa, Sangkuriang lalu menjebol bendungan yang telah dibuatnya
sendiri. Karena jebolnya bendungan itu, maka terjadilah banjir dan seluruh kota terendam air.
Sangkuriang juga menendang sampan besar yang telah dibuatnya. Sampan itu melayang dan
jatuh tertelungkup, lalu menjadi sebuah gunung yang bernama Tangkuban Perahu.
Malin Kundang

Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu
mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka
sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.

Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak
yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya
ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan
ibunya.

Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang
dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang
kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal
dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.

Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah
kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-
temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.

Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba
kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para
pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan
orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat
beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin
segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.

Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya
terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke
desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh
masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa
tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya
dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki
banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi
kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang
besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang
yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan.
Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang
berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya.

Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya
melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati
adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa
mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera
melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri,
sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang
pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan
baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang. “Tidak, ia hanya
seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut
Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu
Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena
kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh
Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama
kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin
Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya
berbentuk menjadi sebuah batu karang.
Keong Mas

Alkisah pada jaman dahulu kala hiduplah seorang pemuda bernama Galoran. Ia termasuk orang
yang disegani karena kekayaan dan pangkat orangtuanya. Namun Galoran sangatlah malas dan
boros. Sehari-hari kerjanya hanya menghambur-hamburkan harta orangtuanya, bahkan pada
waktu orang tuanya meninggal dunia ia semakin sering berfoya-foya. Karena itu lama kelamaan
habislah harta orangtuanya. Walaupun demikian tidak membuat Galoran sadar juga, bahkan
waktu dihabiskannya dengan hanya bermalas-malasan dan berjalan-jalan. Iba warga kampung
melihatnya. Namun setiap kali ada yang menawarkan pekerjaan kepadanya, Galoran hanya
makan dan tidur saja tanpa mau melakukan pekerjaan tersebut. Namun akhirnya galoran
dipungut oleh seorang janda berkecukupan untuk dijadikan teman hidupnya. Hal ini membuat
Galoran sangat senang ; “Pucuk dicinta ulam pun tiba”, demikian pikir Galoran.

Janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang sangat rajin dan pandai menenun,
namanya Jambean. Begitu bagusnya tenunan Jambean sampai dikenal diseluruh dusun tersebut.
Namun Galoran sangat membenci anak tirinya itu, karena seringkali Jambean menegurnya
karena selalu bermalas-malasan.
Rasa benci Galoran sedemikian dalamnya, sampai tega merencanakan pembunuhan anak tirinya
sendiri. Dengan tajam dia berkata pada istrinya : ” Hai, Nyai, sungguh beraninya Jambean
kepadaku. Beraninya ia menasehati orangtua! Patutkah itu ?” “Sabar, Kak. Jambean tidak
bermaksud buruk terhadap kakak” bujuk istrinya itu. “Tahu aku mengapa ia berbuat kasar
padaku, agar aku pergi meninggalkan rumah ini !” seru nya lagi sambil melototkan matanya.
“Jangan begitu kak, Jambean hanya sekedar mengingatkan agar kakak mau bekerja” demikian
usaha sang istri meredakan amarahnya. “Ah .. omong kosong. Pendeknya sekarang engkau harus
memilih .. aku atau anakmu !” demikian Galoran mengancam.

Sedih hati ibu Jambean. Sang ibu menangis siang-malam karena bingung hatinya. Ratapnya : ”
Sampai hati bapakmu menyiksaku jambean. Jambean anakku, mari kemari nak” serunya lirih.
“Sebentar mak, tinggal sedikit tenunanku” jawab Jambean. “Nah selesai sudah” serunya lagi.
Langsung Jambean mendapatkan ibunya yang tengah bersedih. “Mengapa emak bersedih saja”
tanyanya dengan iba. Maka diceritakanlah rencana bapak Jambean yang merencanakan akan
membunuh Jambean. Dengan sedih Jambean pun berkata : ” Sudahlah mak jangan bersedih,
biarlah aku memenuhi keinginan bapak. Yang benar akhirnya akan bahagia mak”. “Namun
hanya satu pesanku mak, apabila aku sudah dibunuh ayah janganlah mayatku ditanam tapi buang
saja ke bendungan” jawabnya lagi. Dengan sangat sedih sang ibu pun mengangguk-angguk.
Akhirnya Jambean pun dibunuh oleh ayah tirinya, dan sesuai permintaan Jambean sang ibu
membuang mayatnya di bendungan. Dengan ajaib batang tubuh dan kepala Jambean berubah
menjadi udang dan siput, atau disebut juga dengan keong dalam bahasa Jawanya.

Tersebutlah di Desa Dadapan dua orang janda bersaudara bernama Mbok Rondo Sambega dan
Mbok Rondo Sembadil. Kedua janda itu hidup dengan sangat melarat dan bermata pencaharian
mengumpulkan kayu dan daun talas. Suatu hari kedua bersaudara tersebut pergi ke dekat
bendungan untuk mencari daun talas. Sangat terpana mereka melihat udang dan siput yang
berwarna kuning keemasan. “Alangkah indahnya udang dan siput ini” seru Mbok Rondo
Sambega “Lihatlah betapa indahnya warna kulitnya, kuning keemasan. Ingin aku bisa
memeliharanya” serunya lagi. “Yah sangat indah, kita bawa saja udang dan keong ini pulang”
sahut Mbok Rondo Sembadil. Maka dipungutnya udang dan siput tersebut untuk dibawa pulang.
Kemudian udang dan siput tersebut mereka taruh di dalam tempayan tanah liat di dapur. Sejak
mereka memelihara udang dan siput emas tersebut kehidupan merekapun berubah. Terutama
setiap sehabis pulang bekerja, didapur telah tersedia lauk pauk dan rumah menjadi sangat rapih
dan bersih. Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil juga merasa keheranan dengan
adanya hal tersebut. Sampai pada suatu hari mereka berencana untuk mencari tahu siapakah
gerangan yang melakukan hal tersebut.

Suatu hari mereka seperti biasanya pergi untuk mencari kayu dan daun talas, mereka berpura-
pura pergi dan kemudian setelah berjalan agak jauh mereka segera kembali menyelinap ke dapur.
Dari dapur terdengar suara gemerisik, kedua bersaudara itu segera mengintip dan melihat
seorang gadis cantik keluar dari tempayan tanah liat yang berisi udang dan Keong Emas
peliharaan mereka. “tentu dia adalah jelmaan keong dan udang emas itu” bisik Mbok Rondo
Sambega kepada Mbok Rondo Sembadil. “Ayo kita tangkap sebelum menjelma kembali menjadi
udang dan Keong Emas” bisik Mbok Rondo Sembadil. Dengan perlahan-lahan mereka masuk ke
dapur, lalu ditangkapnya gadis yang sedang asik memasak itu. “Ayo ceritakan lekas nak, siapa
gerangan kamu itu” desak Mbok Rondo Sambega “Bidadarikah kamu ?” sahutnya lagi. “bukan
Mak, saya manusia biasa yang karena dibunuh dan dibuang oleh orang tua saya, maka saya
menjelma menjadi udang dan keong” sahut Jambean lirih. “terharu mendengar cerita Jambean
kedua bersaudara itu akhirnya mengambil Keong Emas sebagai anak angkat mereka. Sejak itu
Keong Emas membantu kedua bersaudara tersebut dengan menenun. Tenunannya sangat indah
dan bagus sehingga terkenallah tenunan terebut keseluruh negeri, dan kedua janda bersaudara
tersebut menjadi bertambah kaya dari hari kehari.

Sampailah tenunan tersebut di ibu kota kerajaan. Sang raja muda sangat tertarik dengan tenunan
buatan Jambean atau Keong Emas tersebut. Akhirnya raja memutuskan untuk meninjau sendiri
pembuatan tenunan tersebut dan pergi meninggalkan kerajaan dengan menyamar sebagai
saudagar kain. Akhirnya tahulah raja perihal Keong Emas tersebut, dan sangat tertarik oleh
kecantikan dan kerajinan Keong Emas. Raja menitahkan kedua bersaudara tersebut untuk
membawa Jambean atau Keong Emas untuk masuk ke kerajaan dan meminang si Keong Emas
untuk dijadikan permaisurinya. Betapa senang hati kedua janda bersaudara tersebut.
Timun Mas

Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat
hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang
anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa
suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa.
“Terima kasih, Raksasa,” kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu
harus kalian serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak.
Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat
tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah
sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka
memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam
buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia.
Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya
sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas
yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun
Mas.

Petani itu mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan
memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah ini,” katanya
sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang
larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi
santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi
suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke
hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera
mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa.
Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas
kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu
dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap
Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun
mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah
kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-
mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya
habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir
menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir,
segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar.
Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau
lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan
Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. “Terima
Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia
tanpa ketakutan lagi.

Anda mungkin juga menyukai