(PERMESTA)
KELOMPOK 7 :
1. SELA NOVI ANDANI
2. NOVITASARI
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
1.2 Maksud dan Tujuan Penulisan
1.2.1 Maksud Penulisan
Adapun maksud dari makalah kami yang berjudul Gerakan
Separatis Pemerintaha Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI/PERMESTA) adalah ingin mengetahui :
1. Jalannya Pemberontakan PRRI/PERMESTA
2. Situasi dan kondisi Indonesia secara ymym pada saat Pemberontakan
PRRI/PERMESTA.
3. Dampak dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA bagi Bangsa Indonesia
4. Upaya penumpasan dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
5. Akhir dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA.
3
BAB II
GERAKAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA (PRRI)
PERJUANGAN SEMESTA (PERMESTA)
4
Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di
Sumatera Utara. Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan
melalui Keputusan Presiden No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan
Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua perairan yang mengelilingnya
dinyatakan dalam darurat perang (SOB).
Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima
TT-VII Letkol Ventje Sumual mengadakan ”pertemuan pendapat dan ide” dengan
para Staffnya. Pertemuan tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain
disebutkan bahwa penyelesaian keamanan harus segera dilaksanakan agar
pembangunan semesta segera dapat dimulai.
Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur
Makasar yang dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957.
Pertemuan tersebut melahirkan Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang
ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia Timur. Wilayah gerakan
tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk melancarkan
program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah
Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg].
Seluruh pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga
ketenteraman rakyat dan demi terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan
Permesta.
Diantara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling
berhubungan. Para pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan
di Sungai Dareh sekitar 109 kilo meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10
Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah dilakukan pertemuan yang dihadiri
Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian,
Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira Negara,
Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Pertemuan itu mengamanatkan
forum perwira pembangkang ini untuk aktif mencari senjata di luar negeri dan
untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta membicarakan soal rencana
pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan negara secara
terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi
Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah
5
memberikan Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan
menuntut agar pemerintah melakukan perbaikan radikal di segala bidang,
sedangkan di bidang militer, dewan Banteng menuntut supaya dibentuk komandan
utama di Sumatera Utara.
Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para
perwira yang terlibat didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian
di Sumatra, kolonel Simbolon membacakan proklamasi Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958, dengan ibukota
di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana
Menteri.
Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta.
Kol Somba, Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah
mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan
memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi praktis sayap timur PRRI. Pusat
pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota
Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke
Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai
mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas
dengan keadaan ekonomi mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga
mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self
determination).
Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk
mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari
pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka
perwakilan Permesta mengadakan hubungan dengan para pemberontak Permesta
di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan bantuan persenjataan.
Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah setempat
untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia
Taiwan. Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan
kepada kaum pemberontak.
6
2.2 Kondisi Bangsa Indonesia Saat Pemberontakan PRRI/PERMESTA
1. Kondisi Politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-
legalistik. Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang
berdasarkan demokrasi parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada
perdana menteri, bukan kepada presiden. Setelah dibentuknya kabinet
Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin kacau. Pergantian kabinet secara
terus menerus yang terjadi hampir setiap tahun. Berbagai kebijakan silih
berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarto-Hatta memperburuk kondisi
perpolitikan bangsa. Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara
resmi dari jabatanya sebagai wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai
retak sejak tahun 1955. Perbedaan pendapat dan latar belakang walaupun
keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis, namun Soekarno cenderung
ke Marxis serta bermain api dengan komunis, sedangkan Hatta cenderung ke
Sosialis dan anti komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan
ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana
memperbaharui sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan
”Demokrasi Terpimpin”, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai
demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara
Barat yang memecah belah berdasar keputusan”50%+1”. Demokrasi
terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang
merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI. Soekarno juga ingin
menyampaikan ”konsepsi”nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi
presiden merupakan cerminan kekecewaan Bung Karno terhadap sistem
parlementer. Mencakup dukungan publik Soekarno supaya PKI memainkan
peranan yang lebih besar dalam dunia politik Indonesia.
2. Kondisi Perekonomian
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal
kemerdekaan berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi
7
yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan
ekonomi Kabinet Hatta yang akomodatif terhadap modal asing dipertahankan
oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara lain kabinet Natsir, Sukiman, dan
kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-1954), haluan politik itu
sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali hanyalah
sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan
bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan administratif sangat
diperhatikan. Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping
pegawai dari pusat ke daerah. Partai PNI semakin nampak diperkuat.
Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan yang semakin
parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra
daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat.
Semua administrator pemerintah mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang
berasal dari putera daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem
birokrasi sangat berkaitan dengan partai politik yang sedang berkuasa.
Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin kuat di setiap daerah.
8
yang terbukti ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu,
berbagai problem sosial dan ekonomi yang muncul nyaris tidak dapat teratasi.
Sebenarnya gerakan PRRI/Permesta hanyalah koreksi terhadap kebijakan
pemerintah pusat serta keadaan yang morat-marit demi kepentingan bangsa
secara umum.
4. Situasi di Daerah
Peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak
lepas dari berbagai factor yang menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis
sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini.
Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih
dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan
”sentralistik” dalam pandangan permesta. Hubungan antara pusat dan daerah
menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat
antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan
pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.
Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada,
karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan
sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Pada
akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari
beberapa tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan
pemerintah.
Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat
dirasakan oleh berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit
yang merasakan kesulitan tersebut. Tindakan-tindakan pemerintah dalam
masalah ekonomi seperti penyalahgunaan devisa, pemberian ijin istimewa
kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit
menghambat para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga
dibuat kesal oleh alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi
operasi-operasi militer serta kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan
ekspor/“barter” dilakukan tanpa disesuaikan dengan prosedur di Jakarta. Hal
9
tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima
pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT I dalam peristiwa ”barter”
yaitu keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada
pengusaha-pengusaha yang melakukan ekspor–ekspor yang dianggap
merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution memberhentikan Kolonel
Simbolon untuk sementara. Selain itu, beberapa perwira tinggi militer
Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan
diberhentikan dengan tidak hormat.
Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu
masalah otonom intern di Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh
pembentukan dewan-dewan di Sumatera.
10
Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II
pada tanggal 14 Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan
oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk pada tanggal 9 April 1957.
11
a. Operasi yang dilaksanakan di Sumatera
1) Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.
2) 16 April 1958, pengiriman pasukan dalam ”Operasi 17 Agustus” di bawah
Kolonel Achmad Yani, yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat
AS, Benson. Tanggal 17 April, pasukan Yani telah menguasai Padang
sepenuhnya.
3) Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan
sasaran Sumatera Timur dan Sumatera Utara.
4) Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah
sasaran Sumatera Selatan.
b. Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer
Indonesia, dan dilaksanakan Operasi Marga pada bulan April untuk
menumpas Permesta.
1) Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan
sasaran Sulawesi Tengah
2) Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan
sasaran Sulawesi Utara bagian Selatan
3) Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan
sasaran sebelah Utara Menado.
4) Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto
Hendraningrat dengan sasaran Sulawesi Utara
5) Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
6) Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W.
Huhnhloz dengan sasaran Murotai
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi
sebelumnya, seperti yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah
berlaku hukum kausalitas atau sebab-akibat. Peristiwa pemberontakan
PRRI/Permesta yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang
menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab
dari pemberontakan ini. Posisi militer sebagai opsan pemerintah berusaha
mengambil alih kekuasaan sipil setelah melihat berbagai kekurangan dalam
berbagai kebijakannya.
Kondisi yang dianggap ”sentralistik” oleh daerah menyebabkan hubungan
antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat
menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya. Gerakan
PRRI/Permesta merupakan gejolak daerah yang berusaha melakukan koreksi
terhadap kondisi bangsa yang morat-marit.
Gerakan tersebut membawa dampak positif maupun negatif bagi bangsa
Indonesia. Kerugian materi maupun psikologis diderita masyarakat, tetapi disisi
lain gerakan tersebut menyadarkan para pemimpin bangsa akan pentingnya
otonomi daerah serta keharusan untuk menghayati hakekat Binneka Tunggal Ika.
3.2 Saran
Dari penjelasan di atas, kita sebagai Bangsa Indonesia dapat mengambil
pelajaran dari Peristiwa Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Kita sebagai bangsa
yang baik patut melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah memerdekakan
Bangsa Indonesia ini dengan lebih giat belajar, serta menjaga persatuan dan
kesatuan Bangsa Indonesia
13
DAFTAR PUSTAKA
14