Anda di halaman 1dari 8

Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Keluarga

Disusun Oleh :

Rania Taufikur R (010117A0)


Rina Novitasarai (010117A084)
Shadila P.A (010117A
Yulfia (010117A
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik
dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif
diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA,
IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang
bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat
limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut.
Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon.
Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan,
sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh
menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi.
B. Tujuan Penulisan
1. TujuanUmum
Untuk memenuhi tugas mata ajar KMB 1 (Imunologi)
2. TujuanKhusus
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami Hipersensitivitas
2. Agar mahasiswa dapat melaksanakan dan memahami Asuhan Keperawatan
Hipersensitivitas
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang
berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas
menurut Coombs dan Gell.
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan
atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:
1. Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE
yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan
ini menimbulkan reaksi tipe cepat.
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau
anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan
bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala
yang beragam, mulai dari ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar
antara 15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami
keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh
imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada reaksi ini adalah mastosit atau
basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah
tes kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi
IgE spesifik untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.
Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat
hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun,
peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi
cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas
tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin, penggunaan
Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau desensitization) untuk
beberapa alergi tertentu.
2. Tipe II : reaksi sitotoksik
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks
ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung
berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung
berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan
kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang
berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
§ Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
§ Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel
pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi
kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel
darah merah), dan
§ Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga
menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Tipe III : reaksi imun kompleks


Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen membentuk kompleks
imun. Keadaan ini menimbulkan neurotrophichemotactic factor yang dapat
menyebabkan terjadinya peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada
pembuluh darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes
simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur. Reaksi demikian
juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

4. Tipe IV : Reaksi tipe lambat


Sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai
imunitas seluler. Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan
menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca
keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis
diskiformis.

B. ETIOLOGI
Faktor yang berperan dalam alergi makanan kami bagi menjadi 2 yaitu :
1. Faktor Internal
1) Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung,
enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA
sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi
kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.
2) Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai
masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan
setempat.
3) Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan
alergen bertambah.

2. Faktor Eksternal
1) Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau
beban latihan (lari, olah raga).

2) Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya

 Ikan 15,4 %  Apel 4,7 %


 Telur 12,7 %  Kentang 2,6 %
 Susu 12,2 %  Coklat 2,1 %
 Kacang 5,3 %  Babi 1,5 %
 Gandum 4,7 %  Sapi 3,1 %

3) Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan
reaksi alergi.
C. PATOFISIOLOGI

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala – gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda – tanda itu muncul maka antigen
akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T ,dimana sel T tersebut
yang akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi ( Ig E ). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang
mengalami paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal
yaitu,:
1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,
sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel
mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak , kemudian histamin
tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah. Saat mereka mencapai kulit,
alergen akan menyebabkan terjadinya gatal,prutitus,angioderma,urtikaria,kemerahan
pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat
mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama
anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran
menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

Klasifikasi
1) Hipersensitivitas anafilaktif ( tipe 1 )

Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktif seketika dengan reaksi yang di


mulai dalam tempo beberapa menit sesudah kontak dengan antigen.

2) Hipersensitivitas sitotoksik ( tipe 2 )

Hipersensitivitas sitotoksik terjadikalau sistem kekebalan secara keliru mengenali


konsituen tubuh yang normal sebagai benda asing.
3) Hipersensitivitas kompleks imun ( tipe 3 )

kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibodi dan dibersihkan dari
dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik.
4) Hipersensitivitas Tipe lambat (tipe 4 )

Reaksi ini yang juga dikenal sebagai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72
jam sesudah kontak dengan allergen

D. TANDA DAN GEJALA


Adapun Gejala klinisnya :
1. Pada saluran pernafasan : asma
2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut
3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal
4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

E. PEMERIKSAAN FISIK
v Inspeksi : apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya
urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir
v Palpasi : ada nyeri tekan pada kemerahan
v Perkusi : mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan
v Auskultasi : mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng
yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
§ Uji kulit : sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,
kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,
telur, kacang, ikan).
§ Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
§ IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,
atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
§ Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
§ Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
§ Biopsi usus : sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge didapatkan
inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE ( dengan
mikroskop imunofluoresen ).
§ Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
§ Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

G. DIAGNOSTIK
Ø Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,
Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic fibrosis,
peptic disease dan sebagainya.
Ø Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai