Rasul
Al-Qur'an
.
Rukun Islam
1. Syahadat · 2. Salat · 3. Zakat
4. Puasa · 5. Haji
Rukun Iman
Iman kepada: 1. Allah
2. Malaikat · 3. Kitab Allah ·4. Rasul
5. Hari Akhir · 6. Qada & Qadar
Tokoh Islam
Muhammad SAW
Nabi & Rasul · Sahabat
Ahlul Bait
Kota Suci
Mekkah · & · Madinah
Kota suci lainnya
Yerusalem · Najaf · Karbala
Kufah · Kazimain
Mashhad ·Istanbul · Ghadir Khum
Hari Raya
Idul Fitri · & · Idul Adha
Hari besar lainnya
Isra dan Mi'raj · Maulid Nabi
Arsitektur
Masjid ·Menara ·Mihrab
Ka'bah · Arsitektur Islam
Jabatan Fungsional
Khalifah ·Ulama ·Muadzin
Imam·Mullah·Mufti
Hukum Islam
Al-Qur'an ·Hadist
Sunnah · Fiqih · Fatwa
Syariat · Ijtihad
Manhaj
Salafush Shalih
Mazhab
1. Sunni:
Hanafi ·Hambali
Maliki ·Syafi'i
2. Lain-lain:
Ibadi · Khawarij
Murji'ah·Mu'taziliyah
Lihat Pula
Portal Islam
Indeks mengenai Islam
lihat • bicara • sunting
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: )القرآنadalah kitab suci agama Islam. Umat
Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang
diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril.
Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana
yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.[1]
Daftar isi
1 Etimologi
2 Terminologi
3 Nama-nama lain Al-Qur'an
4 Struktur dan pembagian Al-Qur'an
o 4.1 Surat, ayat dan ruku'
o 6.2 Tafsir
12 Pranala luar
Etimologi
Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan"
atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda
(masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini
dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18
Surah Al-Qiyamah yang artinya:
Terminologi
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir,
membacanya termasuk ibadah”.
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril
a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara
mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai
dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"
Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an
seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang
diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah,
seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang
digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama
tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat
akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat
Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr
dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut
ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat
Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan
tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun
sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan
setelahnya tergolong surat Madaniyah.
Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan
panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan
mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan).
Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan
penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak
memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara
adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya
mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat
sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
Penurunan Al-Qur'an
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini
selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang
ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib,
Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap
menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan
saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat
langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang
dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal
Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat
khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat.
Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas
tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam
satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf
tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai
khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang
juga istri Nabi Muhammad SAW.
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman
dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan
dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf
standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara
penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan
standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan
diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil
mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam pada masa depan
dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.
Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Terjemahan
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an
yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal
tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an
menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang
bervariasi; kadang-kadang untuk arti hakiki, kadang-kadang pula untuk arti majazi
(kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
1. The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Pendapat pertama
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting
kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan
secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap
sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas
Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama
dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
Pendapat kedua
Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah:
"Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana
ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah
disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain
sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang
dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang
bersih dari hadats besar dan hadats kecil.
Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya
tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-
Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku)
bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya
(Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek)
bukan sebagai faa’il (subyek).
“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh
hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min,
karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad.
“Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[5]