Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

BRONKOPNEUMONIA

DEFINISI
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan
interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6
Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli
kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan
histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh
berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies
bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab.
Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah dari
parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur
dan benda asing.
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat.
Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang
lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat
(Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.
Gambar 1, jenis-jenis pneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada


parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-
paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus,
jamur dan benda asing.7,8

EPIDEMIOLOGI
Penumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya sangat
tinggi, tidak saja di negara berkembang tetapi juga di Negara maju seperti Amerika, Kanada
dan negara-negara eropa lainnya. Di Amerika penumonia merupakan penyebab kematian
nomor satu setelah kardiovaskuler dan TBC. Kasus penumonia ditemukan paling banyak
menyerang anak balita.tahun 2007 1,2 juta orang di Amerika Serikat dirawat di rumah sakit
dengan pneumonia dan lebih dari 52.000 orang meninggal akibat penyakit ini. Di daerah
eropa dan amerika utara kejaddian penumnia 34-40 kasus per 1000 anak, kebanyakan kasus
penumonia pada anak usia prasekolah yaitu, empat bulan sampai lima tahun. Di dunia setiap
20 detik seorang anak meninggal akibat penumonia dan setiap tahun diperkirakan lebih 2 juta
balita meninggal karena penumonia (1 balita/15 detik) dari 9 juta total kematian balita15.
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika pneumonia
menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah
penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering
merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh
tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa. Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka
kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas)
pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5% .Penumonia merupakan penyakit penyebab kematian
kedua tertinggi setelah diare dinatara balita. Hal ini menunjukan bahwa pneumonia
merupakan penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama yang berkontribusi
terhadap tingginya angka kematian balita di Indonesia16.

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas


pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia
yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalens
kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi
industri atau asap rokok).17

Diagram 1, penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO 7

ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus, bakteri,
jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan
asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug – or
radiation induced pneumonitis.6,9 Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan
penting pada perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi,
gambaran klinis, dan strategi pengobatan. 1
Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak yang
berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber
infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu.
Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp,
atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus
pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan transplasenta juga dapat
terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes
simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes.
Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh
infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus
aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9
Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di samping
bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia
anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan
bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah
Respiratory Synctial Virus ( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang
terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan
Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi
infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun.
Namun, secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus.
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data
di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negar maju1
USIA ETIOLOGI YANG SERING ETIOLOGI YANG
JARANG
Lahir – 20 hari BAKTERI BAKTERI
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
3 minggu – 3 bulan BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3 VIRUS
Respitatory Syncytical Virus Virus Sitomegalo
4 bulan – 5 tahun BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
VIRUS Staphylococcus aureus
Virus Adeno VIRUS
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Synncytial virus
5 tahun – remaja BAKTERI BAKTERI
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial Virus
Virus Varisela-Zoster

FAKTOR RISIKO
Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak
balita di negara berkembang, antara lain:
 pneumonia yang terjadi pada masa bayi
 berat badan lahir rendah ( BBLR )
 tidak mendapat imunisasi
 tidak mendapat ASI yang adekuat
 malnutrisi
 defisiensi vitamin A
 tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring
 tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok)
 imunodefisiensi dan imunosupresi ( HIV, penggunaan obat imunisupresif )
 adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak
 intubasi, trakeostomi
 abnormalitas anatomi 1,8

PATOGENESIS
Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang
menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan
jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia,
melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian
ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola
mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit
kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan
perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya
berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta
berbagai bakteri gram negative.
Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S.
pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi
merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan
reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan
reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative
dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi
pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien
dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah
melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang
berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan.
Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme
penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada
bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun,
M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M.
catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering
didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia.
Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan
imunisupresi disertai lekopeni.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan
Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika
Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.
Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan
invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus
ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan
reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat
pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel
imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)


Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi
di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami
kongesti.
Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag
sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat
sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam
keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat,
tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan
menimbulkan penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.

PATOLOGI
Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu tergantung pada agen etiologinya.
Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan eksudat intraalveolar supuratif
disertai konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam
alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli yang mempermudah
proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Kemudian, disusul dengan
konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel – sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel – sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimaakan.
Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium prodromal, stadium hepatisasi,
dan stadium resolusi. Pada stadium prodromal, yaitu 4 – 12 jam pertama, alveolus – alveolus
mulai terisi sekret dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor yang ditimbulkan infeksi
dengan kuman patogen yang berhasil masuk. Pada 48 jam berikutnya, paru tampak merah
dan bergranulasi, seperti hati, dimana alveoli terisi dengan sebukan sel – sel leukosit terutama
sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman, yang disebut dengan stadium hepatisasi
merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari, terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit
fibrin dan leukosit yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu.
Sebagai akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat
menjalankan fungsi pernapasan ( jadi merupakan gangguan restriksi ). Di samping itu, pada
saat yang bersamaan juga ada peningkatan kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang
tinggi. Proses radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus tersebut.
Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat. Nyeri dada ini juga akan
menyebabkan ekspansi paru terhambat. Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita
mengalami sesak napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan terdengar
wheezing.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada hari ke – 7 sampai 11
terjadi stadium resolusi dimana jumlah makrofag mingingkat di alveoli, sel akan mengalami
degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus akan melunak
untuk berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk, dan jaringan paru
kembali kembali pada struktur semulanya.
Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, dimanan pada
pneumonia lobaris konsolidasi ditemuka pada seluruh lobus dan pada bronkopneumonia
terjadi penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3 – 4 cm yang
mengelilingi bronki. Pada pneumonia akibat virus atau Mycoplasma pneumoniae, gambaran
patologi ditandai dengan peradangan interstisial yang disertai penimbunan infiltrat dalam
dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari eksudat dan tidak ada
konsolidasi. 1,6,7,8

KLASIFIKASI PNEUMONIA
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti ( community – acquired pneumonia ) : pneumonia yang
didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram positif (
Pneumokokus, Staphylococcus ), basil Gram negatif ( Haemophillus influenzae
), dan bakteri atipik.
b. Pneumonia nosokomial ( hospital – acquired pneumonia ) : pneumonia yang
timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering disebabkan
oleh bakteri gram negatif ( Staphylococcus aureus ) dan jarang oleh
pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.
c. Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain
makanan dan asam lambung
d. Pneumonia pada penderita immunocompramised
2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada
penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised )
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial 6,10

MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga
sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi
komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas,
gejala klinis yang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik
invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi,
tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
 Gambaran infeksi umum :
o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC
o sakit kepala
o gelisah
o malaise
o penurunan nafsu makan
o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare
o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
 Gambaran gangguan respiratori:
o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o sesak nafas
o retraksi dada
o takipnea
o napas cuping hidung
o penggunaan otat pernafasan tambahan
o air hunger
o merintih
o sianosis
Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat batuk, batuk
berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti
vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup
pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi
pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu
terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1,7,11
1. Pneumonia pada Neonatus dan Bayi Kecil
Gambaran klinis pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan
apnea, sianosis, grunting, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR
sering terjadi hipotermi. Pada bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.1,12
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis sering terjadi pada bayi berusia di bawah
2 bulan, dimana gejala baru timbul pada usia 4 – 12 minggu dan pada beberapa kasus
pada usia 2 minggu, tetapi jarang setelah usia 4 bulan. Gejala timbul perlahan – lahan,
dan dapat berlangsung hingga berminggu – minggu. Gejala umum berupa gejala
infeksi respiratori ringan – sedang, ditandai dengan batuk staccato ( inspirasi diantara
setiap satu kali batuk ), kadang – kadang disertai muntah, umumnya pasien tidak
demam. Bila berkembang menjadi pneumonia berat yang juga dikenal sebagai
sindroma pneumonitis, terdapat gejala klinis ronki atau mengi, takipnea, dan sianosis.1
2. Pneumonia pada Balita dan Anak
Pada anak – anak prasekolah, keluhan meliputi demam, menggigil, batuk (
nonproduktif/produktif ), takipneu, dan dispneu yang ditandai oleh retraksi dinding
dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja dapat dijumpai demam, batuk (
nonproduktif/produktif ), nyeri dada, sakit kepala, anoreksia, dan kadang – kadang
keluhan gastrointestinal seperti mual atau diare, dan juga dehidrasi. Secara klinis
ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta ( chest indrawing ),
sianosis, dan napas cuping hidung. Ronki basah halus ( fine crackles ) khas pada anak
besar dapat tidak dijumpai pada bayi.
Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media,
faringitis, dan laringitis. Iritasi pleura dapat mengakibatkan nyeri dada dan bila berat
gerakan dada akan menurun waktu inspirasi. Anak besar dengan pneumonia lebih
suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Rasa
nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut. Ronki hanya ditemukan bila ada
infiltrat alveolar. Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang
bermakna. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi. Bula efusi pleura bertambah, sesak napas akan semakin bertambah,
tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul.
Kadang – kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan
bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke
kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomenn mengalami distensi
akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati
mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena
terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi pneumonia.1,12
3. Pneumona Akibat Infeksi Mycoplasma pneumoniae
Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat. Masa inkubasi kurang
lebih 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala
menyerupai influenza ( influenza like syndrome ) seperti demam, malaise, sakit
kepala, mialgia, tenggorokan gatal, dan batuk. Suhu tubuh jarang mencapai 38,5 °C.
Batuk terjadi setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian
menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga
berminggu – minggu.
4. Pneumona Akibat Infeksi Clamidia pneumoniae
Clamidia pneumoniae merupakan penyebab tersering infeksi saluran napas
atas, seperti faringitis, rinosinusitis, dan otitis, tetapi dapat menyebakan pnumonia
juga. Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit
kepala, malaise, pilek, dan demam tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada
tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umumnya tidak mencolok. Leukosit
darah tepi biasanya normal. Gambaran foto toraks menunjukan infiltrat difus atau
gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis.1

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam
batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri
didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia ( < 5.000 / mm3 ) menunjukkan prognosis yang
buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri
sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih
tinggi. Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan
eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar
antara 300 – 100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah
dibandingkan glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju
endap darah ( LED ) yang meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90%
penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah
perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara
pasti.1

2. C – Reaktive Protein ( CRP ) dan LED


CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui,
CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang
rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri
superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.1
3. Uji Serologis
Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik
mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat
dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1
4. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin
dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring,
bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum
kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana
kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif.1
5. Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
6. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar diagnosis
untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan,
misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah
ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi,
resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis
menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto
rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis
menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran
foto toraks terdiri dari:
 Pneumonia / infiltrat interstisial: ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya
disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy
consolidation karena atelektasis
 Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan
pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya
cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan
menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia.
Biasanya disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain.
 Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial

Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik

Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu
paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan
pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut
merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko
terjadinya pleuritis lebih meningkat.
Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu mengarahkan
kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan peribronkial, infiltrat interstisial
merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat
alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia
Stafilokokus sering ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan
berbagai ukuran.
Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada
beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks
pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia
terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang
jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto
toraks yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat
gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular
fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma.
Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass
consolidation, serta transient pseudoconsolidation.

DIAGNOSIS
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan / atau serologis
merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri penyebab tidak selalu mudah
karena memerlukan laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem
respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah
demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas
cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. 1
WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk
Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara
berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan
berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai dengan
menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai
dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (
retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat
minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada
anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan
pedoman tersebut:

Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
 bila ada sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
 bila tidak ada sesak napas
 ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
 tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah
terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok
usia ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.1


Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
 bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotik
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat
dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas
cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu
hal berikut ini:
a. kepala terangguk – angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. )
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
 Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
 Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
 Pada auskultasi terdengar
o crackles ( ronki )
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
 tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya
 kejang, letargi, atau tidak sadar
 sianosis
 distress pernapasan berat 12

DIAGNOSIS BANDING 12
1. Pneumonia lobaris
Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang
pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe kontinua.
Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut dan
nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat
adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Bronkioloitis
Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas cuping
hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki nyaring halus
pada auskultasi. Gambaran labarotorium dalam batas normal, kimia darah
menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.
3. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba, wheezing
atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.
4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif (
> 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu atau lebih,
batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun,
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan
tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan
menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor TB.
5. Atelektasis
Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang
seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan dangkal,
takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser
dan letak diafragma mungkin meninggi.

TATALAKSANA 1,5,12
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak
mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis
pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pnuemonia rawat inap adalah
pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan
pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme
tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris
yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan
keadaan klinis pasien serta faktor epidiemiologis.
1. Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP
dan 20 mg/kgBB sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik
eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta –
laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas
ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik.
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk
membawa kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk
atau tidak dapat minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik ( melambat ),
demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3
hari. Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti
ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda
pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia
berat.
2. Pneumonia Rawat Inap
Terapi Antibiotik
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama)
menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai
hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya
penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak
efektif)
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta – laktam
atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan
kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan
selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus
dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh
karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik
yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi betalaktam
/ klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga.
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali
IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila
anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi
dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali
tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik beta – laktam dengan/tanpa klavulanat; pada kasus yang lebih berat
diberikan beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena,
atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah
stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang
berat maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam.
Bila pasien datang dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampisilin – kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai
alternatif, beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak
membaik dalan 48 jam, maka bila mungkin foto toraks.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5
mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse
oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan
saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi
tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
Terapi Penunjang
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri
antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator
kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan
oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak
mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap
kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak
dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah
sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa
nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia
aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang
keduanya pada lubang hidung yang sama.

KOMPLIKASI
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta,
pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis
merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah
empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada
yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada
perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ).
Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel
kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,
maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG,
ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim. 1

PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan
penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan
daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat,
makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan
terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. influenza, vaksinasi Varisela
yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, dimana vaksin influenza yang
diberikan pada anak sebelum anak sakit. Efektivitas vaksin pneumokok adalah sebesar 70%
dan untuk H. influenzae sebesar 95%. Infeksi H. influenzae dapat dicegah dengan rifampicin
bagi kontak di rumah tangga atau tempat penitipan anak. 11,12

PROGNOSIS
Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang dari 1 %. Mortalitas dapa
lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi – protein dan
datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah
lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua – duanya bekerja sinergis,
maka malnutrisi bersama – sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar
dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pneumonia biasanya tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak.11,12

DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365.
2. Hudoyo A. Anatomi Saluran Napas.[ internet ]. 2009 April.[ cited 18 Januari 2014 ].
Available from:
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a77a24964
c5c0a.pdf
3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior Doctors. 11th
ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2006
4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole; 2007. hal.
451 - 455
5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim MS,
et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI. 2004. hal. 351 - 354.
6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia
Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2000.
Hal. 74 – 92
8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol 2. 6th
ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 – 810
9. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics.
18th ed. [ e – book ]. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Indonesia. 2007. Hal 984.
11. Iwantono HS. Bronkopneumoni.[ internet ]. 2008 Mar.[ cited 18 Januari 2014 ].
Available from: http://hsilkma.blogspot.com/2008/03/bronkopneumonia.html
12. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di Kabupaten/Kota. Jakarta:
World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113
13. Bennett NJ, Steele RW. Pediatric Pneumonia.[ internet ]. 2010 May.[ cited 18 Januari
2014 ]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/967822-medication
14. UNICEF. The Challange: Pneumonia is the Leading Killer of Children. .[ internet ].
2011 Mar.[ cited 18 Januari 2014 ]. Available from:
http://www.childinfo.org/pneumonia.html
15. Gambaran karakteristik penumonia pada anak yang dirawat di ruang perawatan
intensif anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2013-2015. 2016.
Kaunang, T. Christian, ari l. Runtunuwu, dan audrey M.I. Wahani.jurnal e-Clinis
(eCL), volume 4, nomor 2, juli-desember 2016
16. http://www.depkes.go.id/article/print/410/pneumonia-penyebab-kematian-utama-
balita.html, penumonia penyebab kematiian utama balita
17. Anonim. Referat Bronkopneumonia. Available at
www.scribd.com/doc/7688175/Referat-Bronkopneumonia

Anda mungkin juga menyukai