Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Tinjauan Teori

2.2.1. Konsep Stroke Non Hemoragik

2.2.1.1. Definisi

Stroke atau cedera serebrovaskular adalah kehilangan fungsi otak

yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah kebagian otak (Smeltzer &

Bare, 2001 dalam Wijaya & Putri, 2013).

Stroke Non Hemoragik (SNH) yaitu berhentinya aliran darah ke

otak yang disebabkan karena penumpukan kolestrol didalam dinding

pembuluh darah (arteroklerosis) atau bekuan darah yang menyumbat

pembuluh darah ke otak (Suiroka, 2012)

Stroke Non Hemoragik (SNH) terjadi karena tersumbatnya

pembuluh darah yang menyebabkan terhentinya aliran darah ke otak

seluruh atau sebagian. Hal ini disebabkan karena arteroklerosis yaitu

penumpukan kolestrol pada dinding pembuluh darah atau bekuan darah

yang telah menyumbat suatu pembuluh darah (Pudiastuti, 2013)

Berdasarkan berbagai sumber diatas penulis dapat menyimpulkan

bahwa Stroke Non Hemoragik adalah tersumbatnya aliran darah ke otak

yang disebabkan karena penumpukan kolestrol (arteroklerosis) yang dapat

mengakibatkan kehilangan fungsi otak.


2.2.1.2. Klasifikasi Stroke

Menurut Wijaya & Putri (2013)

a. Stroke Hemoragik

Merupakan perdarahan serebral dan bisa saja perdarahan subarachnoid.

Disebabkan karena pecahnya pembuluh darah di otak yang terjadi di

bagian tertentu pada otak. Biasanya stroke ini terjadi saat melakukan

aktivitas atau saat aktif tapi bisa terjadi saat istirahat.

b. Stroke Non Hemoragik (SNH)

Merupakan aliran darah ke otak yang terhenti karena penumpukan

kolestrol pada dinding pembuluh darah (arteroklerosis) atau bekuan

darah yang telah menyumbat suatu pembulh darah ke otak. Tidak

menyebabkan perdarahan namun bisa terjadi iskemia yang

menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder.

2.2.1.3. Etiologi

Penyebab stroke menurut Brunner & Suddarth (2013) diakibatkan oleh

salah satu dari ke empat kejadian yaitu :

a. Trombosis Serebral

Arteroklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi adalah

penyebab paling umum pada stroke. Tanda-tanda trombosis serebral

yaitu pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa mengalami

awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi intraserebral dan

embolisme serebral. Secara umum trombosis serebral tidak terjadi

secara tiba-tiba dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau


perestesia, pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralisis

berat pada beberapa jam atau hari.

b. Embolisme Serebral

Abnormal patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis

infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, infeksi

pulmonal adalah tempat asal emboli. Pemasangan katub jantung

prostetk dapat mencetuskan stroke karena terdapat peningkatan

insiden embolisme setelah prosedur ini. Kegagalan pacu jantung,

fibrasi atrium adalah kemungkinan penyebab lain dari emboli serebral

dan stroke. Embolus biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau

cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral.

c. Iskemia Serebral

Iskemia serebral (infusiensi suplai darah ke otak) terutama

karena konstriksi ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.

d. Hemoragi Serebral

Hemoragi serebral dapat terjadi diluar dura mater (hemoragi

ekstradural atau epidural) kedaruratan bedah neuro yang memerlukan

penanganan segera mengikuti fraktur tengkorak dengan robekan arteri

tengan atau arteri meninges lain, dibawah dura mater (hemoragi

subdural) hematoma subdural biasanya jembatan vena robek, diruang

subarakhnoid (hemoragi subarakhnoid) akibat trauma atau hipertensi

tetapi penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area

sirkulus willis dan malformasi arteri-vena konginetal ada otak,


didalam subtansi otak (hemoragi intraserebral) klien dengan hipertensi

dan arteroklerosis-serebral.

2.2.1.4. Faktor Resiko

Menurut (Yulianto, 2011)

a. Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor resiko stroke yang paling utama,

meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat, peningkatan tekanan sistolik

maupun diastolik berkaitan dengan resiko yang lebih tinggi. Untuk

setiap kenaikan tekanan diastolik sebesar 7.5 mmHg maka resiko

stroke meningkat 2 kali lipat.

b. Infark Miokard

Antara penderita infark miokardial dikemudian hari

mengalami stroke embolik. Resiko terbesar berada dalam satu bulan

setelah terjadi infark miokardial. Arteroklerosis mendasari terjadinya

infark miokardial maupun stroke iskemik.

c. Fibrilasi Atrial

Fibrilasi atrial merupakan gangguan irama jantung, seorang

penderita yang mengalami fibrilasi atrial memiliki risiko 3-5 kali lipat

mengalami stroke. Secara keseluruhan, 15% kasus stroke iskemik

disebabkan oleh fibrilasi atrial.

d. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus meningkatkan risiko stroke melalui beberapa

mekanisme yang saling berkaitan yang bermuara pada terbentukya


plaque ateroklerotik. Plaque pada diabetes melitus banyak dijumpai di

cabang-cabang arteri serebral yang kecil. Plaque tersebut akan

menyempitkan diameter pembuluh darah kecil yang kemudian dapat

menimbulkan stroke.

e. Hiperlipidemia

Hiperlipidemia menunjukan adanya kadar kolesterol total lebih

dari 240 mg%. Bahwa dengan menurunkuan kadar kolesterol total

maka risiko untuk terjadi stroke juga menurun.

f. Stenosis Arteri Karotis

Apabila diameter arteri karotis berkurang sampai lebih dari

70% karena terbentuknya plaque ateroklerosis maka individu akan

memiliki risiko stroke yang tinggi.

g. Merokok

Penelitian secara cohort menunjukan bukti bahwa merokok

merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya stroke iskemik.

h. Kurang Olahrga/Aktivitas Fisik

Kurang olahraga merupakan faktor risiko independen untuk

terjadinya stroke dan penyakit jantung. Olahrga secara cukup (jalan

cepat, berkebun, berenang, aerobik) rata-rata 30 menit/hari dapat

menurunkan risiko stroke.


i. Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan ketika body mass index (BM)

menunjukan angka 30.0 atau lebih. Obesitas memberi risiko stroke

dua kali lipat.

j. Life Style

Stroke dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar

mengonsumsi makanan berlemak dan narkoba (walau belum memiliki

angka yang pasti).

2.2.1.5. Patofisiologi

Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di

otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan

besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area

yang di suplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak

dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus,

emboli, perdarahan, dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum

(hipoksia karena gangguan paru dan jantung).Ateroklerosis sering sebagai

faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari plak

ateroklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran

darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi.

Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa

sebagai emboli dalam aliran darah. Trombus mengakibatkan iskemia

jaringan otak yang di suplai oleh pembuu darah yang bersangkutan dan

edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan


disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat

berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari.

Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukan perbaikan. Oleh

karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif

(Corwin,2009)

Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan

edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan

meluas pada dinding pembuluh darah maka akan terjadi abses atau

ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang

tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan

menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.

Peradarahan pada otak disebabkan oleh ruptur arteriklerotik dan

hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat luas akan

lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan keseluruhan penyakit

serebro vaskular, karena perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak,

peningkatan tekana intrakanial dan yang lebih berat dapat menyebabkan

herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.

Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer

otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke

batang otak. Prembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga

kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus, dan ponus.

Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia

serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat


reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih

dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang

bervariasi salah satunya henti jantung

Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang

relatif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakanial dan

penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-

elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat

menurunya tekanan perfusi, menyebabkan saraf di area yang terkena darah

dan sekitarnya tertekan lagi. (Muttaqin, 2008)

2.2.1.6. Manifestasi Klinis

Menurut (Brunner & Suddart, 2013) gejala klinis pada stroke non

hemoragik yaitu :

a. Kehilangan motorik : disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia

(paralisis pada salah satu sisi), hemiparesis (kelemahan salah satu sisi

tubuh)

b. Kehilangan komunikasi : Disatria (kesulitan berbicara),

Disfasia/Afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), Apraksia

(tidak mampu melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya).

c. Gangguan persepsi : kehilangan setengah lapang pandang

d. Kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik : kesulitan dalam

pemahaman, lupa, kurang motivasi.

e. Disfungsi kandung kemih : mengalami inkontinensia urinarius.


2.2.1.7.Komplikasi

Menurut (Nugroho dkk, 2016) :

a. Hipoksia serebral

b. Penurunan aliran darah serebral

c. Embolisme serebral

d. Pneumonia aspirasi

e. Infeksi Saluran Kemih, Inkontinensia

f. Kontraktur

g. Tromboplebitis

h. Abrasi kornea

i. Dekubitus

j. Encephalitis

k. CHF

l. Disritmia, Hidrosepalus, Vasopasme.

2.2.1.8.Pemeriksaan Diagnostik

Menurut (Junaidi, 2013) :

a. Angiografi Serebral

Angiografi serebral adalah alat yang digunakan untuk

pemeriksaan terhadap pembuluh darah. Membantu menentukan

penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi arteri,

oklusi atau ruptur.


b. Elektro encefalography

Alat yang digunakan untuk merekam aktifitas elektrik di

sepanjang kulit kepala dan mengukur fluktuasi tegangan yang

dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak. Mengidentifikasi

masalah didasarkan pada gelombang otak atau mungkin

memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.

c. CT Scan

Suatu prosedur yang digunakan untuk mendapatkan berbagai sudut

kecil dari tulang tengkorak ke otak. Memperlihatkan adanya edema,

hematoma, iskemia, dan adanya infark.

d. MRI

Prosedur untuk memeriksa dan mendeteksi kelainan organ di

dalam tubuh dengan menggunakan medan magnet dan gelombang

frekuensi radio tanpa radiasi sinar X atau bahan radioaktif.

Menunjukan adanya tekanan abnormal dan biasanya ada trombosis,

emboli, tekanan meningkat dan cairan mengandung darah menunjukan

hemoragi subarachnoid atau perdarahan intrakanial.

e. Sinar X tengkorak

Alat yang digunakan untuk pemeriksaan kelainan pada dasar

tengkorak dan cungkup ruang kranial.

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pincal daerah

yang berlawanan dari masa yang luas, klasifikasi karotis interna


terdapat pada trobus serebral. Klasifikasi parsial dinding aneurisma

pada perdarahan sub arachnoid.

Tambahan menurut (Muttaqin, 2008)

f. USG Doppler

Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah

sistem karotis)

g. EEG

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul

dan dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls

listrik dalam jaringan otak.

h. Pemeriksaan Laboratorium

1) Lumbal fungsi : pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai

pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil

biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-

hari pertama.

2) Pemeriksaan darah rutin.

3) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi

hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam

serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.

4) Pemeriksaan darah lengkap : untuk mencari kelainan pada darah

itu sendiri.
2.2.1.9. Penatalaksanaan

Menurut (Brunner & Suddart, 2013)

a. Penatalaksanaa non farmakologi

1) Rehabilitasi

2) Mobilisasi

3) ROM

b. Penatalaksanaa medis

1) Terapi antikoagulasi

2) Pentalaksanaan peningkatan tekanan intrakanial (TIK) : diuretik

osmotik, pertahankan PaCO2 dan 35 mmHg, posisi untuk

mencegah hipoksia (tinggikan kepala tempat tidur untuk

meningkatkan drainase vena dan menurunkan TIK yang

meningkatt)

3) Intubasi dengan slang endotrakeal untuk menetapkan kepatenan

jalan nafas, jika perlu.

4) Pantau hemodinamika secara kontinu (target tekanan darah tetap

kontroversial bagi pasien yang tidak mendapatkan terapi

trombolitik, terapi antihipertensi dapat di tunda kecuali tekanan

darah sistolik melebihi 220 mmHg atau tekanan darah diastolik

melebihi 120 mmHg)

5) Pengkajian neurologis untuk menentukan apakah stroke

berkembang dan apakah terdapat komplikasi akut lain yang sedang

terjadi.
c. Penatalaksanaan komplikasi

1) Penurunan aliran darah serebral : perawatan pulmonal,

pemeliharaan kepatenan jalan nafas, dan berikan suplemen oksigen

sesuai kebutuhan.

2) Pantau adanya infeksi saluran kemih, disritmia jantung, dan

komplikasi berupa imobilitas.

2.2.2. Konsep Asuhan Keperawatan

2.2.2.1.Pengkajian

1. Anamnesis

Menurut (Mutaqqin, 2008)

a. Identitas Klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,

pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor

registrasi, dan diagnosis medis.

b. Keluhan Utama

Keluhan yang sering di alami oleh klien adalah kelemahan

anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat

berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang

sampai tidak sadar, kelumpuhan separuh badan atau gangguan

fungsi otak lain.


d. Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,

diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala,

kontrasepsi oral yang lama. Pengkajian pemakaian obat-obatan

yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat antihipertensi,

antilipidemia dll. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol,

dan penggunaan obat kontrasepsi oral.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Adanya riwayat keluarga yang menderita hipertensi,

diabetes melitus, atau riwayat stroke dari generasi dulu.

f. Pengkajian Psikososiospiritual

Adanya perubahan hubungan dan peran klien mengalami

kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola

persepsi dan konsep diri menunjukan klien merasa tidak berdaya,

tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Dalam pola

penanganan stres, klien biasanya mengalami kesulitan untuk

memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan

kesulitan berkomunikasi. Dalam pola tata nilai dan kepercayaan,

klien biasanya jarang melakukan ibadah spiritual karena tingkah

laku yang tidak stabil dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
2. Pemeriksaan fisik

Menurut Padila (2012) :

a. B1 (Breathing)

Perlu dikaji adanya :

1. Sumbatan jalan nafas karena penumpukan sputum dan

kehilangan refleks batuk

2. Adanya tanda tanda lidah jatuh ke belakang

3. Auskultasi suara nafas mungkin ada tanda stridor

4. Catat jumlah dan irama nafas

a. B2 (Blood)

Deteksi adanya :tanda tanda peningkatan TIK yaitu peningkatan

tekanan darah disertai pelebaran nadi dan penurunan jumlah nadi .

b. B3 (Brain)

Pengkajian Brain terdiri dari :

1) Pengkajian tingkat kesadaran : kesadaran klien stroke biasanya

berkisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa.

2) Pengkajian fungsi serebral

a) Status mental : status mental klien mengalami

perubahan.

b) Fungsi intelektual : didapatkan penurunan dalam

ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun

jangka panjang.
c) Kemampuan bahasa : tergantung daerah lesi yang

memengaruhi fungsi dari serebral. Bisa didapatkan

disfagia ekspresif, Disatria, Apraksia.

d) Lobus Frontal : didapatkan kesulitan dalam

pemahaman, lupa dan kurang motivasi yang

menyebabkan klien ini menghadapi masalah frustasi

dalam program rehabilitasi mereka.

e) Hemisfer : hemisfer kanan didapatkan hemiperese

sebelah kiri tubuh. Hemisfer kiri mengalami hemisfer

kiri.

3) Pengkajian Saraf Kranial

a) Saraf I : Tidak ada kelainan pada fungsi penciuman

b) Saraf II : Disfungsi persepsi visual karena gangguan

jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual.

c) Saraf III, IV, dan VI : Pada satu sisi otot okularis

didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat

unilateral di sisi yang sakit.

d) Saraf V : Penurunan kemampuan koordinasi gerakan

mengunyah.

e) Saraf VII : Persepsi pengecapan dalam batas normal,

wajah asimetris, dan otot wajah tertarik ke bagian sisi

yang sehat.
f) Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan

tuli persepsi.

g) Saraf IX dan X : Tidak ada astrofi otot

sternokleidomastoiseus dan trapezius.

h) Saraf XII : Lidah simetri, terdapat deviasi pada satu sisi

dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.

4) Pengkajian Sistem Motorik

a) Inspeksi umum : didapatkan hemiplegia (paralisis pada

salah satu sisi). Hemiperesis atau kelemahan salah satu

sisi tubuh adalah tanda yang lain.

b) Fasikulasi : didapatkan pada otot-otot ekstermitas

c) Tonus otot : didapatkan meningkat

d) Kekuatan otot : pada penilaian dengan menggunakan

tingkat kekuatan otot pada sisi sakit didapatkan tingkat

0.

e) Keseimbangan dan koordinasi : mengalami gangguan

karena hemiparesis dan hemiplagia.

5) Pengkajian Refleks

a) Pemeriksaan Refleks Profunda : Pengetukan pada

tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks

pada respon normal.

b) Pemeriksaan Refleks Patologis : Pada fase akut refleks

fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah


beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali

didahului dengan refleks patologis.

6) Pengkajian Sistem Sensorik : Berupa kerusakan sentuhan

ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan

propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan

gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam

menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

c. B4 (Bladder)

Klien mungkin mengalami inkontinensia urine sementara

karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan,

dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena

kesukan kontrol motorik dan postural.

d. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu

makan menurun, mual muntah pada fase akut ini. Pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.

e. B6 (Bone)

Pada kulit jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak

pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk.

Selain itu, perlu dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah

yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas

fisik. Biasanya terjadi masalah pada aktivitas dan istirahat karena

kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/hemiplegi.


2.2.2.2. Diagnosa Keperawatan

Menurut nanda (2018)

a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular; penurunan kekutan otak (00085).

b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular, kelemahan, kerusakan status mobilitas (00108)

c. Resiko Kerusakan Integritas kulit

2.2.2.3.Rencana Keperawatan

a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular; penurunan kekutan otak.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan masalah hambatan mobilitas fisik dapat teratasi.

Kriteria hasil :

1) Mempertahankan posisi fungsi yang optimal

2) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi

bagian tubuh yang terganggu.

Intervensi :

1) Kaji kemampuan fungsi dan luas hambatan pada saat pertama

kali dan secara teratur.

2) Mulai latihan rentang gerak aktif atau pasif ke semua

ekstermitas.
3) Bantu klien mengembangkan keseimbangan saat duduk.

4) Dorong klien untuk membantu pergerakan.

5) Kolaborasi dengan fisioterapi pemberian latihan ROM

b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kerusakan

neuromuskular, kelemahan, kerusakan status mobilitas.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan masalah defisit perawatan diri dapat teratasi.

Kriteria hasil :

1) Melaksanakan aktivitas perawatan diri dalam tingkat

kemampuan sendiri.

2) Medemonstrasikan perubahan teknik dan gaya hidup untuk

memenuhi kebutuhan perawatan diri.

Intervensi :

1) Kaji kemampuan dan tingkat defisit

2) Hindari melakukan hal-hal untuk klien yang dapat dilakukan

sendiri, beri bantuan sesuai kebutuhan.

3) Dorong orang terdekat untuk membiarkan klien melakukan

tindakan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiri.

4) Konsultasi dengan tim rehabilitasi, seperti ahli terapi fisik atau

okupasi.

5) Resiko Kerusakan Integritas kulit


Tujuan :

d. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam

diharapkan masalah Integritas kulit dapat teratasi.

Kriteria hasil :

1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan,tidak ada

luka/lesi pada kulit

2) Perfusi jaringan baik

3) Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan

mencegah terjadinya cidera berulang

4) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban

kulit dan perawatan alami

Intervensi :

Perawatan Luka Tekan (3520)

1) Monitor warna ,suhu,odem ,kelembaban dan kondisi area

luka

2) Bersihkan kulit sekitar luka dengan air

3) Berikan selep jika diperlukan

4) Uba posisi setiap 1-2 jam sekali.


2.2.2.4.Implementasi

Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam

intervensi. Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri

(independen) dan tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independen)

adalah aktivitas perawat yang didasarkan pada kesimpulan atau keputusan

sendiri dan bukan merupakan petunjuk atau perintah dari petugas

kesehatan lain. Tindakan kolaborasi adalah tindakan yang didasarkan hasil

keputusan bersama, seperti dokter dan petugas kesehatan lain. (Tarwoto &

Wartonah, 2011)

2.2.2.5. Evaluasi

Evaluasi perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari

hasilnya. Tujuanya adalah untuk mengetahui sejauh mana rujkan

perawatan dapat dicapai dan memberikan umpan balik terhadap asuhan

keperawatan. Jika tujuan tidak tercapai, maka perlu dikaji ulang letak

kesalahanya, dicari jalan keluarnya, kemudian catat apa yang ditemukan,

serta apakah perlu dilakukan perubahan intervensi. (Tarwoto & Wartonah,

2011)

2.2.3. Konsep Mobilisasi

Menurut (Wahit, 2015).

2.2.3.1 Mobilisasi

Mobilisasi Merupakan kemampuan seorang untuk bergerak

bebas ,mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan


hidup sehat. Mobilisasai di perlukan untuk meningkatkan kemandirian ,

kesehatan , memperlambat proses penyakit khususnya degeneratif dan

untuk aktualisasi diri Lingkup mobilisasi mencakup Range Of Motion (

ROM), ambulasi,body mechanic

2.2.3.2 Tujuan mobilisasi

Tujuan mobilisasi adalah memenuhi kebutuhan dasar

(termasuk melakukan aktivitas hidup sehari hari dan aktivitas rekreasi

),mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma). Mempertahankan

konsep diri dapat mempengaruhi mobilisasi adalah

1. Gaya hidup

Mobilisasi seseorang dipengaruhi olehh latar belakang budaya , nilai-

nilai yang dianut , serta lingkungan tempat ias tinggal.

2. Ketidakmampuan

Kelemahan fisik dan mentak akan menghalangi seseorang untuk

melakukan aktivitas hidup sehari hari.

3. Tingkat energi

Energi dibutuhkan untuk banyak hal,salah satunya mobilisasi

4. Usia

Usia berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan

aktivitas dan mobilisasi.

5. Sistem neuromuscular

Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh system neuromuscular meliputi

system otot,skeletal,sendi, ligament, tendon, kartilago,dan saraf.


Rentang gerak merupakan jumlah maksimum gerakan yang mungkin

dilakukan sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh yaitu sagital,

frontal, dan transversal.dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak

yaitu sebagai berikut

1. Rentang gerak Pasif

Rentang erak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot otot

dan persendian dengan menggerakan otot orang lain secara pasif

2. Rentang gerak aktif

Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serata sendi

cara menggunakan otot secara aktif

3. Rentang gerak fungsional

Berguna untuk memeperkuat otot dan sendi dengan melakukan

aktivitas yang diperlukan.

Salah satu upaya penanganan stroke dengan kelemahan otot dapat

dilakukan adalah dengan latihan rentang gerak yang disebut dengan

Range Of Motion (ROM). ROM dapat dilakukan oleh perawat

,pasien atau keluarga dengan menggerakkan tiap sendi secara

penuh jika memungkinkan tanpa menyebabkan nyeri.

2.2.4 Konsep Terapi Range Of motion (ROM)

2.2.4.1 Definisi

Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk

menyatakan batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di


gunakan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan

sendi abnormal (HELMI, 2012).

Menurut (potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of Motion)

adalah jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada sendi, di

salah satu dari tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal.

2.2.4.2 Tujuan Range Of Motion (ROM)

Menurut (Beebe & lang, 2009; Hardwick & Lang, 2012)

Tujuan ROM,yaitu:

1) Untuk mempertahankan atau meningkatkan fleksibilitas dan

kekuatan otot

2) Mempertahankan fungsi jantung dan pernafasan ,mencegah

kontraktur dan kekuatan pada sendi.

2.2.4.3 Manfaat Range Of Motion (ROM)

Menurut (Beebe & lang, 2009; Hardwick & Lang, 2012)

1) Untuk menentukan nilai kemampuan sendi tulangdan otot dalam

melakukan pergerakan

2) Memperbaiki tonus otot

3) Memperbaiki toleransi otot untuk latihan

4) Mencegah terjadinya kekakuan sendi

5) Memperlancar sirkulasi darah dengan dilakukannya latihan ROM

pada klien
2.2.4.4 Klasifikasi Range Of Motion (ROM)

Menurut Carpenito (2009)

ROM Aktif adalah kontraksi otot secara aktif melawan gaya

gravitasi seperti mengangkat tungkai atau lurus

ROM pasif adalah gerakan otot klien yang dilakukan oleh orang

lain atau dibantu oleh orang lain.


2.3 Kerangka Konsep

Pemenuhan kebutuhan Pemberian ROM


mobilisasi

Anda mungkin juga menyukai