Anda di halaman 1dari 3

News : Artikel

Pembangunan Berbasis Masyarakat Desa


By : icwweb
Rabu, Juli 06, 2005 11:34:19

Otonomi daerah juga memberikan pendidikan politik pada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam
proses pemerintahan lokal yang kontributif terhadap tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan
legitimate. Di samping itu, otonomi memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin
mereka secara demokratis. Bahkan, otonomi membangun kesalingpercayaan antara masyarakat di satu pihak
dan antara masyarakat dengan pemerintah di pihak lain.

Dengan kata lain semangat yang terkandung dalam otonomi daerah, secara prosedural maupun substansial
adalah pengukuhan kembali kedaulatan rakyat (demokratisasi) setelah sekian lama terkubur akibat menguatnya
cengkeraman negara. Substansi lainnya adalah mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih (good
governance) di tingkat lokal pada khususnya dan di tingkat nasional pada umumnya. Menyangkut persepsi
otonomi daerah, Bung Hatta dalam pidatonya pernah menekankan otonomi daerah sebagai bagian dari
kedaulatan rakyat. Namun menurut Bung Hatta, kedaulatan rakyat tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar
yang ditetapkan GBHN (Majalah Khang Po, 1946). Di sinilah maknanya bahwa otonomi daerah harus dilihat
sebagai perwujudan hak dan kewajiban bagi masyarakat di daerah untuk mengembangkan dirinya menjadi
masyarakat yang mandiri dan terbuka sebagai manifestasi peran serta masyarakat dalam pemerintahan yang
demokratis. Menurut Koswara (1997), otonomi daerah secara konsepsional harus tidak membebani
masyarakat, tetapi justru memberikan motivasi, memberdayakan, dan membangkitkan prakarsa serta
mendorong partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan sehingga otonomi menumbuhkan kemandirian
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Harus diakui selama lebih kurang lima tahun pelaksanaan otonomi daerah, pelembagaan demokrasi mengalami
kemajuan cukup berarti. Interaksi pemerintah kabupaten/kota pada era Orde Baru hampir-hampir sepi
perdebatan-perdebatan namun sejak diberlakukan UU No. 22/1999, interaksi tersebut menjadi semakin
dinamis. Gedung-gedung dewan tempat wakil rakyat sehari-hari bekerja, kini juga semakin semarak dan
inklusif. Tetapi bukan berarti tidak ada hal-hal yang patut untuk terus dikritisi. Meskipun dalam lima tahun
belakangan ini pemerintah di tingkat kabupaten/kota sudah mencoba untuk menjalankan pemerintahan secara
mandiri, tapi toh pada praktiknya yang terjadi kemudian adalah eksploitasi ekonomi politik yang dilakukan
negara kepada masyarakat. Sehingga dalam kerangka ini alih-alih tampil sebagai solusi, otonomi daerah justru
menjadi beban baru bagi masyarakat di tingkat lokal.

**

ATAS nama otonomi, pemerintah secara semena-mena menaikkan pungutan pajak. Atas nama otonomi
pemerintah lantas menaikkan pungutan pelayanan publik, atas nama otonomi daerah pemerintah lokal
(kab./kota/desa) menjual sumber-sumber kekayaan alam kepada investor tanpa pernah mengikutsertakan
masyarakat. Pendek kata, atas nama otonomi daerah pemerintah daerah seolah sah dan dapat melakukan apa
saja, tanpa memedulikan beban ekonomi-politik yang nantinya harus ditanggung masyarakat. Kurun waktu
lebih kurang lima tahun ini pula dapat disaksikan otonomi daerah sedang mengalami pemerosotan makna.
Otonomi daerah yang diharapkan akan membawa negara menjadi semakin dekat dengan masyarakat pada
akhirnya hanya menjadi slogan politik yang mengooptasi masyarakat, seperti halnya revolusi, pembangunan,
globalisasi dan reformasi. Slogan politik pada akhirnya terbukti hanya sebagai jargon dan menjadi politik
legitimasi pemerintah yang berkuasa.

Jika kita sepakat bahwa desentralisasi dan otonomi adalah salah satu instrumen tercapainya demokrasi,
kesejahteraaan, dan keadilan bagi seluruh rakyat, arah kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah dimasa
yang akan datang harus berorientasi sekaligus sebagai bagian dari demokratisasi. Sehingga penting untuk
dipahami bahwa otonomi daerah bukan semata-mata otonomi di tingkat pemerintahan, otonomi daerah adalah
titik tolak untuk membangun otonomi yang berbasis pada masyarakat lokal dengan segala potensinya. Karena,
secara konseptual desentralisasi adalah milik masyarakat daerah, bukan milik aparat pemerintah semata. Tugas
utama pemerintahan daerah adalah memfasilitasi tumbuhnya ide-ide kreatif, inovatif dari masyarakat tersebut.
From : Online Version Copyright @ ICW | Indonesia Corruption Watch Generated : Monday, 26-January-2009, 09:44:52
Sayangnya untuk konteks Indonesia, otonomi daerah hanya diperlakukan sebagai intergovernmental relations
ketimbang relasi antara masyarakat dan pemerintah. Hal ini pada kenyataannya berakibat terabaikannya
kepentingan-kepentingan yang muncul dari arus bawah masyarakat. Peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah belum cukup memberikan jaminan kuatnya posisi tawar rakyat ketika berhadapan dengan negara.
Belum ada jaminan yang cukup berarti tentang terpenuhinya hak-hak rakyat, keterlibatan masyarakat dalam
proses perumusan kebijakan, dan tidak adanya regulasi yang mengatur hubungan antarelemen yang ada di
masyarakat. Padahal ketiga hal ini merupakan pilar untuk mengembalikan demokratisasi pada masyarakat.

Inilah yang kemudian yang menjadi tantangan implementasi desentralisasi dan otonomi daerah kedepan. Jika
implementasi otonomi daerah tidak berorentasi pada demokratisasi dan tidak berbasis pada masyarakat, akan
sangat mungkin otonomi daerah justru akan dan menjerumuskan rakyat kedalam perangkap elit politik di
tingkat lokal.

Pemberdayaan desa
Tujuan utama dari pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakatnya. Beragam usaha dari berbagai sektor terus dikembangkan dalam usaha pencapaian tujuan
tersebut. Meskipun penegasan pembangunan nasional Indonesia adalah pembangunan partisipatif
(participatory) yang harus melibatkan seluruh elemen masyarakat sering dikumandangkan semenjak masa
pemerintahan Orde Baru, tetapi kenyataannya anggota masyarakat belum sepenuhnya menjadi partisipan aktif
pembangunan. Padahal, partisipasi masyarakat yang dikehendaki meliputi participatory continuum, dalam
seluruh proses pengambilan keputusan politik, dari mulai imajinasi, formulasi perencanaan sampai ke
implementasinya. Partisipasi masyarakat harus partisipasi sebenarnya, yakni partisipasi yang didasarkan atas
kesadaran dan pengertian terhadap kegiatan bersama yang dilakukannya. Masyarakat menerima dan turut
melaksanakan kegiatan karena mereka memahami bahwa yang dikerjakannya bersama itu bermanfaat bagi
kehidupan mereka. Namun demikian, sering kali terjadi bahwa usaha dan niat baik tersebut tidak mencapai
seluruh masyarakat terutama masyarakat di pedesaan. Di samping itu, banyak terjadi kerusakan lingkungan
karena pendayagunaan (eksploitasi) sumber daya alam yang berlebihan untuk mengejar target pembangunan
tertentu yang sering kali bersifat instan dan tidak berwawasan lingkungan.

**

SELAIN itu sering terjadi pula pelanggaran norma-norma kehidupan masyarakat di pedesaan. Kegagalan usaha
tersebut disebabkan pendekatan utama dalam pembangunan yang dilaksanakan justru memang tidak dilakukan
pada masyarakat marginal dan masyarakat desa. Perencanaan pembangunan di daerah yang tidak
memperhatikan semua aspek dari pembangunan adalah perencanaan dari atas ke bawah (top down planning),
karena pendekatan seperti itu hanya menjadikan masyarakat sasaran pembangunan (objek) bukan pelaku
pembangunan (subjek).

Mengingingat dan menyadari adanya hambatan dan kegagalan pendekatan dan pembangunan yang bersifat
cetak biru (blue print), perlu suatu alternatif paradigma pembangunan yang baru. Pendekatan ini didasarkan
pada pengalaman desa-desa yang masyarakatnya bekerja secara efektif dalam mengelola sumber daya yang
sudah ada di desa tersebut dan lingkungannya.

UU No. 22/1999 (tentang pemerintahan daerah) dan Kepmendagri No. 64/1999 (tentang pedoman umum
pengaturan mengenai desa) telah memberikan keluangan dan kesempatan bagi desa dalam memberdayakan
masyarakat serta pemerintahan di desa. Masyarakat desa dapat mewujudkan masyarakat yang otonom (desa
otonom) sebagai otonomi yang asli. UU No. 22/1999 mengembalikan desa secara filosofis dan yuridis kepada
statusnya sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki otonomi asli. Disebut otonomi asli karena otonomi desa
bukanlah pemeritah sehingga pemerintah harus menghormati keistimewaan asli tersebut.

Desa yang otonom akan memberikan ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan
kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan
pemerintah. Apabila otonomi desa benar-benar terwujud, tidak akan terjadi urbanisasi tenaga kerja potensial ke
kota untuk menyerbu lapangan kerja/pekerjaan di sektor-sektor informal. Untuk melakukan otonomi desa,
segenap potensi desa baik berupa potensi kelembagaan, sumber daya alam, dan sumber daya manusia harus
From :Online Version Copyright @ ICW | Indonesia Corruption Watch Generated : Monday, 26-January-2009, 09:44:52
dapat dioptimalkan. Untuk itu tahap awal, potensi tersebut perlu diidentifikasikan terlebih dahulu baik dari segi
kuantitas maupun kualitas. Ketiga potensi tersebut saling berkaitan dan bergantung. Potensi alam yang besar
dan bernilai tidak akan bertahan lama/langgeng apabila tidak dikelola dan dimanfaatkan secara baik dan benar.
Pengelolaan yang baik dan benar adalah pengelolaan yang berprinsip pada pembangunan yang
berkesinambungan dan berwawasan pada kelestarian lingkungan. Untuk itu, dituntut manusia yang terampil,
inovatif, mau bekerja keras, sehingga dapat memanfaatkan dan memperbarui potensi alam. Dilain pihak,
sumber daya yang sedemikian masih sangat langka di desa, hal ini disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang
lebih menekankan pada pembangunan yang bersifat fisik dan tidak diimbangi dengan meningkatkan
pembangunan sumber daya manusia.

Untuk mempercepat ketertinggalan pembangunan sumber daya manusia, diperlukan cara-cara pendekatan yang
dapat mewadahi seluruh komponen sumber daya manusia dengan kualitas yang ada yang mampu ikut
serta/berpartisipasi. Selain itu, dalam proses menuju desa yang otonom, pengelolaan sumber daya alam harus
berbasis kemasyarakatan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Dengan kata lain,
kemitraan dengan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam merupakan syarat utama dalam otonomi
desa.

Potensi lain yang perlu dikembangkan dan diberdayakan adalah kelembagaan. Kelembagaan yang ada di desa
tidak perlu diseragamkan pada setiap desa, karena pada dasarnya berbeda. Perbedaan kontekstual meliputi
keadaan fisik alamiah maupun sosial-budaya masyarakat setempat. Hal itu di antaranya menyangkut kehidupan
ekonomi, tingkat pendidikan, agama, tradisi, kebiasaan, dan norma-norma sosial lainnya. Faktor tersebut akan
mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam menghadapi setiap kebijakan yang diberlakukan oleh
pemerintah, dan sebaliknya cara pemerintah dalam memberikan perlakukan kepada masyarakat. Jadi,
pemberdayaan masyarakat harus diartikan pula sebagai penghargaan terhadap adanya perbedaan-perbedaan
dalam kehidupan masyarakat itu sendiri. Suatu hal yang penting bahwa lembaga sosial merupakan wadah
aspirasi masyarakat yang menjadi pendorong dinamika masyarakat desa. Lembaga-lembaga sosial yang ada
diharapkan tumbuh dan berakar dari bawah dan berkembang sesuai dengan budaya (adat-istiadat termasuk di
dalamnya bagaimana mengelola lembaga-lembaga desa agar tumbuh dari masyarakat desa sendiri (grassroot).
Dengan demikian, penguatan kelembagaan sangat menentukan untuk menuju pemerintahan desa yang otonom
menuju pembangunan masyarakat yang otonom untuk menentukan nasibnya sendiri. Semoga.

* Drs. H. Deding Ishak Ibnu Sudja, S.H., M.M., anggota DPR RI, Ketua STAI Al-Jawami Cileunyi-Kabupaten
Bandung, Ketua Umum IKA IAIN SGD Bandung, Kandidat Doktor di Unpad.

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 6 Juli 2005

From : Online Version Copyright @ ICW | Indonesia Corruption Watch Generated : Monday, 26-January-2009, 09:44:52

Anda mungkin juga menyukai