Anda di halaman 1dari 2

.:: Lakpesdam NU Ngawi ::.

Ruang Publik dan Warganegara yang Hilang

Oleh: Irsyad Zamjani

Berita tentang bencana banjir yang melanda ibu kota beberapa hari yang lalu senantiasa diliputi oleh pertanyaan yang
tak pernah ditemukan jawabannya; siapa yang bertanggung jawab atas musibah itu? Banyak orang menudingkan
telunjuk kepada pemerintah yang dianggap kurang tanggap; tapi tak kurang pula yang menyalahkan masyarakat yang
dituduh tidak memiliki kesadaran menjaga lingkungannya sendiri. Yang paling “bijak” di antara mereka
adalah mereka yang meminta baik pemerintah maupun masyarakat melakukan refleksi atas perilaku masing-masing.

Memperuncing perdebatan ini tentu lebih banyak membuang energi daripada memungut solusi. Persoalannya bukan
pada perdebatannya, tapi pada kecenderungan saling menyalahkan satu sama lain. Masalahnya menjadi semakin parah
manakala dalam ketegangan itu semangat politisnya lebih beraroma daripada spirit moralnya. Ini merupakan persoalan
penting dalam ruang publik kita.
Ruang publik tidak lagi menjadi arena pertukaran, tapi telah menjadi ladang persengketaan bahkan, dalam banyak hal,
manipulasi. Ruang publik hanya “dimiliki” oleh segelintir kelas menengah, sehingga seringkali perdebatan
yang berlangsung di dalamnya hanyalah tontotan semu.

Menurut filsuf Jerman Jurgen Habermas, dunia mengenal ruang publik pertama kali pada abad kedelapan belas. Masa
itu adalah masa kemunculan kapitalisme liberal dan masa bertumbuhnya negara-negara bangsa di Eropa. Kombinasi
dari gagasan Pencerahan, transformasi pemerintahan dari feodalisme kepada negara-bangsa dan munculnya
kapitalisme menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah: ruang publik.

Ini adalah pertama kalinya dikenal apa yang disebut warganegara menggantikan konsep feodal tentang rakyat.
Warganegara memiliki hak dan tanggung jawab dan terlibat penuh dalam proses-proses demokrasi. Ruang publik adalah
tempat di mana demokrasi ini hidup.

Habermas melihat bahwa ruang publik berada di antara seperangkat institusi dan praktik budaya di satu sisi, dan
kekuatan negara di sisi lain. Fungsi dari ruang publik adalah menengahi persoalan-persoalan warganegara yang bersifat
pribadi dan kepentingan negara yang berdimensi publik. Dua prinsip dasar dari ruang publik adalah akses pada
informasi yang tak terbatas dan partisipasi yang setara.

Ruang publik mencakup organisasi-organisasi kultural seperti jurnal dan surat kabar yang menyebarkan informasi
kepada masyarakat; ia juga mencakup organisasi politik dan komersial di mana diskusi publik bisa berlangsung seperti
rapat-rapat publik, warung kopi, bar, partai politik dan sebagainya. Tujuan dari ruang publik, menurut Habermas, adalah
konsensus pragmatik.

Dominasi opini publik

Bagaimana ruang publik kita? Setelah reformasi, kita menikmati iklim kebebasan tiada tara. Dulu, di masa orde baru, kita
hampir tidak berani mengutarakan unek-unek politis kita. Artinya, kita tidak punya ruang publik yang ideal. Sekarang, di
mana keran kebebasan terbuka lebar, kita seolah menemukan bahwa ruang publik juga terbentang demikian luas. Tapi,
benarkah demikian?

Kendatipun kebebasan telah diperoleh, nyatanya selama ini belum pernah terjadi konsensus bersama antar-orang-orang
yang berstatus warganegara yang saling menguntungkan satu sama lain (pragmatic consensus). Kalaupun konsensus
itu pernah ada tapi implikasinya tidak selalu menyenangkan keduabelah pihak. Ruang publik yang sedianya menjadi
perantara bagi kepentingan negara dan kepentingan individu-individu dalam masyarakat, telah dimanipulasi sekelompok
tertentu lewat apa yang seringkali disebut opini publik. Model-model opini publik inilah yang sekarang ini mengendalikan
karakter dari ruang publik kita.

Opini publik adalah suara-suara dominan yang menjadi arus wacana publik. Opini publik diciptakan oleh kalangan kelas
menengah dan elite; ia muncul baik dalam perdebatan-perdebatan eksklusif kalangan ini maupun dikreasi dari suara
masyarakat umum yang diambil lewat metode ilmiah semacam polling atau survey. Sarana penyebaran opini publik
paling efektif tak lain adalah media massa. Media massa lah yang memodifikasi ruang publik menjadi kontestasi opini
publik.

Karena ruang publik yang hilang, maka tiada muncul pula semangat kewarganegaraan (citizenship) di kalangan
masyarakat. Warganegara (citizen) hanya kelas menengah yang beropini, selebihnya adalah rakyat biasa (people).
Sebagai pelegitimasi dari konsep demokrasi, istilah yang terakhir ini secara politis bahkan lebih populer daripada istilah
yang pertama. Padahal, sejak berdirinya negara-bangsa modern dan berkembangnya demokrasi itu sendiri, peran-peran
kerakyatan yang menghamba telah digantikan peran-peran kewarganegaraan yang partisipatif.

Sekarang, rakyat yang berkarakter massa hanya bermakna dalam event-event besar seperti pemilu. Di luar itu, mereka
sehari-hari terlihat di tengah-tengah macetnya jalan ibu kota, berjejalan dalam gerbong-gerbong kereta api, berteduhan
http://lakpesdamngawi.org Powered by: Joomla! Generated: 26 January, 2009, 21:47
.:: Lakpesdam NU Ngawi ::.

di kolong jembatan, berpeluhan dalam deru mesin industri atau belepotan dalam kubangan lumpur sawah.

Rakyat bukanlah publik. Sebagian besar mereka bukanlah kelas terpelajar sehingga tidak bisa mengutarakan unek-
uneknya secara elegan sebagaimana kelas menengah. Mereka muncul di media, tapi sebagai figuran opini yang
diskenario atau sebagai korban-korban penghakiman citra karena menjadi pelaku tindak kriminal.

Sementara itu, kelas menengah yang haus popularitas menghiasi media dengan dandanan eksentrik. Mereka dengan
lugas berdebat, bertarung opini dan berebut pengaruh. Jikapun mereka tampil sebagai pelaku kriminal, sejumlah
pengacara mahal bersiap membela mereka.

Ruang publik memang telah terbeli. Kita sekarang telah melihat membuncahnya penerbitan media massa. Tapi, media
telah menjadi bagian dari industri. Pada akhirnya, industri media telah mengomodifikasi semuanya menjadi tontonan dan
hiburan. Kapitalisme yang dahulu turut melahirkan ruang publik, sekarang telah merenggutnya kembali.

Depok, Mei 2007

http://lakpesdamngawi.org Powered by: Joomla! Generated: 26 January, 2009, 21:47

Anda mungkin juga menyukai