Kebijakan Perencanaan Dan Pengelolaan Penyedian Air Bersih Untuk Masyarakat Kecil PDF
Kebijakan Perencanaan Dan Pengelolaan Penyedian Air Bersih Untuk Masyarakat Kecil PDF
Yogyakarta, Indonesia
20 Mei 2006
Dialog Kebijakan Perencanaan dan Pengelolaan Penyediaan Air Bersih untuk
Masyarakat Kecil di Yogyakarta, Indonesia
Yogyakarta, Indonesia
20 Mei 2006
Tim Penyunting
Dr. Sudaryono
Doddy Aditya Iskandar
Henrika Retno Tyas Arum
Asmira Dewi Sitorini Ardani
Perhatian
Baik Badan Kerjasama International Kanada (CIDA) maupun Institute Teknologi Asia (AIT) tidak
menjamin dan tidak mempunyai tanggungjawab hukum secara tersirat maupun tersurat atas keakuratan
dan kelengkapan dari informasi, peralatan dan produk dan sejenisnya dari publikasi ini, dan
penggunaannya tidak boleh melanggar hak cipta perorangan. Rujukan di sini tidak berarti menyiratkan
pengesahan dan rekomendasi dari CIDA maupun AIT
ii
Kata Pengantar
Warga masyarakat Code Utara, termasuk kelompok masyarakat yang dengan gigih mencari solusinya
sendiri dalam pemenuhan kebutuhan air bersih. Kondisi inilah yang melatarbelakangi Henrika Retno
Tyas Arum untuk memilih Kampung Code Utara sebagai pilot project melalui Alumni Demonstration
Project yang mendapat dukungan dana dari AIT-CIDA. Keberhasilannya dalam mengelola proyek ini,
telah mendapat perhatian yang cukup besar dari pihak AIT-CIDA sehingga dirasa perlu untuk
mendiseminasikan keberhasilan ini dalam sebuah workshop satu hari. Papernya yang berjudul Water
Supply Management in a Small Community of Yogyakarta yang terlampir dalam prosiding ini
merupakan laporan dari hasil kegiatan yang telah dilakukannya di kampung Code Utara.
Pengalaman dari Henrika Retno Tyas Arum, kemudian diperkuat oleh pengalaman yang dilakukan
oleh Doso Winarso dalam sebuah proyek yang telah dilakukannya di Dusun Kiringan, Desa Canden,
Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Dalam papernya yang berjudul Isu Gender Dalam
Pengelolaan Air Secara Berkelompok, Doso Winarso memaparkan bagaimana sekelompok masyarakat
disatu sisi telah berhasil mengatasi permasalahan limbah yang berasal dari kegiatan produksi jamu
tradisional dan disisi lain juga berhasil dalam pengelolaan air bersih untuk seluruh warga anggota
kelompok.
Kasus lain yang menunjukkan keberhasilan peran komunitas berpenghasilan rendah dalam mengatasi
permasalahan dan kebutuhan air bersihnya juga ditunjukkan dalam prosiding ini dalam kasus
”Pengelolaan Air Bersih Oleh Masyarakat Dusun Kisik, Desa Sendang Agung, Kecamatan Minggir,
Kabupaten Sleman, Yogyakarta”.
Workshop ini memang tidak memiliki kapasitas untuk merumuskan seluruh solusi dan strategi bagi
pemecahan masalah kebutuhan pelayanan air bersih masyarakat berpenghasilan rendah kota,
melainkan merupakan sebuah upaya untuk mengundang perhatian kepada semua stakeholders agar
dapat memberikan perhatian yang lebih sungguh-sungguh terhadap permasalahan ini.
Akhir kata, semoga hasil workshop ini dapat berguna tidak saja bagi pihak AIT-CIDA, tetapi juga
bermanfaat bagi semua stakeholders yang perduli terhadap permasalahan air bersih bagi masyarakat
miskin perkotaan.
1
Terhitung sejak Proyek KIP pertamakali yakni M.H.Thamrin Project yang dilakukan pada tahun 1968/1969 di
Jakarta.
iii
Daftar Isi
Section Halaman
v
Susunan Acara Dialog Kebijakan
PROGRAM
Policy Dialog on Planning and Management
of Small Community Water Supply of Yogyakarta, Indonesia
20 Mei 2006 Hotel Santika, Yogyakarta, Indonesia
vii
12.45
12.45- Presentasi II: Implementation of a Henrika Retno Tyas Arum, ST, M.Sc
13.15 demonstration project for water supply for Alumni Demonstration Project Leader
small community in Yogyakarta Yogyakarta
Moderator: Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D
Penterjemah: Doddy Aditya Iskandar, ST,
MCP,
Notulen: Mukti Ramadona
13.15- Presentasi III Drs. Doso Winarno, SMT.Ars, M.Si
13.45 Gender issues in community water supply Moderator : Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D
Penterjemah : Retno Widodo DP, ST,
M.Sc,
Notulen: Angelica
13.45- Diskusi II Drs. Doso Winarno, SMT.Ars, M.Si
15.00 Policy Implications, Gap Identification Moderator: Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D
and Implementation Problems of Gender Penterjemah: Dyah Widiyastuti, ST, MCP,
Issues Notulen: Mukti Ramadona
15.00- Coffee break
15.15
15.15- Kesimpulan dan Kesepakatan Ketua : Ir. Sudaryono, M.Eng, Ph.D
16.00 Sekretaris : Ir. Bakti Setiawan, MA.,
Ph.D
Penterjemah: Retno Widodo DP, ST,
M.Sc, Doddy Aditya Iskandar, ST, MCP,
Dyah Widiyastuti, ST, MCP
Notulen: Angelica
16.00- Ucapan Terima kasih Ir. Kawik Sugiana, M.Eng., Ph.D
16.10 Kepala Program MPKD-UGM
16.10- Kunjungan lapangan, koordinator Henrika Retno Tyas Arum, ST, M.Sc
18.00 Lokasi: RW 07 Kampung Jetisharjo Kelurahan Cokrodiningratan
Disampaikan oleh
Prof. Dr. Budhi Tjahjati S Soegijoko, MCP
Advisory Panel SEA-UEMA Project
Selamat datang dalam acara policy dialog ini, yang merupakan suatu acara penting dari
rangkaian kegiatan ADP (Alumni Demonstration Project) dari AIT-SEA UEMA. Dari dialog ini
diharapkan dapat memberikan masukan-masukan kebijakan dari tingkat lokal dan tingkat kota.
Saya diminta berbicara disini sebagai anggota dari Advisory Panel proyek ini, sebagai wakil dari
Indonesia. Advisory panel ini dibentuk kira-kira 2 tahun yang lalu. Tujuannya adalah menerima
laporan dari pelaksanaan proyek yang diketuai Dr. Ranjith Perera dari AIT. Berdasarkan masukan-
masukan dari pelbagai kegiatan dalam proyek ini, kami dari advisory panel diharapkan memberi
masukan-masukan baik secara menyeluruh maupun per kegiatan secara umum maupun per Negara.
Kegiatan yang biasanya dilaporkan kepada advisory panel adalah mengenai Graduate Education
(GE); Sub sector Networks and Professional Suport (SNP); Alumni Demonstration Project (ADP);
Joint Action Research (JAR); Application of Research Result and Lessons Learned (ARL); dan
Gender Equality (Gen Eq).
Selanjutnya dibahas masalah terkait lainnya; seperti Project Management Information System (PMIS);
Facilitating Partners yaitu lembaga-lembaga kemitraan dari proyek ini di tiap negara serta
keanggotaan advisory panel dan nara-nara sumber, dan lain-lain lagi.
Advisory panel bertemu 2 kali setahun. Jadi kami sudah bertemu 4 kali. Dalam salah satu pertemuan,
dikemukakan bahwa advisory panel perlu melihat di lapangan, tentang pelbagai kegiatan yang
dilaksanakan seperti ADP, JAR, dan sebagainya. Oleh karena itu, hari ini saya selaku anggota
advisory panel diundang dalam acara policy dialog ini.
Beberapa catatan yang saya ingin sampaikan di sini adalah sebagai berikut:
Ketersediaan air (water supply) merupakan sesuatu hal yang penting bagi kehidupan. Pada
kenyataannya belum semua anggota masyarakat memperoleh air bersih dengan memadai. Masyarakat
perlu berperan serta dalam penyediaan air ini, yang memenuhi persyaratan kesehatan dan terjangkau.
Proyek demonstrasi ini akan menunjukkan pada kita semua, bagaimana hal ini, dengan bantuan alumni
AIT dilaksanakan di suatu komunitas di Yogyakarta. Diharapkan dalam dialog sehari ini akan dapat
terungkap kebijakan-kebijakan pendukung apa yang diperlukan, siapa yang bertanggung jawab untuk
menggulirkan pada tingkat apa, kebijakan apa yang dibutuhkan. Juga diharapkan, dapat terungkapkan
pembelajaran apa yang dapat diterapkan di komunitas lain.
Ini merupakan awal dari penyusunan suatu kebijakan penyediaan air bersih di tingkat komunitas. Ini
perlu dilebarkan untuk komunitas lain, yang serupa maupun yang berbeda. Apakah pendekatannya
dapat sama? Bagaimana mengadaptasi untuk komunitas berbeda? Selanjutnya perlu ditarik ke atas, ke
tingkat kelurahan, kota, kabupaten, propinsi bahkan nasional.
ix
Tantangan berikutnya, bagaimana mengupayakan agar hasil dari demonstrasi project ini dapat
dimengerti, didukung, serta dilaksanakan para pembuat keputusan.
Semoga dialog ini bermanfaat karena ada pihak-pihak penting yang terkait: akademisi, masyarakat,
pemerintahan baik sektoral maupun pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif. Dialog ini dapat
merupakan langkah awal.
Semoga tidak berhenti disini dan dapat diteruskan sehingga bermanfaat bagi masyarakat yang lebih
luas.
x Sambutan Peresmian
Sambutan Utama
Walikota Yogyakarta
Dalam Workshop
Mayor of Yogyakarta
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Kepada yang terhormat,
1. Pendirian Kota Yogyakarta berdasarkan Perda Nomor 6 tahun 2004 didasarkan pada
momentum pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono beserta keluarganya memasuki Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1756. Pembangunan Kota
Yogyakarta oleh Sri Sultan HB I selain memenuhi aspek fungsi juga didasari aspek politik,
strategis, teknis dan filosofi-religius. Dari aspek politis didasarkan pada upaya menolak
tekanan VOC yang menyarankan pembangunan kraton sebagai pusat pemerintahan berada di
Jawa Timur. Dari aspek strategis didasarkan pada pertimbangan yang matang dan akurat
terutama strategi pertahanan keamanan, politik dan sosial budaya. Dari aspek teknis, letak kota
di tanah datar dengan kemiringan 0-2% ke arah selatan yang diapit sungai besar merupakan
keuntungan bagi usaha pertanian, mempercepat peresapan air hujan, dan sangat
menguntungkan bagi pembuatan drainase kota. Dari aspek filosofis-religius penentuan letak
kraton dan pembangunannya sngat memperhatikan dan berkaitan erat dengan filosofi manusia
dan hubungan antara Allah dengan hambaNya.
2. Dalam perkembangannya Kota Yogyakarta memiliki citra yang terbentuk dari dinamika
masyarakat dan juga sebaliknya citra memperngaruhi dinamika masyarakat. Citra tersebut
terwujud dalam predikat dan fungsi Kota Yogyakarta. Predikat Kota Yogyakarta adalah kota
perjuangan, kota pendidikan dan kota tujuan wisata. Fungsi Kota Yogyakarta adalah pusat
pemerintahan DIY, pusat perdagangan dan simpul transportasi Jawa Tengan bagian Selatan.
Selain predikat dan fungsi tersebut, seiring dengan dinamika perubahan, maka mendorong
pengembangan kota juga didasarkan pada pemenuhan kebutuhan ekonomi kapital.
3. Pembanguan Perkotaan di Kota Yogyakarta didasarkan pada konsep bahwa kota yang sehat,
kota yang nyaman, kota yang indah dan kota yang bersih diawali dari kampung yang sehat,
kampung yang nyaman, kampung yang indah dan kampung yang bersih. Berdasarkan konsep
tersebut, maka kampung tidak hanya sebagai tempat beritirahat atau tempat untuk ”tidur”
tetapi kampung menjadi tempat berinteraksi warganya yang “utuh”, baik pada aspek ekonomi,
xi
sosial, budaya dan politik. Berdasarkan pemahaman ini, maka pembangunan kampung tidak
hanya pada aspek fisik, tetapi juga pada manusia dan usahanya.
4. Untuk membangun ”kampung besar” Kota Yogyakarta maka ada dua lokomotif utama yaitu
pariwisata dan pendidikan. Selain dua lokomotif utama tersebut, sebagai turunannya juga
didukung dengan sektor perdagangan. Apabila ketiga sektor tersebut berfungsi secara optimal
maka, gerbong yang ditariknya dapat berfungsi secara optimal pula. Selain itu, ketiga sektor
tersebut memiliki efek multiplier yang cukup luas serta keterkaitan yang semakin luas dengan
sektor lainnya. Ketiga sektor tersebut yang akan mendapatkan prioritas untuk dikembangkan
dan ketiga sektor tersebut akan selalu “ dijual” kepada masyarakat.
5. Selain itu upaya mendorong pertumbuhan ekonomi daerah melalui ketiga sektor tersebut,
tentunya pemerintah kota akan memberikan perhatian yang lebih kepada sebagian masyarakat
yang tidak dapat “menikmati” pertumbuhan tersebut dan sangat rentan terhadap fluktuasi
ekonomi. Perhatian dititikberatkan pada dua sektor utama, yaitu akses pada pendidikan dan
kesehatan. Selain dua sektor tersebut, maka kepada sebagian masyarakat tersebut juga
diberikan akses pada permukiman yang lebih sehat.
6. Salah satu kebutuhan masyarakat Kota Yogyakarta adalah air bersih. Sampai saat ini
masyarakat yang sudah mendapatkan pelayanan “air bersih” dari PDAM baru mencapai 67%
dari keseluruhan jumlah penduduk. Sebagian besar sumber air berasal dari sumur dangkal dan
dalam dari Kabupaten Sleman. Kapasitas produksi 663 liter per detik, sedangkan kapasitas
distribusi sebesar 475 liter per detik. Karena sebagian besar sumber air berasal dari sumur
dangkal dan dalam, maka tingkat pelayanan penduduk pada musim kemarau berkurang
menjadi 40%. Sebagian besar fasilitas perpipaan berusia lama (peninggalan Belanda).
Cakupan layanan yang baru mencapai 67% mengakibatkan sebagian penduduk yang lain
menggunakan sumur dangkal dan dalam. Tetapi dengan tingkat kepadatan penduduk yang
relatif tinggi, maka pencemaran bakteri coli di sebagian besar penduduk sudah berada di
ambang batas.
7. Selain menggunakan fasilitas PDAM dan sumur, sebagian penduduk juga sudah mengelola
sumber air bersih secara mandiri, antara lain Kampung Jetisharjo dan Forum Masyarakat Code
Utara. Dengan berbagai sumber daya dan kearifan yang dimiliki, masyarakat berupaya untuk
mengelola air bersih. Selama ini peran pemerintah untuk memfasilitasi kegiatan tersebut
relatif terbatas.
8. Penyediaan air bersih di perkotaan Yogyakarta berkaitan erat dengan pengelolaan perkotaan
pada umumnya. Dalam beberapa tahun ini perkembangan aglomerasi perkotaan Yogyakarta
sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perkembangan tersebut mendorong ketiga daerah
yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dengan fasilitas Pemerintah
Propinsi DIY membuat sebuah kelembagaan Sekretariat Bersama Yogyakarta, Sleman dan
Bantul (Sekber Kartamantul). Sekber tersebut dititikberatkan dalam pengelolaan infrastruktur
perkotaan yaitu persampahan, air limbah, air bersih, jalan, drainase dan transportasi. Dalam
perkembangannya direncanakan pengelolaan tata ruang. Salah satu isu penting pembahasan
dalam Sekber adalah mendapatkan sumber air bersih baru, selain sumur dalam dan sumur
dangkal.
10. Untuk menjalankan kedua alternatif tersebut di atas, terutama yang difasilitasi oleh
Pemerintah Propinsi DIY, sudah merencanakan untuk menjalin kerjasama dengan investor.
Pemerintah Kota Yogyakarta mendukung upaya tersebut, tetapi prinsip transparansi dan
partisipasi tetap dilaksanakan. Pengadaan calon investor dilakukan dengan lelang terbuka.
Pemerintah daerah dilibatkan sejak tahap perencanaan sampai penentuan harga jualnya.
Keputusan yang belum final hingga saat ini terhadap kedua alternatif tersebut disebabkan ada
kecenderungan Pemerintah Propinsi DIY tidak melibatkan kota dan kabupaten dalam
penentuan besarnya harga jual air bersih.
H. Herry Zudianto
Budi Kamulyan
Intisari: Pertumbuhan penduduk dan perkembangan aktifitas perkotaan di kota Yogyakarta yang
cukup pesat memerlukan dukungan infrastruktur yang cukup memadai dalam berbagai sektor,
termasuk tersedianya air bersih yang cukup dalam jumlah maupun mutu.
Sistem penyediaan air bersih di kota Yogyakarta saat ini disuplai dari sumber-sumber air permukaan
(5%), mata air (10%), sumur dangkal (19%) dan sumur dalam (66%) dengan kapasitas produksi total
753 liter/detik. Jumlah produksi air lebih kurang 18.635.137 m3/tahun, sedang yang didistribusikan
lebih kurang 16.201.380 m3/tahun, serta tingkat kehilangan air sebesar 33,26%. Sistem penyediaan
air bersih yang dikelola oleh PDAM Tirtamarta ini, saat ini melayani 45,3% masyarakat kota
Yogyakarta. Jumlah pelanggan total adalah 34.259 unit SR dimana 91,4% adalah pelanggan rumah
tangga, sedang selebihnya berturut-turut adalah kelompok sosial (1,1%), instansi pemerintah (3,2%),
niaga (4,2%), industri (0,04%), budaya (0,03%) dan selebihnya adalah kelompok umum (PDAM
Tirtamarta, 2005).
Usaha penyediaan air bersih perpipaan di kota Yogyakarta ini masih menghadapi kendala dengan
turunnya kapasitas produksi terpasang. Dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2005) telah terjadi
penurunan kapasitas antara 43,4% - 56,5%. Selain itu penggunaan sumber air bersih mandiri oleh
masyarakat dengan menggunakan sumur dangkal juga merupakan kendala dalam pengembangan
cakupan pelayanannya. Hal ini karena masyarakat masih lebih suka menggunakan sumur dangkal
karena dianggap mudah, murah dan praktis, selain karena kebiasaan yang turun temurun. Namun
dengan terjadinya degradasi air tanah baik kuantitas maupun kualitas, tentunya merupakan peluang
untuk mengembangkan penyediaan air bersih.
Saat ini sedang direncanakan pengembangan sistem penyediaan air bersih di kota Yogyakarta,
dengan mencari alternatif sumber air permukaan yaitu sungai Progo atau sumber mata air dari
wilayah Magelang.
1. PENDAHULUAN
Sebagai salah satu pusat budaya di Indonesia, Yogyakarta dengan keberadaan kratonnya dan
dengan lokasinya yang tidak terlalu jauh dari candi Borobudur sebagai salah satu dari 7 keajaiban
dunia menjadikan kota ini sebagai daerah tujuan wisata kedua di Indonesia setelah Bali. Kraton
Yogyakarta sebagai salah satu pusat budaya dan berbagai peninggalan budaya yang sangat bersejarah
banyak dijumpai di kota Yogyakarta. Ditambah lagi adanya berbagai obyek wisata alam di
sekelilingnya, termasuk Malioboro yang sangat bersejarah dan sebagai pusat perkembangan
perekonomian perkotaan yang sangat khas, menyebabkan kota Yogyakarta banyak dikunjungi oleh
wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Selain itu, banyaknya perguruan tinggi baik negeri maupun swasta di Yogyakarta dengan berbagai
bidang studi, menjadikan kota ini sebagai kota pelajar atau kota pendidikan. Adanya 8 universitas, 10
3
institute/sekolah tinggi dan 50 akademi (Biro Pusat Statistik, 2003), menyebabkan banyak pelajar dari
seluruh pelosok nusantara setelah menamatkan pendidikan menengahnya datang ke Yogyakarta untuk
belajar di perguruaan tinggi yang ada di kota ini.
Dengan banyaknya pendatang baik yang bertujuan untuk berwisata, belajar atau mencari nafkah di
Yogyakarta menyebabkan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan aktifitas ekonomi di
kota ini tumbuh pesat terutama sektor informal yang tersebar di berbagai sudut kota. Selain itu,
globalisasi ekonomi menyebabkan aktifitas perkotaan tumbuh demikian pesat ditandai dengan
berdirinya pusat-pusat perdagangan/bisnis yang menawarkan berbagai kebutuhan masyarakat.
Dengan pesatnya pertumbuhan penduduk dan perkembangan perkotaan tersebut tentunya memerlukan
dukungan infrastruktur yang cukup memadai dalam berbagai sektor, termasuk tersedianya air bersih
yang cukup dalam jumlah maupun mutu.
2. DESKRIPSI WILAYAH
2.1 Kependudukan dan penggunaan lahan
Kota Yogyakarta yang luasnya 32,50 km2 secara administratif terdiri dari 14 kecamatan. Dengan
jumlah penduduk 397.202 jiwa, maka tingkat kepadatan penduduk di kota ini rerata adalah sebesar
14.265 jiwa/km2 (Tabel 1.1). Kepadatan penduduk setiap wilayah kecamatan bervariasi dari 8.557
jiwa/km2 untuk wilayah kecamatan Umbulharjo yang berada di daerah pinggiran kota dan tertinggi
adalah sebesar 21.496 jiwa/km2 di wilayah kecamatan Ngampilan yang berada di wilayah pusat kota
dan merupakan pusat-pusat perekonomian/perdagangan. Di wilayah kecamatan Kraton dimana Istana
(Kraton) Sultan berada dan merupakan pusat/tempat tujuan wisata budaya bagi kota Yogyakarta
kepadatan penduduknya sebesar 13.612 jiwa/km2.
Tabel 1.1. Data luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk
Luas Jumlah penduduk Kepadatan
No. Kecamatan
(km2) (jiwa) penduduk (jiwa/Ha)
1. Mantrijron 2,61 32.659 12.513
2. Kraton 1,40 19.057 13.612
3. Mergangsan 2,31 31.488 13.631
4. Umbulharjo 8,12 69.479 8.557
5. Kotagede 3,07 27.979 9.114
6. Gondokusuman 3,99 48.617 12.185
7. Danurejan 1,10 19.822 18.020
8. Pakualaman 0,63 10.628 16.870
9. Gondomanan 1,12 13.935 12.442
10. Ngampilan 0,82 17.627 21.496
11. Wirobrajan 1,76 26.693 15.166
12. Gedongtengan 0,96 17.926 18.673
13. Jetis 1,70 26.036 15.315
14. Tegalrejo 2,91 35.256 12.115
TOTAL 32,50 397.202
Sumber : Data PDAM Tirtamarta Th 2005
Dari aspek Geologi, dataran Yogyakarta tersusun oleh dua Formasi yaitu Formasi Sleman dan Formasi
Yogyakarta (Sir McDonald & partners, 1984). Formasi Yogyakarta dengan material penyusun yang
berupa pasir, gravel, lanau dan sebagian lempung yang berasal dari Formasi Sleman ditambah material
hasil erupsi Gunung Merapi. Formasi Sleman merupakan dasar dari Formasi Yogyakarta, dengan
material penyusun yang berupa pasir, vulcanoclastic, gravel, batuan besar, dan lempung yang dapat
dijumpai pada kedalaman 20 m. Material penyusun Formasi Sleman dan Yogyakarta ini merupakan
endapan vulkanis muda yang terbentuk pada jaman kwarter.
Batuan penyusun formasi Yogyakarta yang tebalnya antara 20 m – 40 m tersebut sangat permeable
dan merupakan pembentuk akuifer Merapi yang sangat potensial sebagai sumber air bersih bagi
wilayah kota Yogyakarta. Akuifer Merapi ini membentang dari arah Utara ke Selatan dan mengingat
ketinggian topografinya, maka aliran air tanah mempunyai kecenderungan mengalir dari arah Utara ke
Selatan.
Ditinjau dari aspek hidroklimatologi, curah hujan di wilayah dataran Yogyakarta bergradasi sesuai
dengan ketinggian topografinya (Sir McDonald & partners, 1984). Di wilayah Kaliurang yang
elevasinya 1.185 m d.p.l. mempunyai curah hujan tahunan tertinggi sebesar 4.500 mm. Wilayah Kali
Kuning yang terletak di sebelah Utara dan pada daerah yang lebih tinggi dibanding Yogyakarta, curah
hujan tahunannya sebesar 3.790 mm dengan variasi curah hujan bulanan antara 70 – 570 mm, sedang
di Yogyakarta sebesar 2.090 mm dengan variasi curah hujan bulanan antara 20 – 380 mm.
Dari aspek tata air, kota Yogyakarta dilewati oleh 3 buah sungai yang mengalir secara paralel dari
Utara ke Selatan, yaitu sungai Winongo di bagian barat, sungai Code yang membelah pusat perkotaan
dan sungai Gajah Wong di bagian timur. Ketiga sungai ini merupakan bagian dari subsistem sungai
Total kapasitas terpasang pada sistem penyediaan air bersih PDAM Tirtamarta saat ini adalah sebesar
753 liter/detik (data tahun 2005). Kapasitas ini jauh lebih kecil dibandingkan total kapasitas terpasang
pada tahun 1995 yaitu sebesar 1.114 liter/detik atau mengalami penurunan sebesar 32%, walaupun
dalam kurun waktu tersebut ada penambahan 7 unit sumur dangkal dengan kapasitas terpasang 62,2
liter/detik dan 5 unit sumur dalam dengan kapasitas terpasang 91,0 liter/detik. Dari data tersebut dapat
diduga bahwa penurunan kapasitas penyediaan air ini lebih disebabkan oleh turunnya kapasitas
sumber air dibanding akibat dari tidak beroperasinya sumur (2 buah sumur).
Jumlah produksi air dari sistem penyediaan air yang dikelola oleh PDAM Tirtamarta tersebut lebih
kurang 18.635.137 m3/tahun, sedang yang didistribusikan lebih kurang 16.201.380 m3/tahun (PDAM
Tirtamarta, 2005), serta tingkat kehilangan air sebesar 33,26%. Ditinjau berdasarkan pelanggan air
bersih PDAM Tirtamarta di Kota Yogyakarta yang berjumlah 26.358 unit SR, dan apabila dianggap
besaran rumah tangga adalah 6 orang/KK, maka cakupan pelayanan air bersih di kota ini adalah
sebesar 45,3% (Tabel 1.3). Selain pelanggan yang berdomisili di kota Yogyakarta, terdapat pula
pelanggan yang berdomisili di luar wilayah kota Yogyakarta dan jumlahnya lebih kurang 15% dari
pelanggan total. Pelanggan-pelanggan ini berada di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan wilayah
Apabila dicermati lebih lanjut berdasarkan cakupan wilayah kecamatan, tampak bahwa pelayanan air
bersih perpipaan ini masih belum secara merata menjangkau ke seluruh masyarakat yang ada di
wilayah kota Yogyakarta. Wilayah kecamatan Danurejan yang berada di pusat perkotaan dan tingkat
kepadatan penduduknya relatif tinggi (18.020 jiwa/ km2) atau urutan ke-3 tertinggi, ternyata cakupan
pelayanannya masih sangat rendah (5%). Wilayah kecamatan Umbulharjo yang merupakan daerah
dengan kepadatan penduduk terendah di kota ini (8.557 jiwa/ km2), walaupun jumlah penduduknya
tertinggi (17,5% dari total jumlah penduduk), namun cakupan pelayanannya juga masih sangat rendah
yaitu 13%. Wilayah ini berada di daerah pinggiran kota dan merupakan daerah pelayanan air bersih
yang paling hilir. Sedangkan di wilayah Kotagede yang juga di pinggiran kota, dan disini sudah
dibangun 3 sumur yang mampu memproduksi 414.774 m3/tahun (lebih kurang 2,2% dari total
produksi), namun cakupan pelayanannya juga masih rendah yaitu 19%. Kondisi yang sangat berbeda
ditunjukkan di wilayah kecamatan Jetis yang lokasinya sedikit di luar pusat perkotaan dan kepadatan
penduduknya lebih rendah (15.315 jiwa/ km2) ternyata menunjukkan cakupan pelayanan tertinggi
yaitu sebesar 95%.
Ditinjau berdasarkan kelompoknya, maka sebagian besar pelanggan air PDAM Tirtamarta ini adalah
kelompok rumah tangga yaitu sejumlah 31.318 unit SR atau 91,4% dari total pelanggan sejumlah
34.259 unit SR (data PDAM Tirtamarta Th. 2005). Selanjutnya berturut-turut adalah kelompok sosial
(1,1%), instansi pemerintah (3,2%), niaga (4,2%), industri (0,04%), budaya (0,03%) dan selebihnya
adalah kelompok umum.
Penurunan kapasitas peyediaan air dari sumber-sumber air yang digunakan tersebut tentunya
merupakan permasalahan dalam pelayanan kebutuhan air bersih masyarakat di kota Yogyakarta dan
sekitarnya, dan juga merupakan tantangan yang dihadapi dalam usahanya untuk meningkatkan
cakupan pelayanannya. Walaupun dalam kurun waktu 10 tahun sudah ditingkatkan kapasitas
penyediaan airnya dengan membuat beberapa sumur baru yaitu 7 unit sumur dangkal dan 5 unit sumur
dalam dengan total kapasitas terpasang sebesar 153,2 liter/detik, namun sampai tahun 2005 total
kapasitas terpasang yang dapat diusahakan baru mencapai 753 liter/detik atau lebih kurang 67,6%
kapasitas terpasang sumber air pada tahun 1995 sebesar 1.114 liter/detik.
Gejala penurunan kapasitas sumber air tersebut selain diakibatkan oleh berkurangnya kondisi fisik
sumur yang mengakibatkan penurunan produktifitasnya, maka dimungkinkan pula oleh berkurangnya
kapasitas akifer dalam menyediakan air. Hal ini dapat ditunjukkan adanya kenyataan telah terjadinya
degradasi muka air tanah sebesar lebih kurang 0,514 m/tahun di wilayah kota Yogyakarta, dan 0,328 –
0,337 m/tahun di wilayah-wilayah yang berada di sebelah utara kota Yogyakarta dimana sebagian
besar sumber air bagi kota Yogyakarta berada (Wilopo, 1999). Hasil penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa degradasi muka air tanah di wilayah ini disebabkan oleh terlampau besarnya
pemanfaatan air tanah untuk keperluan domestik dan irigasi. Selain itu dengan tingginya intensitas
perubahan lahan menjadi pemukiman di wilayah kota Yogyakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini,
tentunya juga memberikan kontribusi terjadinya degradasi muka air tanah akibat berkurangnya
intensitas pengisian air tanah.
Fluktuasi musiman seringkali juga merupakan permasalahan yang menyebabkan gangguan terhadap
kontinyuitas pelayanan air bersih di wilayah kota Yogyakarta. Produksi air sering mengalami
penurunan pada musim kemarau, sehingga akan mempengaruhi distribusi air bersih ke masyarakat.
Kapasitas sumber air yang berfluktuasi musiman tersebut diduga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi
muka air tanah musiman (musim hujan-kemarau). Besar fluktuasi muka air tanah musiman di wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan dari tahun ke tahun
(Asmawati, 2000). Ditunjukkan bahwa fluktuasi muka air tanah musiman pada tahun 1983 sebesar
0,933 m, dan meningkat menjadi 1,29 m pada tahun 1995/1996 dan 1,762 m pada tahun 1999.
Penggunaan sumur gali untuk pemenuhan kebutuhan air bersih di wilayah kota Yogyakarta
sebenarnya menunjukkan gejala yang kurang menguntungkan ditinjau dari aspek kuantitas dan
kualitas. Dari aspek kuantitas adanya degradasi air tanah seperti telah diuraikan sebelumnya, tentunya
akan menyebabkan kapasitas penyediaan airnya akan mengalami penurunan dari waktu ke waktu.
Dari aspek kualitas ditunjukkan adaya kecenderungan peningkatan pencemaran pada air sumur dari
waktu ke waktu pula. Dari pemantauan kualitas air sumur gali, ditunjukkan bahwa sebagian besar
sumur di wilayah kota Yogyakarta yang diteliti mengandung bakteri koli yang melebihi ambang baku
mutu 50 MPN/100ml (Sumlang, 2000). Dari 145 sumur gali yang tersebar di wilayah kota Yogyakarta
ditunjukkan bahwa lebih kurang 82,8% sudah tercemar (total coli lebih dari 50 MPN/100ml). Dalam
penelitian selanjutnya ditunjukkan bahwa dari 161 sumur gali, 86,34% telah tercemar oleh bakteri coli
(Dinkes Kota Yogyakarta dalam Kompas 13 Juli 2004).
Tercemarnya sumur gali oleh bakteri coli diduga akibat buangan limbah rumah tangga yang tidak
ditangani secara baik. Kepadatan penduduk yang cukup tinggi di perkotaan menyebakan terbatasnya
lahan yang dapat digunakan untuk penanganan limbah rumah tangga dengan sistem setempat (septic
tank dan peresapan). Seperti diuraikan sebelumnya bahwa kondisi tanah di wilayah Yogyakarta
merupakan tanah yang sangat lulus air (sandy soil). Kondisi ini menyebabkan penggunaan sistem
setempat tersebut sangat rentan terhadap terjadinya pencemaran terhadap sumur gali. Dari berbagai
penelitian yang telah dilakukan (Sumlang, R, 2000; Kedaulatan Rakyat 20 Maret 2001) ditunjukkan
bahwa di kota Yogyakarta jarak septic tank/peresapan dengan sumur gali antara 4 sampai 8 m dan
pada umumnya kurang dari jarak ideal 10 m.
5. PENUTUP
Saat ini sedang direncanakan pengembangan sistem penyediaan air bersih di kota Yogyakarta
guna meningkatkan cakupan pelayanan air bersih sistem perpipaan bagi masyarakat, melalui berbagai
kegiatan seperti pengembangan jaringan, menekan kehilangan air dan penambahan jumlah pelanggan.
Untuk itu perlu adanya peningkatan kapasitas produksi terpasang dengan mencari alternatif sumber air
permukaan yaitu sungai Progo atau sumber mata air dari wilayah Magelang.
REFERENSI
Asmawati, Trisnaning Diah Tri, (2000). Degradasi Muka Air Tanah Dangkal di Daerah Yogyakarta
dan Sekitarnya, Skripsi, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM.
PDAM Tirtamarta Kota Yogyakarta, (2005). Data Sumber Air, Kapasitas Produksi dan Distribusi Air.
Sir M MacDonald & Partners, Binnie & Partners Hunting Technical Service Ltd., (1984). Greater
Yogyakarta Groundwater Resources Study, Vol. 2. Hydrology, Groundwater Development
Project, Ministry of Public Works, Government of the Republic of Indonesia.
Sumlang, R. (2000). Studi Kualitas Air Tanah Dangkal di Daerah Kotamadya Yogyakarta Ditinjau
dari Persyaratan Air Minum, Skripsi, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM.
Wilopo, W. (1999). Perencanaan Konservasi Air Bawah Tanah di Cekungan Yogyakarta, Skripsi,
Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM.
1. PENDAHULUAN
Permasalahan terhadap akses penyediaan air bersih sampai dengan saat ini belum menjadi hal
penting di dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, apabila dibandingkan dengan penyediaan
infrastruktur lainnya, seperti misalnya sarana transportasi ataupun telekomunikasi. Penyediaan air
bersih seringkali terbatas serta tidak merata di beberapa lingkungan perkotaan, terutama pada rumah
tangga berpendapatan menengah bawah, khususnya di permukiman padat perkotaan tepian sungai.
Seperti kota-kota di Asia pada umumnya, tepian sungai pada umumnya menjadi tempat bermukim
rumah tangga yang tidak mampu mendapatkan lahan yang layak, dan pada umumnya berpendapatan
menengah ke bawah. Hal ini tercermin pula pada permukiman di tepian sungai Code di Yogyakarta,
meskipun berdasarkan pengamatan, lambat laun sebagian lokasi tepian sungai Code mulai dihuni oleh
rumah tangga yang berpendapatan menengah.
Keterbatasan penyediaan air menjadikan masyarakat Code Utara, khususnya RW07 kampung
Jetisharjo, Kelurahan Cokrodiningratan mencari solusi alternatif. Inisiatif dari masyarakat dan
dukungan pemerintah melalui Departemen Pekerjaan Umum, menjadikan masyarakat mampu
menemukan pemecahan masalah dalam sistem distribusi air bersih yang dijalankan melalui Usaha Air
Bersih Tirta Kencana. Namun demikian hasil pengamatan menunjukkan, meskipun peyediaan air
tersebut telah berjalan di wilayah ini, ketersediaan air secara merata masih menjadi isu utama yang
perlu mendapatkan perhatian, sebagaimana terlihat pada gambar 3.1. Masih terdapatnya
ketidakseimbangan pada jam-jam sibuk dimana banyak masyarakat mengkonsumsi air menjadikan
akses pada air bersih masih menjadi kendala bagi sebagian masyarakat yang mengalami hal ini. Meski
sebagian dari masyarakat di lingkungan RW07 telah mendapatkan air bersih, Alumni Demonstration
Project (ADP) bermaksud mengembangkan kegiatan
yang telah terlebih dahulu dirintis oleh Departemen
Pekerjaan Umum dengan memperluas area layanan
ataupun memperluas jangkauan bagi mereka yang
belum mampu mendapatkan air bersih dengan harga
terjangkau dan kualitas air yang lebih baik.
11
Lokasi sumber air dan permukiman yang berseberangan membuat masyarakat yang belum
mendapatkan sambungan air harus menyeberang sungai untuk mendapatkan air. Situasi ini menjadikan
masyarakat berpikir untuk mendapatkan air dengan lebih mudah. Karena itu sejak tahun 1991 telah
dirintis usaha-usaha untuk mengalirkan air dari bagian timur sungai ke bagian barat sungai. Upaya
yang telah dilakukan sejak tahun 1991 adalah sebagai berikut:
1991: UAB Tirta Kencana didirikan. Air dialirkan ke 6 buah rumah dengan menggunakan
pompa hidrolik.
1999: Departemen Pekerjaan Umum memberikan bantuan dalam bentuk penyediakan pompa
air, pipa distribusi dan pipa produksi. Dengan adanya bantuan dari Departemen PU,
UAB Tirta Kencana mampu menyediakan air bagi 23 rumah tangga.
2001: Program Penataan dan Rehabilitasi Permukiman Kumuh Departemen Pekerjaan Umum
kembali memberikan bantuan kepada UAB Tirta Kencana sehingga 55 rumah mampu
mendapatkan air hingga ke masing-masing rumah.
2004: UAB Tirta Kencana mampu memberikan sambungan air dari 55 rumah menjadi 65
rumah secara swadaya.
2. TUJUAN
Tujuan kegiatan pengembangan air bersih di permukiman berpenghasilan rendah (Water
Supply Management in a Small Community) di Yogyakarta adalah:
• Menyediakan kebutuhan air bersih dan menjaga keberlanjutan pengelolaan dan penyediaan air
bersih bagi warga setempat;
• Memastikan kualitas air bersih dengan melibatkan masyarakat sebagai bagian utama dalam
proses menjaga dan memelihara kualitas air secara bersih dan sehat;
• Memberikan bekal dan kesadaran bagi masyarakat dalam konsumsi air secara lebih efisien.
3. GAMBARAN WILAYAH
Kegiatan pengembangan air bersih ini bertempat di
kota Yogyakarta, ibukota Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dengan populasi sebanyak 517.015 jiwa pada
tahun 2005 wilayah kota Yogyakarta nantinya
dikhawatirkan akan dihadapkan pada permasalahan
lingkungan perkotaan, khususnya yang menyangkut air.
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan satu dari
33 provinsi di Indonesia. Wilayah ini terdiri dari kota
Gambar 3.2. Peta kota Yogyakarta dan Yogyakarta dan 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman,
lokasi ADP
Sumber: Data Pokok DIY, Bappeda, 1999 Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan
Kabupaten Kulon Progo. Pesatnya laju pertumbuhan
pembangunan menjadikan kota Yogyakarta, sebagian
Kota Yogyakarta terdiri dari sejumlah kecamatan, dimana pada masing-masing kecamatan terdapat
sejumlah kampung, termasuk di dalamnya kampung-kampung yang terletak di sepanjang bantaran
Sungai Code. Kampung yang terletak di bantaran Sungai Code pada selama ini selalu diasosiasikan
dengan rumah tangga berpendapatan menengah bawah, meskipun berdasarkan pengamatan hal ini
tidak sepenuhnya benar. Lokasi demonstration project mengambil tempat di Sungai Code bagian
Utara, kampung Jetisharjo, khususnya di wilayah RW07. Masyarakat RW07 menggunakan mata air
yang terletak di sebelah timur tebing sungai. Berdasarkan batas adminstrasi, mata air ini termasuk di
dalam Kelurahan Terban dan masyarakat yang menggunakan mata air tersebut berada di wilayah
kelurahan Cokrodiningratan dan Terban. Kegiatan penyediaan air bersih ini diselenggarakan oleh
Usaha Air Bersih (UAB) Tirta Kencana. ADP dalam kurun waktu Januari 2005 – Maret 2006
memberikan bantuan untuk meneruskan rintisan Departemen Pekerjaan Umum dalam meningkatkan
kinerja UAB Tirta Kencana.
Gambar 3.5. Pembangunan bak penampungan Gambar 3.6. Instalasi pipa distribusi (Oktober 2005)
bawah (Januari 2005)
Gambar 3.7. Pembangunan bak Gambar 3.8. Salah satu rumah yang mendapatkan
penampungan atas (Oktober 2005) sambungan air ( Desember 2005)
Skema distribusi air UAB Tirta Kencana setelah intervensi ADP dilakukan adalah sebagai berikut
(Gambar 3.9):
Secara umum, sistem pendistribusian air sebelum dan sesudah pengembangan tidak terlalu berbeda.
Penambahan pipa produksi lebih meningkatkan kelancaran pembagian air sehingga konflik
penggunaan air pada jam sibuk antara masyarakat umum dan masyarakat pelanggan UAB Tirta
Kencana dapat di minimalkan. Perbedaaan proses distribusi air sebelum dan sesudah intervensi
terletak pada penambahan instalasi desinfektan untuk menghilangkan bakteri E.Coli.
Tanggal pelaksanaan
Mei 2003 Oktober 2005 Januari 2006
pemeriksaan air
Hasil 20 9 0
• Penerima Manfaat
Dengan terlayaninya lebih banyak rumah
tangga, maka warga masyarakat,
khususnya ibu-ibu tidak perlu
meninggalkan rumah ataupun
menyeberang sungai untuk melakukan
pekerjaan yang terkait dengan air. Dalam
pengembangan ini, sebanyak empat
rumah tangga yang tidak mampu
mendapatkan pelayanan satu keran yang
digunakan bersama-sama.
7. KESIMPULAN
Sebelum kegiatan pengembangan
dilakukan, pengurus UAB Tirta Kencana
bekerja secara sukarela. Dalam hal ini Gambar 3.11. Rencana instalasi Gambar 3.12. Instalasi disinfectant
pengurus menerima penghargaan dalam pengolah air sederhana terpasang di rumah pompa
bentuk penggunaan air secara bebas.
Setelah pengembangan dilakukan, pengurus menerima penghargaan dalam bentuk honor. Namun
demikian, dasar kegiatan ini tetap bertumpu pada aspek sosial. Dalam hal keberlanjutan penggunaan
sumber daya air, penetapan tarif secara progresif secara
tidak langsung membantu pengendalian konsumsi air,
sehingga diharapkan sumber air lebih terjaga
keberlanjutannya. Kegiatan ini diharapkan mampu
meningkatkan sarana dan prasarana air bersih yang
sebelumnya telah dirintis oleh Departemen Pekerjaan
Umum, serta memberikan bekal yang lebih baik dalam
mengelola penyediaan air bersih beserta dengan
sumbernya dengan memberikan perhatian pada
keberlanjutan lingkungan di wilayah tempat tinggal
mereka (Gambar 3.13).
Doso Winarno
Summary: Gender issues in water supply are important because of the essential role of women in
water supply management that supports the life as well as education of next generation. The
traditional herb makers and sellers, which are mostly women, could be found in either urban quarter
or village. These groups of people need water for theit activities in making traditional herbs. It then
becomes interesting to be observed because water they used would affect buyers’ healthy.
The poverty causes diffulties for herb sellers women in undertaking their responsibility to take care of
next generation. While their husbands are mostly seasonal construction’s workers and farmer with
low income, consequently they have no adequate financial capability to support their life and
education of their children. Poverty has caused lots of mothers to be traditional herbs makers and
sellers in order to get additional income for their family. The activities of making traditional herbs
and selling it were usually started since early morning until evening. Most of the time they use
contaminated water in the processing of traditional herbs.
To facilitate them in providing adequate quality of water in herbs processing, a clean water
management model has ben set up. The effort was manifested through “Model of Sustainable Clean
Water Management for Poverty Alleviation in Canden, Bantul”. The model is aiming at coping with
the ground water pollution due to toilet waste water, domestic waste and faecal livestock. This model
was undertaken by considering the importance of hygiene of this community through the promotion of
safe septicktank and composting of night soil.
19
Pengrajin jamu tradisional dapat dijumpai di perkampungan kota
maupun di perdesaan secara berkelompok. Isu gender penjual
jamu ini menarik disimak karena pengadaan air bersihnya tidak
hanya berpengaruh terhadap kesehatan warganya, tetapi juga
terhadap kesehatan pembelinya. Kemiskinan telah mempersulit
peran perempuan penjual jamu dalam mengemban penerus
generasi. Kemiskinan sangat erat berkaitan dengan langkanya
lapangan pekerjaan sehingga perlu juga banyaknya lapangan
pekerjaan yang tercipta dalam program dan kegiatan pengelolaan
air bersih.
Khusus dalam kaitannya dengan perempuan ukuran kuantitatif dapat digunakan Indeks Pembangunan
Gender (IPG) (Gender-related Development Index) dan Ukuran Pemberdayaan Gender (UPG)
(Gender Empowerment Measure) yang dikembangkan oleh UNDP. Isu pengolahan air oleh Gender
pejual jamu tradisional Jawa, IPG-nya apakah telah menunjukkan seberapa jauh kebutuhan yang
paling mendasar telah terpenuhi, yaitu harapan hidup, tingkat pendidikan dan penghasilan dengan
memperhatikan diskriminasi jenis kelamin?
Masalah perempuan pengelola air menjadi jamu berkaitan erat dengan kemiskinan dan lingkungan
hidup biofisik, untuk itu digunakan juga Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Human Development
Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) (Human Poverty Index) serta Indeks Lingkungan
Penggunaan air tanah di Kiringan, Canden, Bantul Gambar 4.4. Racikan Jamu Tradisional Jawa
dikerjakan ibu dan anak perempuan dengan
didominasi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga,
alat “pipisan batu” dan “lumpang kayu”
industri jamu dan pertanian (Gambar 4.4, 4.5, and 4.6).
Karena pasokan air sumur penduduk tidak bertambah ataupun berkurang, maka dengan meningkatnya
pemanfaatan air untuk jamu, pengaruh limbah domestik dan limbah ternak, kualitasnya dapat berubah.
Hal ini terjadi apabila kemampuan air untuk membersihkan dirinya secara alamiah sudah terlampaui
akibat pencemaran limbah, untuk itu diperlukan tindakan mencegah terjadinya pencemaran air. Tanda-
tanda air tercemar terhadap kesehatan dapat dilihat dari berjangkitnya wabah diare, infeksi kulit atau
infeksi saluran pernafasan.
Gambar 4.5. Pipisan penggerus ramuan Gambar 4.6. Air diproduksi menjadi jamu dijajakan
jamu dikerjakan ibu di lantai bibir sumur ibu-ibu bersepeda ontel & digendong
Sumber utama pencemaran air berasal dari buangan limbah domestik, kotoran ternak. Permasalahan
utama Pedukuhan Kiringan yang berpenduduk 213 KK 828 jiwa terdiri dari 5 RT. Kondisi demografi
RT I dihuni 34 KK yang punya WC 4 KK atau 10%, selanjutnya 40% (RT II), 35% (RT III), 15% (RT
IV), 19% (RT V). Berarti perilaku warga masih banyak buang hajat di selokan, di sungai atau di
kebun. Telah diupayakan pengelompokan kandang memakai tanah kas desa hanya mampu
menampung 17 kandang, selebihnya kandang masih berdekatan dengan rumah penduduk dan
kotorannya meresap tanah mencemari sumber sumur tanah dangkal.
Banyaknya pemanfaatan air tanah dangkal ini menurut masyarakat disebabkan oleh 3 faktor yaitu:
kualitasnya dianggap cukup baik, jumlahnya (produktivitas) cukup dan lebih ekonomis. Dari segi
kejernihan kualitasnya umumnya memang baik, namun harus diperhatikan bahwa data kualitas air
tanah dangkal tidak mendukung pendapat masyarakat yang masih beranggapan air sumurnya masih
sehat. Berdasar pengamatan penulis, terdapat air sumur yang telah mulai berubah warna dan mulai
berbau tidak segar.
Artinya, masih banyak penduduk yang belum bisa mengakses sumber air bersih yang benar-benar
terjamin kualitasnya. Apabila dilakukan pengukuran pencemaran air tanah dangkal secara benar
apakah masih menunjukkan, parameter NO3, NH4 dan koli tinja kondisinya masih baik atau buruk?.
Mengingat pencemaran yang terjadi, air telah terkontaminasi. Perlu dibuktikan, bagaimana air tanah
dangkal dapat dinyatakan tidak memenuhi atau masih memenuhi syarat air baku untuk air minum
menurut PP No. 20 Tahun 1990? Secara periodik dapat dilakukan pendataan untuk melihat telah
terjadi penurunan kualitas air tanah dangkal selama periode 4 tahun. Untuk NO3, NH4 dan koli tinja
telah terjadi kenaikan atau penurunan. Jumlah rata-rata pemanfaatan air bersih bagi penduduk di
daerah ini adalah 30 liter/orang/hari. Kondisi kualitas air tanah apabila telah tercemar E-coli juga
berpengaruh terhadap kualitas air yang diolah menjadi jamu.
Gambar 4.8. Genangan limbah domestik Gambar 4.9. Kotoran temak penyebab air sumur
penyebab pencemaran sumur tanah dangkal tanah dangkal berubah warna dan berbau anyir
Pembuatan toilet kompos ini baru dimulai di Canden pada bulan Maret 2006, sebagai inovasi
teknologi dan kerja bersama berbagai pelaku pembangunan. Pilihan sistem toilet kompos yang telah
diuji coba dan diminati warga, kini menjadi program utama, selain mengatasi pencemaran air juga
berefek ganda terhadap peningkatan kualitas lingkungan perumahan (Gambar 4.8, 4.9). Pengadaan
toilet kompos dengan bahan lokal, sederhana dan murah dapat dikerjakan warga secara bergotong-
royong. Bahan lokal seperti, wc jongkok atau wc duduk, pipa tanah (plempem) dapat menjadi industri
lokal toilet kompos dari tanah liat atau keramik yang embrionya telah ada di Canden, Bantul (Gambar
4.10).
Dorongan motivasi inovasi teknologi toilet kompos telah dicoba di Canden wujud kerja bersama
warga dengan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi (Gambar 4.11). Menurut Arntein Sherry
(1969) bahwa, puncak dari segala partisipasi warga dan lingkungan sosialnya disebut sebagai kontrol
masyarakat. Pada tingkat kewenangan ini, warga dan lingkungan sosialnya sudah memiliki derajad
kewenangan tertentu yang mampu menjamin mengendalikan institusi dan progam saling pembelajaran
dalam menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdaya-saing tinggi. Kewenangan
Pengelolaan air bersih telah mulai diangkat masyarakat sejak awal tahun 2006 dengan sebutan” Model
Penanggulangan Kemiskinan Berkelanjutan di Canden, Bantul”. Tujuan umum model ialah
penanggulangan kemiskinan dan tujuan khususnya untuk mengatasi pencemaran air tanah dari toilet,
Pengelolaan sumber air oleh masyarakat, diperlukan untuk menjamin pasokan air bersih. Pengelolaan
air untuk keperluan rumah tangga dan bahan baku jamu diintegrasikan dengan layanan lingkungan
perumahan yang lainnya. Terutama, dalam kaitan eratnya dengan sanitasi, dua hal ini dikembangkan
secara paralel. Pemilahan sampah juga telah mulai dilakukan bertujuan menjaga kualitas air,
meningkatkan kerjasama antar warga, membiasakan mengelola sampah sejak dari rumah, menjadikan
pengelolaan sampah lebih terorganisir, meningkatkan produksi pupuk organik dan keramik, di
samping lingkungan lebih bersih, sehat dan hijau (Gambar 4.14). Selain sebagai pengguna air, warga
juga diaktifkan dan difungsikan sebagai
pengelola air bersih, dengan membentuk
kelompok swadaya masyarakat di bidang air
bersih, sehingga sangat memungkinkan untuk
mengelola prasarana dan sarana air bersih
dengan wilayah pelayanan terbatas atau di
lingkungan sekitarnya. Pengelolaan air bersih
yang dilakukan oleh komunitas ini
diharapkan dapat menjamin keberlanjutan
penyediaan air bersih di lingkungannya baik
dari aspek teknis maupun non teknis.
Gambar 4.14. Penampungan sampah dapur tertutup telah Pengelolaan air oleh warga ini kuncinya pada
dicoba di Canden, sebaikya tidak dengan plastik tapi peranan perempuan penjual jamu dalam
dengan produksi lokal keramik membangun dan mengatur sistem sanitasi
yang bisa sepenuhnya mandiri, sementara
kelompok ini juga akan mampu menyediakan air dengan biaya lebih rendah. Pengelolaan air dirancang
secara lokal dan padat karya, agar tercipta lapangan pekerjaan. Potensi derasnya air terjun dari dam
Sungai Boyong yang berjarak 200 meter selain telah dimanfaatkan untuk wisata mancing dan
Pemecahan masalah air semacam ini memiliki kesempatan lebih besar untuk bisa terus beroperasi dan
dengan demikian memberikan keuntungan jangka panjang. Sementara pemecahan berteknologi tinggi
ini dapat juga macet apabila setelah terjadi kerusakan ringan pertama tak bisa diperbaiki dengan "biaya
masa siklus" (life-cycle cost) yang meliputi semua biaya untuk menjaga investasi agar tetap terawat
dan beroperasi dengan efisien. Sebagian besar pemasukan yang diperoleh dari pengelolaan air dan
sanitasi akan menjadi dana berputar, dipakai biaya masa siklus dan membantu mengembangkan sistem
semacam pada kelompok masyarakat lainnya. Selebihya dipakai membantu kegiatan pengembangan
lainnya seperti sanitasi, kandang kelompok atau jalan lingkungan.
Peran gender dalam pengelolaan air telah diawali dengan merubah perilaku dalam pembuangan
limbah, maka Dusun Kiringan, Canden, Bantul telah mempelopori Indeks Pembangunan Gender
(IPG). Kelompok pengelola air pengrajin jamu di Kiringan telah melakukan pembangunan pro-
Gender. Keterli-batan kelompok ini telah mengajak para suami dalam perencanaan dan kon-struksi
serta pengoperasian sistem air serta buangan. Dalam melaksanakan penanggulangan kemiskinan,
warga juga tidak banyak menerima usulan kegiatan yang hanya berdasarkan rendahnya biaya modal
awal, tanpa memper-timbangkan faktor penting lainnya yang berhubungan dengan keberlanjutan (sus-
tainability).
REFERENSI
Secara ringkas, terdapat tiga hal utama yang menjadi kunci Dialog Kebijakan ini. Ketiga hal tersebut
adalah:
1. Permasalah umum yangterjadi di wilayah ini;
2. Penyediaan air yang dilakukan oleh komunitas
3. Implikasi kebijakan/input.
Kesimpulan yang dapat diambil dalam policy dialog dirangkum dalam tiga bagian, yaitu Permasalahan
Mengenai Air di Yogyakarta, Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Demonstration Project, dan Implikasi
Kebijakan. Masing-masing bagian dijabarkan dalam butir-butir berikut ini:
C. Implikasi Kebijakan
• Adanya kebutuhan terhadap kemauan politik yang kuat dan konsisten untuk meyakinkan
terwujudnya air untuk semua dan MDGs 2015;
• Adanya kebutuhan terhadap perencanaan komprehensif mengenai pengelolaan air untuk
seluruh wilayah – kolaborasi antara kabupaten dan kota sangat perlu;
• “Intervensi’ pemerintah secara lebih efektif – peraturan yang lebih baik, monitoring;
• Kuncinya adalah terdapatnya keseimbangan antara “efisiensi” dan “ keadilan”
• Kebutuhan terhadap strategi inovatif untuk pembiayaan penyediaan air;
• Advokasi masyarakat dua tingkat: tingkatan akar rumput dan tingkat sistem
27
5. Hasil dan Kesepakatan yang diambil dari Dialog Kebijakan
Hasil dan kesepakatan yang diambil dari Dialog Kebijakan adalah sebagai beikut:
A. Isu-Isu Kritis
• Pilot Project “Small Community Water Supply” penting sebagai pengkayaan Tacit
Knowledge, melengkapi Explicit Knowledge.
• Air adalah hak dasar manusia dan air adalah barang sosial.
• Telah dirumuskan sasaran penyediaan air bersih di DIY dalam rangka menyongsong tahun
2015 sebagai berikut :
a. 80% untuk penduduk perkotaan.
b. 40% untuk penduduk perdesaan.
C. Kesimpulan
• Perlu dikembangkan implikasi kegiatan ini sampai pada tingkat kota (city level).
• Perlu dibangun dan dikembangkan multiplier effect dari kegiatan ini pada sektor-sektor lain
(pendidikan dan kesehatan).
• Perlu segera direalisasikan Dewan Air di Yogyakarta untuk meningkatkan pelayanan air
kepada masyarakat.
• Sistem penyediaan air bersih perlu ada keterpaduan dengan sistem sanitasi.
• Penyediaan air mandiri perlu ada kejelasan posisi terhadap sistem penyediaan air skala luas
(kota/wilayah).
• Perlu ada sosialisasi penghematan air kepada masyarakat dan sektor swasta secara intensif dan
berkelanjutan.
• Perlu ada Perda Sumur Resapan dalam rangka menaikkan muka air tanah.
• Introduksi/intervensi teknologi baru (asing) perlu ada kajian kultur lokal agar teknologi tidak
ditolak masyarakat.
• Perlu dicari dan dikembangkan teknologi tepat guna dan murah untuk pengelolaan air dan
sanitasi.
• Perlu ada transformasi dan pembaharuan di tingkat pikiran menjadi gerakan sosial bagi
perubahan. Perlu peran total masyarakat.
29
• Perlu ada pendekatan kultural dan komunikasi dalam perubahan/peningkatan pelayanan
penyediaan air bersih dan sanitasi.
ANNOUNCEMENT
Policy Dialog on
Planning and Management of Small Community Water Supply of Yogyakarta
May 20, 2006
Yogyakarta, Indonesia
1. BACKGROUND
This policy dialog is being held by CIDA-AIT Partnership SEA-UEMA Project of the Asian Institute
of Technology in collaboration with the Graduate Program in Urban and Regional Planning, Gadjah
Mada University (GMU), Yogyakarta, Indonesia. It aims to understand the problems of the urban and
suburban areas of the city in particular and other provinces and states of Indonesia. The one-day
workshop shall be held in Bahasa Indonesia language primarily to discuss policy implications of the
demonstration project, good practices in community water supplies, national strategies and policies,
and local practices. This should enable the establishment of framework for translating community
water supply policies and strategies into the implementation level.
33
2. OBJECTIVES
The policy dialog event shall be held on May 20, 2006 at Yogyakarta, Indonesia.
4. TOPICS
The policy dialog shall cover problems and policy strategies of small community water
supply. Presentations and discussions shall be organized as follows:
• National policy on community water supply and its problems in Yogyakarta;
• Current status of community water supply in Yogyakarta and strategies;
• Good practices of small community water supply and lessons learned;
• Policy implementations coming out of the good practices in the precincts of the city; and
• Translating of policies into implementation level by city authorities.
5. PARTICIPANTS
6. TENTATIVE PROGRAM
The tentative program shall be announced once it is finalized by the organizers, the Asian
Institute of Technology (AIT) and the Graduate Program in Urban and Regional Planning, Gadjah
Mada University (MPKD UGM), Yogyakarta, Indonesia.
7. TENTATIVE OUTPUT
8. REGISTRATION
9. SPONSORSHIP
SEA-UEMA Project shall provide per diem for all the local participants and the most
economic roundtrip and accommodation to invited outstation resource persons.
10. ORGANIZERS
Gadjah Mada University (UGM) Yogyakarta is the biggest university of Indonesia in terms of student
population. As the oldest university started in 1946, it has 18 faculties ranging from social sciences to
engineering. It caters to the educational and research activities in the country. UGM is a centre for
planning as well as technology and management training producing graduate students with strong
professional skills and capable of making remarkable contribution for the modernization of the
country in general and the province of Yogyakarta in particular. UGM’s Graduate Program in Urban
and Regional Planning has been carrying out several research and application project activities in the
city and other provinces of Indonesia in collaboration with local environmental agencies and
international organizations. More information on UGM is available from http://www.ugm.ac.id or
http://mpkd.ugm.ac.id.
11. COORDINATORS
Dr. Nowarat Coowanitwong, ARL Component Coordinator, SEA-UEMA Project, AIT; and
Dr. Sudaryono, Lecturer, MPKD UGM
Dusun Kisik posisinya cukup terpencil, berada di lembah Sungai Progo memanjang dari arah utara ke
selatan. Sebagian besar penduduk dusun Kisik bermata pencaharian sebagai bertani mendong
sedangkan jumlah PNS kurang lebih hanya sepuluh orang. Sampai dengan saat ini, petani mendong
hanya sebagai produsen dan belum mampu mengolah bahan baku tersebut sehingga memiliki nilai jual
yang lebih tinggi.
Wilayah ini sangat tergantung kepada daerah lain dalam pemenuhan air bersih. Warga tidak membuat
sumur karena struktur tanahnya berpasir sehingga sulit digali. Untuk memperoleh air bersih, sumur
harus digali sedalam 20 meter. Biaya pembuatan sumur yang besar tidak mampu dicapai oleh sebagian
besar penduduk.
Pada tahun 1970-an warga memanfaatkan mata air rembesan dari dusun terdekat. Air tersebut
disalurkan ke rumah penduduk dengan menggunakan selang.
Tirta Rahayu, unit usaha pengelolaan air Dusun Kisik, dimotori oleh beberapa pihak yaitu Bapak
Dukuh, Ketua RW, dengan Bapak Jo dan Pak Geni sebagai volunteer dari USC atau LSM Satu Nama,
serta seluruh partisipasi masyarakat. Awalnya, sebelum ada Tirta Rahayu, penduduk mengambil air di
Kali Progo untuk berbagai macam keperluan rumah tangga, namun semakin lama kondisi kualitas air
sungai mulai tercemar apalagi setelah banyaknya penjaring ikan yang menggunakan racun.
Sebenarnya pada waktu sebelumnya, pemerintah telah beberapa kali membangun bak penyalur air,
namun karena dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dilibatkan, maka hasilnya pun kurang sesuai
bagi penduduk Kisik sendiri.
Dana bantuan yang diberikan sebesar Rp.123.442.500,- atau sebesar 92,34% dari dana anggaran yang
diajukan di proposal. Sedangkan besar swadaya masyarakat adalah sebesar Rp.10.800.000,- dimana
swadaya masyarakat termasuk tanaga dan konsumsi yang merupakan asas gotong royong warga.
Sedangkan pekerja yang dibayar adalah teknisi yang besar bayarannya sama dengan upah mencangkul
yaitu sebesar Rp.20.000,-/hari.
37
C. PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
Dalam pelaksanaannya, Dusun Kisik dengan panjang wilayah kurang lebih 2 KM dibagi
menjadi dua blok yaitu RW.01 dan RW.02. Pekerjaan pertama dikerjakan pada bulan Agustus yaitu
membangun bak sumber air di RW. 02. Pada saat itu RW.01 belum bisa dibangun karena masih ada
pekerjaan pengaspalan. Pada bulan September, RW.01 mulai membuat beberapa bangunan bak sesuai
dengan kesepakatan di proposal. Seluruh pembangunan yang terdiri dari 2 bak penampungan dan tujuh
bak yang dibagi untuk distribusi selesai pada tanggal 26 Januari 2006. Dalam pengerjaan
pembangunan fisik ini, biaya dapat ditekan karena batu dan pasir yang digunakan untuk membangun
tersedia di Dusun Kisik sendiri, sehingga tidak perlu membeli. Selain itu, tidak diperlukan biaya untuk
pekerja karena semuanya dikerjakan secara gotong royong oleh masyarakat setempat pada hari
minggu, secara terjadwal.
Ada dua mata air yang dipergunakan oleh Tirta Rahayu, yaitu di mata air di Dusun Minggir 3, RW.01
dan mata air di Dusun Nalan, di atas tanah kas desa di RW.02. Pada saat ini pengelolaan air oleh Tirta
Rahayu telah mengaliri 135 KK, atau kurang lebih 605 jiwa. Pelanggan membayar beban meteran tiap
bulannya sebesar Rp.1000,-/ pelanggan, ditambah Rp. 200,-/m2 air yang dikonsumsi.
Untuk pengelolaan kegiatan Tirta Rahayu, dibentuk pengurus yang berasal dari masyarakat Dusun
Kisik sendiri. Untuk merumuskan berbagai kebijakan diadakan Rapat Anggota Tahunan.
Peran serta kaum wanita juga dapat dirasakan. Tidak lepas dari kesadaran bahwa proyek ini adalah
untuk kepentingan bersama, para ibu-ibu tidak ragu untuk membantu di lapangan, baik mengangkat
pasir dan batu, turun ke sungai, serta turut terlibat dalam kepengurusan.
REFERENSI
Kompas 2 Maret 2006 dan hasil workshop pengelolaan air bersih, diselengarakan dalam kaitan
Alumni Demonstration Project – Water Supply for Small Community of Yogyakarta tanggal,
23 Maret 2006
14-08-2005
(Kecamatan Sumbul, Kab. Dairi, Prop. Sumatera Utara, Indonesia)
Program dimulai dengan kegiatan promosi di gereja-gereja di sekitar Kecamatan Sumbul. Setelah
berhasil menarik perhatian warga yang saat itu memang mengalami krisis air bersih, LSPL meminta
kelompok-kelompok warga untuk memilih kadernya sendiri untuk dilatih lebih lanjut.
Para kader kemudian mengorganisir komunitas untuk membangun sarana air bersih masing-masing.
Mekanisme, desain, dan budget pembangunan sarana diserahkan pada masing-masing kelompok
sesuai karakteristik lingkungannya Ada yang kemudian membangun sarana air bersih dari air tanah,
ada pula yang menggunakan air irigasi yang disaring. Separuh dana pembangunan dibebankan pada
masyarakat yang mengumpulkannya secara gotong royong, dan pengerjaannya pun dilakukan oleh
masyarakat sendiri.
39
Sampai saat ini sudah terbangun 8 sarana air bersih yang masing-masing menghidupi sekitar 80 – 140
Kepala Keluarga. Selain untuk minum dan MCK (Mandi, Cuci dan Kakus), sarana air bersih yang
terbangun juga mendorong ekonomi keluarga petani hortikultura. Sejumlah petani menggunakannya
untuk mencuci hasil pertaniannya.
Kendala yang masih dihadapi adalah penggunaan air irigasi yang disaring sebagai sumber sarana air
bersih. Terdapat kekhawatiran atas adanya dampak pestisida serta kuantitasnya yang relatif rendah.
Lembaga Studi Pemantau Lingkungan (LSPL) adalah anggota Koalisi untuk Indonesia Sehat yang
berkedudukan di Medan, Sumatera Utara.
Informasi dan keterangan lebih lanjut mengenai LSPL, silakan hubungi:
Lembaga Studi Pemantau Lingkungan
Sekretariat : Jl. Sembada XIII No.6 Kompleks Koserna Padang Bulan - Medan 20133
Sumatera Utara – Indonesia
Telpon/ Fax (061) 820 6088
[Rahmi - Koalisi untuk Indonesia Sehat, Jakarta]
REFERNSI
When USC-SATU NAMA helps communities to construct drinking water system in poor villages in
Indonesia, it knows there will be an impact beyond simply providing water. There are benefits to
health, nutrition, education and wealth which combined help to empower people in the village.
This is a brief description of the impact on Ibu Mari, her family and community following the
successful completion of a drinking water system at Lamakukung vilage on Adonara Island, NTT.
This is a village of 78 households and a population of about 550.
Ibu Mari says it’s hard to remember that only a year ago she needed to walk 1 kilometre to the spring
every morning to fetch water. At the spring she (often with her children) would have to wait her turn
while other women filled their various containers. Often there were disputes among the women about
their place in the queue and this added to the overall unpleasant experience.
And the result of the trip to the spring was barely enough for drinking and cooking food. Two of her 3
children went to school without being washed properly and in clothes that were not always clean. The
third child was only newly born and it was a constant struggle to keep her clean and contented. Her
husband worked their farm land but without the energy to ensure sufficient harvests. The general
health of the family was not good, due also to the fact they had no proper toilet facilities which
promoted disease.
Now water is piped to the village and Ibu Mari shares one of the 7 public taps with 11 other families.
Water is still limited in the dry season but the village has a good management system that ensures an
equitable sharing arrangement. The availability of water has enabled the following at or near the
house: year round vegetable production using waste water, a toilet/washing facility, reduction in
household help and small scale brick production.
41
There has also been improved sustainability of the environment and improved administration of
village affairs.
Ready access to drinking water provides one of the keys to unlocking the potential within individuals,
families and communities.
REFERENCE
_______. 2005. Impact Drinking Water. USC-SATUNAMA newsletter, No. 1 Dec 2005.
Egypt is a socialist and democratic country that is currently moving towards a more market-oriented
system. The water supply and sanitation (WSS) sector has a high priority. In spite of the huge
investments, full benefits have not been achieved in qualitative as well as quantitative terms. As
highlighted in MOHUUC's report "The water and wastewater services suffer from many problems,
which have resulted in a low level of efficiency, thereby affecting the level of service provided to the
citizens".
Aswan Water and Sanitation Authority (AWSA) was established in 1995 by Presidential Decree 281.
It gives AWSA the autonomy to be an independent organisation. However, centralised decision
making on tariffs and staff regulations make the authority financially and thus otherwise dependent on
the government.
The project objective is to strengthen the AWSA's institutional capacity to provide sustainable, cost-
effective services by strengthening management and introducing a demand responsive approach as
part of the strategy to become a customer oriented water authority with improved customer relations.
The Danida sponsored implementation period of 2 years (2001-2002) is seen as a pilot phase for the
upcoming Sector Programme for Water Supply and Sanitation in Egypt.
The project approach is to 1) improve customer relations through, among other activities, cooperation
with NGO's , 2) introduce a demand responsive approach 3) introduce consumer payment towards
technical rehabilitation, 4) be guided by AWSA policies, guidelines and procedures.
The main lessons learnt to date are that 1) NGOs are willing and capable of taking up WSS
responsibilities, 2) Decentralisation of management and community participation within an existing
water authority and hierarchical society is a long term step by step process that involves all levels from
national to community level, 3) Introduction of a demand responsive approach and community
management of water supplies in a semi-urban context is possible but it is a long-term process as it
requires a change in government and water authority policies, practices and legislation. 4) Consumers
expect improved services for their payment towards capital technical investments. This requires that
all factors affecting the sustainability of customer services: operation and maintenance, financial
management, appropriate quality technology and overall management are addressed at the same time.
Lessons learnt
• NGO's are -according to the survey- willing to take up water supply and sanitation
responsibilities and -according to experience - capable of doing so
• Decentralisation of management and community participation within an existing water
authority and strong hierarchical society is a long term process step by step process that
involves all levels from national to community level
• Introduction of a demand responsive approach and community management in a semi-urban
context within an existing water supply situation and institution is possible but it is a long-
term process as it requires a change in government and water authority policies and practices.
43
In future a water authority could be responsible for the production of drinking water and
distribution system up to the branch of the communities whilst the communities are
responsible for the network system from the branch including the collection of funds and
payment for the delivered water
• Consumers expect improved services for their payment towards capital technical investments.
This requires that all five sustainability factors be addressed at the same time
REFERENCE
Yanthooko is situated in Kenya: It is 150 kilometres east of Nairobi, 10 Km off the tarmac Machakos-
Kitui road, turning left at Makutano, leading to the Mavala market. Yanthooko has Kivandini as its
shopping centre. The area is generally flat sloping gently eastward.
Traditionally the people of Yanthooko get their water from dry river beds. Each family scoops a hole
in the river bed into which water sips from the surrounding sand. These water holes are sometimes
deep, over 3 meters especially during prolonged droughts. When rains comes these holes are filled
with sand. Separate holes are made for drawing water for domestic use and a separate one for draining
water for animals (livestock).
Pigeon peas, beans and maize are the main food crops, while mangoes and paw paws are common.
The predominant tribe here are the Akamba. The language is Kikamba. The community is very
receptive of new ideas and is very cohesive. The Yanthooko village has two women groups: the St.
Martha women group and the Itibo group, which correspond to two areas in the village.
The group expected that the Participatory Action Research (PAR) was a donor to assist with physical
development, a notion they still hold and hope that one day it will be true, a hope that is likely to be a
big disappointment despite frequent awareness that PAR was not designed for physical development.
45
3. THE WOMEN'S GROUP
The St. Martha women group are an active women's group, eager and ready to try new
innovations. This explains why they have been able to attract some donors and received assistance for
the shallow well, water jars, VIP latrines and ferro-cement tanks. However, the group has not
formulated guidelines, and procedures for operations. At the same time, the group is highly inclined to
dependency, even on issues they can handle themselves.
For example, the group had planned to buy a plot on which to build an office. The total estimated cost
was Kshs. 26,000 only. But the research team noticed that every time it came to the community, meals
worth 2500 were served, which means that only 10 visitors were enough for this community to spend
the equivalent of what they needed for their plot. Whereas there is nothing wrong with entertaining
visitors, there is everything wrong with spending on visitors without contributing to the group's main
objective of establishing an income generating project and hoping that a visitor will one day come who
will provide them with money to buy the plot. The research team discussed this anomaly with the
group and agreed that on a monthly basis each member would contribute Kshs. 20 towards the
purchase of the plot and within 6 months enough funds had been raised to pay for the plot. Plans are
underway to construct a house and install a posh mill on the plot. It is worthwhile to note that
entertaining visitors is one way by which the group members maintain group contact and dynamism.
The community was receptive and willing to learn and work together with the PAR Team. The gender
balance in the PAR Team has positively contributed to the PAR Team being accepted by this women's
group. It also made it easier for the PAR Team to participate in the activities of the women group like
singing, serving means and occasionally working with members on their own household chores like
ploughing with oxen.
The village walk, village map, transects, semi structured interviews, pairwise ranking were used in
Yanthooko. Triangulation was used to verify and prioritise issues. Group discussions were especially
favoured by the women group. During exchange visits, village maps were drawn and discussed. By
explaining to their peers, the Yanthooko group discovered the limitations of their management. This
was particularly helpful and the various segments of the community received feedback from the other
community segments, thus helping develop a common perspective and obtaining consensus. The rope
exercise showed the community the need for dialogue and unity. The local research assistants (bell
ringers) have provided useful support to the office bearers especially to the secretary and the treasurer.
The group members now appreciate the need to contribute ideas to the management of the water
supply.
In the past records were poorly kept and not shared. The accounts were not audited. In Yanthooko
only one person kept both financial and secretary's records as the women shied away from this
responsibility, mainly because they felt insecure accounting. Now, knowing that their primary
accountability is to the local community who are not highly knowledgeable as themselves, the
secretary and the treasurer have accepted their challenge. Practical skills were provided through PAR
training. Records are available to members on request and regular sharing of information is becoming
a common practice as opposed to the past where leaders kept information to themselves.
This has enhanced confidence and members are contributing money willingly. The Secretary now
keeps minutes of meetings and shares this with the relevant organs. Meetings are called by way of
letters, and an agenda is clearly defined, shortening the meeting time. This has greatly improved
attendance of meetings. One aspect that the Secretary needs to improve on is the ability to speak in
public.
The Yanthooko Group has reviewed their constitution, discussing it with the members for approval.
Further, the group now works in accordance to the approved rules and regulations, making monitoring,
and accountability much easier. The roles and responsibility have been sufficiently delineated in
respect to the committee and the community.
Due to is proximity to Nairobi, Yanthooko has served as a community ‘example’ where PAR is
working. Many visitors have visited Yanthooko, including external institutions. Yanthooko has also
participated in a study on traditional resource management and governance.
CONTACT
In Kenya, the Participatory Action Research was undertaken by the Network Centre for Water and
Sanitation (NETWAS) in Nairobi. For questions and remarks, please contact Isaack Oenga
(netwas@nbnet.co.ke) of NETWAS
REFERENCE
The Dona Flávia Experience: A Case Study on a Community Managed Water Project
Water supply and sanitation is a priority need of Barangay Doña Flavia, the most populated barangay
of the municipality of San Luis in Agusan del Sur, in the Philippines. The area is strategically located
such that it is also considered as the commercial center of the municipality. It used to be a logging area
but when abandoned, the watersheds had already been devastated. Before the project started, there
were only eight units of shallow wells that could be depended on for potable water. Another 16 units
of shallow wells dot the area but the water generated from these wells is considered unsafe.
The shallow wells have been generated through grants from the politicians and other benefactors of the
barangay. A few wells are privately owned. However, the number of existing wells are not sufficient
to meet the needs of a growing commercial center. Furthermore, the approach of providing the water
supply facilities without community organization and mobilization has not been efficient and effective
as the water projects could not be sustained. Improvements in sanitation are also required to have the
necessary impact on the health status of the project beneficiaries.
The situation in Doña Flavia is common in several barangays in the country. A carefully planned
demonstration project that is very creative, gender sensitive and highly participatory with high
potentials for sustainability should be able to present a viable option for national and local
governments on how community-based water and sanitation (watsan) projects should be implemented.
The objective of the project was to build capacities not only at the community level but at the
municipal and provincial local government units and to ensure that a support system would be in
place.
In this project, the local government units of the province of Agusan del Sur and the municipality of
San Luis have both been very active in supporting this demonstration project. The Philippine-Canada
Local Government Support Program and the Philippine Center for Water and Sanitation - International
Training Network Foundation assisted in the process of building local capacities of the stakeholders. A
total of 2,687 people or 429 households were expected to benefit from increased access to safe water
supply.
49
1. BACKGROUND INFORMATION
The general health status of the population of the province in 1995 was relatively poor compared with
the national condition. The incidence of diseases was higher in Agusan del Sur than the Philippines as
a whole. Four out of the ten leading causes of morbidity are water-related diseases such as diarrhoea
(rank 3rd), gastro-enteritis (rank 8th), intestinal parasitism(9th) and schistosomiasis (10th). Malaria,
diarrhoea and typhoid also ranked 4th, 6th and 9th as the leading causes of mortality. Diarrhoea (rank
2nd) and viral hepatitis (6th) are among the ten leading causes of infant mortality.
Agusan del Sur is a Social Reform Agenda province. The Social Reform Agenda is a group of the 19
poorest provinces in the Philippines. Its economic potentials remain underdeveloped and it is
prioritised for national government assistance.
The municipality of San Luis is considered one of the river towns of the province of Agusan del Sur. It
is a municipality with 25 barangays, two of which are urban and the rest rural.
This indicates that much still needs to be done in terms of addressing access to water supply in rural
areas. While substantial investments have been made in the past to construct new facilities at the
barangay level, most of these turned out to become underused or non-functional for a variety of
reasons.
The roles of the actors were based on a proposal that the PCWS developed for the Philippines-Canada
Local Support Programme funding. It was subsequently approved by all parties prior to the signing of
the agreement. This is in accordance with the framework that the PCWS is proposing on an local
government assisted community managed watsan program.
The provincial local government unit, through the Provincial WATSAN Center, was responsible for
the following:
• provision of technical assistance and counterpart resources in the hardware component when
required;
• local supervision of the Municipal Focal Persons;
• provision of Center personnel who were trained as co-trainers for the community trainings;
• assistance in the implementation of the community trainings (some resource persons, and
materials); and
• participation in all project meetings.
The municipal government of San Luis, through its Municipal Planning and Development Office
was primarily responsible for the following activities:
• the design and construction of the hardware (water supply and sanitation);
• local supervision of the community facilitators;
• provision of water and sanitation focal persons who could be trained as trainers for the
community trainings;
• implementation of the community trainings;
• provision of full time watsan community facilitators, including salaries;
• participation in all project meetings; and
• provision of administrative and logistical requirements of the community workshops (venue,
counterpart food, invitation and some resource persons).
The PCWS-ITNF, a non-government organization specializing in water supply and sanitation, was
responsible for:
• the conduct of the project orientation workshop;
• the training of local facilitators;
• the conduct of training preparation workshops;
• the general monitoring and supervision over project documentation;
• the conduct of participatory evaluation workshop;
• being accountable to Philippines-Canada Local Support Programme for the entire conduct of
the project (including reporting and financial management) and
• taking a lead role in project meetings.
The community water association, Doña Flavia Water Supply and Sanitation Association which was
formed during the project period, is ultimately responsible for the following:
• efficient functioning of the water system (spare parts, special skills and equipment);
• optimal utilization of system;
In considering the Barangay Doña Flavia watsan project, the decision makers took into consideration
the following (rather politically oriented) criteria: the number of population expected to benefit from
the project, the reliability of the source and the accessibility of the project site. Furthermore, Doña
Flavia was considered a growth center of San Luis and its proximity to the government center makes it
a good venue to showcase a demonstration model.
While a budget of about 500,000 Philippine pesos was allocated for the water supply infrastructure,
there was no clear budget for capacity building activities for water supply. The human resource
development budget was for all the municipal programs, including water.
Since the budget for the infrastructure component was readily available, the municipal government
contracted a private firm, RIBSON Construction, to develop and install the water system. All the
while, not all the members of the community were aware that a water system was being developed in
their area. Only those who were in the perimeter of the working area knew, but were not significantly
involved in any way.
The Municipal government of San Luis, also sought assistance from the Provincial Water and
Sanitation Center for their capability building component. This in turn was endorsed by the province
to the Local Government Support Program which, in due time, indeed contracted PCWS-ITNF to
assist in the project.
A series of activities was fast tracked in order to make sure that prior to project turn-over to the
community, a viable community-based water supply and sanitation association was in place to assume
responsibility, authority and control over the water supply system. A training on community
The trained municipal team, together with the PCWS-ITNF staff oversaw the process of building the
community organization, taking into close consideration the empowerment of the disadvantaged
groups in the communities such as women. The process included the development of knowledge,
attitudes and skills of the chosen leaders so that they will have the confidence to take a lead role in
ensuring the sustainable, efficient and effective operation of the water systems. This resulted in the
formation of the Doña Flavia Water Supply and Sanitation Association.
The various activities, consultations and dialogues that were held served as the venue for gender-fair
community empowerment. Both men and women had equal opportunity to express their opinions on
the various stages of the project. A case in point was the concern of Dona Flavia Association over the
sloppy performance of the contractor. When it was clear to them that the municipal government was
willing to surrender its major stake over the water system in favor of the community association, the
Association questioned the location of the source pipe and the size/type of the pump that the contractor
was already installing. The project was suspended pending a consultation meeting where the
stakeholders were present. During the consultation meeting that followed, the issues were raised by the
women and supported by the men members of the board and the relevant points for decision making
were put on the table. The municipal government sincerely sought the consensus of the community
before proceeding with the project because it was emphasized that community acceptance was a
critical factor for project sustainability.
In 1999, two documents were prepared by the Provincial Water and Sanitation Center. These
documents now form part of the framework of how water and sanitation projects are to be
implemented in the province and in the municipalities. The executive order for a municipal level water
and sanitation team and implementing rules and regulations for a municipal level water and sanitation
team and the executive order for the provincial water and sanitation center or unit.
This kind of institutional framework is now being considered in other watsan projects of the
government. The Provincial Water Supply and Sanitation Master Plans of various local government
units assisted by JICA to develop their master plan incorporated recommendations for other provinces
to set-up their own watsan centers or Provincial Water and Sanitation Units.
The advocacy to create a municipal wide federation is also underway. The first consultation meeting to
explore the idea and generate support was attended by representatives of the different water and
sanitation associations in San Luis which are now managing water systems and are taking off from
lessons learnt from the Doña Flavia experience.
Officers should not hold the same positions for a very long time. Also, paid jobs in service operation
and management are created wherever possible and reliance on volunteer labour is reduced or
eliminated. Technology is kept very simple to maintain and repair, where possible, with a reliable
Cost recovery is organized through the collection of water tariffs paid by the users themselves. This is
primarily designed for the operation and maintenance of the water system. The ta pstands are metered
and water rates are applied based on the meter readings. To date, they have a high collection efficiency
(97%) and they have purchased a generator to enable them to operate the pump even in the absence of
power supply from the electric cooperative. The Dona Flavia Association board has designed the
annual budget (expected costs which includes fixed costs - staff, Board honorariums- and variable
costs) and have conducted public hearings to explain costs and get approval for water rates.
The indicators of the community managed water and sanitation services are:
• Effectively sustained functioning system/service with effective financing and management.
• Effective use manifested by safe and environmentally sound use.
• Demand-responsive service.
• Division of burdens and benefits.
5. CONCLUSION
The newly formed community association was regularly monitored and supervised by the
municipal local government and the PCWS-ITNF. The efforts invested in developing a demonstration
project has since been replicated in eight other barangays in San Luis where water projects were being
developed. The municipal administration chose to prioritize the provision of basic water services and
has tried to replicate the community management model for new water projects. The officers and key
actors in the Doña Flavia association are now being tapped as “big brothers” as they are regarded as
providing a good model. They are now assisting the municipal government in setting up community
management systems for water supply projects in other barangays. These barangays include Doña
This initiative has been recognized as effective and would later pave the way towards the formation of
a municipal federation of barangay waterworks and sanitation associations. The federation was
organized to serve as a forum for the board members in seeking the necessary assistance from the
government and private entities for their common welfare and to oversee the sustainability of the
community managed water systems.
The provincial government of Agusan del Sur also contributed significantly in the process. It has
closely monitored and supervised the municipal government in their activities. It also provided the
resource persons for some of the trainings and assisted in resource mobilization by providing some
pipes to augment the resources at the municipal level.
REFERENCE
_____. Community Water Supply Management.
http://www2.irc.nl/manage/manuals/cases/donaflaviacs.html (accessed May 15, 2006, 16.52)
A. PEMERINTAH DAERAH
Widodo Agus Juari
Bappeda Kabupaten Kulon Progo Dinas Kimpraswil
Komplek Gedung Kaca, Alun-alun Pemda Jl. Bumijo No. 5
Jl. Perwakilan No. 1, Wates Yogyakarta
Telepon : 0274 - 773247 Telepon : 0274 - 516529
Fax. : 0274 - 773247 Fax : 0274 - 516829
59
D. Soenardi Yogantara
WPL CCE
Bj. Buah-Bandung
Telepon : 0812 205 7966
Fax. : 022-5417344
Email : yogantara@uplcitarum.org
B. CBO/NGOs
Totok Pratopo FX. Ekonugroho P
Forum Masyarakat Code Utara (FMCU) UAB Tirta Kencana
Jetisharjo JT II/519 Yogyakarta Jetisharjo JT2/549 B
Telepon : 0274 - 511168 Telepon : 0818 0278 2679
Sumaryanto
UAB Tirta Kencana
Jetisharjo JT2/468
C. RESOURCE PERSONS
Prof. Dr. Ir. Sudjarwadi, M.Eng Prof. Ir. Budhy Tjahjati, MCP
Wakil Rektor Bidang Akademik Urban and Regional Development Institute
Gedung Pusat UGM (URDI)
Telepon : 0816 680 889 Wisma Bhakti Mulya Suite 302, Jl. Kramat
Email : wrppm@ugm.ac.id Raya No. 160, Jakarta 10430
Telepon : 0811 84 0086, 021-3918485
Fax. : 021-31903476
60 Daftar Peserta
D. AKADEMISI/PENELITI
Anastasia Yunika Joko Suryono
Fakultas Teknik MPSA
Universitas Atma Jaya Yogyakarta Teknik Sipil UGM
Jl. Babarsari No. 44 Yogyakarta Telepon : 0812 26 931 92
Telepon : 0813 16 382 987 Fax. : 0274 - 519788
Fax. : 0274 - 487748 Email : jsuryono@tsipil.ugm.ac.id
Email : anasyunika@yahoo.com
E. PENGAMAT
Dr. Bondan Hermanislamet Bambang Hari Wibisono, Ph.D
Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Magister Perencanaan Kota dan Daerah,
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281 Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281
Telepon : 0274 - 580095 Telepon : 0811 292 066
Fax. : 0274 - 580852 Fax. : 0274 - 580852
Email : bondh24@yahoo.com Email :-
Retno Widodo Dwi Pramono, ST, M.Sc Ir. Didik Kristiadi, MLA, MAUD
Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Magister Perencanaan Kota dan Daerah,
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281 Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281
Telepon : 0274 - 580095 Telepon : 0274 - 580095
Fax. : 0274 - 580852 Fax. : 0274 - 580852
Donny Mayawati
Mahasiswa MPKD UGM Pemda Sleman
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281 Telepon : 0813 28 777 220
Email : tari_maya@yahoo.com
Daftar Peserta 61
Hendro M Ridwan Botji
Mahasiswa MPKD UGM Mahasiswa MPKD UGM
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281 Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281
Telepon : 0812 502 5631 Telepon : 0815 247 75499
F. ORGANIZING COMMITEE
Dr. Ranjith Perera Prajapati Shapkota
Director Project Associate
SEA-UEMA Project, UEM-SERD SEA-UEMA Project, UEM-SERD
Asian Institute of Technology Asian Institute of Technology
P.O. Box 4 , Klong Luang P.O. Box 4 , Klong Luang
Pathumthani 12120 , Thailand. Pathumthani 12120 , Thailand.
Telepon : +66 - 2 – 524 5619 Telepon : +66 - 2 – 524 8342
Fax. : +66 – 2 – 524 8338 Fax. : +66 – 2 – 524 6380
Email : ranjithp@ait.ac.th Email : shapkota@ait.ac.th
62 Daftar Peserta
Henrika Retno Tyas Arum, ST, M.Sc Marinda Frida Anjasari, SE
Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Magister Perencanaan Kota dan Daerah,
Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281 Jl. Grafika No. 2 Yogyakarta 55281
Telepon : 0274 - 580095 Telepon : 0274 - 580095
Fax. : 0274 - 580852 Fax. : 0274 - 580852
Email : rika_sts@yahoo.com Email : frida_mpkd@yahoo.com
Daftar Peserta 63
Dialog Kebijakan Perencanaan dan Pengelolaan Penyediaan Air Bersih untuk Masyarakat
Kecil, di Yogyakarta Indonesia
Southeast Asia Urban Environmental Management Graduate Program in Urban and Regional Planning
Applications (SEA-UEMA) Project Gadjah Mada University
Urban Environmental Management Field of Study Jl. Grafika No 2, Yogyakarta 55281, Indonesia
School of Environment, Resources and Development
Asian Institute of Technology Tel: +62-274-580095
P. O. Box 4, Klong Luang Fax: +62-274-580852
Pathumthani 12120, Thailand
Website: www.ugm.ac.id or http://mpkd.ugm.ac.id
Tel: +66-2-524 5777
Fax: +66-2-524 8338 / 6380 Publikasi ini diselenggarakan dengan dukungan
E-mail: uemapplications@ait.ac.th financial dari Pemerintah Kanada yang disediakan
melalui Badan Pembangunan Internasional Kanada
(CIDA).