Anda di halaman 1dari 14

ARTIKEL PENELITIAN

EFEKTIVITAS OPERASI HIDUNG TERHADAP GEJALA PSIKOLOGIS


PADA PASIEN DENGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA DAN
OBSTRUKSI NASAL

ABSTRAK
Kesimpulan
Obstruksi hidung dapat memperburuk status psikologis pasien OSA, dan operasi
hidung semestinya dapat mengurangi penderitaan pasien. Pembedahan hidung
secara signifikan meningkatkan latensi tidur dan memperbaiki beberapa
karakteristik polisomnografi.
Latar Belakang
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki status psikologis pasien dengan
obstructive sleep apnea (OSA) dan obstruksi hidung dan untuk mengevaluasi efek
operasi hidung pada gejala psikologis dan parameter polisomnografi (PSG) pasien.
Metode
Penelitian ini dirancang sebagai studi banding prospektif. Studi ini membandingkan
30 pasien (semuanya pria) dengan sumbatan hidung dan 30 pasien yang sesuai
tanpa sumbatan hidung menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan
Symptom Check List 90 (SCL-90). Semua pasien sebelumnya telah didiagnosis
dengan OSA (Apnea Hypopnea Index [AHI] 5 peristiwa / jam) melalui pemeriksaan
polisomnografi sepanjang malam. Obstruksi hidung dinilai menggunakan skala
analog visual (Visual Analogue Scale/VAS). Pasien dengan obstruksi hidung
menjalani operasi hidung, dan berat badan mereka, VAS, karakteristik PSG
nokturnal, dan gejala psikologis pada awal dan 3 bulan setelah operasi
dibandingkan.
Hasil
Pasien OSA dengan obstruksi hidung menderita latensi tidur yang lebih lama secara
signifikan pada PSQI serta skor somatisasi dan kecemasan yang lebih tinggi pada
SCL-90 dibandingkan subyek tanpa obstruksi hidung (p<0.05). Gejala obstruksi
hidung membaik secara signifikan setelah operasi (VAS menurun dari 6,18-1,85
menjadi 1,87-1,76, p<0.01). Penilaian juga menunjukkan penurunan berat yang
signifikan (dari 84,60  11,30 kg menjadi 82,27  9,87 kg, p<0.05) antara nilai pra-
operasi dan pasca-operasi. Meskipun ada pengurangan yang signifikan dalam AHI
(dari 49,67  19,49 / jam menjadi 43,07  21,86 / jam, p<0.01) dan peningkatan
yang signifikan dalam saturasi oksigen terendah (LSpO2, dari 73,83  8,49%
menjadi 75,97  9,86%, p<0.05), hanya 23,3% pasien yang mencapai respons
operasi hidung yang memenuhi kriteria Sher. Pengurangan yang luar biasa diamati
pada skor latensi tidur, skor disfungsi siang hari pada PSQI, skor kecemasan dan
antipati, dan jumlah gejala positif pada SCL-90. Ada korelasi positif yang kuat
antara skor total PSQI dan beberapa gejala psikosomatis pada SCL-90 (p<0.05),
termasuk sensitivitas antar-pribadi, depresi, antipati, ide paranoid, psikotik, indeks
gejala global, dan jumlah gejala positif (r>0.3, p<0.05).
PENDAHULUAN
Sebagai aktivitas fisiologis dasar, tidur memainkan peran penting dalam
efisiensi kerja, pengambilan keputusan, dan pemikiran kreatif, yang terkait erat
dengan kesehatan mental individu. Obstruksi multi-level pada anatomi manusia
sering terjadi pada pasien dengan kebiasaan mendengkur dan obstructive sleep
apnea (OSA). Obstruksi hidung diketahui berkontribusi terhadap OSA karena
rongga hidung berkontribusi satu setengah hingga dua pertiga dari total resistensi
jalan napas. Selain itu, penelitian telah menemukan bahwa penyakit radang kronis
rongga hidung dan sinus dapat secara serius mempengaruhi keadaan mental pasien.
Oleh karena itu, kami berusaha untuk mengkonfirmasi apakah pasien OSA dengan
penyumbatan hidung dikaitkan dengan gejala sisa yang lebih mengarah kepada
psikologis. Operasi hidung biasanya dilakukan untuk mengubah kelainan struktural
pada pasien OSA yang mengeluhkan sumbatan hidung. Studi ini membandingkan
status psikologis pasien OSA dengan obstruksi hidung dengan pasien OSA tanpa
gejala pada hidung dan menyelidiki kemanjuran operasi hidung untuk
meningkatkan gejala psikologis dan parameter polisomnografi (PSG).

METODE

Subjek
Penelitian ini adalah penelitian prospektif dan paralel. Subjek penelitian
adalah 30 pasien pria dewasa yang dirujuk ke Departemen THT, Bedah Kepala dan
Leher, Rumah Sakit Tongren Beijing, Universitas Kedokteran Capital, Tiongkok,
antara 1 Oktober 2013 hingga 1 Mei 2015. Kriteria inklusi adalah (1) Lebih tua dari
18 tahun ; (2) Keluhan obstruksi hidung lebih dari 6 bulan dan skor obstruksi hidung
lebih besar dari 3 menggunakan skala analog visual (VAS); (3) Keluhan gejala OSA
(kebiasaan mendengkur, apnea yang disaksikan atau gangguan nafas, kantuk di
siang hari, dll.), dan diagnosis OSA (indeks apnea-hypopnea [AHI] 5/ jam dari total
waktu tidur) sebagai hasil polisomnografi standar diagnostik; (4) Adanya masalah
anatomi hidung (sinusitis kronis, polip hidung, deviasi septum hidung, hipertrofi
konka inferior, dll.); dan (5) Tidak ada perbaikan dengan perawatan medis,
termasuk steroid topikal untuk obstruksi hidung. Pasien yang lebih tua dari 70 tahun
atau yang telah menjalani operasi hidung sebelumnya dieksklusi dari penelitian.
Tiga puluh pria pasien OSA dengan sumbatan hidung skor VAS kurang dari
3 dipilih sebagai kelompok kontrol. Pasien kontrol menjalani polisomnografi di
laboratorium tidur dan menerima kuesioner subjektif pada awal. Tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok dalam usia, indeks massa tubuh
(BMI), dan AHI.

Formulir survei
Semua pasien harus menjawab tiga kuesioner.
Dalam kuesioner pertama, subjek diminta untuk menjawab pertanyaan
umum mengenai usia, tinggi, dan berat badan, dan untuk menunjukkan intensitas
rata-rata sumbatan hidung mereka dengan memilih nilai dari 0 (tidak ada halangan)
hingga 10 (halangan lengkap) pada visual skala analog (VAS).
Kuisioner kedua adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), yang
dikembangkan oleh Dr Buysse dan rekan kerja di Western Psychiatric Institute and
Clinic di University of Pittsburgh pada akhir 1980-an. Ini adalah skala yang
dilaporkan sendiri yang mengevaluasi kualitas dan gangguan tidur selama bulan
sebelumnya. Kuisioner ini memiliki 19 item individual dalam tujuh kategori:
kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi kebiasaan tidur,
gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi siang hari. Skor untuk ketujuh
kategori ditambahkan dan dievaluasi. Skala ini memiliki sensitivitas 90% untuk
mendeteksi gangguan tidur. Skor total kurang dari 3 dianggap kualitas tidur yang
baik, sedangkan skor lebih besar dari 7 dianggap kualitas tidur yang buruk.
Skala ketiga adalah Symptom Checklist Scale-90 (SCL-90), yang
merupakan skala penilaian klinis yang mapan dan dilaporkan sendiri yang menilai
gangguan psikologis simptomatik. Daftar periksa ini mencerminkan tanda-tanda
psikologis dan kejiwaan dan dinilai pada skala Likert 5 poin mulai dari 0–4. SCL-
90 mengevaluasi gejala-gejala yang dialami pasien dalam 7 hari terakhir dan terdiri
dari sembilan sub-skala (somatisasi, obsesi-kompulsi, kepekaan antarpribadi,
depresi, kecemasan, antipati, fobia ansietas, ide paranoid, dan psikotikisme) . Skor
rata-rata total kurang dari 1,5 poin dianggap tanpa gejala; skor sama dengan atau di
atas 1,5 dan kurang dari 2,5 poin dianggap ringan; skor lebih besar dari 2,5 dan
kurang dari 3,5 poin dianggap sedang; skor sama dengan atau di atas 3,5 poin
dianggap parah.

Polisomnografi
Semua subjek menjalani polisomnografi (PSG) pada awal, dan kelompok
obstruksi hidung diperiksa ulang 3 bulan setelah operasi. Pemeriksaan PSG
dilakukan sepanjang malam di Sleep Center Rumah Sakit Tongren Beijing
(Sandman Elite, Nellcor Puritan Bennett Ltd, Kanata, ON, Kanada). Hasil studi
PSG semuanya dianalisis oleh dokter yang berpengalaman dan bersertifikat
mengenai tidur yang tidak mengetahui status pasien dan mendasarkan analisisnya
pada pedoman skoring terbaru yang disediakan oleh American Academy of Sleep
Medicine (AASM). Episode apnea dinilai ketika ada penghentian total aliran udara
atau pengurangan 90% dalam sinyal sensor termal puncak untuk setidaknya 10
detik. Episode hypopnea dinilai ketika ada pengurangan 50% dalam sinyal tekanan
hidung untuk setidaknya 10 dalam kaitannya dengan saturasi oksigen 3% atau
gairah. AHI dihitung sebagai jumlah dari jumlah apnea dan hipopnea per jam tidur,
dan AHI  5 / jam didiagnosis sebagai OSA. Saturasi oksigen terendah (LSpO2)
juga dihitung untuk analisis lebih lanjut.
Efek operasi hidung pada OSA digambarkan sebagai berhasil, respons, atau
gagal. Definisi berhasil adalah AHI < 5 pasca operasi, dan definisi respons adalah
pengurangan 50% pada AHI pasca operasi atau AHI < 20 pasca operasi, sesuai
dengan kriteria Sher et al.

Teknik bedah
Semua peserta dengan OSA dan obstruksi hidung menjalani operasi hidung.
Operasi sinus endoskopi (Endoscopic sinus surgery/ESS) dilakukan dengan
anestesi umum. Prosedur termasuk septoplasti dengan tiga reseksi garis tegangan
tinggi, perpindahan medial dan fiksasi konka tengah, etmoidektomi bilateral
simetris dan operasi sinus maksilaris, serta perpindahan lateral dan fiksasi konka
inferior. Prosedur ditentukan dengan menggunakan CT pra-operasi dan observasi
endoskopi intra-operatif.
Pada akhir operasi, tabung silikon diaplikasikan untuk tamponade meatus
tengah, dan rongga hidung ditampon secara bilateral dengan nasopore yang dapat
diserap (Rozenbruglaan, Groningen, Holland). Para pasien diperiksa setiap minggu
untuk bulan pertama dan kemudian pada 6, 8, dan 12 minggu setelah operasi.
Semua bahan yang digunakan untuk tamponade dikeluarkan 1 minggu
setelah operasi, dan pasien mulai irigasi hidung dengan penggunaan saline secara
rutin. Semua pasien disarankan untuk menggunakan steroid semprot intra-nasal dari
2 minggu hingga 3 bulan setelah operasi.
Tiga bulan setelah operasi hidung, pasien dievaluasi kembali menggunakan
kuesioner yang sama. PSG juga diulang untuk membandingkan hasil pasca operasi
dengan yang pra-operasi. Perubahan berat badan dicatat.

Analisis statistik
Semua analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS v.17.0 untuk
Windows (SPSS, Inc., Chicago, IL). Variabel kontinu digambarkan sebagai rerata
 SD. Parameter pra dan pasca operasi dibandingkan dengan menggunakan uji-t
sampel berpasangan. Analisis korelasi Pearson dilakukan untuk menentukan
korelasi antara gejala psikologis dan variabel PSG pada pasien OSA dengan
obstruksi hidung sebelum operasi. Kami membutuhkan tingkat signifikansi 0,05
agar variabel dapat dimasukkan dalam perbandingan dan analisis korelasi.

HASIL
Secara total, kelompok penelitian terdiri dari 30 pria dengan OSA dan
sumbatan hidung. Kelompok ini memiliki usia rata-rata 45,5  11,37 tahun (kisaran
= 22-66 tahun) dan BMI mulai dari 21,91-37,09 kg / m2, dengan rata-rata 27,62 
3,69 kg / m2.
Satu pasien mengalami komplikasi setelah operasi hidung. Pendarahan
hidung terjadi pada hari kedua setelah operasi dan dikontrol secara konservatif
dengan tambahan tamponade hidung dan tirah baring.
Perbandingan pasien OSA dengan dan tanpa sumbatan hidung
Karakteristik pasien OSA dengan dan tanpa sumbatan hidung sebelum
operasi diberikan pada Tabel 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam usia,
BMI, dan AHI antara kedua kelompok.
Hasil PSQI menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam latensi tidur
antara kedua kelompok: pasien OSA dengan obstruksi hidung memiliki latensi tidur
yang lebih lama. Tak satu pun dari 60 subjek kami memiliki kualitas tidur yang
baik (skor total kurang dari 3). Dalam sampel kami, lebih sedikit pasien tanpa
sumbatan hidung memiliki skor total PSQI di atas 7 (10/30 [33,3%], dibandingkan
dengan 13/30 [43,3%] pasien dengan sumbatan hidung), walaupun perbedaannya
tidak signifikan secara statistik.
Skor SCL-90 untuk somatisasi dan kecemasan secara signifikan lebih tinggi
pada pasien OSA dengan obstruksi hidung dibandingkan dengan subjek tanpa
obstruksi hidung (p <0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok mengenai perilaku obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, depresi,
permusuhan, fobia ansietas, ide paranoid, psikotikisme, Global Symptom Index
(GSI), atau jumlah gejala positif dan rata-rata skor gejala positif.
Dari 30 pasien dengan sumbatan hidung, 36,7% (11/30) memiliki kerusakan
kesehatan mental ringan, 3,3% (1/30) memiliki kerusakan kesehatan mental sedang,
dan tidak ada yang memiliki kerusakan kesehatan mental yang parah. Dari 30
pasien dalam kelompok kontrol, 23,3% (7/30) memiliki kerusakan kesehatan
mental ringan; jumlah pasien kesehatan mental sedang dan berat identik dengan
kelompok obstruksi hidung. Perbedaan antara kedua kelompok itu tidak signifikan
secara statistik (p>0.05).
Lebih dari 50% kelompok sumbatan hidung melaporkan gejala positif pada
SCL-90 sebelum operasi, termasuk yang berikut ini: kegugupan, harapan yang
tinggi dari orang lain, menyalahkan orang lain yang menyebabkan masalah,
kelupaan, mudah marah dan bersemangat, pengurangan energi dan lambat untuk
mengambil tindakan, sakit pinggang, bekerja perlahan untuk memastikan
kebenaran, berulang kali memeriksa pekerjaan, kesulitan bernapas, perasaan
tersumbat di tenggorokan, kesulitan memperhatikan, dan kurang tidur nyenyak.
Tabel 1. Perbandingan PSQI dan SCL-90 antara pasien OSA dengan dan tanpa
sumbatan hidung.

Karakteristik pasien OSA dengan obstruksi hidung sebelum dan sesudah


operasi
Karakteristik pasien OSA dengan obstruksi hidung sebelum dan sesudah
operasi diberikan pada Tabel 2. Terdapat penurunan yang nyata pada skor VAS
obstruksi nasal, dari 6,18 ± 1,85 sebelum operasi menjadi 1,87 ± 1,76 pasca operasi.
Beberapa pasien kehilangan berat badan selama periode pasca operasi.
Rata-rata penurunan berat badan kelompok adalah 2,33 ± 1,43 kg. Perubahan BMI
signifikan (p<0.05).
Penurunan AHI (dari 49,67 ± 19,49 / jam sebelum operasi menjadi 43,07 ±
21,86 / jam pasca operasi) dan peningkatan LSpO2 (dari 73,83 ± 8,49% sebelum
operasi menjadi 75,97 ± 9,86% pasca operasi) signifikan secara statistik . Menurut
kriteria Sher, 6,67% (2/30) pasien memiliki operasi hidung yang sukses (AHI<5)
dan 16,67% (5/30) dari pasien pasca operasi memiliki respon terhadap operasi
hidung (AHI<20), ditunjukkan oleh pengurangan 50% dalam AHI pasca operasi.
Skor latensi tidur dan disfungsi siang hari pada PSQI menurun pasca
operasi. Total skor PSQI lebih dari tujuh dalam 33,3% (10/30) dari pasien dengan
obstruksi hidung pasca operasi, yang tidak berbeda secara signifikan dari nilai pra-
operasi.
Skor SCL-90 untuk kecemasan dan antipati serta jumlah gejala positif
menurun secara signifikan dibandingkan dengan pra-operasi. Setelah operasi,
tingkat pasien yang memiliki kerusakan kesehatan mental ringan menurut SCL-90
menurun menjadi 10% (3/30), yang secara signifikan lebih rendah daripada nilai
pra-operasi (p < 0,05). Kasus dengan kerusakan kesehatan mental sedang tidak
menunjukkan perbaikan yang jelas.

Tabel 2. Perbandingan PSQI dan SCL-90 antara pasien OSAHS dengan


obstruksi hidung sebelum dan sesudah operasi.
Analisis korelasi pada kelompok penyumbatan hidung
Pada pasien OSA dengan sumbatan hidung, hasilnya menunjukkan korelasi
positif yang kuat antara skor total PSQI dan beberapa gejala psikosomatik pada
SCL-90, seperti sensitivitas interpersonal, depresi, antipati, ide paranoid, psikotik,
GSI, dan jumlah gejala positif (r>0.3, p<0.05). Korelasi negatif diamati antara usia
dan sensitivitas interpersonal, depresi, kecemasan, GSI, dan jumlah gejala positif
pada SCL-90. AHI memiliki korelasi negatif dengan LSpO2 dan korelasi positif
dengan disfungsi siang hari dan somatisasi. LSpO2 berhubungan negatif dengan
gangguan tidur. Namun, kami tidak dapat menemukan hubungan yang signifikan
antara VAS obstruksi hidung dan skala lainnya. Korelasi antara PSQI, SCL-90, dan
situasi umum pasien dengan sumbatan hidung ditunjukkan pada Tabel 3.
Hasil analisis regresi Pearson adalah sebagai berikut:
AHI = 186.91 - 0.68 * LSpO2 - 0.323 * usia - 0.323 * waktu tidur + 0.258
* disfungsi siang hari, GSI SCL-90 = 151.35 + 0.405 * gangguan tidur - 0.372 *
usia, dan skor total PSQI = 15.58 + 0,758 * depresi - 0,372 * LSpO2 - 0,373 *
kecemasan.

Tabel 3. Analisis korelasi pra-operasi pada kelompok penyumbatan hidung.

DISKUSI
OSA adalah kelainan yang ditandai dengan episode penutupan jalan napas
atas yang lengkap atau tidak lengkap pada tingkat tunggal atau ganda selama tidur.
OSA dikaitkan dengan hipoksia jangka panjang, fragmentasi tidur, kelelahan siang
hari, mendengkur sepanjang malam, dan kualitas hidup yang buruk. Episode
berulang gangguan hipoksia dan struktur tidur adalah faktor utama yang
menyebabkan gangguan psikologis dan mental pada pasien OSA. Literatur
sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien dengan OSA menderita tingkat
beban psikologis yang tinggi, dan studi tersebut menemukan hubungan yang erat
antara OSA dan somatisasi, gangguan obsesif-kompulsif, depresi, kecemasan,
antipati, dan masalah psikologis lainnya. Li et al. menggunakan SF-36 untuk
mengevaluasi kualitas hidup pasien dengan OSA dan menemukan bahwa semua
skor sub-skala SF-36 untuk pasien OSA secara signifikan lebih buruk daripada
populasi referensi Taiwan. Dalam penelitian ini, 33% pasien OSA mengalami
kerusakan kesehatan mental ringan dan sedang menurut SCL-90, dan ada korelasi
positif yang kuat antara skor PSQI total dan beberapa gejala psikosomatis SCL-90,
seperti sensitivitas interpersonal, depresi, permusuhan, dan psikotik.
Studi epidemiologis telah mengungkapkan hubungan positif antara
obstruksi hidung dan OSA. Ada tiga cara yang memungkinkan gangguan
pernapasan hidung mengarah ke OSA: peralihan ke pernapasan mulut yang tidak
stabil, penghapusan refleks hidung, dan peningkatan penghisapan saat inspirasi.
Banyak kelainan hidung seperti deviasi septum, polip hidung, hipertrofi konka, dan
rinitis, dapat menyebabkan atau memperburuk mendengkur dan apnea saat tidur.
Sebuah studi prospektif dari prevalensi rinitis kronis pada pasien Thailand dengan
OSA mengungkapkan bahwa 84,3% memiliki riwayat gejala hidung, dan 65,7%
memiliki gejala aktif sumbatan hidung. Secara umum diakui bahwa sumbatan
hidung berhubungan dengan mendengkur dan OSA ringan. PSQI adalah skala
penilaian klinis umum yang mencerminkan kualitas tidur, yang sangat berkorelasi
dengan hasil pengujian polisomnografi. Penelitian kami mengkonfirmasi bahwa
tidak satu pun dari 60 subyek OSA kami yang didiagnosis oleh PSG memiliki
kualitas tidur yang baik, dan rata-rata 38,3% pasien OSA memiliki kualitas tidur
yang buruk. Pasien OSA dengan sumbatan hidung memiliki latensi tidur yang lebih
lama karena penyumbatan hidung sebagai gejala subyektif lebih sensitif terhadap
latensi tidur.
Obstruksi hidung juga menyebabkan masalah psikologis. Obstruksi hidung
menyebabkan tekanan parsial CO2 meningkat, yang kemudian menurunkan pH
darah, yang mempengaruhi aliran kalsium dan magnesium internal dan eksternal
dalam sel-sel otak. Tingkat gairah berkurang dengan penurunan ATP, yang dapat
menyebabkan depresi. Derebery et al. menemukan depresi pada 17,2% pasien dan
kecemasan pada 9,3% pasien dengan rinitis dalam survei kuesioner terhadap 7024
orang Amerika; insiden ini secara signifikan lebih tinggi daripada pasien tanpa
rinitis. Dalam sebuah penelitian oleh Wei dan Wang mengenai gangguan psikologis
pada pasien dengan sinusitis kronis, enam faktor SCL-90 (termasuk somatisasi,
gangguan obsesif-kompulsif, sensitivitas antar individu, kecemasan, dan psikotik)
lebih tinggi daripada normal di Cina. Selain itu, gangguan obsesif-kompulsif,
sensitivitas antar individu, kegelisahan, dan psikotisme diperburuk oleh sinusitis
kronis. Dalam penelitian kami, skor somatisasi dan kecemasan lebih tinggi pada
pasien OSA dengan penyumbatan hidung daripada mereka yang tidak, yang
konsisten dengan penelitian sebelumnya. Alasan yang mungkin adalah bahwa
orang Cina lebih cenderung mengekspresikan ketidakmampuan tubuh daripada
ketidaknyamanan emosional, terutama ketika hal itu menyertai gangguan fisik.
Sekitar 40% pasien OSA dengan sumbatan hidung dalam penelitian kami memiliki
masalah kesehatan mental, yang lebih rendah dari yang dilaporkan dalam
penelitian Wei dan Wang, sebanyak 68,75%. Perbedaan ini mungkin terkait dengan
pemilihan pasien, termasuk fakta bahwa beberapa subjek dalam penelitian kami
memiliki gejala subyektif tanpa lesi inflamasi hidung yang signifikan.
Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa masalah tidur akibat gangguan
rinologis dapat dihilangkan dengan obat yang tepat, pembedahan, atau metode lain
(seperti continuous positive airway pressure [CPAP]). Verse dan Pirsig melakukan
peninjauan yang menunjukkan bahwa obat nasal menyelesaikan masalah OSA pada
9% pasien, sementara operasi hidung menyelesaikan masalah OSA pada 18%
pasien. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa operasi hidung efektif untuk
mengurangi mendengkur dan kantuk di siang hari dan meningkatkan kepatuhan
dengan terapi CPAP.
Han dan Zang menggambarkan operasi hidung yang dilakukan untuk
mengubah kelainan struktural pada pasien OSA sebagai 'operasi ekspansi ventilasi
rongga hidung'. Tujuan utamanya adalah memperbesar volume ventilasi efektif
rongga hidung. Tujuan utama dari prosedur ini adalah untuk mengurangi resistensi
pra-ventilasi jalan napas bagian atas, meredakan kolaps faring, memulihkan fungsi
ventilasi normal, meningkatkan pemulihan fisik, membangun kembali fungsi
metabolisme normal, dan memulihkan struktur tidur. Prosedur termasuk septoplasti
dengan tiga reseksi garis tegangan tinggi, perpindahan medial dan fiksasi konka
medial, etmoidektomi bilateral simetris dan operasi sinus maksilaris, serta
perpindahan lateral dan fiksasi konka inferior. Operasi ini memungkinkan
perlindungan maksimum pada mukosa hidung dan secara minimal merusak fungsi
fisiologis dari sinus hidung.
Peran operasi hidung dalam OSA masih kontroversial karena hasil yang
berbeda telah dilaporkan dalam literatur. Meta-analisis terbaru menunjukkan bahwa
operasi hidung terisolasi untuk pasien dengan sumbatan hidung dan OSA
meningkatkan beberapa parameter tidur, seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan
signifikan dalam Epworth Sleepiness Scale dan Indeks Gangguan Pernafasan, tetapi
operasi tidak memiliki efek signifikan pada AHI. Dalam meta-analisis lain dari 13
studi yang focus terhadap operasi hidung saja sebagai pengobatan untuk pasien
OSA, pengulas menyimpulkan bahwa sementara operasi hidung untuk obstruksi
saja tidak mengurangi AHI secara signifikan, namun memperbaiki gejala kantuk di
siang hari dan gejala klinis mendengkur. Secara keseluruhan, mereka menemukan
bahwa tingkat keberhasilan operasi hidung untuk OSA hanya 16,7%. Penelitian
kami menunjukkan perubahan signifikan dalam AHI dan LSpO2, dan tingkat total
respon dan keberhasilan untuk semua pasien adalah 23,33%, yang mirip dengan
hasil Hu et al. Hasil ini mungkin didapat karena perbaikan pernapasan hidung yang
disebabkan oleh pembedahan hidung menghasilkan tidur yang lebih dalam, yang
seharusnya meningkatkan kolaps saluran napas bagian atas. Karena OSA adalah
keadaan multifaktorial, tidak realistis untuk berharap bahwa operasi hidung akan
menyembuhkan semua pasien.
Meskipun kurang efektif terhadap AHI, operasi hidung tetap menjadi jalan
terakhir untuk memperbaiki sumbatan hidung. Beberapa studi klinis menunjukkan
bahwa koreksi jalan napas nasal yang terhambat umumnya mengurangi kantuk di
siang hari pada pasien OSA, yang didukung oleh temuan kami bahwa disfungsi
siang hari membaik pasca operasi. Dalam penelitian ini, skor VAS untuk obstruksi
hidung menurun secara signifikan setelah operasi. Penurunan skor VAS rata-rata
kami serupa dengan yang dilaporkan oleh Li et al. (dari 6.8 ± 1.3 ke 1.7 ± 1.1).
Selain itu, pembedahan membantu pasien lebih mudah mengontrol berat badan
mereka, yang dikonfirmasi oleh penelitian kami.
Pembedahan hidung telah menunjukkan efek yang baik pada hasil subjektif
dari OSA, meskipun OSA dapat dihasilkan dari berbagai faktor. Nakata et al.
menunjukkan bahwa operasi hidung menghasilkan skor ESS yang menurun secara
signifikan, dari 11,7 menjadi 3,3, pada pasien OSA dengan sumbatan hidung. Li et
al. menemukan peningkatan dalam kualitas hidup pasien OSA setelah operasi
hidung. Dalam penelitian kami, skor untuk kecemasan dan antipati, jumlah gejala
positif, dan tingkat pasien dengan kerusakan kesehatan mental ringan pada SCL-90
menurun secara signifikan dibandingkan dengan nilai-nilai pra-operasi, yang
menunjukkan efek operasi hidung pada kerusakan psikologis pasien OSA.
Beberapa penelitian menunjukkan korelasi antara gejala psikologis dan
karakteristik PSG. Macey et al. melaporkan bahwa AHI tidak berkorelasi dengan
usia, ESS, PSQI, gejala depresi, atau gejala kecemasan. Borak et al. melaporkan
korelasi antara kecemasan dan AHI pada 20 pasien dengan OSA yang parah. Dalam
penelitian kami, ada korelasi positif antara AHI dan disfungsi siang hari dan
somatisasi, dan LSpO2 memiliki korelasi negatif dengan gangguan tidur.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak dokter yang terluka di
Tiongkok. Tingkat cedera di departemen THT jauh lebih tinggi daripada
departemen lain, dan beberapa perbedaan ini muncul dari tindakan pasien yang
tidak puas dengan hasil operasi hidung. Beberapa ahli telah menggambarkan hasil
negatif dari operasi hidung sebagai 'sindrom hidung kosong' (empty nose
syndrome/ENS). ENS menggambarkan sindrom yang terkait dengan penghapusan
berlebihan jaringan hidung dan manifestasi struktural dan gambar yang sesuai di
rongga hidung dan sinus paranasal. Ini adalah kebalikan dari sumbatan hidung, di
mana pasien mengeluhkan sumbatan hidung meskipun ditemukan adanya patensi
hidung yang luas pada pemeriksaan fisik. ENS dianggap terkait dengan reseksi
berlebihan dari nka inferior. Tidak ada pasien dalam penelitian kami yang memiliki
ENS, mungkin karena protokol bedah kami ditandai dengan kesederhanaan, trauma
minimal, efektivitas yang jelas, dan preservasi konka inferior. Selain itu, pemilihan
pasien yang tepat juga penting.

KESIMPULAN
Studi ini mengkonfirmasi bahwa obstruksi hidung dapat memperburuk
status psikologis pasien OSA, dan koreksi patensi hidung melalui operasi hidung
mengurangi keparahan OSA dan meningkatkan status psikologis pada pasien OSA
dengan obstruksi hidung.

Anda mungkin juga menyukai