Anda di halaman 1dari 27

PANDUAN

RESUSITASI JANTUNG DAN PARU

DINAS KESEHATAN KABUPATEN MESUJI


RSUD RAGAB BEGAWE CARAM
TAHUN 2019

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 1
DINAS KESEHATAN KABUPATEN MESUJI
RSUD RAGAB BEGAWE CARAM
Jl. ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM BERABASAN KECAMATAN TANJUNG RAYA
MESUJI 34697

KEPUTUSAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAGAB BEGAWE CARAM
Nomor :

TENTANG
PANDUAN RESUSITASI JANTUNG DAN PARU
DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAGAB BEGAWE CARAM

Menimbang a. Bahwa dalam upaya meningkatkan kualitas dan


keamanan pelayanan pasien, maka diperlukan adanya
Panduan Resusitasi Jantung dan Paru di Rumah Sakit
Umum Daerah Ragab Begawe Caram Kabupaten Mesuji
b. Bahwa sesuai butir a diatas perlu menetapkan Keputusan
Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Ragab Begawe
Caram tentang Panduan Resusitasi Jantung dan Paru
Mengingat 1 Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
2 Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit
3 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran
4 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 11 Tahun 2017
tentang keselamatan pasien
5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2017
tentang Akreditasi Rumah Sakit
6 Peraturan Bupati Mesuji Nomor 49 Tahun 2018 tentang
pembentukan Unit pelaksana Teknis di Kabupaten Mesuji
7 Surat Keputusan Bupati Mesuji Nomor : B / 454 / 1.02 /
HK/ MSJ/2017 Tentang Penetapan nama Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Mesuji menjadi Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Ragab Begawe Caram

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 2
MEMUTUSKAN

MENETAPKAN
PERTAMA KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RAGAB
BEGAWE CARAM KABUPATEN MESUJI TENTANG PANDUAN
RESUSITASI JANTUNG DAN PARU RUMAH SAKIT RAGAB BEGAWE
CARAM
KEDUA Panduan Resusitasi Jantung dan Paru dimaksudkan sebagaimana
tercantum dalam Panduan di Keputusan ini.
KETIGA Pelaksanaan Panduan Resusitasi Jantung dan Paru dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas dan keamanan pelayanan pasien
sebagaimana dimaksud dalam Diktum kesatu
KEEMPAT Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan

Ditetapkan di : Berabasan
Pada tanggal : Januari 2019

DIREKTUR
RSUD RAGAB BEGAWE CARAM

Dr HOTMAIDA VERAWATI.S
NIP.19730505 2002122001

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 3
KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah bagi Allah Subhanahuwata’ala, Tuhan semesta alam


yang telah memberikan Ridlo dan Petunjuk – Nya, sehingga Panduan
Resusitasi Jantung Dan Paru ini dapat selesaikan dan dapat diterbitkan.
Panduan ini dibuat untuk menjadi panduan kerja bagi semua staf dalam
melakukan Resusitasi Jantung dan Paru di Rumah Sakit Umum Daerah
Ragab Begawe Caram Kabupaten Mesuji

Dalam panduan ini antara lain berisi tentang tatalaksan Resusitasi Jantung
dan Paru Untuk peningkatan mutu pelayanan diperlukan pengembangan
kebijakan, pedoman, panduan dan prosedur. Untuk tujuan tersebut panduan
ini akan kami evaluasi setidaknya setiap 2 tahun sekali. Masukan, kritik dan
saran yang konstruktif untuk pengembangan panduan ini sangat kami
harapkan dari para pembaca.

DIREKTUR
RSUD RAGAB BEGAWE CARAM

Dr HOTMAIDA VERAWATI.S
NIP.19730505 2002122001

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 4
DAFTAR ISI

Halaman:
SK DIREKTUR :
KATA PENGANTAR :
DAFTAR ISI :
BAB I : DEFINISI :
BAB II : RUANG LINGKUP :
BAB III : TATA LAKSANA :
A. Bantuan Hidup Dasar Dewasa
B. Terapi Elektrik
C. Bantuan Hidup Lanjut Pada Dewasa
D. Perawatan Pasca Henti Jantung
E. Etika Menunda Dan Menghentikan Resusitasi Jantung Paru
KEPUSTAKAAN

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 5
LAMPIRAN
Keputusan Direktur Nomor :
Tentang Panduan Resusitasi Jantung dan Paru

BAB I
DEFINISI
Kejadian mati mendadak masih merupakan penyebab kematian utama
baik diNegara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia.Berdasar
proporsi angka kematian di perkotaan pada kelompok umur 45 – 54 tahun,
penyakit jantung iskemik menduduki urutan ketiga (8.7%) sebagai penyebab
kematian.Urutan pertama adalah stroke (15.9%) dan urutan kedua adalah
diabetes melitus (14.7%). Pada
kelompok umur yang sama untuk daerah pedesaan, penyakit jantung iskemik
merupakan urutan keempat.
Resusitasi jantung paru merupakan serangkaian tindakan untuk
meningkatkan daya tahan hidup setelah terjadinya henti jantung.Meskipun
pencapaian optimal dari RJP ini dapat bervariasi, tergantung kepada
kemampuan penolong, kondisi korban, dan sumber daya yang tersedia,
tantangan mendasar tetap pada bagaimana melakukan RJP sedini mungkin
dan efektif.

Bantuan hidup dasar menekankan pada pentingnya mempertahankan


sirkulasi dengan segera melakukan kompresi sebelum membuka jalan napas
dan memberikan napas bantuan.Perubahan pada siklus bantuan hidup dasar
menjadi C-A-B (compression – airway – breathing) ini dengan pertimbangan
segera mengembalikan sirkulasi jantung sehingga perfusi jaringan dapat
terjaga. Rantai pertama pada rantai kelangsungan hidup (the chain of survival)
adalah mendeteksi segera kondisi korban dan meminta pertolongan (early
access), rantai kedua adalah resusitasi jantung paru (RJP) segera (early
cardiopulmonary resuscitation), rantai ketiga adalah defibrilasi segera (early
defibrillation), rantai keempat adalah tindakan bantuan hidup lanjut segera

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 6
(early advanced cardiovascular life support) dan rantai kelima adalah
perawatan pasca henti jantung (arrest care)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar 40% pasien


sindroma koroner akut (SKA) dapat terjadi iraa fibrilasi ventrikel (ventricular
fibrillation(VF) suatu irama yang menyebabkan henti jantung mendadak
(death/SCD).
Kebanyakan pasien mengalami takikardi ventrikel (ventricular
tachycardia/ VT) sebelum akhirnya berubah menjadi VF, dan akhirnya
direkam irama jantungnya, irama jantung sudah mengalami perburukan lagi
menjadi asistol. Terapi optimal untuk mengatasi VF adalah resusitasi jantung
paru (RJP) dan defibrilasi elektrik.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 7
BAB II
RUANG LINGKUP

Pada panduan resusitasi ini akan ditekankan pada pemberian bantuan


hidup dasar yang harus dikuasai oleh setiap dokter, dokter gigi, dokter
spesialis maupun first responder di lapangan. Bantuan hidup dasar
diutamakan pada penanganan airway, breathing, circulation berdasarkan
panduan terbaru dari American Heart Association 2010 mengenai Panduan
Resusitasi Jantung Paru (RJP). Beberapa hal yang ditekankan pada panduan
resusitasi ini yaitu :
1. Kecepatan kompresi minimal 100 kali/ menit (perubahan dari panduan
sebelumnya yang menyatakan “kurang lebih” 100 kali/ menit).
2. Kedalaman kompresi paling tidak 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan
kedalaman kompresi paling tidak sepertiga diameter antero posterior dari
thorax pada bayi dan anak (kurang lebih 1.5 inchi (4 cm) pada bayi dan 2
inchi (5 cm) pada anak). Perhatikan bahwa rentang 1.5 sampai 2 inchi
tidak lagi digunakan untuk korban dewasa, dan kedalaman absolut yang
direkomendasikan untuk anak dan bayi lebih dalam daripada versi AHA
sebelumnya.
3. Menciptakan pengembangan dinding dada yang optimal di setiap akhir
kompresi.
4. Meminimalkan kompresi saat melakukan kompresi dada.
5. Menghindari ventilasi yang berlebihan.
Detail dari tiap-tiap siklus C – A – B akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 8
BAB III
TATA LAKSANA

A. Bantuan Hidup Dasar Dewasa


Bila menemukan penderita dalam keadaan henti jantung, harus segera
memberikan pertolongan pertama berupa Bantuan Hidup Dasar
(BHD).BHD dapat dilakukan oleh satu atau dua penolong.

Gambar 1. Alur bantuan hidup dasar yang disederhanakan

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 9
Tahapan yang harus dilakukan dalam BHD adalah sebagai berikut :
1. Tahap Pertolongan
a. Penolong yang mengetahui pertama kali harus segera melakukan
penilaian dini kesadaran korban.
b. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.
c. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk
bahu.
d. Meminta bantuan pertolongan atau mengaktifkan sistem pengananan
kegawat daruratan terpadu.

Gambar 2. Cek respon penderita


2. Tahap Resusitasi Jantung Paru
a. Lakukan pengecekan nadi karotis untuk memastikan apakah penderita
mengalami henti jantung atau tidak (nadi karotis normal : 60 – 100 kali/
menit).

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 10
Gambar 3. Cek nadi karotis penderita
b. Lakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, dengan ketentuan sebagai
berikut :
1) Kompresi dada minimal 100 kali/ menit.
2) Kedalaman kompresi dada minimal 2 inchi (5 cm) pada dewasa, 1.5 – 2
inci (4 – 5.cm) pada bayi dan anak.
3) Upayakan pengembangan dada secara sempurna (complete chest recoil)
di setiap kompresi.
4) Minimalkan interupsi selama melakukan kompresi dada

Gambar 4. Kompresi yang berkualitas tinggi pada anak

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 11
c. Lakukan pemeriksaan jalan napas untuk mengevaluasi apakah ada
sumbatan jalan napas. Sumbatan jalan napas dapat digolongkan sebagai
sumbatan jalan napas total dan sumbatan jalan napas parsial. Sumbatan
jalan napas parsial memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara di perifer masih baik.
2) Masih ada suara napas.
3) Ditemukan suara napas tambahan saat inspirasi (gurgling atau
snoring).
4) Ada upaya batuk dari pasien untuk mengeluarkan sumbatan.
5) Pasien masih mampu berbicara meskipun terbata-bata atau satu dua
patah kata.
6) Akral hangat.
Sedangkan sumbatan jalan napas total memiliki tanda sebagai berikut :
1) Pertukaran udara buruk atau tidak ada.
2) Batuk yang lemah, tidak efektif, atau tidak ada.
3) Suara napas tambahan saat inspirasi atau tidak ada suara napas.
4) Kesulitan bernapas.
5) Sianosis.
6) Tidak mampu bicara.
7) Memegangi leher.
8) Akral dingin.
d. Bila ditemukan adanya sumbatan, lakukan pembebasan jalan napas
dengan cara sebagai berikut :
1) Tekan dahi angkat dagu (head tilt – chin lift) bila tidak ada trauma.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 12
Gambar 5. Teknik melakukan head – tilt chin – lift

2) Mendorong rahang bawah (jaw trust) bila ada trauma.

Gambar 6. Teknik melakukan jaw thrust

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 13
3) Berikan napas bantuan sebanyak 2 kali, setiap napas bantuan selama
1detik.
Cara memberikan napas bantuan dapat menggunakan teknik dari mulut
ke mulut atau menggunakan alat (masker atau bagging).

Gambar 7. Teknik memberikan napas bantuan dengan masker

4) Setelah memberikan napas bantuan 2 kali, dilanjutkan kompresi dada


sebanyak 30 kali. Berikan napas bantuan 2 kali, lanjutkan kompresi
dada lagi. Lakukan siklus ini sampai 5 kali. Setelah 5 kali siklus RJP
dilakukan pengecekan kembali apakah nadi teraba. Apabila nadi tetap
tidak ada, RJP tetap dilakukan sampai tim bantuan emergensi datang
atau tersedia alat defibrilasi dan siap digunakan.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 14
Secara ringkas bantuan hidup dasar adalah sebagai berikut :

Algoritma 1. Langkah – langkah bantuan hidup dasar


B. Terapi Elektrik
Defibrilasi
Proses defibrilasi mencakup penghantaran energi listrik melalui dinding
dada menuju ke jantung untuk mendepolarisasikan sel-sel miokard dan
menghilangkan VF. Pengaturan energi untuk defibrilator diatur untuk
menyediakan energi dengan tingkat terendah namun masih efektif dalam
menghilangkan VF. Karena defibrilasi merupakan suatu proses
elektrofisiologis yang terjadi dalam 300 – 500 milidetik setelah
penghantaran energi, istilah “defibrilasi” (keberhasilan shock)

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 15
didefinisikan sebagai hilangnya VF selama kurang lebih 5 detik setelah
dilakukan kejutan listrik.

Kardioversi tersinkronisasi
Kardioversi tersinkronisasi adalah hantaran kejut yang bersamaan
dengan kompleks QRS (sinkron).Energi (dosis kejut) yang digunakan untuk
kejut sinkronisasi lebih rendah dari yang digunakan untuk kejut yang tidak
tersinkronisasi (defibrilasi).Hantaran kejut tersinkronisasi (kardioversi)
diindikasikan untuk mengobati takiaritmia yang tidak stabil yang
berhubungan dengan pembentukan kompleks QRS dan irama nadi. Pasien
yang tidak stabil memperlihatkan tanda-tanda perfusi yang jelek termasuk
status mental yang berubah, nyeri dada berlanjut, hipotensi, atau tanda lain
syok dan edema paru.
Kardioversi tersinkronisasi direkomendasikan untuk mengobati SVT
yang tidak stabil akibat reentry, atrial fibrilasi, dan atrial flutter.Hantaran
kejut dapat menghentikan irama ini karena memutuskan pola
reentri.Kardioversi juga direkomendasikan untuk mengobati VT monomorfik
yang tidak stabil.
Kardioversi tidak akan efektif untuk pengobatan junctional tachycardia
atau ektopik atau multifocal atrial tachycardia karena irama ini memiliki fokus
yang otomatis.
Dosis energi awal dengan alat bifasik yang direkomendasikan untuk atrial
flutter dan supraventrikular takikardia yaitu 50 – 100 J. Jika dengan dosis
50 J
awal gagal, penolong dapat meningkatkan dosis secara bertahap. Pada
anakanak dapat diberikan energi awal 0,5 – 1 J/kg untuk supra ventrikular
takikardia, dengan dosis maksimal 2 J/kg.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 16
Algoritma 1. Penanganan ventricular fibrillation dan pulseless ventricular tachycardia

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 17
C. Bantuan Hidup Lanjutan Pada Dewasa
Dalam melakukan bantuan hidup jantung lanjut tetap ditekankan
pada pentingnya RJP yang berkualitas tinggi sebagai manajemen dasar
dari henti jantung. Penghentian RJP secara periodik harus diminimalisir
dan hanya dilakukan untuk menilai ritme jantung, melakukan kejut
jantung, menilai pulsasi nadi karotis bila terdeteksi irama jantung ritmis,
atau lakukan manajemen advanced airway.
Melakukan monitor dan optimalisasi kualitas RJP menggunakan
parameter mekanis (kecepatan dan kedalaman kompresi dada,
pengembangan kembali dinding dada secara adekuat, dan meminimalkan
intervensi selama kompresi), atau bila memungkinkan, parameter
fisiologis (partial pressure of end-tidal CO2 [PETCO2], tekanan arteri
selama fase relaksasi dinding dada saat melakukan kompresi, atau
saturasi oksigen vena sentral/ central venous oxygen saturation [Scvo2]).
Apabila tidak terdapat sarana manajemen jalan napas tingkat
lanjut, kompresi – ventilasi tersinkronisasi dengan rasio 30:2 lebih
direkomendasikan dengan kecepatan kompresi setidaknya 100 kali per
menit. Setelah penggunaan alat bantu napas tingkat lanjut salah satunya
berupa endotracheal tube (ETT), kompresi harus dilanjutkan dengan
kecepatan setidaknya 100 kali kompresi per menit tanpa harus ada jeda
untuk memberikan ventilasi atau oksigenasi. Ventilasi diberikan setiap 6
atau 8 detik sekali (8 – 10 ventilasi per menit) dan harus menghindari
pemberian hiperventilasi.
Ritme yang secara spesifik meningkatkan angka kelangsungan
hidup setelah dilakukan defibrilasi adalah ventrikel fibrilasi atau ventrikel
takikardi tanpa pulsasi nadi. Sehingga diharapkan tenaga medis dapat
melakukan intervensi secara tepat pada pasien dengan irama jantung
tersebut. Pemasangan akses intravena, pemberian obat, dan manajemen
jalan napas tingkat lanjut, diupayakan tidak mengganggu kompresi dada
atau menunda pemberian defibrilasi.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 18
Algoritma 2. Bantu hidup jantung lanjut

D. Perawatan Pasca Henti Jantung


Perawatan pasca henti jantung merupakan suatu komponen penting pada
bantuan hidup lanjut. Sebagian besar kematian terjadi dalam 24 jam
pertama setelah onset henti jantung. Suatu keadaan henti jantung akan
berdampak terhadap berbagai sistem organ. Disfungsi organ dan
komplikasi pasca resusitasi memerlukan berbagai tindakan yang terpadu.
Tujuan awal dari perawatan pasca henti jantung adalah :

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 19
1. Mengoptimalkan fungsi jantung dan paru serta perfusi organ vital.
2. Pada kasus henti jantung di luar rumah sakit, pasien hendaknya dirujuk
kerumah sakit yang sesuai yang memiliki sistem perawatan pasca henti
jantung yang komprehensif, meliputi intervensi koroner akut, perawatan
neurologik, goal – directed critical care, dan hipotermia.
3. Pada kasus henti jantung yang terjadi di rumah sakit, pindahkan pasien
unit perawatan intensif yang sesuai yang mampu memberikan perawatan
pasca henti jantung yang komprehensif.
4. Mencoba mencari dan mengatasi penyebab yang mencetuskan henti
jantung dan mencegah berulangnya henti jantung.

Tujuan selanjutnya dari perawatan pasca henti jantung :


a. Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kelangsungan hidup
dan pemulihan neurologis.
b. Mencari dan melakukan tata laksana sindroma koroner akut.
c. Mengoptimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalkan trauma pada
paru.
d. Mengurangi resiko kerusakan multi organ dan menunjang fungsi organ
tersebut jika diperlukan.
e. Secara obyektif menilai prognosis untuk pemulihan.
f. Bila korban selamat, bantu dengan rehabilitasi ketika dibutuhkan.

Berbagai sistem organ yang harus diperhatikan pada kembalinya sirkulasi


spontan (return on spontaneus circulation/ ROSC) yaitu :
1. Patensi jalan napas
Pasien tidak sadar membutuhkan alat bantu napas lanjut untuk
pemberian ventilasi mekanik. Bila perlu gunakan endotracheal tube (ETT)
untuk menjaga patensi jalan napas. Hindari pemakaian fiksasi ETT yang
melingkari leher pasien karena berpotensi mengganggu aliran darah vena
dari otak.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 20
2. Ventilasi/ oksigenasi yang cukup
Meskipun oksigen 100% mungkin diperlukan pada awal resusitasi, oksigen
harus dititrasi hingga level paling rendah yang dibutuhkan untuk
mempertahankan saturasi oksigen ≥ 94% untuk menghindari intoksikasi
oksigen. Hiperventilasi atau overbagging harus dihindari karena dapat
meningkatkan tekanan dalam rongga dada yang kemudian menurunkan
cardiac output. Penurunan PaCO2 yang terjadi pada hiperventilasi
berpotensi menurunkan aliran darah ke otak secara langsung. Ventilasi
dapat diberikan mulai 10 – 12 kali per menit dan dititrasi untuk mencapai
PaCO2 40 – 45 mmHg. Sedangkan untuk ventilasi mekanik harus diatur
berdasarkan saturasi oksihemoglobin, nilai AGDA, ventilasi per menit, dan
kesesuaian ventilator.
3. Sirkulasi
Pengawasan tanda vital dan aritmia harus dilakukan secara kontinyu.
Monitoring EKG kontinyu harus dilanjutkan setelah ROSC, selama
transport, dan selama di ICU sampai kondisi stabil tercapai. Akses
intravena harus dipasang bila sebelumnya selama resusitasi belum
diperoleh. Apabila pasien hipotensi (tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg),
pertimbangkan pemberian bolus cairan. Cairan dingin dapat digunakan
bila dipilih terapi hipotermia. Infus obat vasoaktif seperti Dopamin,
Norepinefrin, atau Epinefrin dapat dimulai jika diperlukan dan dititrasi
hingga mencapai tekanan darah sistolik minimum ≥ 90 mmHg atau
tekanan arteri rata-rata ≥ 65 mmHg.
4. Disability
Patofisiologi cedera otak pasca henti jantung melibatkan rangkaian
kompleks molekular yang dicetuskan oleh iskemia dan reperfusi yang
masih berlangsung selama beberapa jam sampai beberapa hari setelah
ROSC. Kejadian dan kondisi dari periode pasca henti jantung memiliki
potensi untuk mencetuskan atau melemahkan jalur ini dan mempengaruhi
hasil akhir. Manifestasi klinis dari cedera otak pasca henti jantung

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 21
meliputi koma, kejang, myoclonus, beberapa tingkat disfungsi
neurokognitif (mulai dari defisit daya ingat sampai status vegetatif) dan
kematian otak. Agen neuroprotektif dengan obat – obat antkonvulsi seperti
halnya Thiopental dan Diazepam dosis tunggal atau Magnesium atau
keduanya dapat diberikan pada kejang setelah ROSC, namun tidak dapat
meningkatkan status neurologis dari pasien.
5. Exposure
Direkomendasikan bahwa pasien dewasa dalam kondisi koma dengan
ROSC pasca henti jantung di luar rumah sakit sebaiknya didinginkan
sampai suhu 32°C - 34°C selama 12 – 24 jam.
Hipotermia yang diinduksi juga bisa dipertimbangkan untuk pasien
dewasa yang koma dengan ROSCpasca henti jantung di dalam rumah sakit
dengan irama awal pulseless
electrical activity atau asystole. Penghangatan kembali pada pasien koma
yang secara spontan menjadi hipotermia ringan (> 32°C) setelah resusitasi
selama 48 jam pertama setelah ROSC.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 22
Algoritma 3. Penatalaksanaan pasca henti jantung

Keadaan pasca henti jantung biasanya dihubungkan dengan instabilitas


hemodinamik, seperti gangguan metabolik. Terapi optimal disfungsi organ
miokard dan iskemia miokard dapat meningkatkan kemungkinan harapan
hidup. Intervensi untuk mengurangi cedera otak sekunder, seperti terapi
hipotermia, dapat meningkatkan angka harapan hidup dan kembalinya
fungsi neurologis. Setiap sistem organ menjadi beresiko pada saat tersebut
dan pasien juga beresiko untuk mendapat disfungsi multi organ. Tata
laksana komprehensif pasca henti jantung melibatkan berbagai disiplin
ilmu,

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 23
Antara lain perawatan kritis, ilmu penyakit jantung, ilmu penyakit dalam,
dan ilmu penyakit saraf.
Oleh karena itu, diperlukan unit perawatan kritis yang baik dalam
mengantisipasi, monitor, dan menatalaksana setiap masalah yang terjadi.
E. Etika Menunda danMenghentikan Resusitasi Jantung Paru
Etika Menunda Upaya Resusitasi Jantung Paru
Seluruh pasien anak dan dewasa yang mengalami henti jantung selama
masa perawatan di rumah sakit, harus segera dilakukan resusitasi, kecuali
bila masuk ke dalam kriteria DNAR (do not attempt rescucitation) atau
memiliki tanda kematian yang irreversible (misalnya pasien memiliki
ketergantungan penuh pada alat bantuan hidup untuk kelangsungan
hidupnya).

DNAR (do not attempt rescucitation)


Tidak seperti intervensi medis yang lain, RJP dilakukan tanpa menunggu
perintah atau persetujuan dari dokter tetapi langsung dilakukan apabila
ada tanda henti jantung pada pasien. Dokter yang berkompeten
dibutuhkan untuk menentukan penundaan upaya resusitasi jantung paru
pada pasien. Pasien dengan sakit yang sudah terminal, lebih takut
diabaikan dan menghadapi rasa sakit dari pada kematian itu sendiri,
sehingga dokter harus meyakinkan pasien dan keluarga bahwa
pengendalian rasa nyeri dan kondisi lain yang dapat menurunkan kualitas
hidup akan tetap dilakukan meskipun upaya resusitasi jantung paru
mungkin ditunda.

Dokter yang saat itu menangani pasien harus menulis permintaan DNAR
direkam medis pasien, dengan catatan mengapa DNAR dilakukan, kondisi
spesifik lain yang menyebabkan keterbatasan intervensi, hasil diskusi
dengan pasien,lingkungan, dan keluarga pasien. DNAR verbal tidak
diperbolehkan.Perintah pembatasan terapi harus mencantumkan instruksi
mengenai intervensi kegawatdaruratan spesifik yang mungkin dibutuhkan,
termasuk penggunaan vasopresor, ventilasi mekanis, produk darah, atau

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 24
antibiotik.Perintah DNAR harus menyebutkan secara spesifik intevensi
mana yang ditunda.
Perintah DNAR tidak serta merta mencakup intervensi lain seperti
pemberian cairan parenteral, nutrisi, oksigen, analgesik, sedasi, anti
aritmia, atau vasopresor, kecuali intervensi ini masuk dalam perintah
DNAR tersebut.
Beberapa pasien mungkin memilih untuk diterapi dengan defibrilasi dan
kompresi dada tetapi tidak bersedia diintubasi dan ventilasi mekanis.
Perintah DNAR tidak membawa implikasi pada terapi lain, dan aspek lain
dari rencana terapi harus didokumentasikan secara terpisah dan
dikomunikasikan kepada tenaga medis yang lain.
Perintah DNAR harus dikaji ulang secara berkala sesuai dengan protokol
lokal, terutama bila pasien mengalami perubahan kondisi.
Perintah DNAR harus dikaji oleh ahli anestesi sebelum operasi dilakukan,
ahli bedah yang akan menjadi operator operasi, dan pasien atau keluarga
untuk menentukan apakah perintah DNAR ini aplikatif selama proses
operasi dilakukan dan selama immediate postoperative recovery period.
Menghentikan upaya resusitasi jantung paru
Pada anak, belum ada laporan yang valid mengenai keputusan maupun
aturan klinis sebagai panduan untuk menghentikan upaya resusitasi, dan
keputusan untuk menghentikan upaya resusitasi dapat bervariasi tergantung
pada dokter dan institusi yang menangani. Dengan tidak adanya panduan
yang jelas ini, klinisi atau tenaga medis dapat menghentikan upaya resusitasi
bila didapatkan tingkat kepastian yang tinggi bahwa pasien tidak akan
berespon meskipun dilakukan bantuan hidup tingkat lanjut. Karakteristik
henti jantung yang dipertimbangkan oleh tenaga medis dalam menghentikan
upaya resusitasi meliputi durasi dilakukannya RJP, waktu terjadinya henti
jantung, dosis pemberian epinefrin, etiologi henti jantung, ritme jantung ketika
pertama kali henti jantung dan sesudah dilakukan intervensi resusitasi, dan
usia. Perpanjangan upaya resusitasi dapat dilakukan bila terjadi VF atau VT
refrakter, yang mengalami ROSC,

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 25
mengalami keracunan obat, atau yang mengalami kejadian yang menyebabkan
hipotermi.
Pada dewasa, penghentian upaya resusitasi jantung paru berdasarkan pada
banyak pertimbangan, termasuk henti jantung yang diketahui dan tidak
diketahui kejadiannya, waktu RJP, ritme henti jantung yang pertama, waktu
defibrilasi, penyakit komorbid, kondisi sebelum henti jantung, dan apakah
terjadi ROSC selama dilakukan upaya resusitasi.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 26
KEPUSTAKAAN

American Heart Association.(2010). Guidelines for Cardiopulmonary


Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.

Panduan Resusitasi Jantung dan Paru / RSUD Ragab Begawe Caram Kab Mesuji Page 27

Anda mungkin juga menyukai