Anda di halaman 1dari 20

MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 761/MENKES/SK/IX/1992
TENTANG
PEDOMAN FITOFARMAKA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan obat


tradisional ke arah fitofarmaka perlu adanya
pedoman uji fitofarmaka
b. bahwa untuk pelaksanaan hal tersebut dalam
butir (a) dan dalam rangka pelaksanaan Pasal
11 Ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan
Republik lndonesia No. 760/ Menkes/ Per/ IX/
1992 tentang fitofarmaka perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia tentang Pedoman Fitofarmaka
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Rl No. 44 tahun 1974

tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen


2. Keputusan Presiden R l No. 15 tahun 1984
tentang Susunan Organisasi Departemen,
3. Peraturan Menteri Kesehalan Rl No.
246/MenKes/Per/V/l990 tentang lzin Usaha
Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran
Obat Tradisional.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Rl No. 700/
Men,Kes/ Per/ lX/ 1992 tentang Filofarmaka.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No.
99a/Men.Kes/SK/lll/1992 tentang berlakunya
Sistem Kesehatan Nasional.
6. Keputusan Menteri Kesehatan Rl No. 47/
Men.Kes/ SK/ ll/ 1983 tentang Kebijaksanaan
Obat Nasional.

M EMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN


REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN
FITOFARMAKA.
Pertama : Mengesahkan dan memberlakukan Pedoman
Fitofarmaka sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini, sebagai pedoman bagi
semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
pengembangan fitofarmaka.
Kedua : Hasil uji fitofarmaka yang dikeluarkan oleh

Sentra Uji Fitofarmaka merupakan syarat untuk


pendaftaran Fitofarmaka.
Ketiga : Hasil Uji Fitofarmaka yang berasal dari luar

negeri perlu mendapatkan pengkajian dan


rekomendasi lebih dahulu dari Komisi Ahli
Fitofarmaka.
Keempat : Dalam rekomendasi yang dimaksud pada amar

ketiga Komisi Ahli Fitofarmaka dapat


menyarankan untuk melakukan uji fitofarmaka
pada Sentra Uji Fitofarmaka.
Kelima : Pedoman Fitofarmaka yang dimaksud dalam

amar pertama dapat ditinjau dan ditetapkan


kembali oleh Direktur Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan.
Keenam : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta

Pada Tanggal : 4 September 1992

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA

ttd
Dr. Adhyatma, MPH
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN R.I.
NOMOR : 761/MENKES/SK/IX/1992
TANGGAL : 4 SEPTEMBER 1992

PEDOMAN FITOFARMAKA

I. FITOFARMAKA

DEFINISI

Fitofarmaka adalah sediaan obat yang telah dibuktikan


keamanan dan khasiatnya, bahan bakunya terdiri dari
simplisia atau sediaan galenik yang telah memenuhi
persyaratan yang berlaku.

PRIORITAS PEMILIHAN

1. Bahan bakunya relatif mudah diperoleh.


2. Didasarkan pada pola penyakit di Indonesia.
3. Perkiraan manfaatnya terhadap penyakit tertentu cukup
besar.
4. Memiliki rasio resiko dan kegunaan yang menguntungkan
penderita.
5. Merupakan satu-satunya alternatif pengobatan.

RAMUAN

Ramuan (komposisi) hendaknya terdiri dari 1 (satu) simplisia/


sediaan galenik. Bila hal tersebut tidak mungkin, ramuan
dapat terdiri dari beberapa simplisia,/sediaan galenik dengan
syarat tidak melebihi 5 (lima) simplisia/sediaan galenik.
Simplisia tersebut masing-masing sekurang-kurangnya telah
diketahui khasiat dan keamanannya berdasar pengalaman.

STANDAR BAHAN BAKU

Bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tertera dalam


Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia atau
Materia Medika Indonesia Bila pada ketiga buku persyaratan
tersebut tidak tertera paparannya, boleh menggunakan
ketentuan dalam buku persyaratan mutu negara lain atau
pedoman lain.
Penggunaan ketentuan atau persyaratan lain diluar Farmakope
Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia dan Material
Indonesia harus mendapat persetuiuan pada waktu
pendaftaran fitofarmaka. untuk menjamin keseragaman
khasiat dan keamanan fitofarmaka harus diusahakan
pengadaan bahan baku yang terjamin keseragaman komponen
aktifnya. Untuk keperluan tersebut, bahan baku sebelum
digunakan harus dilakukan pengujian melalui analisis
kualitatif dan kuantitatif.
Secara bertahap industri harus meningkatkan persyaratan
tentang rentang kadar alkaloid total, kadar minyak atsiri dan
lain sebagainya.

ZAT KIMIA BERKHASIAT

Penggunaan zat kimia berkhasiat (tunggal murni)


dalam fitofarmaka dilarang.

BENTUK SEDIAAN

untuk mendapatkan formulasi yang tepat, diperlukan suatu


percobaan. Dari beberapa percobaan tersebut dipilih formula
yang memberikan keamanan, khasiat, mutu dan stabilitas
yang paling tinggi. Bentuk sediaan Fitofarmaka seperti tertera
pada Lampiran 1 .

STANDAR FITOFARMAKA

setiap fitofarmaka.harus dapat dijamin kebenaran komposisi,


keseragaman komponen aktif dan keamanannya baik secara
kualitatif maupun secara kuantitatif. Pada analisis terhadap
ramuan, sebagai baku pembanding digunakan zat utama atau
zat identitas lainnya. Secara bertahap industri harus
mempertajam perhatian terhadap galur fitokimia simplisia
yang digunakan.

KHASIAT

Pernyataan khasiat harus menggunakan istilah medik, seperti


diuretik, spasmolitik, analgetik, antipiretik.
DUKUNGAN PENELITIAN

Fitofarmaka harus didukung oleh. Hasil pengujian, dengan


protocol pengujian yang jelas dan dapat dipertanggung
jawabkan. Pengujian meliputi toksisitas, uji efek,
farmakologik, uji klinik, uji kualitas dan pengujian lain yang
dipersyararkan.

II. UJI KLINIK FITOFARMAKA

DEFINISI

Uji klinik Fitofarmaka adalah pengujian pada manusia, untuk


mengetahui atau memastikan adanya efek farmakologi
tolerabilitas, keamanan dan manfaat klinik untuk pencegahan
penyakit, pengobatan penyakit atau pengobatan segala
penyakit.

DASAR PEMIKIRAN
1. Obat tradisional baik dalam bentuk simplisia tunggal
maupun ramuan sebagian besar penggunaan dan
kegunaannya masih berdasarkan pengalaman.
2. Data yang meliputi kegunaan, dosis dan efek samping
sebagian besar belum didasarkan pada landasan ilmiah,
karena penggunan obat tradisional baru didasarkan kepada
kepercayaan terhadap Informasi berdasarkan pengalaman.
3. Dalam rangka upaya pembangunan di bidang kesehatan,
obat tradisional perlu dikembangkan dan secara
berangsur-angsur dimanfaatkan berdasarkan atas landasan
ilmiah, sehingga dapat digunakan dalam upaya pelayanan
kesehatan normal kepada masyarakat.
4. Dalam rangka pengembangan obat tradisional tersebut
maka obat tradisional perlu dikelompokkan kedalam 2
golongan yaitu:
a) Obat tradisional jamu.
b) Fitofarmaka.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatannya di dalam
kesehatan, Fitofarmaka perlu mendapat prioritas.
5. Agar supaya Fitofarmaka dapat diterima dalam upaya
pelayanan kesehatan, perlu dibuktikan manfaat kliniknya
melalui uji klinik fitofarmaka pada manusia.
TUJUAN

Tujuan pokok uji klinik fitofarmaka adalah:


1. Memastikan keamanan dan manfaat klinik fitofarmaka
pada manusia dalam pencegahan atau pengobatan
penyakit maupun gejala penyakit.
2. Untuk mendapatkan fitofarmaka yang dapat
dipertanggung jawabkan keamanan dan manfaatnya.

TAHAP-TAHAP PELAKSANAAN

1. Merencanakan tahap-tahap pelaksanaan uji klinik


Fitofarmaka termasuk formulasi, uji farmakologik
eksperimental dan uji kimia.
2. Melaksanakan uji klinik fitofarmaka.
3. Melakukan evaluasi hasil uji klinik fitofarmaka.
4. Menyebar luaskan informasi tentang hasil uji klinik
litofarmaka kepada masyarakat (peneliti
diperbolehkan mempublikasikan pengujian yang
dilakukan dengan memperhatikan kode etik publikasi
ilmiah).
5. Memantau penggunaan dan kemungkinan timbulnya
efek samping fitofarmaka.

PERSYARATAN UJI KLINIK FITOFARMAKA

Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam uji


klinik Fitofarmaka
1. Terhadap calon fitofarmaka dapat dilakukan pengujian
klinik pada manusia apabila sudah melalui penelitian
toksisitas dan kegunaan pada hewan coba yang sesuai
dan dinyatakan memenuhi syarat, yang membenarkan
dilakukannya pengujian klinik pada manusia.

2. Alasan untuk melaksanakan uji klinis terhadap suatu


fitofarmaka dapat didasarkan pada :
a. Adanya data pengujian farmakologik pada hewan
coba yang menunjukan bahwa calon fitofarmaka
tersebut mempunyai aktivitas farmakologik yang
sesuai dengan indikasi yang menjadi tujuan uji
klinik fitofarmaka tersebut.
b. Adanya pengalaman empirik dan / atau histori
bahwa fitofarmaka tersebut mempunyai manfaat
klinik dalam pencegahan dan pengobatan dan
pengobatan penyakit atau gejala penyakit.
3. Uji Klinik Fitofarmaka merupakan suatu kegiatan
pengujian multidisiplin.
4. Uji klinik Fitofarmaka harus memenuhi syarat-syarat
ilmiah dan metodologi suatu uji klinik untuk
pengembangan dan evaluasi khasiat klinik suatu obat
baru. Protokol uji klinik suatu calon fitofarmaka harus
selaras dengan Pedoman Fitofarmaka yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan Rl. Protokol uji klinik dengan
rancangan dan metodologi yang sesuai dikembangkan
dulu oleh tim peneliti. Protokol uji klinik harus dinilai
dahulu oleh suatu Panitia llmiah yang independent
untuk mendapatkan persetujuan.
5. Uji Klinik Fitofarmaka harus memenuhi prinsip-
prinsip etika sejak perencanaan sampai pelaksanaan
dan penyelesaian uji klinik. Setiap pengujian harus
mendapatkan ijin kelaikan etik (ethical clearance)
dari Panitia Etika Penelitian Biomedik pada manusia.
6. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh
tim peneliti yang mempunyai keahlian, pengalaman,
kewenangan dan tanggung jawab dalam pengujian
klinik dan evaluasi khasiat klinik obat.
7. Uji Klinik Fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh
unit-unit pelayanan dan penelitian yang
memungkinkan untuk pelaksanaan suatu uji klinik,
baik dipandang dari segi kelengkapan sarana, keahlian
personalia, maupun tersedianya pasien yang
mencukupi. Pengulian klinik dalam unit-unit
pelayanan kesehatan di luar Sentra Uji Fitofarmaka,
misalnya di Puskesmas atau Rumah Sakit, harus
mendapatkan supervisi dan monitoring dari Sentra Uji
Fitofarmaka sejak perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan penyelesaiannya.

REFERENSI PENIIAIAN

Referensi penilaian:
1. Semua dokumen resmi.
2. Dalam hal belum ada data penilaian dapat
ditetapkan berdasarkan penilaian kelayakan.

III. RENCANA KERANGKA TAHAP-TAHAP


PENGEMBANGAN

Agar supaya fitofarmaka dapat dipertanggung jawabkan


keamanan dan khasiatnya dalam pemakaiannya pada manusia,
maka pengembangan obat tradisional tersebut harus
mencakup berbagai tahap pengujian dan pengembangan
secara sistematik. Tahap-tahap ini meliputi:
1. Pemilihan.
2. Pengujian Farmakologik
a. Penapisan aktivis farmakologik diperlukan bila belum
terdapat petunjuk mengenai khasiat.
b. Bila telah ada petunjuk mengenai khasiat maka
langsung dilakukan pemastian khasiat.
3. PengujianToksisitas
a. Uji toksisitas akut.
b. Uji toksisitas sub akut.
c. Uji toksisitas kronik.
d. Uji toksisitass pesifik: - Toksisitas pada janin.
- Mutagenisitas.
- Toksisitasto pikal.
- Toksisitaso ada darah.
- Dan lain-lain.
4. Pengujian Farmakodinamik
5. Pengembangan Sediaan (formulasi).
6. Penapisan Fitokimia dan Standarisasi Sediaan.
7. Pengujian klinik.
Sesudah fitofarmaka terbukti mempunyai khasiat yang
bermakna dan memenuhi syarat keamanan pemakaian pada
manusia, maka pengembangan dan penelitian lebih lanjut
perlu dilakukan.

1. TAHAP PEMILIHAN (SELEKSI)


Pemilihan jenis obat tradisional yang akan mengalami
pengujian dan pengembangan kearah fitofarmaka
berdasarkan prioritas yang digariskan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Prioritas pemilihan
diberikan kepada:
a. Jenis obat tradisional yang diharapkan mempunyai
khasiat untuk penyakit-penyakit yang menduduki
urutan atas dalam morbiditas (pola penyakit).
b. Jenis obat tradisional yang diperkirakan mempunyai
khasiat untuk penyakit-penyakit tertentu berdasarkan
inventarisasi pengalaman pemakaian.
c. Jenis obat tradisional yang diperkirakan merupakan
alternatif yang jarang (atau satu satunya alternatif )
untuk penyakit tertentu. Misalnya untuk obat kencing
batu (kalkuli).
Ketentuan lanjut tentang prioritas pemilihan jenis obat
tradisional yang akan diuji dan dikembangkan kearah
fitotarmaka akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Pada saat ini pengujian dilakukan
terhadap calon-calon obat yang tidak bersifat narkotik.

2. TAHAP PENGUJIAN FARMAKOLOGIK


Penapisan efek farmakologi Fitofarmaka ditujukan untuk
melihat dan kerja farmakologik pada system biologic yang
dapat merupakan petuniuk terhadap adanya khasiat
terapetik.
Pengujian dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro
pada hewan coba sesuai. Petunjuk tentang khasiat calon
fitofarmaka seyogyanya diperoleh dari percobaan in vivo
pada hewan mamalia yang sesuai, sedapat mungkin
dikaitkan dengan model penyakitnya pada manusia. Tidak
semua khasiat terapetik calon obat bisa diperkirakan
secara langsung dari model-model percobaan hewan.
Beberapa khasiat yang mungkin bisa diperkirakan dari uji
penapisan dengan model percobaan hewan misalnya daya
analgetik, daya menidurkan, anti hipertensia, anti diabetes,
anti arthritis dll. Kegunaan uji penapisan farmakologik
sebenarnya adalah untuk menghindari pemborosan dalam
tahap uji lebih lanjut. Hasil positif dapat digunakan untuk
perkiraan kemungkinan efek pada manusia.

3. TAHAP PENGUJIAN TOKSISITAS


Uji toksisitas akut menyangkut pemberian beberapa dosis
tunggal yang meningkat secara teratur pada beberapa
kelompok hewan dari jenis yang sama.
Pengamatan kematian dalam waktu 24 jam digunakan
untuk menghitung LD50, dan hewan dipelihara selama 14
hari. Uji toksisitas akut merupakan prasyarat formal
keamanan calon fitofarmaka (obat) untuk pemakaian pada
manusia. Secara ideal uji toksisitas akut dilakukan pada
beberapa jenis hewan, sekurang-kurangnya jenis hewan
pengerat dan satu jenis hewan bukan pengerat. Namun
karena berbagai pertimbangan uji toksisitas akut pada saat
ini sudah cukup memadai , bila dilakukan pada tikus dari
kedua jenis kelamin, menggunakan minimal hewan dari
tiap kelamin perdosis. Yang perlu dicari disini adalah :
a. Spektrum toksisitas akut Sistem biologik yang paling
peka terhadap calon Fitofarmaka.
b. Cara kematian (mode of death).
c. Nilai dosis lethal median( LD50) yang dihitung dengan
metode statistic baku.
Pada kasus dimana sulit untuk memperoleh harga LD50
secara pasti seyogyanya dalam percobaan dosis yang
diberikan sudah dicakup dosis terbesar yang secara teknis
dapat diterima oleh hewan coba. Jenis hewan yang dipakai
disini tidak perlu sama dengan hewan yang dipakai untuk
uji jangka lama karena untuk uji jangka lama sebaiknya
dipilih hewan yang mempunyai profil farmakokinetik
yang sama dengan manusia terhadap obat tersebut.
Demikian juga untuk uji karsinogenisitates, ratogenisitas
dll. Teknik pelaksanaan pengujian keracunan harus
memenuhi persyaratan yang lazim. Untuk tanaman yang
belum dikenal, uji menggunakan dua jenis hewan coba
yaitu tikus dan mencit dari dua jenis kelamin. Bila
diperlukan dapat ditambah anjing. Calon Fitofarmaka
yang di uji toksisitas akut dilakukan dengan tikus dan
mencit dari kedua jenis dengan satu jenis hewan coba lain
misalnya nantinya akan diberikan pada perlu diupayakan
kesetaraan adalah yang manusia. Bentuk sediaan uji dapat
berbeda, namun khasiat dan keamanan. Spectrum
toksikologik yang perlu mendapat perhatian khusus
adalah kemungkinan adanya efek toksik pada system
organ-organ vital seperti kardiovaskuler, susunan saraf
gastroiniestinaple, pernafasan dan lain-lain Jika calon
fitofarmaka mempunyai pengaruh toksik pada system ini,
umumnya akan terdeteksi pada tahap uji toksisitas akut.
Pengujian toksisitas lanjut meliputi :
a. Toksisitas sub akut.
b. Toksisitas kronik.
c. Toksisitas spesifik.

a. Toksisitas Sub Akut


Rancangan uji toksisitas sub akut dibuat berdasarkan
hasil uji toksisitas akut.
Uji toksisitas sub akut. Dapat memberikan gambaran
tentang toksisitas calon fitofarmaka pada penggunaan
berulang untuk jangka waktu yang relatif lama.
Kecenderungan kumulasi dan reversibilitas efek toksik
calon fitofarmaka dapat dinyatakan dari hasil uji
toksisitas sub akut.
- Hewan coba ideal tiga jenis, yaitu 2 rodent dan 1
non rodent, untuk sementara cukup memadai
menggunakan satu jenis yaitu tikus, minimal 3
dosis, salah satu dosis adalah dosis ekivalen yang
akan digunakan pada manusia, 10 hewan per dosis,
dua jenis kelamin.
- Route pemberian sama dengan route yang
digunakan pada manusia.
- Jangka waktu uji pemberian calon fitofarmaka
pada toksisitas sub akut 3 (tiga) bulan.
Pemeriksaan organ-organ vital seperti hepar, ginjal,
paru, otak, system hematologik , di kerjakan dengan
metode standar (baku), termasuk pemeriksaan
histopatologik . Teknis pelaksanaan pengujian harus
dikerjakan dengan cara-cara standar (baku) yang
memenuhi persyaratan ilmiah. Bilamana pada
pengamatan Uji toksisitas akut terlihat adanya gejala
toksik pada organ hati dan atau ginjal maka parameter
perlu dilengkapi dengan parameter biokimia mengenai
hati dan ginjal.

b. Toksisitas Kronik
Uji toksisitas kronik diprioritaskan pada calon
fitofarmaka yang penggunaannya berulang/ berlanjut
dalam jangka waktu sangat lama (lebih dari 6 bulan).
Uji toksisitas kronik memberikan gambaran tentang
toksisitas atau keamanan calon fitofarmaka pada
penggunaan dosis lazim secara berulang selama hayat
hewan.
- Rancangan uji toksisitas kronik dibuat berdasarkan
hasil uji toksisitas sub akut.
- Jumlah hewan coba yang digunakan harus cukup
banyak, minimal 20 ekor per dosis, agar hasil uji
toksisitas kronik masih dapat ditafsirkan dengan
cermat, walaupun terjadi kematian hewan yang
tidak berkaitan dengan hal-hal teknis percobaan
selama waktu pengujian.
Lama Pemberian Calon Fitofarmaka ada Uji
Toksisitas. Lama pemberian fitofarmaka pada hewan
coba untuk uji toksisitas dianjurkan agar disesuaikan
dengan lamanya pemakaian obat pada manusia.
Tabel berikut memperlihatkan skema lama pemberian
yang diperlukan pada uji toksisitas dihubungkan
dengan pemberian pada manusia. Tabel ini merupakan
modifikasi dari pedoman FDA untuk evaluasi obat
yang akan digunakan pada manusia ( 1975).

Lama penggunaan Lama uji toksisitas pada hewan


Oleh manusia
Dosis tunggal atau 1 jenis, tidak kurang
beberapa dosis dari 2 minggu
Beberapa hari 1 jenis, 2 minggu
2 minggu 1 jenis, 3 bulan
3 minggu 1 jenis, 6 bulan
6 bulan atau lebih 1 jenis,
-12 bulan = hewan bukan
Pengerat
-18 bulan = hewan pengeral

Sebagai jalan tengah, perlu selalu dicari dan


dikembangkan alternatif-alternatif model dan prosedur
uji toksisitas yang masih memenuhi persyaratan
minimal keamanan obat.

c. Toksisitas Spesifik
Uji toksisitas ini misalnya uji teratogenisitas, uji
karsinogenisitas , uji mutegenisitas, uji toksisitas
terhadap janin, uji terhadap fungsi-fungsi reproduksi
dan lain-lain. Perlu tidaknya uji-uji ini dilakukan
tergantung pada kemungkinan terjadinya efek-efek
toksik tersebut, sehubungan dengan pemakaiannya
pada manusia. Misalnya uji teratogenisitas atau uji
toksisitas terhadap janin harus dikerjakan bila
pemakaian klinik fitofarmaka nantinya diberikan pada
masa-masa organogenesis dan kehamilan.
Uji mutagenisitas dan karsinogenisitas harus
dikerjakan bila fitofarmaka dipakai secara kronik,
peraksanaan penguiian, harus memenuhi cara-cara
standar (baku) yang lazim. Untuk sediaan-sediaan
yang digunakan secara topikal dipersyaratkan untuk
dilakukan pengujian toksisitas secara topikal misalnya
iritasi kulit dengan model hewan percobaan yang
sesuai.

4. TAHAP PENGUJIAN FARMAKODINAMIK

Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara


lugas penqaruh farmakologik pada berbagai system
biologik. Bila diperlukan , penelitian dikerjakan pada
hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo.
Bila calon fitofarmaka sudah menjalani uji penapisan
biologic (tahap 2) dan dipandang belum bias atau belum
mungkin untuk dikerjakan pengujian farmakodinamik ,
maka hal ini seyogyanya tidak merupakan penghambat
untuk lebih lanjut. Tahap pengujian farmakodinamik akan
lebih banyak tergantung pada sarana dan prasarana yang
ada, baik perangkat lunak maupun perangkat keras.

5. TAHAP PENGEMBANGAN SEDIAAN


(FORMULASI)

Perkembangan sediaan dimaksudkan agar bentuk sediaan


fitofarmaka yang akan diberikan pada manusia nantinya
memenuhi persyaratan-persyaratan kualitas maupun
estetika. Syarat-syarat kualitas yang sesuai dengan cara
pemberian baik peroral maupun cara pemberian lain harus
diperhatikan secara khusus.
Yang perlu mendapat perhatian , sediaam calon
fitofarmaka yang diberikan harus :
1. Tidak memberikan bau dan rasa yang menyebabkan
kegagalan pengujian (contoh pada bawang putih).
2. mempunyai ketersediaan hayati yang baik, hasil uji
farmakologi dab uji klinik meragukan, kadang-
kadang disebabkan ketersediaan hayati calon
fitofarmaka yang tidak memadai.

6. PENAPISAN FITOKIMIA DAN STANDARISASI


SEDIAAN

jika sebelum diketahui kandungan aktifnya, tahap pertama


yang harus dilakukan bersamaan dengan pengujian klinik
dalam pembuatan profil kromatogram bertahap dengan
pelarut non polar, semi polar dan polar.
Slanjutnya dilkukan standarisasi sediaan dengan
menggunakan zat identitas.
Penelitian fitokimialebih lanjut adalah penentuan
kandungan kimia aktif. Jika kandungan kimia aktif
sediaan sudah diketahui, maka dapat dilakukan
standarisasi sediaan berdasarkan atas kadar kandungan
aktif tersebut.

7. TAHAP PENGUJIAN KLINIK

Persyaratan dilaksanakannya uji klinik calon fitofarmaka


antara lain adalah :
a. Adanya dasar pertimbangan pelaksanaan Dasar
pertimbangan dilakukannya uji klinik terhadap
suatu calon fitofarmaka adalah:
- Adanya pengalaman empiris bahwa calon
fitofarmaka tersebut mempunyai manfaat klinik
dalam pencegahan dan pengobatan penyakit atau
gejala penyakit.
- Adanya data farmakologik pada pengujian
terhadap hewan yang menunjukkan fitofarmaka
tersebut emmpunyai aktifitas farmakologik yang
relevan.
b. Persyaratan untuk uji klinik Terhadap fitofarmaka
dapat dilakukan Uji Klinik pada manusia apabila
sudah terbukti aman berdasarkan penelitian
toksikologi dan dinyatakan memenuhi syarat
keamanan untuk pengujian pada manusia.
c. Kriteria Pelaksanaan Uji Klinik
- Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi syarat-
syarallmiah dan metodologik suatu uji klinik untuk
pengembangan dan evaluasi suatu obat baru.
- Protokol uji klinik fitofarmaka harus sudah
disetujui oleh suatu Panitia llmiah yang
independent
- Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan oleh
beberapa orang (tim) peneliti yang mempunyai
keahlian, pengalaman, kewenangan dan tanggung
jawab dalam pengujian klinik dan evaluasi obat.
- Uji klinik fitofarmaka harus memenuhi prinsip-
prinsip etika sejak perencanaan pelaksanaan
sampai dengan penyelesaian uji klinik
- Setiap pengujian harus menciapatkan izin kelaikan
etik (Ethical clearance) dari Panitia Etika
Penelitian Biomedik pada manusia.
Uji klinik fitofarmaka hanya dapat dilakukan di unit-
unit pelayanan dan penelitian yang memungkinkan
untuk pelaksanaan suatu uji klinik, baik dari segi
kelengkapan sarana, personalia, kemampuan maupun
tersedianya pasien-pasien yang mencukupi. Uji klinik
Fitofarmaka seyogyanya dilakukan sesuai dengan
tahap-tahap uji klinik calon obat baru yang meliputi
fase l , fase ll, fase lll dan fase lV. Uji klinik
Fitofarmaka secara praktis dapat disederhanakan
sebagai berikut :

1. Tahap Awal (uji klinik rancangan terbuka). Uji


Klinik Tahap Awal adalah suatu uji klinik tanpa
pembanding (uncontrolled trial). Tahap ini
bertujuan untuk melihat adanya kemungkinan
manfaat klinik, menentukan dosis yang dapat
menimbulkan efek tersebut serta untuk
Uji KlinikTahap Lanjut merupakan uji klinik yang
definitif dengan jumlah penderita yang lebih
banyak dan dilakukan dengan persyaratan-
persyaratan metodologi dan monitoring yang ketat
(exploratory trial). Uji klinik dilakukan dengan
kelompok pembanding dapat berupa placebo atau
obat standar( baku) yang sudah diketahui secara
pasti.
Uji klinik dapat dilakukan disalah satu pusat
penelitian (mono centre) atau di beberapa pusat
penelitian (multi centre).

2. Tahap Pemantauan (Fase lV)


Uji klinik tahap pemantauan merupakan survailan
efek samping yang langka ( rare, side effects) yang
baru muncul setelah pemberian jangka panjang
yang tidak mungkin terkendali pada fase-fase uji
klinik sebelum pemasaran. System survailan ini
seyogyanya merupakan bagian dari system
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Nasional.
Disamping itu, Uji Klinik Tahap Pemantauan
dilakukan untuk melihat manfaat obat pada
keadaan yang sesungguhnya dalam klinik, pada
populasi penderita yang khusus misalnya anak-
anak, orang lanjut usia dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa efek yang tidak diinginkan
(adverse effects) yang dapat dikenali pada tahap
awal dan tahap lanjut adalah tipe yang umum.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam uji
klinik:

A. Umum:
1. Tujuan uji klinik harus jelas.
2. Memenuhi prinsip ilmiah yang telah
diakui.
3. Prinsip etik penelitian pada manusia harus
jelas, Kepentingan pasien harus
diutamakan.
4. Dikerjakan oleh Tim Ahli yang
berpengalaman di kerjakan dengan
prinsip-prinsip, metodologi dan rancangan
yang memadai.
5. Uji Klinik Fitofarmaka dikerjakan oleh
Tim Ahli yang secara ilmiah dan etis
memenuhi syarat dan berada di bawah
pengawasan seorang tenaga medis yang
mempunyai kompetensi klinik.
6. Tanggung jawab atas keselamatan manusia
yang diteliti berada pada tenaga medis yang
mempunyai kompetensi klinik.
7. Pasien dan keluarganya secara singkat
perlu diberitahu prosedur terapik yang
akan dijalani dan memberi persetujuan
tertulis.
8. Calon Fitofarmaka harus memenuhi
persyaratan.
9. Bentuk sediaan fitofarmaka harus sesuai
dengan tujuan pengobatan dan sifat bahan
bakunya.
10. Dari hasil pengujian farmakologik
eksperimental dan toksisitas dengan
spesies dan jumlah hewan coba yang
memadai, dinyatakan memadai untuk
dilanjutkan dengan Uji Klinik
Fitofarmaka.
11. Adanya data yang memadai yang berasal
dari pustaka ilmiah.
12. Rancangan dan Pelaksanaan setiap
prosedur percobaan harus dirumuskan
secara jelas dan rinci dalam suatu protocol
penelitian.
13. Protokol penelitian harus diajukan kepada
panitia independen yang khusus ditunjuk
untuk memberi pertimbangan, ulasan dan
bimbingan.
14. Uji Klinik Fitofarmaka harus:
a. Didahului dengan penilaian yang
cermat mengenai risiko yang dapat
diramalkan
b. Dapat memberi manfaat yang lebih
besar bila disbanding dengan resiko
yang akan dialami subyek.
c. Mengutamakan kepentingan subyek
dari pada kepentingan ilmiah.
15. Uji Klinik Fitofarmaka harus dihentikan
bila ditemukan bahwa bahayanya melebihi
manfaat yang mungkin diperoleh.
16. Uji Klinik Fitofarmaka harus memberi
penjelasan kepada subyek tentang:
a. Tujuan, cara, manfaat yang
diharapkan, bahaya yang mungkin
dihadapi, keadaan kurang
menyenangkan yang mungkin timbul.
b. Kebebasan untuk tidak ikut serta dalam
uji klinik fitofarmaka
c. Kebebasan untuk membatalkan
persetujuannya untuk berpartisipasi.
17. Pada Uji Klinik Fitofarmaka, penguji
harus memperoleh persetujuan subyek
sebaiknya secara tertulis (informed
consent) setelah mendapatkan penjelasan.
Persetujuan tersebut sebaiknya dari
subyek, orang tua subyek atau wali
subyek.

B. Khusus:
1. Pemeriksaan pasien sebelum pengobatan
meliputi pemeriksaan anamnestis, Klinik,
laboratorium dan pemeriksaan khusus lain
yang perlukan
2. Kriteria diagnostik harus dipastikan, juga
stratilikasi derajat penyaklt.
3. Kriteria seleksi terdiri dari :
a. Kriteria penerimaan (inclusion
criteria), kriteria pasien yang
memenuhi syarat untuk penelitian
harus dipastikan
b. Kriteria penolakan (exclusion criteria),
Kondisi pasien yang tidak
memungkinkan untuk ikut dalam
penelitian.
4. Persiapan calon fitofarmaka. Bahan baku
harus diketahui asal-usulnya dan diketahui
mutunya. Bentuk sediaan harus
memperhatikan bentuk sediaan yang
digunakan oleh masyarakat.
5. Perlakuan terapi : Jenis terapi calon
fitofarmaka yang diteliti , cara pemberian
dosis, lama pemberian dll .
6. Kontrol (pembanding): Jenis, cara
pemberian dosis, lama pemberian. Apakah
6erupa plasebo atau terapi obat standar
(baku) yang lain.
7. Randomisasi perlakuan antara terapi calon
fitofarmaka yang diteliti dan pembanding.
8. Penilaian hasil terapi : Kapan dinilai, oleh
siapa, bagaimana cara penilaian dan
kriteria penilaian.
9. Tehnik tersamar( blinding technique)
apakah tersamar tunggal (single blind)
atau tersamar ganda (double blind)
10. Pengelolaan data; pengumpulan,
organisasi, pengolahannya, siapa yang
melakukan, metode analisis statistika dan
penyimpulan harus jelas.
11. Penulisan laporan harus mudah dipahami

IV. ORGANISASI DAN TUGAS


Uji Fitofarmaka melibatkan
1. Komisi Ahli Uji Fitofarmaka.
2. Sentra Uji Fitofarmaka.
3. Pelaksana Uji Fitofarmaka

1. Komisi Ahli Uji Fitolarmaka


Komisi Ahli ini diangkat oleh Kesehatan R.l. dan
bertanggung jawab kepada Menteri Tugas RI.
Tugas
a) Mengajukan saran-saran dan pertimbangan tentang
rencana, pelaksanaan dan hasil uji preklinik dan uji
fitofarmaka
b) Memberikan masukan tentang prioritas fitofarmaka
c) Menyusun dan mengusulkan protocol uji fitofarmaka
d) Menyusun dan mengusulkan ketentuan limiah dan
lain-lain yang perlu dianggap.

2. Sentra Uji Fitofarmaka


Sentra uji fitofarmaka adalah instansi Pelayanan atau
penelitian kesehatan yang disetujui Menteri untuk
melaksanakan dan mengkoordinasi uji fitofarmaka.

Tugas
a) megkoordinasi tugas pelaksana uji fitofarmaka
b) memberikan pengarahan teknis dan pelayanan rujukan
kepada pelaksanan uji fitofarmaka
c) memberikan laporan kepada direktur Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan , mengenai
perencanaan dan hasil uji fitofarmaka

3. Pelaksanan Uji Fitofarmaka


Uji klinik Tahap Lanjut adalah suatu uji klinik dengan
pembanding (randomized controlled trial).

Sesudah diketahui adanya kemungkinan efek yang dicari


barulah diteruskan dengan uji klinik terkedali. Rancangan
yang paling sesuai adalah rancangan paralel atau
rancangan antar subyek (randomized controlled trial
parallel desaign).

Subyek yang memenuhi peryaratan terbagu secara acak


menjadi tiga kelompok perlakuan yang masing-masing
menerima perlakuan pengobatan sebagai berikut :
a. Calon fitofarmaka.
b. Kontrol negatif.
c. Kontrol positif obat pembanding.

Anda mungkin juga menyukai