Anda di halaman 1dari 27

Rencana baca : Kamis, 18 Oktober 2018

Waktu : 09.00 WIB

Book Reading

Mekanisme Perbaikan Luka, Penyembuhan


Luka dan Penutupan Luka
Vincent Falanga & Satori Iwamoto
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8thedition, 2012
Chapter 248, Page 2984 – 2996

Pembimbing: Dr. dr. Nelva K. Jusuf, SpKK(K), FINSDV, FAADV

Penyaji: dr. Riefka Ananda Zulfa

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018

1
MEKANISME PERBAIKAN LUKA, PENYEMBUHAN LUKA DAN
PENUTUP LUKA

SEKILAS MENGENAI PERBAIKAN LUKA

 Luka akut berbeda dengan luka kronis namun saling tumpang tindih
 Pada luka yang akut terjadi urutan yang teratur mulai dari kejadian cedera sampai ke
proses koagulasi, inflamasi, proliferasi, migrasi sel dan pembentukan jaringan
 Pada fase awal, berbagai faktor pertumbuhan memegang peranan penting termasuk
platelet-derived growth factor dan transforming growth factor β1. Pada fase proliferasi
/migrasi dan modeling, matrix metalloproteinase (MMPs) jaringan, integrin, faktor
pertumbuhan dasar fibroblast dan faktor pertumbuhan endotel sangat penting. MMP-1,
MMP-9 dan MMP-10 diperlukan pada fase remodeling.
 Luka yang lembab sembuh lebih cepat, dan beberapa penutup luka yang tersedia saat
ini memenuhi kebutuhan tersebut. Termasuk selaput transparan, hidrokoloid, foam,
alginate, jeli dan produk-produk berbahan dasar kolagen.
 Luka kronis berbeda dengan luka akut dimana tidak dijumpainya hubungan satu arah
antara fase yang berbeda. Luka kronis adalah hasil dari kejadian iskemik, tekanan dan
infeksi, dan penyembuhannya tergantung pada faktor-faktor ini
 Penyembuhan luka skin graft juga berbeda karena sangat bergantung pada
revaskularisasi baik itu neovaskularisasi atau anastomosis.

PENDAHULUAN
Istilah “penyembuhan luka”, “perbaikan luka” atau “perbaikan jaringan” sering digunakan
secara bergantian, tapi sebenarnya perbedaan “penyembuhan” dan “perbaikan” mengarah
kepada perbedaan proses dan hasilnya. Pertama-tama sebelum kita membedakannya, kita
harus mengetahui bahwa “penyembuhan” dan “perbaikan” bukan terbatas pada kulit saja
akan tetapi mencakup berbagai sistem organ. Secara teknis istilah penyembuhan luka
digunakan hanya dalam konteks regenerasi yang sebenarnya yaitu saat bentuk dan struktur
asli organ atau bagian tubuh dapat kembali seperti kondisi sebelum terjadinya cedera. Pada
hewan-hewan yang lebih primitif, seperti amfibi dan reptil mampu beregenerasi seperti itu.
Namun hewan yang lebih besar dan lebih kompleks selama evolusi tidak mampu
beregenerasi sempurna. Janin manusia sebagian besar masih mampu beregenerasi (terutama
pada tahap awal) tetapi pada orang dewasa regenerasi sempurna tidak terjadi, dengan

2
pengecualian organ liver (terjadi kompensasi berupa pembesaran liver bukan regenerasi).
Sebaliknya manusia dan vertebra lainnya, sembuh dengan proses perbaikan (perbaikan luka
atau perbaikan jaringan), dimana hasil akhirnya tidak sempurna secara anatomis tetapi dapat
berfungsi. Namun, kemajuan dan perkembangan publikasi ilmiah, bahkan dalam diskusi ini,
kadang-kadang istilah “penyembuhan” dan “perbaikan” masih digunakan bergantian. Dan
akan lebih dikhususkan pada pembahasan mengenai regenerasi jaringan.

Mengapa perbaikan luka lebih sering terjadi pada vertebra yang lebih tinggi dibandingkan
penyembuhan atau regenerasi sempurna dijelaskan dengan beberapa alasan evolusi. Secara
teologik dan sudut pandang evolusi, pada hewan yang lebih tinggi diperlukan proses
perbaikan yang cepat dan lebih membutuhkan sedikit energi, sehingga memungkinkan
organisme pulih dengan segera. Namun perbaikan yang terjadi dengan cepat dapat mengarah
kepada terjadinya jaringan parut. Pertimbangan penting lainnya adalah bahwa mekanisme
perbaikan luka tersebut ditujukan untuk mengatasi cedera jaringan akut bukan kondisi kronis.
Selanjutnya dari sudut pandang evolusi, manusia seharusnya tidak mengalami penyakit
degeneratif atau harus hidup lebih lama untuk mengalami ulkus arterial, venosa, dan ulkus
akibat tekanan atau ulkus neuropatik dari penyakit diabetes. Oleh karena itu tubuh manusia
cenderung tidak siap menghadapi luka kronis dan tidak memiliki mekanisme khusus yang
efektif untuk kondisi tersebut. Perlu diingat bahwa luasnya kerusakan dan kedalaman
merupakan pertimbangan penting. Dengan demikian luka yang dangkal (contohnya biopsi
shave) dimana masih terdapat apendiks kulit (folikel rambut, kelenjar keringat,dll) masih
memiliki kapasitas untuk mengalami kesembuhan dari dalam karena masih terdapat
keratinosit yang berhubungan dengan apendiks kulit tersebut. Sebaliknya, luka full thickness
(contoh yang baik yaitu biopsi punch) bergantung pada migrasi dan proliferasi keratinosit
dari pinggir luka. Sehingga tidak mengherankan bahwa luka full thickness berhubungan
dengan penyembuhan yang lama dan pembentukan jaringan parut. Pada beberapa model
hewan, khususnya hewan dengan ekspresi gen yang berlebihan atau ketiadaan gen tertentu,
memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap peranan beberapa protein dan mediator
tertentu. Gangguan penyembuhan ditemukan pada tikus dengan defisiensi pada molekul yang
diperlukan dalam proses peradangan (E dan P selektin) dan pada tikus tanpa plasminogen,
uPA dan tPA (double knock out), faktor pertumbuhan fibroblast 2 (basic FGF atau bFGF)
atau inducible Nitric Oxide (iNOS). Selanjutnya, gangguan atau tertundanya proses
penyembuhan terjadi pada tikus transgenik dengan over ekspresi beberapa metalloproteinase
jaringan (MMP-1) dan antisense ke CD44, reseptor untuk asam hialuronik. Beberapa mutasi

3
yang diinduksi menyebabkan percepatan penyembuhan, seperti yang telah dilaporkan dengan
Smad-3 atau skn-1a knock-out mice. Dimasa yang akan datang, petunjuk ini mungkin dapat
digunakan untuk menstimulasi proses penyembuhan pada manusia.

Gambar 248-1. Gambaran diagram kulit, dengan dua segitiga terbalik yang mewakili luka
terbuka atau luka full thickness. Perluasan luka dibawah reservoir keratinosit

TAHAPAN PENYEMBUHAN LUKA


Secara umum terdapat 4 fase yang menjadi ciri proses perbaikan kulit: (1) koagulasi, (2) fase
inflamasi, (3) proliferasi dan fase migrasi (pembentukan jaringan), dan (4) fase remodeling.
Fase koagulasi dan inflamasi kadang-kadang dikelompokkan menjadi satu oleh karena
banyaknya mediator yang dilepaskan saling tumpang tindih. Pada diagaram 248-2,
menggambarkan fase penyembuhan secara berurutan, sedangkan gambar 48-3 menunjukkan
peristiwa yang terjadi pada tiap-tiap fase. Kita akan membahas fase ini dan mengenal
komponen utama dan peristiwa yang merupakan ciri untuk tiap fase. Jenis sel yang dianggap
terlibat dalam proses penyembuhan terutama adalah trombosit, netrofil dan makrofag,
fibroblast, sel-sel endotel, sel-sel epitel. Baru-baru ini dikemukakan bahwa limfosit juga

4
berperan penting baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, perlu diingat bahwa
terhambatnya seluruh proses dalam penyembuhan luka diartikan sebagai hambatan pada fase-
fase tersebut karena prosesnya saling tumpang tindih. Pertimbangan lain bahwa kejadian dan
hipotesis mengenai fase penyembuhan luka ini telah diteliti terhadap hewan percobaan di
laboratorium, diasumsikan terjadi hal yang sama pada perbaikan jaringan manusia.

Fase Koagulasi dan Inflamasi


Walaupun kedua fase ini sebelumnya dikatakan terpisah, namun lebih tepat dibahas sekaligus
oleh karena hal-hal yang saling tumpang tindih pada kedua fase ini. Fase awal koagulasi dan
inflamasi dimulai segera setelah cedera akut. Gangguan pada pembuluh darah menyebabkan
pelepasan lokal elemen-elemen pembuluh darah dan sel-sel darah sehingga terjadi
pembekuan darah. Bekuan darah dalam lumen pembuluh darah menyebabkan hemostasis
sementara pada tempat terjadinya cedera, berperan sebagai matriks sementara untuk migrasi
sel. Selanjutnya pembentukan matriks ekstraseluler (ECM) yang baru, dan reservoir untuk
sitokin dan faktor pertumbuhan. Komponen awal pada fase ini didominasi oleh platelet, yang
mengarahkan pembekuan dari luka yang baru melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik. Platelet
juga melepaskan sejumlah faktor kemotaktik yang menarik platelet lainnya, leukosit, dan
fibroblast ke tempat terjadinya cedera. Leukosit diperlambat didalam aliran darah melalui
ekspresi selektin, yang berpasangan dengan integrin, membawa sel darah putih inflamasi ke
dalam luka. Sel-sel ini memiliki berbagai peranan yaitu debridement dari bahan-bahan
nekrotik juga produksi sitokin-sitokin tertentu. Hal penting lainnya ialah produksi faktor
pertumbuhan jaringan ikat (CTGF) oleh sel-sel inflamasi dan diekspresikan pada luka.
Setelah beberapa hari, netrofil di singkirkan oleh makrofag.

5
6
Gambar 248-4 Tampilan skematis, menggunakan potongan fotomikrografi, yang didapat
sesaat setelah kecelakaan, termasuk pembentukan sumbatan fibrin, migrasi epidermal dan
deposisi ECM.

Gambar 284-4 adalah gambaran diagram potongan jaringan yang diambil setelah terjadinya
cedera. Sumbatan fibrin yang dihasilkan oleh cedera awal memberikan perlindungan luka
yang bersifat sementara dan terdiri dari platelet yang terdapat didalam gabungan kompleks
dari polymerized fibrinogen (fibrin), fibronektin, vitronektin, dan trombospondin. Cross-
linking fibrin oleh faktor XIII juga tampaknya penting dan terdapat bukti bahwa fungsi dan
kemungkinan, migrasi keratinosit akan mengalami gangguan pada uncrossed-link fibrin. Pada
saat mereka mengalami agregasi, platelet akan melepaskan sejumlah besar faktor
pertumbuhan, termasuk platelet derived growth factor (PDGF) dan transforming growth
factor-β1 (TGF-β1). Pada kenyataannya, platelet merupakan tempat penyimpanan utama dari
isoform TGF-β1. Lingkungan cedera akut bersamaan dengan hipoksia, protease, dan pH
rendah, memiliki peranan pada aktivasi faktor pertumbuhan ini. Mediator-mediator utama
sendiri memproduksi mediator lain dari proses fragmentasi atau polimerasi. Sebuah contoh
klasik adalah fibrinopeptida kemotaktik A dan B, yang diproduksi oleh karena aksi trombin
pada fibrinogen. Contoh lain adalah pembentukan bradikinin, juga C3a dan C5a, yang
diaktivasi oleh faktor Hageman.

Pada saat komponen inflamasi pada fase awal ini berlanjut, dalam waktu 24 jam sampai 48
jam setelah cedera, monosit akan menggantikan netrofil dan menjadi lekosit yang

7
predominan. Monosit ditarik ke tempat terjadinya cedera oleh kemoatraktan yang sama yang
menarik netrofil, misalnya kalikrein, fibrinopeptida, dan produk degradasi fibrin.
Kemoatraktan spesifik lainnya yang kemudian mengambil alih untuk menarik netrofil yaitu
kolagen, fibronektin, elastin, dan TGF-β1. Monosit akan mengalami perubahan fenotipik
menjadi makrofag jaringan, dan tidak seperti netrofil, mereka berperan penting pada progresi
penyembuhan luka. Makrofag berperan sebagai fagosit, membunuh bakteri, dan
membersihkan debris jaringan. Makrofag juga melepaskan beberapa faktor pertumbuhan
termasuk PDGF, FGF, dan TGF-β1 oleh karena itu menstimulasi migrasi dan proliferasi
fibroblast juga produksi dan modulasi matriks ekstraselular (ECM). Makrofag umumnya
dianggap sebagai sel utama dalam penyembuhan luka. Bagaimanapun, hal ini merupakan
sebuah penyederhanaan yang berlebihan, karena penting untuk mempertimbangkan bahwa
adanya gangguan atau lambatnya penyembuhan luka bukan seluruhnya disebabkan ada
tidaknya inflamasi atau sel tertentu melainkan oleh respon inflamasi yang tidak semestinya.
Sebagai contoh terdapat bukti bahwa penyembuhan dapat terjadi tanpa adanya infiltrat
inflamasi. Sebaliknya, eksperimen pada tikus yang secara konstitutif mengekspresikan
chemotactic cytokine interferon-inducible protein 10 menunjukkan bahwa infiltrat inflamasi
yang hebat dapat mengganggu neovaskularisasi dan pembentukan jaringan granulasi yang
tepat. Oleh karena itu, peranan sejati dari inflamasi pada perbaikan jaringan masih bersifat
kontroversial jika dilihat dari sudut pandang eksperimental. Dari sudut pandang klinis,
tampak pada luka kutaneus tertentu, seperti pemfigus atau pioderma gangrenosum, penurunan
inflamasi dengan menggunakan kortikosteroid menunjukkan hasil yang efektif.
Kemungkinan, modulasi dan koreksi dari respon inflamasi oleh kortikosteroid dapat
memberikan manfaat pada bentuk klinis tertentu.

Fase Proliferasi/Migrasi dan Remodeling


Gambar 248-4 menunjukkan representasi sumbatan fibrin pada tempatnya dan kejadian
tertentu yang timbul pada dua fase selanjutnya dalam penyembuhan, yaitu
proliferatif/migratori dan fase remodeling. Inflamasi menjalankan peranan utamanya segera
setelah terjadi cedera, hal yang paling penting pada fase ini adalah reepitelisasi. Kejadian
yang penting ini tidak hanya bergantung pada keratinosit, karena terdapat ketergantungan
yang tinggi antara pergerakan keratinosit melalui matriks provisional fibrin, penarikan
fibroblast dan sel-sel endotel serta pembentukan matriks ekstraseluler (gambar 248-2 dan
248-3). Matriks metalloproteinase jaringan (MMPs) dan enzim lainnya (tPA dan uPA)
berperan penting dalam pergerakan sel melalui komponen matriks provisional struktural,

8
serta untuk membebaskan keratinosit dari perlekatan hemidesmosomal dan desmosomal pada
tepi luka. Seperangkat molekul penting lainnya yang berperan pada komponen migratori ini
adalah integrin. Integrin, yang sedikitnya terdiri dari 24 heterodimer αβ (18α dan 8β),
merupakan reseptor permukaan sel transmembran yang mengikat ECM dengan struktur
sitoskeletal. Integrin bersifat sangat dinamik selama proses perbaikan. Sebagai contoh
fibroblast dermis mengalami perubahan dari α2 menjadi integrin α3 dan α5. Contoh lainnya,
sel-sel endotel tidak memberikan respon terhadap stimulus angiogenik tanpa ekspresi dari
integrin αβ5. Beberapa polipeptida faktor pertumbuhan berperan sangat penting pada
angiogenesis, termasuk bFGF dan vascular endotelial growth factor (VEGF). Table 248-1
menunjukkan beberapa sitokin utama dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam proses
perbaikan. Yang harus kita sadari, tabel tersebut merupakan penyederhanaan dari komponen
biologis yang sangat kompleks dari polipeptida. Hanya efek utama yang dicatat dan harus
diingat juga bahwa kerja dari faktor pertumbuhan biasanya bersifat spesifik dan berbeda pada
setiap situasi biologis.

Bukti menunjukkan bahwa tekanan oksigen yang rendah merupakan stimulus awal yang
penting pada aktivasi fibroblast dan sel endotel. Replikasi dan umur fibroblast meningkat
pada keadaan hipoksia, dan tekanan oksigen yang rendah akan menstimulasi ekspansi klonal
dari fibroblast dermis secara berurutan sebagai sel tunggal. Sintesis dari sejumlah faktor
pertumbuhan juga meningkat pada sel-sel yang hipoksia. Makrofag mensekresikan substansi
angiogenik hanya pada saat terpapar dengan tekanan oksigen yang rendah. Efek yang bersifat
reversibel ini tampak pada tekanan oksigen 15-20 mmHg. Transkripsi TGF-β1 dan sintesis

9
peptida meningkat pada kultur fibroblast dermis manusia yang terpapar oleh tingkat hipoksia
yang sama. Sebagai tambahan hipoksia akan meningkatkan sintesis endotelin-1, rantai
PDGF-β dan VEGF pada sel-sel endotelial. Tampaknya, setidaknya pada beberapa kasus,
efek dari kondisi hipoksia diperantarai oleh hypoxic inducible factor-1, sebuah DNA-binding
complex yang terdiri dari setidaknya dua helix-loop-helix PAS-domain protein.

Peranan hemidemosom dan desmosom telah diketahui pada banyak penyakit dermatologi
dimana ditemukan defek spesifik pada keseluruhan integritas struktural (contoh pemfigus,
pemfigoid bulosa, epidermolisis bulosa, dan lain-lain). Meskipun demikian, selama proses
penyembuhan dan agar dapat terjadi migrasi keratinosit, maka dibutuhkan penghancuran dari
struktur kompleks yang mengaitkan keratinosit basal dengan membrana basalis dan
keratinosit disebelahnya. Proses penghancuran ini juga sekompleks strukturnya dan
melibatkan interaksi antara MMPs, integrin, faktor pertumbuhan dan protein struktural. Pada
tahap normal resting, laminin 5 terikat dengan integrin α6β4, yang selanjutnya akan
menghubungkan filamen keratin intraseluler dari keratinosit ke membrana basalis. Oleh
karena interaksi integrin (termasuk status fosforilasinya) dengan ECM dan pengelompokan
reseptor pada permukaan keratinosit, terdapat perubahan morfologi (seperti pembentukan
lamellipodia) yang dibutuhkan untuk penggerak keratinosit. Molekular GTPase switches
(Rho, Rac, Cdc42) ikut berperan. Sebagian oleh karena fosforilasi integrin α6β4, integrin
α3β1 akan menyebabkan pembentukan lamellipodia dan pergerakan keratinosit. Seringkali
disebutkan bahwa migrasi keratinosit merupakan kunci untuk resurfacing luka dan
kenyataannya resurfacing ini tidak bergantung pada proliferasi. Secara keseluruhan, kita
harus menambahkan, transisi epitel-mesenkimal (EMT), juga penting pada kanker dan adesi
epitel dan memperoleh gambaran mesenkimal, menggunakan sel epitel untuk bermigrasi
dengan cara seperti pada tahap embrio. Baru-baru ini, proses ini diuji kembali secara in vitro
dengan paparan sel epitel terhadap tumor necrosis factor-α (TNF-α), yang menyebabkan
ekspresi vimentin, FSP1, dan MMPs. TNF-α yang dimediasi oleh EMT dapat sebagai
tambahan untuk protein morfogenetik tulang (BMP).

Selain peranan penting dari migrasi, keratinosit berproliferasi pada jam-jam pertama setelah
cedera, dan ini tentu lebih jelas bila gap atau ukuran luka tidak dapat dijembatani sementara
dengan gerakan sel sendiri dan tergantung pada sel-sel lain. Satu minggu setelah terjadinya
cedera, proses perbaikan berjalan dengan baik. Sitokin dan faktor pertumbuhan (epidermal
growth factor, PDGF, TGF-β, FGFs, VEGF), komponen matriks dan MMPs terus berperan

10
aktif. Sebagai tambahan terhadap faktor pertumbuhan, persinyalan protein juga berperan
penting. Sebagai contoh, kinase tertentu (MAPK) teraktivasi pada keratinosit basal dan
suprabasal oleh aksi dari integrin atau pelepasan interleukin 1α. Aliran ion, termasuk kadar
kalsium dan masuknya kedalam sel, juga berperan penting dalam proses keseluruhan dari
migrasi keratinosit dan resurfacing kulit. Terdapat bukti bahwa, sebagai tambahan dari
perluasan lamellipodia, keratinosit suprabasal pada pinggir luka dapat bertumpang tindih
pada sel-sel basal yang terletak didekat luka. Sistem ini tidak terlalu efisien, terutama pada
mekanisme penyokong yang timbul pada penyembuhan fetus dan penyembuhan kornea, yang
disertai dengan perbedaan penting lainnya pada deposisi matriks dan profil faktor
pertumbuhan. Kontraksi luka, bukan epitelisasi, merupakan hal yang lazim pada luka berat,
termasuk luka bakar. Hal ini juga merupakan cara yang dipilih pada perbaikan luka beberapa
spesies hewan, seperti tikus. Dalam percobaan yang menggunakan tikus knockout, MMP-13
terlibat dalam migrasi keratinosit, angiogenesis, dan kontraksi, sedangkan peran MMP-9
muncul pada migrasi keratinosit.

Remodeling ECM serta pergerakan sel sangat bergantung pada MMPs dan protease serin.
Komponen yang sangat penting dari ketergantungan pada MMPs yaitu degradasi ECM yang
didorong MMP dan hasil dari paparan segmen ECM yang selektif bioaktif, mempengaruhi
sifat sel, termasuk migrasi dan proliferasi. Fase remodeling dimulai 5-7 hari setelah cedera.
Peningkatan tPA dan uPA penting untuk migrasi keratinosit, yang dapat bergantung pada
cross-talk dan interaksi diantara α3β1, keratinosit dan kolagen. Kejadian ini menyebabkan
induksi dari MMP-1 (kolagenase-1 atau kolagenase interstisial), penting dalam migrasi
keratinosit dan epitelisasi. MMP-9 memainkan peranan penting dalam “cutting” kolagen tipe
IV dan VII, yamg merupakan komponen esensial dari membrana basalis dan anchoring
fibrils, dan juga mendorong terjadinya inflamasi dan migrasi netrofil. MMP-10 (stromelysin)
menghancurkan komponen ECM non-kolagen lainnya dan memfasilitasi migrasi. Mediator
lain, seperti thymosin-β akan meningkatkan MMPs selama perbaikan luka. Hal yang penting
selama proses remodeling adalah perubahan fenotip dari subpopulasi sel tertentu dari
fibroblast menjadi myofibroblast. Oleh karena itu, walaupun proses awal penyembuhan
sangat bergantung pada akumulasi matriks, yang selanjutnya memfasilitasi migrasi sel,
sekarang terdapat kebutuhan untuk mengurangi pembentukan ECM dan mendegradasinya ke
tingkat yang setidaknya mendekati kondisi sebelum cedera. Fase remodeling merupakan fase
yang lebih dari sekedar penghancuran makromolekul yang berlebihan selama fase proliferatif
penyembuhan luka. Sel-sel yang berada di dalam luka akan berubah menjadi fenotip yang

11
stabil, materi ECM terganggu (contohnya kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I) dan
jaringan granulasi yang tadinya sangat berlebihan selama fase awal penyembuhan luka akan
menghilang.

Selama beberapa tahun terakhir, perhatian telah beralih ke peran stem cells dari folikuler dan
interfolikular epidermis dalam penyembuhan luka. Menggunakan model murine, telah
dilaporkan bahwa, setidaknya setelah cedera, sel-sel dari bulge folikel rambut direkrut ke
epidermis dan bermigrasi ke pusat luka. Pada penelitian-penelitian berikutnya, dikatakan
bahwa bentuk folikel rambut de novo setelah mengalami cedera dan bahwa sel epidermis
pada luka dianggap fenotip stem sel folikel rambut. Beberapa dari temuan ini mungkin
bergantung pada persinyalan Wnt.

MATRIKS EKSTRASELULER (ECM)


Pada penyembuhan luka, matriks ekstraseluler (ECM) terdiri dari empat komponen utama.
(1) protein struktural (contohnya: kolagen, elastin); (2) glikoprotein adesif multidomain
(contohnya: fibronektin, vitronektin, laminin); (3) protein matrikseluler, termasuk secreted
protein acidic and rich in cystein (SPARC), trombospondin 1 dan 2, tenascins, osteopontin;
dan (4) glikosaminoglikan (GAG) termasuk, asam hialuronat dan proteoglikan yaitu
syndecans, perlecan (seperti kondroitin sulfat dan heparin sulfat). Asam hialuronik
(hialuronan) glikosaminoglikan (GAG) merupakan sebuah komponen utama yang berlebihan
pada matriks provisional, dan yang deposisinya perlu untuk dimodifikasi selama proses
remodeling. GAG sering berada di sekitar protein ECM termasuk kolagen dan elastin. Asam
hialuronik dalam jumlah yang besar tampak pada embrio, dimana hal ini akan memberikan
resistensi yang lebih rendah terhadap migrasi sel. Perbaikan luka embrionik
dikarakteristikkan oleh lingkungan yang kaya asam hialuronik diduga memiliki peran dalam
penyembuhan tanpa skar pada luka embrionik. Fibroblast yang berasal dari jaringan granulasi
dini menghasilkan sejumlah besar asam hialuronik dan sel-sel yang berproliferasi
mengekspresikan CD44 yang merupakan reseptor dari molekul glikosaminoglikan. Selain
memiliki resistensi yang lebih rendah terhadap pergerakan sel, asam hialuronik juga dapat
menstimulasi pergerakan sel akhir dengan mengubah adhesi sel matriks. Sebuah contoh yaitu
asam hialuronik dapat melemahkan adhesi dari heparin sulfat dan fibronektin. Dari sudut
pandang fisik/ spasial yang lebih penting adalah bahwa asam hialuronik membentuk struktur
yang hidrasinya sangat tinggi yang akan menyebabkan pembengkakan jaringan serta ruang
interstisial dan hal ini merupakan lingkungan yang lebih kondusif untuk pergerakan sel. Efek

12
dari asam hialuronik juga ditingkatkan oleh faktor pertumbuhan dan sitokin. Peningkatan
ekspresi asam hialuronik dan reseptornya (misalnya RHAAMM) oleh TGF-β1 akan
menstimulasi pergerakan fibroblast. Selanjutnya, saat terjadi remodeling, asam hialuronik
akan didegradasi oleh hialuronidase dan digantikan oleh sulfat proteoglikan, yang
memberikan kontribusi terhadap sebuah peranan struktural yang lebih kuat pada permukaan
jaringan granulasi akhir dan pada skar, bersamaan dengan kurangnya kemampuan untuk
menstimulasi pergerakan seluler. Dua proteoglikan utama, kondroitin-4-sulfat dan dermatan
sulfat, diproduksi oleh fibroblast skar yang matang.

Normalnya terdapat tiga kelas utama kolagen pada jaringan ikat: (1) kolagen fibrilar (tipe I,
III dan V), (2) kolagen membrana basalis (tipe IV), dan (3) kolagen interstisial lainnya (tipe
VI, VII dan VIII). Ini merupakan contoh yang berbeda dari berbagai tipe kolagen yang
terdapat pada kulit. Dilihat dari peran pentingnya, kolagen fibrilar berperan sebagai kolagen
struktural yang utama pada semua jaringan ikat. Selama berlangsungnya fase awal perbaikan
luka tampaknya luka cenderung mengalami proses rekapitulasi yang terjadi selama
embriogenesis. Oleh karena itu, jaringan granulasi awalnya terdiri dari sejumlah besar

13
kolagen tipe III, yang merupakan komponen minor dari dermis dewasa dan walaupun
demikian terdapat dalam jumlah yang besar pada perbaikan luka fetus. Selama fase
remodeling, kolagen tipe III secara perlahan digantikan oleh kolagen tipe I. Pergantian
kolagen tipe I berhubungan dengan peningkatan kekuatan regangan dari skar. Bagaimanapun,
kekuatan regangan skar hanya sekitar 70% pada kulit sebelum cedera. Proses yang mengubah
kandungan kolagen dermis dari tipe III menjadi tipe I diatur oleh interaksi yang melibatkan
sintesis dari kolagen baru dengan penghancuran kolagen lama. Kunci dari proses perubahan
ini adalah metalloproteinase khususnya kolagenase.

Matriks yang mendegradasi metalloproteinase (MMP) merupakan proenzim yang perlu


diaktivasi dan dianggap sebagai mediator fisiologis dari degradasi matriks. Protopik MMP
adalah kolagenase interstisial, tetapi lebih dari 20 enzim sudah ditemukan. Kami telah
menyebutkan proteinase penting ini secara terperinci. Telah dikenal 5 kelompok enzim ini
yaitu (1) kolagenase, (2) gelatinase, (3) stromelisin/matrilisin, (4) MMPs tipe membran, dan
(5) tipe lain-lain. Tabel 248-2 merupakan rangkuman dari beberapa MMPs yang memiliki
efek menonjol pada penyembuhan luka dan yang ditambahkan pada topik ini. Enzim
kolagenase termasuk kolagenase interstisial (kolagenase fibroblast, MMP-1), yang berperan
pada kolagen tipe I, II, III,VII, dan X. Kolagen tipe II merupakan substrat yang sangat baik
untuk MMP-1. Enzim penting lainnya dari kelompok kolagenase yaitu neutrophil
collagenase (MMP-1), yang juga mendegradasi kolagen tipe II dan III tetapi terutama aktif
melawan kolagen tipe I. Gelatinase menghancurkan kolagen yang sudah mengalami
denaturasi (gelatin). Gelatinase kunci lainnya yaitu gelatinase B (MMP9), yang diproduksi
oleh banyak tipe sel, termasuk makrofag, netrofil, dan keratinosit. Stromielisin memiliki
spesifisitas substrat yang cukup luas. Stromielisin 1 (MMP-3) dan 2 (MMP-10) berperan
pada proteoglikan, fibronektin, laminin, gelatin dan kolagen III, IV, dan IX. Anggota lainnya
dari famili stromelisin, matrilisin (MMP-7) yang terutama mendegradasi fibronektin, gelatin
dan elastin. Anggota lainnya dari family MMPs ialah epilisin (MMP-28), yang tampaknya
diproduksi oleh keratinosit yang berproliferasi pada bagian distal dari tepi luka. Biasanya
diperlukan untuk merestrukturisasi membrana basalis. Defisiensi MMP-7 (matrilisin-1), yang
meregulasi proses inflamasi, epitelisasi, dan menghambat apoptosis, dilaporkan
menyebabkan defek yang berat pada penyembuhan luka terkait dengan MMPs.

14
PENYEMBUHAN LUKA YANG LEMBAB DAN PROSES PERBAIKAN
Salah satu observasi klinis yang paling penting selama beberapa dekade terakhir adalah
realisasi bahwa luka yang lembab akan mengalami reepitelisasi yang lebih cepat. Bukti
paling baik tampak pada luka yang akut. Bagaimanapun, bahkan pada luka kronis moisture-
retentive dressing yang telah dikembangkan untuk menciptakan kondisi luka yang lembab
akan menyebabkan sejumlah hasil akhir yang diinginkan, misalnya kontrol terhadap rasa
nyeri, debridement autolitik tanpa rasa nyeri, dan stimulasi jaringan granulasi. Terdapat
kekhawatiran bahwa dengan memelihara kelembaban luka akan menyebabkan infeksi, tetapi
hal ini tidak ditemukan. Oleh karena itu oklusi luka masih dikontraindikasikan jika terdapat
infeksi. Terdapat berbagai jenis dressing luka yang tersedia bagi klinisi yang sesuai dengan
situasi tertentu. Jenis utama dressing termasuk transparent films, hidrokoloid, foams,
alginates, dan produk kolagen yang relatif baru (tabel 248-3). Dalam menentukan dressing
yang paling tepat untuk luka tertentu, klinisi harus mempertimbangkan kebutuhan absorbsi
dari eksudat yang berlebihan (foams dan alginates), apakah luka terlalu kering dan butuh
pelembab tambahan (gel atau materi hidrogel) dan apakah luka dan tepi luka dapat
mentoleransi trauma yang seringkali bersifat ringan namun serius yang terjadi akibat
dilepaskannya rekatan pembalut, seperti lapisan film. Beberapa lapisan kontak yang tipis,
yang terdiri dari bahan polimerik yang berbeda dengan perforasi, memungkinkan cairan luka
untuk keluar dan berperan dalam mencegah cedera jaringan pada saat pergantian dressing
dengan meminimalkan pemindahan dressing utama dalam kontak langsung dengan luka.

15
Mekanisme pasti bagaimana kondisi luka yang lembab dapat memfasilitasi migrasi
keratinosit tidak diketahui. Sejumlah penjelasaan, beberapa didukung oleh eksperimen, telah
diajukan dan tampaknya dapat diterima. Secara intuitif, luka yang kering dan adanya
keropeng atau krusta dapat menyebabkan sulitnya migrasi keratinosit. Beberapa telah
mengemukakan bahwa gradien elektrik akan mengalami gangguan yang menguntungkan
pada saat oklusi luka dan luka dijaga agar tidak kering. Terdapat sejumlah penelitian yang
mengindikasikan bahwa aliran listrik dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. Retensi
faktor pertumbuhan dan sitokin pada jaringan luka telah dikemukakan sebagai penjelasan lain
bagaimana moisture-retentive dressing bekerja. Cairan luka yang diambil dari luka akut,
secara in vitro telah menunjukkan stimulasi proliferasi dari sejumlah jenis sel, termasuk
fibroblast dan sel endotelial. Sebaliknya terdapat penelitian yang mengindikasikan bahwa hal
ini ditemukan pada cairan luka yang diambil dari luka kronis yang tidak menyembuh.
Bagaimana perbedaan karakteristik luka membantu untuk menjelaskan efek yang lebih besar
pada penyembuhan luka yang lembab dengan migrasi keratinosit pada luka akut sampai saat
ini tidak diketahui. Meskipun demikian, pandangan lain menjelaskan mengenai
menyingkirkan cairan luka dari luka kronis, caranya dengan menggunakan perlengkapan

16
tertentu yang terdiri dari film dressing yang digunakan pada luka dan dihubungkan pada
sumber tekanan negatif.

PENYEMBUHAN LUKA PADA SKIN GRAFT


Biologi dari penyembuhan luka akut memiliki aplikasi klinis pada bedah kulit. Sebagai
contoh, rekonstruksi setelah bedah mikrografik Mohs secara rutin melibatkan empat bentuk
penyembuhan luka akut termasuk penyembuhan luka sekunder, penutupan luka side-to-side,
flap kutaneus, dan skin graft. Penyembuhan luka secara sekunder merupakan variasi dari
penyembuhan luka akut dimana luka dibiarkan sembuh dengan sendirinya. Biologi dari
proses ini ditandai dengan semua langkah penyembuhan luka pada umumnya tetapi berbeda
pada reaksi inflamasi yang predominan dan jaringan granulasi, serta kontraksi luka.
Penutupan luka side-to-side dan flap merupakan contoh dari penyembuhan luka primer dan
mengikuti semua tahap penyembuhan luka yang disebutkan sebelumnya.

Penyembuhan skin graft, bagaimanapun, cukup berbeda dari yang sebelumnya disebutkan
pada cedera akut. Salah satu perbedaan skin graft adalah adanya ketergantungan terhadap
graft pada jaringan luka resipien dalam hal revaskularisasi, sebuah gambaran yang
memerlukan beberapa kejadian fisiologis yang unik. Berdasarkan studi histologi,
penyembuhan graft secara klasik dibagi menjadi tiga tahap, (1) imbibisi, (2) inoskulasi, dan
(3) neovaskularisasi.

Tahap Imbibisi
Seperti pada penyembuhan luka akut konvensional, hal yang pertama kali terjadi adalah
pembentukan sumbatan fibrin pada permukaan graft, sebuah kejadian yang juga disertai
dengan infiltrasi leukosit dari resipien kepada graft. Yang membedakan skin graft dengan
luka konvensional adalah difusi plasma dari tempat resipien ke graft kulit, yang
menyebabkan peningkatan berat graft sampai dengan 40% pada hari pertama. Difusi plasma
ke tempat graft ini disebut juga dengan imbibisi dan signifikansinya diperkirakan terbatas
untuk menjaga kelembaban graft dan mematenkan pembuluh darah pada graft. Penelitian lain
telah membuat hipotesis bahwa imbibisi juga memainkan peranan dalam menyediakan nutrisi
untuk graft, tetapi dukungan untuk peranan nutrisional ini tampak beberapa tahun kemudian,
pada saat bromodeoksyuridin masuk ke dalam sel-sel graft kulit setelah injeksi sistemik pada
sebuah model tikus.

17
Fase imbibisi berakhir pada saat aliran vena dan limfatik sudah tercapai, dengan reduksi pada
berat graft. Pada model graft kelinci, aliran limfatik dari bahan kontras tampak mulai dengan
perlahan pada hari ke-2 dan mengalami kemajuan sampai hari ke-12, dengan anastomosis
pada graft dan pembuluh darah resipien yang tampak secara histologi pada hari ke-4.
Masalah biologi fundamental pada penyembuhan graft kulit telah menentukan kontribusi
relatif dari graft dan jaringan resipien terhadap vaskularisasi graft, sebuah pengertian yang
lebih tepat yang dicapai dengan pendekatan biologi molekuler.

Tahap Revaskularisasi Dari Inoskulasi Dan Neovaskularisasi


Inoskulasi sebelumnya dianggap sebagai anastomosis dari pembuluh darah graft dengan
pembuluh darah yang berasal dari resipien, dan neovaskularisasi sebagai pertumbuhan dari
pembuluh darah yang baru dari jaringan luka resipien ke graft. Penelitian histologi
sebelumnya telah menyebutkan bahwa graft mengatur vaskularisasinya sendiri setelah proses
grafting, dengan dukungan dari inoskulasi. Bagaimanapun, penelitian lainnya menganggap
bahwa penelitian histologi tidak dapat membedakan graft (atau donor asal) dari pembuluh
darah resipien. Lambert menyimpulkan bahwa setidaknya pada beberapa hari pertama,
pembuluh darah pada sebuah graft kulit berasal dari donor, berdasarkan kombinasi dari
metode histologi dan radiografi. Dengan menggunakan human-tissue engineered skin
equivalent dengan sebuah jaringan pembuluh darah endotel. Auger dan kelompoknya
menunjukkan peningkatan kecepatan vaskularisasi yang signifikan dengan inoskulasi
dibanding dengan kecepatan vaskularisasi pada non-endotelialized skin equivalent,
menunjukkan efisiensi yang lebih tinggi pada inoskulasi dibandingkan dengan
neovaskularisasi.

Diseksi yang lebih tepat dari peran relatif graft dan resipien dalam hal pembentukan
vaskulatur akhir memerlukan metode biologi molekuler untuk membedakan sel graft dengan
sel resipien. Hibridisasi spesifik in situ dan immunolabeling digunakan untuk membedakan
graft dari resipien pada beberapa penelitian terhadap manusia, split thickness skin grafted
pada tikus nude. Ditemukan bahwa sel endotelial resipien tumbuh menjadi kapiler donor
yang sudah ada sehingga mendukung proses inoskulasi segera. Baru-baru ini, tikus transgenik
digunakan untuk membedakan pertumbuhan vaskular yang berasal dari donor dengan
resipien untuk menunjukkan gambaran yang lebih tepat. Capla dkk menunjukkan regresi
pembuluh darah graft dimulai dari hari ke-tiga, dengan pertumbuhan pembuluh darah secara
simultan dari resipien ke susunan vaskular yang sudah ada sehingga menyebabkan inoskulasi

18
pada hari ke-tujuh. Neovaskularisasi tanpa anastomosis dengan rangka vaskular bukan
merupakan kejadian yang predominan. Dengan menggunakan sebuah model transplantasi
sum-sum tulang tikus, kelompok penelitian yang sama menunjukkan bahwa sel progenitor
endotel yang berasal dari sum-sum tulang berperan pada 20% pertumbuhan endotelial yang
berasal dari resipien pada graft.

Proses Lain Pada Skin Graft


Seperti halnya pembuluh darah, terdapat hal-hal yang serupa mengenai kontribusi relatif
jaringan graft dan resipien untuk persyarafan akhir pada graft. Pada model graft babi,
terdapat anggapan yang hanya dibuat berdasarkan penelitian histologi bahwa syaraf dari
resipien masuk ke dalam graft dan mengikuti pelindung neuroremmal yang ada pada jaringan
graft. Pada penelitian yang lain, dilakukan graft kulit manusia ke tikus nude dimana struktur
graft dapat dibedakan dari jaringan resipien menggunakan antibodi species-spesific. Dalam
laporan tersebut, sel saraf dari resipien tampak tumbuh ke dalam graft tetapi tidak
berhubungan dengan saraf graft pada donor. Dengan menggunakan penanda histokimia
kolinesterase, penelitian lain menunjukkan bahwa reinervasi graft juga melibatkan
kemotaktik neurit yang tumbuh ke struktur adneksa.

Selebihnya, penyembuhan skin graft melibatkan hal yang biasa terjadi dalam proses
penyembuhan luka. Infiltrasi fibroblast timbul 3 sampai 5 hari setelah dilakukannya graft,
dilanjutkan dengan peningkatan progresif pada fibroblast graft dan resipien yang terdapat
dalam graft. Full thickness skin graft dikatakan dapat menurunkan kontraksi luka
dibandingkan dengan kontraksi signifikan yang terjadi dalam penyembuhan luka sekunder,
dengan sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa sebuah graft dengan ukuran yang persis
sama dengan defek asal akan meminimalisasi kontraksi ini. Hiperpigmentasi terkadang dapat
timbul sebagai efek samping yang tidak diharapkan dari graft dan perubahan histologik dari
melanosit pernah terlihat setelah proses graft. Dikatakan bahwa skin graft yang cenderung
sama dengan autograph yang dikultur, juga dapat menstimulasi penyembuhan luka pada
resipien, terutama setelah prewounding donor tempat dimana graft diambil. Pendukung
hipotesis lainnya, telah ditemukan ekspresi keratinosit Ki67 dan integrin β1 setelah graft,
sebagai tambahan adanya produksi stimulator faktor pertumbuhan dan sitokin. Hal ini
menunjukkan fase tambahan dari penyembuhan graft.

19
Akhirnya, mekanisme kontraksi graft yang sebenarnya tidak jelas; namun, cara kerjanya
menunjukkan bahwa keratinosit dan miofibroblast secara terpisah mengikat graft dalam dua
tahap. Selama tahap awal, yang terjadi selama dua hari pertama, sel-sel epidermis mengikat
graft dalam serangkaian cara. Kontraksi awal yang dimediasi epidermis diikuti, mulai dari 3-
5 hari, dengan fase kontraktif yang lebih lama dan dimediasi oleh miofibroblast (yang telah
dibedakan dari fibroblast). Fase kontraksi telah diperagakan secara in vitro menggunakan gel
kolagen dan jaringan kulit rekayasa. Diantara temuan-temuan dari penelitian in-vitro,
dikatakatan bahwa TGF-β tidak mendorong kontraksi graft seperti halnya jaringan parut
hipertrofik.

LUKA KRONIS DAN PENYEMBUHAN YANG TERGANGGU


Diskusi sebelumnya telah memfokuskan pada penyembuhan luka kutaneus setelah trauma
akut. Perlu diketahui bahwa semua kejadian dan proses tersebut bersifat terbatas jika
diterapkan pada luka kronis, misalnya pada diabetes, insufisiensi arteri dan vena, dan pada
berbagai situasi yang dipersulit oleh proses inflamasi dan respon host yang tidak sempurna.
Hubungan linier dan satu arah diantara fase yang berbeda pada penyembuhan luka tidak
terjadi pada luka yang kronis (gambar 248-5). Tidak terdapat urutan yang spesifik dan
sebagian dari luka kronis mungkin dapat berada pada fase yang berbeda dalam waktu yang
berbeda. Luka akut, misalnya yang disebabkan oleh pembedahan atau trauma, memiliki
waktu penyembuhan yang dapat diprediksi dan umumnya akan sembuh dengan baik.
Sedangkan luka kronis menunjukkan sesuatu yang disebut kegagalan penyembuhan atau
gangguan penyembuhan. Sejumlah observasi telah dilakukan pada luka kronis dan beberapa
hipotesis mengenai gangguan penyembuhan telah dikemukakan. Perlu diingat bahwa telah
dibuktikan adanya kesulitan untuk mempelajari luka kronis dari sudut pandang
patofisiologinya. Masalah utamanya adalah kurang tersedianya hewan percobaan yang dapat
menggambarkan gangguan penyembuhan luka yang sesungguhnya.

20
Beberapa luka kronis merupakan akibat kompleks dari kondisi iskemik, tekanan, dan infeksi.
Ulkus diabetik merupakan sebuah kasus yang patofisiologinya memenuhi ketiga kondisi
tersebut. Masih terdapat beberapa kontroversi apakah hiperglikemia sendiri berperan dalam
patofisiologi ulkus diabetik, walaupun fungsi neutrofil mengalami gangguan oleh sebab itu
pasien diabetes lebih mudah mengalami infeksi. Penting bahwa, dugaan “small vessel
disease” pada diabetes telah dievaluasi lebih lanjut dan menunjukkan bahwa kondisi tersebut
bukanlah fenomena obstruktif, namun lebih cenderung kepada suatu keadaan fisiologis. Hal

21
ini menunjukkan, revaskularisasi pada kaki diabetes saat ini dianggap sebagai pendekatan
yang tepat pada adanya “large vessel disease” dan sirkulasi yang baik. Mungkin contoh
paling baik untuk gangguan penyembuhan yang sebenarnya ti dak berhubungan dengan
tekanan yang tidak semestinya dan kurang baiknya aliran arteri, yaitu ulkus venosum.
Abnormalitas yang mendasari perkembangan ulkus venosum adalah hipertensi vena, yaitu
ketidakmampuan tekanan vena pada kaki untuk mengalami penurunan setelah latihan fisik.
Terdapat beberapa hipotesis yang dibuat mengenai bagaimana hipertensi vena dapat
menyebabkan ulkus venosum atau lipodermatosklerosis. Beberapa dari hipotesis ini telah
menetapkan terdapatnya akumulasi fibrin di sekitar pembuluh darah dan defek pada aktifitas
fibrinolitik. Hipotesis lain dibuat berdasarkan kerusakan pada sel endotelial mikrovaskular,
yang kemudian akan menyebabkan kebocoran fibrinogen dan dermal pericapillary fibrin
cuffs. Kebocoran makromolekul dari pembuluh darah ke dalam dermis pada penyakit vena
bersifat substansial, hal ini menyebabkan peneliti lain menganggap bahwa molekul tersebut
dapat menahan faktor pertumbuhan dan komponen penting lainnya sehingga tidak dapat
berperan dalam proses penyembuhan dan mempertahankan integritas jaringan. Terdapat bukti
bahwa faktor pertumbuhan pada luka kronis berikatan dan terperangkap oleh makromolekul
yang mengalami kebocoran kedalam dermis misalnya albumin, fibrinogen, α-2-
macroglobulin. Molekul α-2-macroglobulin merupakan scavenger untuk faktor pertumbuhan,
termasuk PDGF.

Telah dibahas sebelumnya peranan penting MMPs dalam perbaikan luka kutaneus, terutama
pada konteks migrasi keratinosit. Bagaimanapun, pada luka kronis, MMPs dapat berperan
pada kegagalan penyembuhan secara keseluruhan. Sebagai contoh, pada ulkus venosum dan
luka kronis jenis lain, cairan luka terdiri dari metalloproteinase dalam jumlah yang
berlebihan, yang akan menghancurkan ECM dan sitokin serta faktor pertumbuhan.

Perlu juga diingat bahwa adanya jaringan disekitar luka kronis bukanlah hal yang normal dan
jaringan ini disebabkan oleh mekanisme patogenik primer atau ketidakmampuan untuk
sembuh dengan sempurna. Secara klinis, contoh yang paling baik yaitu banyaknya fibrosis
yang mengelilingi ulkus venosum, yang disebut lipodermatosklerosis. Pada saat
lipodermatosklerosis telah terbentuk, hal ini dapat menyebabkan ulkus dan menjadi tempat
rekurensi ulkus. Ulkus venosum yang dikelilingi oleh lipodermatosklerosis lebih sukar untuk
sembuh. Hal ini mungkin disebabkan oleh komponen seluler luka yang mengalami gangguan.
Sejauh ini, kemungkinan besar oleh karena kemudahan mereka tumbuh dan diteliti pada

22
kultur, bukti klinis terbaik adalah dengan fibroblast pada luka. Saat ini diketahui bahwa
fibroblast pada ulkus akan mengalami penuaan dan bersifat tidak responsif terhadap sitokin
dan faktor pertumbuhan tertentu. Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa fibroblast pada
ulkus venosum tidak memberikan respon terhadap aksi transforming growth factor β-1 (TGF-
β1) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Tidak beresponnya fibroblast ulkus venosum
terhadap TGF-β1 mungkin disebabkan oleh karena penurunan ekspresi reseptor TGF-β tipe
II. Abnormalitas reseptor ini juga menyebabkan penurunan fosforilasi protein signaling TGF-
β termasuk Smad2, Smad3, dan MAPK. Program sintetis dari sel-sel pada ulkus diabetik juga
dapat mengalami gangguan, oleh karena itu luka kronis dikatakan terperangkap pada fase
tertentu pada proses penyembuhan. Hubungan erat telah dilaporkan diantara beberapa dari
abnormalitas dan ketidakmampuan untuk sembuh.

STANDAR PERAWATAN DASAR


Ulkus arteri memerlukan rekonstruksi vaskular; selain itu merupakan pengukuran sementara
dan akhirnya akan mengarah pada amputasi, yang merupakan satu-satunya pilihan pada
pasien yang inoperable. Ulkus arteri yang nekrotik dan stabil dengan terdapatnya eschar
sebaiknya tidak diganggu kecuali sudah dilakukan rencana rekonstruksi vascular. Elevasi
kaki dan kompresi tungkai merupakan terapi fundamental pada ulkus venosum. Dermatitis
kontak merupakan hal yang sering terjadi pada penyakit vena oleh sebab itu pada banyak
pasien diperlukan untuk menghindari agen topikal. Pentoksifilin telah diuji pada beberapa uji
acak berskala besar oleh karena kemampuannya untuk mempercepat penyembuhan pada
ulkus venosum. Hasilnya bervariasi dan ditemukan bahwa pentoksifilin dosis tinggi 800 mg
tiga kali sehari lebih efektif dibanding dengan dosis biasa 400 mg tiga kali sehari. Apakah
pentoksifilin dapat digunakan sebagai terapi standar untuk ulkus venosum sampai saat ini
masih belum jelas. Steroid anabolik stanozolol efektif dalam mengurangi indurasi
lipodermatosklerosis, yang merupakan komponen dari ulkus venosum pada fase akut dan
nyeri pada lipodermatosklerosis saat perban kompres dan stoking terlalu nyeri untuk
digunakan. Bagaimanapun, agen ini sudah tidak tersedia lagi, danazol mungkin bisa
digunakan sebagai penggantinya (V. Falanga, belum dipublikasikan). Untuk saat ini, satu-
satunya pendekatan medis untuk menurunkan rekurensi dari ulkus venosum yaitu graded
elastic stocking, dengan tekanan pada pergelangan kaki berkisar 40 mm Hg. Stoking harus
dipertimbangkan sebagai terapi seumur hidup untuk membantu mencegah rekurensi ulkus
dan manifestasi lain dari penyakit pembuluh darah vena.

23
Trias neuropati, iskemia, dan trauma merupakan patofisiologi utama yang mendasari
perkembangan dan rekurensi ulkus pada kaki pasien diabetes. Pengukuran pada komponen ini
akan mempercepat penyembuhan. Kontrol kadar glukosa dan penatalaksanaan optimal
terhadap komplikasi sistemik diabetes lainnya, termasuk gagal ginjal, merupakan aspek
penting terapi pada ulkus kaki diabetik. Dari sudut pandang perawatan luka lokal, off-loading
penting dan merupakan standar perawatan utama untuk ulkus neuropatik. Pasien dengan
ulkus diabetik oleh karena insufisiensi vaskular atau pasien dengan ulkus oleh karena
berbagai etiologi, misalnya disebabkan oleh neuropati dan komplikasi pembedahan, perlu
untuk dirujuk segera untuk pemeriksaan vaskular dan konsultasi bedah.

Debridement yang agresif untuk jaringan yang nekrotik dan kalus yang mengelilingi ulkus,
akhir-akhir ini telah menjadi bagian dari perawatan standar dalam penatalaksanaan ulkus
diabetik. Kalus mungkin memberikan tekanan tambahan dan memperpanjanng terjadinya
ulserasi. Sebagaimana pada ulkus diabetik neuropatik, off-loading merupakan perawatan
standar untuk ulkus karena tekanan (dekubitus). Membalik dan mengubah posisi pasien setiap
2 jam dikatakan efektif tetapi sebenarnya tidak terbukti demikian.

PENDEKATAN BEDAH PADA LUKA KRONIS


Dalam penatalaksanaan ulkus venosum, terapi pembedahan dapat dipertimbangkan jika tidak
terdapat obstruksi vena yang dalam dan saat terjadinya inkompeten superficial atau perforator
yang signifikan. Baru-baru ini tampak hal yang menjanjikan pada ligasi perforator yang
kurang invasif dengan menggunakan subfascial endoscopic perforator surgery (SEPS).
Pendekatan ini terkadang dikombinasikan atau dilanjutkan dengan prosedur yang lebih
definitif, misalnya pembuangan vena saphenous yang panjang (prosedur Linton) yang
mungkin efektif dalam penyembuhan ulkus. Bagaimanapun, belum jelas apakah terapi jenis
ini akan mencegah rekurensi ulkus.

Realisasi pada beberapa tahun yang lalu bahwa tidak tepatnya konsep suatu mikroangiopati
oklusif pada ulkus diabetik membawa perubahan fundamental mengenai gambaran
revaskularisasi dari kaki diabetik; saat ini revaskularisasi dari tungkai diabetik merupakan hal
yang sering dilakukan. Oleh karena itu, teknik standar pembedahan vaskular dapat
diaplikasikan pada pasien diabetik selama masih terdapat pembuluh darah distal yang
adekuat. Rekonstruksi vaskular mungkin perlu dikombinasi dengan amputasi jari yang

24
terbatas, penyinaran, atau kaki depan. Prosedur ostektomi pada kasus tertentu dapat
mengurangi tekanan dari tonjolan tulang.

Ostektomi dapat memberikan manfaat dalam penatalaksanaan dari ulkus karena tekanan
untuk memperlebar tonjolan tulang. Pada pasien yang sesuai, flap random atau
muskulokutaneus diindikasikan.

TERAPI LAIN UNTUK PENYEMBUHAN LUKA YANG TERGANGGU


Faktor pertumbuhan merupakan polipeptida dengan berbagai efek poten pada proliferasi sel
dan kapasitas sintetik (Tabel 248-1). Satu-satunya faktor pertumbuhan yang telah terbukti
efektif secara klinis adalah PDGF yang diaplikasikan secara topikal. Isomer PDGF-BB,
becaplermin, telah direkomendasikan FDA untuk pengobatan ulkus neuropati kaki diabetik.
Beberapa uji klinis telah membuktikan keefektifan gel becaplermin (30 μg/g) pada ulkus kaki
diabetik. Hasilnya menunjukkan insidensi penutupan luka sampai dengan 48% dibandingkan
dengan 33% pada kelompok kontrol. Becaplermin hanya boleh digunakan jika
dikombinasikan dengan perawatan jaringan luka yang optimal dan eliminasi faktor-faktor lain
yang mengganggu penyembuhan.

Pada beberapa dekade terakhir, telah tersedia sejumlah produk rekayasa jaringan untuk
penggunaan klinis. Dua jenis kulit buatan telah diuji dan dibuktikan efektif pada ulkus
diabetik dan ulkus venosum. Salah satunya, yang disetujui penggunaannya pada ulkus
neuropati diabetik, terdiri dari fibroblast dari kulit neonatus pada suatu materi jahitan yang
absorbable. Jenis lainnya, yang disetujui penggunaannya pada ulkus neuropati diabetik dan
ulkus venosum, memiliki lapisan ganda dan terdiri dari fibroblast serta keratinosit yang
berasal dari kulit neonatus. Mekanisme kerja yang pasti tidak diketahui, tetapi tidak terdapat
engraftment sel yang lebih lama. Pada uji klinis, kedua bahan diaplikasikan berulangkali pada
luka untuk menstimulasi penyembuhan. Bagaimanapun, pada praktek klinis tampaknya
diperlukan jumlah aplikasi yang lebih terbatas. Seperti penggunaan becaplermin, persiapan
optimal jaringan luka diperlukan agar perbaikan lebih efektif. Terdapat bukti bahwa kulit
buatan ini hanya memberi manfaat pada ulkus yang lama dan tidak memberikan respon
terhadap terapi konvensional. Namun, luasnya jaringan buatan, membuat penggunaan sel
yang viable atau nonviable dan konstruksi matriks, dapat menjadi dermis, epidermis, dan
lapisan bilayer dermal-epidermal.

25
Bahkan baru-baru ini, terapi stem sel telah menjadi pertimbangan dan cukup menjanjikan
untuk penyembuhan luka dalam bidang kedokteran regeneratif. Telah dibahas sebelumnya
peranan stem sel yang dihasilkan dari folikel rambut. Walaupun demikian, selain penggunaan
masih kontroversial stem sel embrio manusia, yang menjadi harapan pada sat ini bahwa
pemprograman ulang diferensiasi sel dewasa telah diterima (misalnya fibroblast kulit)
menjadi stem sel pluripotensial yang diinduksi (iPS) akan menyebabkan kemungkinan
percepatan proses perbaikan atau regenerasi yang sebenarnya. iPS telah dihasilkan dari
diferensiasi sel dewasa untuk kebanyakan bagian melalui penggunaan faktor transkripsi
kunci. “cocktails”. Untuk kebanyakan bagian, meskipun permukaan berkembang secara
cepat, dua kombinasi yag berbeda dari faktor transkripsi telah digunakan menurut aslinya: (1)
(NANOG, OCT3,SOX2, LIN28) dan (2) (OCT3/4, SOX2, KLF4, AND c-MYC).
Kebanyakan jika tidak semua karakteristik stem sel embrionik muncul dengan sel iPS, namun
tetap harus diketahui lebih lanjut mengenai konsistensi atau ketiadaan dari iPS dan
bagaimana mengendalikan diferensiasinya. Perkembangan baru yang cukup menarik yaitu,
stem sel yang menyerupai sel embrionik yang sangat kecil (VSELs), yang terdapat pada
dewasa dan bersifat pluripotensial.

Sementara terjadi perkembangan pesat dengan penggunaan stem sel embrionik dan sel iPS,
juga telah telah terjadi kemajuan yang pesat terhadap penggunaan stem sel multipoten
manusia dewasa, yang berasal dari sumsum tulang. Disini kita hanya dapat membicarakan
mengenai penelitian representatif. Kebanyakan penelitian terapi stem sel dewasa untuk luka
telah digunakan mesenkimimal stem sel yang dikultur dari sum-sum tulang. Pada studi-studi
percontohan MSCs digambarkan secara jelas telah berhasil digunakan pada pengobatan luka
kronis yang tidak menyembuh dan pada luka akut akibat defek pembedahan mikrograft Mohs
yang tidak dapat direkonstruksi. Dalam studi tersebut, MSCs digunakan untuk luka dengan
menggunakan fibrin baru dengan cara disemprotkan. Perbaikan luka dengan penggunaan
stem sel manusia dewasa mungkin karena penggabungan stem sel ataupun pengaruh parakrin.

MEMPERKIRAKAN PENUTUPAN LUKA


Beberapa penelitian terakhir telah menempatkan kita untuk dapat memprediksikan apakah
luka dapat sembuh pada waktunya dengan menggunakan observasi sederhana selama 3-4
minggu pengobatan. Metode yang digunakan untuk memprediksi penutupan luka bervariasi
dimulai dengan menilai ukuran luka (lebar dan kedalaman luka) dan perubahan yang terjadi
di daerah luka sampai analisis planimetrik dengan menggunakan komputer serta penilaian

26
migrasi dari tepi luka. Pada sebuah penelitian terhadap 56.488 luka, ditemukan bahwa
presentase perubahan pada 30% dalam 4 minggu dapat memprediksi penutupan luka dengan
sensitivitas sebesar 0,67 dan spesifisitas sebesar 0,69 serta memiliki nilai prediksi positif dan
negatif sebesar 0.80 dan 0,52. Pada istilah yang lebih praktis, gambaran tepi luka merupakan
hal yang penting, tepi luka yang curam menggambarkan tidak terdapatnya kemajuan pada
luka, sementara tepi menjadi kurang curam dan mulai bermigrasi menuju ke tengah luka.
Kemampuan untuk memprediksi penutupan luka merupakan suatu hal yang penting. Pada
saat minggu ke-4, klinisi harus dapat menentukan apakah terapi yang digunakan masih harus
dilanjutkan atau diperlukan perubahan termasuk penilaian kembali terhadap gambaran klinis.
Prognosis penyembuhan luka setelah 4 minggu pengobatan telah dapat ditentukan dengan
pemeriksaan tambahan.

KESIMPULAN
Menggambarkan kejadian tumpang tindih yang timbul setelah cedera jaringan merupakan hal
yang sulit. Selama beberapa dekade terakhir, urutan perkembangan dari mulai terjadinya
cedera sampai inflamasi dan koagulasi, sampai perkembangan matriks provisional,
pembentukan jaringan granulasi dan remodeling jaringan telah diterangkan sampai ke tingkat
yang tinggi. Walaupun bersifat artifisial, fase yang berbeda dari penyembuhan luka yang
digambarkan disini adalah tempat dimana kita dapat memperoleh pengetahuan yang lebih
baik. Masih banyak yang perlu diketahui, namun kerangka kerjanya adalah untuk mengerti
mengenai perbaikan jaringan dan mengembangkan cara untuk mempercepat terjadinya
perbaikan. Sebaliknya oleh karena terobosan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
terdapat kemajuan dalam beberapa tahun terakhir. Saat ini kita berada pada posisi
penggunaan pembalut luka yang tepat dan stem sel. Dengan menggunakan stem sel dewasa
yang telah dikultur ataupun sel iPS atau VSELs yang pluripoten, kita bukan hanya
memperoleh perbaikan jaringan namun juga regenerasi kulit. Masih merupakan tantangan,
dalam hal pengembangan dressing luka biasa, dressing luka biologik yang unggul, kulit
buatan, terapi stem sel; perlu dilanjutkan dan meningkatkan pemahaman ilmu pengetahuan.
Merupakan hal yang mungkin bahwa pengetahuan yang diperoleh dari kegagalan
penyembuhan, seperti pada luka kronis, akan memberikan pelajaran yang berharga dalam hal
prinsip-prinsip dasar dari pembedahan dan penyembuhan luka akut.

27

Anda mungkin juga menyukai