Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ANESTESIOLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2018


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

ANESTESI LOKAL DAN ADJUVANT


UNTUK ANESTESI SPINAL

Oleh :
Rizky Saktiani Rizal, S.Ked
10542 0428 12

Pembimbing :
dr. Dian Wirdiyana, M.Kes, Sp.An

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian


Anestesiologi)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai teknik anestesi telah dikembangkan untuk memfasilitasi tindakan

operasi. Akhir-akhir ini pemakaian anestesi regional menjadi semakin

berkembang dan meluas. Anestesi spinal termasuk teknik yang mudah dilakukan

untuk mendapatkan kedalaman dan kecepatan blokade saraf dengan cara

memasukkan dosis kecil larutan anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid.1

Anestesi spinal adalah analgesia regional dengan menghambat sel saraf di

dalam ruang subaraknoid oleh obat anestetik lokal. Teknik anestesi ini menjadi

popular karena dianggap sederhana dan efektif, aman terhadap sistem saraf,

konsentrasi obat dalam plasma yang tidak berbahaya, serta mempunyai beberapa

keuntungan, antara lain tingkat analgesia yang kuat, pasien tetap sadar, relaksasi

otot cukup, perdarahan luka operasi lebih sedikit, risiko aspirasi pasien dengan

lambung penuh lebih kecil, dan pemulihan fungsi saluran cerna lebih cepat.1

Blokade nyeri pada anestesi spinal akan terjadi sesuai ketinggian blokade

penyuntikan anestetik lokal pada ruang subarachnoid segmen tertentu. Pada

blokade saddle, daerah yang mati rasa adalah daerah inguinal saja. Mekanisme

kerja anestetik adalah dengan bekerja pada reseptor spesifik di saluran natrium

(sodium channel), kemudian mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf

terhadap ion natrium dan kalium sehingga terjadi depolarisasi pada membran sel

saraf dan berakibat tidak terjadi konduksi saraf.2

2
Ada 3 jenis saraf: motorik, sensorik, dan otonom. Saraf motorik membawa

pesan ke otot ketika di blok, berupa kelumpuhan otot. Saraf sensoris meneruskan

sensasi berupa sentuhan dan nyeri pada medulla spinalis dan menuju otak.

Sedangkan saraf otonom mengontrol kemampuan pembuluh darah, denyut

jantung, kontraksi usus, dan fungsi lain yang bukan dibawah kontrol sadar. Pada

umumnya, saraf otonom dan serabut sensoris yang pertama kali di blok dan

kemudian serabut motorik yang terakhir di blok. Hal ini memiliki beberapa efek.

Misalnya, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah dapat terjadi ketika saraf

otonom di blok dan pasien dapat sadar saat disentuh dan tidak merasakan nyeri

ketika pembedahan dimulai.3

Banyak keuntungan yang diperoleh dari teknik anestesia regional terutama

anestesia spinal, antara lain adalah prosedur pelaksanaan yang lebih singkat, mula

kerja cepat, kualitas blokade sensorik dan motorik yang lebih baik, mampu

mencegah respons stres lebih sempurna, serta dapat menurunkan perdarahan

intraoperatif. Salah satu kelemahan anestesia regional spinal adalah lama kerja

yang terbatas, sedangkan kita sering kali dihadapkan pada operasi yang

membutuhkan waktu yang lama. Selama ini sering dilakukan penambahan

adjuvan pada anestetik lokal yang bertujuan untuk memperpanjang durasi

analgesia obat anestesia lokal yang digunakan untuk anestesi spinal.4

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang

subarachnoid. Anestesi spinal/subarachnoid disebut juga sebagai

analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Untuk mencapai cairan

serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kutis, subkutis, Lig.

Supraspinosum, Lig. Interspinosum, Lig. Flavum, ruang epidural, duramater,

ruang subarachnoid. Tanda dicapainya ruang subarachnoid adalah dengan

keluarnya liquor cerebrospinalis (LCS).5

Indikasi anestesi spinal:2

1. Bedah ekstremitas bawah

2. Bedah panggul

3. Tindakan sekitar rectum-perineum

4. Bedah obsetri-ginekologi

5. Bedah urologi

6. Bedah abdomen bawah

7. Pada bedah abdomen atas dan bedah anak biasanya dikombinasikan

dengan anestesi umum ringan

Kontraindikasi pada teknik anestesi subarachnoid blok terbagi menjadi

dua, yaitu:5

4
1. Kontraindikasi absolut

a. Infeksi pada tempat suntikan: infeksi pada sekitar tempat suntikan

bisa menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural

b. Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun

diare: karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya

hipovolemia

c. Koagulopati atau mendapat terapi koagulan

d. Tekanan intrakranial meningkat: dengan memasukkan obat

kedalam rongga subarachnoid, maka bisa makin menambah tinggi

tekanan intrakranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis

e. Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim: pada anestesi

spinal bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan

lain-lain, maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi

lainnya

f. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi: hal ini

dapat menyebabkan kesalahan seperti cedera pada medulla spinalis,

keterampilan dokter anestesi sangat penting

g. Pasien menolak

2. Kontraindikasi relatif

a. Infeksi sistemik: jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan

apakah diperlukan pemberian antibiotik, perlu dipikirkan

kemungkinan penyebaran infeksi

5
b. Infeksi sekitar tempat suntikan: bila ada bisa dipilih lokasi yang

lebih kranial atau lebih kaudal

c. Kelainan neurologis: perlu dinilai sebelumya agar tidak

membingungkan antara efek anestesi dan defisit neurologis yang

sudah ada pada pasien sebelumnya

d. Kelainan psikis

e. Bedah lama: masa kerja obat anestesi lokal adalah kurang lebih 90-

120 menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa

bertambah hingga 150 menit

f. Penyakit jantung

g. Hipovolemia ringan: sesuai prinsip obat anestesi, memantau

terjadinya hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan

atau cairan

h. Nyeri punggung kronik: kemungkinan pasien akan sulit saat

diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan

apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak

nyaman.

Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat

anestesi lokal. Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf

bila dikenakan pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel

saraf akibat anestesi lokal bersifat reversibel. Penggunaan obat anestesi lokal

dalam anestesi spinal diharapkan dapat memenuhi persyaratan seperti

terjadinya blok motorik dan sensorik yang adekuat, mula kerja cepat, tidak

6
neurotoksik, dan pemulihan blokade motorik yang cepat pasca operasi

sehingga mobilisasi dapat segera dilakukan.

Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat iritan terhadap

jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat harus

sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini

juga harus larut dalam air. Anestesi lokal bekerja dengan menghalangi

masuknya ion natrium kedalam saluran saraf, sehingga mencegah

peningkatan sementara permeabilitas membran saraf untuk natrium yang

diperlukan untuk potensial aksi terjadi.7,8

Terdapat 3 faktor yang paling memengaruhi tingkat penyebaran

anestetik lokal di ruang subaraknoid, yaitu barisitas anestetik lokal, posisi

pasien selama dan sesudah penyuntikan, serta dosis anestetik lokal. Barisitas

anestetik lokal merupakan faktor utama yang memengaruhi penyebaran obat

di ruang subaraknoid, obat anestesi lokal akan menyebar lebih ke arah sefalad

pada barisitas yang lebih rendah sehingga memengaruhi ketinggian blokade

saraf simpatis. Barisitas adalah rasio densitas anestetik lokal terhadap densitas

cairan serebrospinal. Densitas adalah berat dalam gram dari 1 mL cairan pada

temperatur tertentu.9

Anestetik lokal disebut hipobarik bila densitas kurang lebih 3 standar

deviasi (SD) di bawah densitas cairan serebrospinal dan disebut hiperbarik

bila densitas kurang lebih 3 SD di atas densitas cairan serebrospinal. Gravitasi

menyebabkan anestetik lokal hiperbarik bergerak ke bawah saat di dalam

7
cairan serebrospinal, sedangkan hipobarik sebaliknya. Anestetik lokal

isobarik tidak ada efek dari gravitasi atau posisi tubuh.1

II. Penggolongan Anestesi Lokal

1. Golongan Ester (-COOC-)

Bahan-bahan dimetanolisme melalui proses hidrolisis. Yang

termasuk kedalam golongan ester, yakni: Kokain, Benzokain, Ametocain,

Prokain, Piperokain, Tetrakain, Kloroprokain. Bahan nestesi lokal ini

dihidrolisis di dalam plasma oleh enzim pseudocholinesterase. Kadar

hidrolisis akan berdampak pada potensi toksisitas dari anestesi obat.

Reaksi alergi bisa terjadi akibat respon dari obat anestesi golongan ester

yang biasanya tidak berhubungan dengan PABA, yang sebagian besar

produk dari metabolisme anestesi lokal golongan ester.8,10

a. Kokain

Saat ini pemakaian klinis kokain umumnya terbatas pada

anestesi topikal untuk tindakan telinga, hidung, dan tenggorokan.

Kokain memiliki efek vasokonstriktor yang kuat sehingga

berfungsi mengurangi perdarahan. Pemakaiannya semakin

berkurang karena digantikan oleh bahan anestesi lain yang

dikombinasikan dengan vasokonstriktor karena akan dapat

meyebabkan toksisitas secara sistemik.8,10

b. Prokain

Prokain disintesis dan diperkenalkana pada tahun 1905

dengan nama dagang novokain. Selama lebih dari 50 tahun, bahan

8
ini merupakan obat terpilih untuk anestesi lokal, yaitu Lidokain

yang lebih kuat dan lebih aman dibanding prokain. Sebagai bahan

anestesi lokal, prokain pernah digunakan untuk anestesi infiltrasi,

anestesi blok saraf, anestesi spinal, anestesi epidural dan anestesi

kaudal. Nemun karena potensinya rendah, mula kerja lambat serta

masa kerjanya pendek, maka penggunaannya sekarang ini hanya

terbatas untuk anestesi infiltrasi dan kadang-kadang untuk anestesi

blok saraf. Di dalam tubuh, prokain akan dihidrolisis menjadi

PABA, yang dapat menghambat kerja sulfonamide.8,10

Efek samping yang serius adalah hipersensitisasi, yang

kadang-kadang pada dosis rendah sudah dapat mengakibatkan

kolaps dan kematian. Efek samping yang harus dipertimbangkan

pula adalah reaksi alergi terhadap kombinasi prokain penisilin.

Berlainan dengan kokain, zat ini tidak mengakibatkan adiksi.8,10

c. Benzokain

Benzokain merupakan turunan dari prokain dimana bahan ini

tidak dapat larut sempurna dalam cairan encer, benzokain

cenderung tetap di lokasi aplikasi dan tidak mudah diserap ke

dalam sirkulasi sistemik dan memiliki efek toksisitas rendah.

Benzokain sangar berguna untuk anestesi pada area permukaan

besar dalam rongga mulut. Efek samping penggunaan benzokain

adalah warna kebiruan pada kuku, bibir, kulit, atau telapak

tangan.8,10

9
2. Golongan Amide (-NHCO-)

Bahan-bahan ini termetabolisme melalui oksidasi di dalam hati.

Yang termasuk ke dalam golongan amide, yaitu: Lidokain, Mepivakain,

Prilokain, Bupivakain, Etidokain, Dibukain, Ropivakain,

Levobupivakain. Ikatan amida dari bahan anestesi lokal amida

dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati. Kecepatan metabolisme

senyawa amida di dalam hati ini bervariasi bagi setiap individu, perkiraan

urutannya adalah Prilokain (tercepat) > etidokain > lidokain >

mepivakain > bupivakain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari anestesi

lokal tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi

hati. Sebagai contoh, waktu paruh lidokain rerata akan memanjang dari

1,8 jam pada 7 pasien normal menjadi lebih dari 6 jam pada pasien

dengan penyakit hati yang berat.8,10

a. Artikain

Artikain mulai digunakan di AS sebagai bahan anestesi lokal

pada gigi sejak April 2000, dari berbagai anestetikum amino-amida

karena memiliki suatu tiofen, dan bukan cincin benzene. Saat ini

jenis artikain direkomendasikan untuk infiltrasi saja. Ini memiliki

onset yang cepat <2 menit dengan kemampuan menembus

kepadatan tulang kortikal mandibula. Dosis maksimum yang aman

untuk orang dewasa 7 mg/kgBB. Kontraindikasi dari jenis ini

adalah memiliki riwayat apabila pasien alergi atau hipersensitivitas

dengan sulfat.8,10

10
b. Prilokain

Prilokain diantara bahan anestesi amino-amida yang dapat

menurunkan toksisitas sistemik. Biasanya bahan ini digunakan

untuk blok dan infiltrasi yang membutuhkan waktu analgesi yang

lebih dari 90 menit. Dosis maksimum 400mg sekalinya, 600mg

bersama vasokonstriktor. Efek sampingnya berupa

methemoglobinemia dan sianosis, terutama pada dosis besar, yang

disebabkan oleh metabolit o-toluidin.8,10

c. Lidokain

Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang

digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan.

Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama, dan lebih

ekstensif, daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain

merupakan aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama,

tetapi pada larutan 2% lebih toksik daripada prokain. Larutan

lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi, sedangkan

larutan 1,0-2% untuk anestesi blok dan topikal. Anestesi ini efektif

bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs dan

toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek.8

Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang

hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat

menimbulkan kantuk, sediaan berupa larutan 0,5-5% dengan atau

tanpa epinefrin. Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan

11
dapat melewati sawar darah otak. Didalam hati, lidokain

mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (Mixed-

Function Oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin

xilidid, kedua metabolit tersebut ternyata masih memiliki efek

anestetik lokal.8

Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya

terhadap SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan

mental, koma, dan seizures. Lidokain dosis berlebihan dapat

menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel atau oleh henti

jantung. Lidokain sering diguakan secara suntikan untuk anestesi

infiltrasi, blokade saraf, anestesi epidural ataupun anestesi selaput

lendir. Pada anestesi infiltrasi biasanya digunakan larutan 0,25-

0,50% dengan atau tanpa adrenalin. Tanpa adrenalin dosis total

tidak boleh melebihi 200 mg dalam waktu 24 jam, dan dengan

adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang

sama. Untuk blokade saraf digunakan 1-2 ml.8

Lidokain dapat pula digunakan untuk anestesi permukaan.

Untuk anestesi rongga mulut, kerongkongan, dan saluran cerna

bagian atas digunakan larutan 1-4% dengan dosis maksimal 1 gram

sehari dibagi dalam beberapa dosis. Untuk anestesi sebelum

tindakan sistoskopi atau kateterisasi urethra digunakan lidokain gel

2% dan sebelum dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa

endotrakeal biasanya digunakan semprotan dengan kadar 2-4%.

12
Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung, karena itu

juga digunakan sebagai aritmia.8

d. Mepivakain

Bahan anestesi lokal ini sifat farmakologiknya mirip lidokain.

Mepivakain digunakan untuk anestesi infiltrasi, blokade saraf

regional dan anestesi spinal. Sediaan untuk suntikan merupakan

larutan 1,0-1,5 dan 2%. Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi,

potensi, dan toksisitasnya mirip dengan lidokain. Mepivakain tidak

mempunyai sifat alergenik terhadap agen anestesi lokal tipe

ester.8,10

Agen ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat

digunakan untuk anestesi infiltrasi atau regional namun kurang

efektif bila untuk anestesi topikal. Mupivakain dapat menimbulkan

vasokonstriksi lebih ringan daripada lidokain tetapi biasanya

mepivakain digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan

adrenalin 1:80.000, maksimal 5 mg/kgBB. Satu buah catridge

biasanya sudah cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional.8,10

e. Bupivakain

Struktur mirip lidokain, kecuali gugus yang mengandung

amin dan butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang

mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek blokade

terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini

bupivakain lebih populer digunakan untuk memperpanjang

13
analgesia selama persalinan dan masa pascapembedahan. Suatu

penelitian menunjukkan bahwa bupivakain dapat mengurangi dosis

penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada

pascapembedahan caesar. Pada dosis efektif yang sebanding,

bupivakain lebih kardiotoksik daripada lidokain.8

Lidokain dan bupivakain keduanya menghambat saluran Na+

jantung (cardiac Na+ channels) selama sistolik. Namun bupivakain

terdisosiasi jauh lebih lambat daripada lidokain selama diastolik,

sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhir

diastolik. Manifestasi klinik berupa aritmia ventrikuler yang berat

dan depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian

bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh

bupivakain sulit diatasi dan betambah berat dengan adanya

asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia. Ropivakain juga merupakan

anestetik lokal yang mempunyai masa kerja panjang, dengan

toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain pada

dosis efektif yang sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam

menimbulkan anestesi dibandingkan bupivakain.8

Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi

0,25% untuk anestesi infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan

paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk anestesi

infiltrasi adalah sekitar 2 mg/kgBB.8

14
f. Levobupivakain

Levobupivakain adalah obat anestesi lokal yang termasuk

golongan amida (CONH-). Levobupivakain merupakan alternatif

menarik selain bupivakain untuk anestesi spinal oleh karena obat

ini menghasilkan subarachnoid blok dengan karakteristik sensorik

dan motorik yang lebih lama serta recovery seperti bupivakain.

Levobupivakain memiliki pKa 8,1. Ikatan dengan protein lebih dari

97% terutama pada asam α1 glikoprotein dibandingkan pada

albumin, sedangkan ikatan protein dengan bupivakain 95%. Hal ini

berarti kurang dari 3% obat berada bebas dalam plasma. Fraksi

konsentrasi yang kecil ini dapat berefek pada jaringan lain yang

menyebabkan efek samping dan manifestasi toksik. Pada pasien

hiponatremia, sindrom nefrotik, kurang kalori protein, bayi baru

lahir dengan sedikit kadar protein, menyebabkan kadar obat bebas

dalam plasma tinggi sehingga efek toksik terlihat pada dosis

rendah.8

Dalam sediaan komersil levobupivakain tersedia dalam

konsentrasi 0,5-5% mg/ml, untuk levobupikain 0,5% plain

memiliki mula kerja yang cepat yaitu 4-8 menit dengan durasi kerja

anestesi 135-170 menit. Mekanisme aksi sama dengan bupivakain

atau obat anestesi lokal lain. Apabila MLAC (Minimum Lokal

Anelgesic Concentration) tercapai, obat akan melingkupi membran

akson sehingga memblok saluran natrium dan akan menghentikan

15
transmisi impuls saraf. Metabolisme obat terjadi di hepar oleh

enzim sitokrom P450. Cara pemberian melalui spinal, epidural,

blok saraf perifer, dan infiltrasi. Penggunaan intravena sangat

terbatas karena berisiko toksik. Bersihan obat dalam plasma akan

menurun bila terjadi gangguan fungsi hepar. Konsentrasi untuk

menimbulkan efek toksik pada jantung dan saraf lebih kecil pada

levobupivakain daripada bupivakain. Batas keamanan berarti efek

toksik tidak akan terlihat sampai konsentrasi 30%.8

Levobupivakain menimbulkan depresi jantung lebih sedikit

dibandingkan bupivakain dengan ropivakain. Gejala toksisitas

sistem saraf pusat pada bupivakain lebih tinggi rata-rata 56,1 mg

dibandingkan levobupivakain 47,1 mg. Levobupivakain dapat

digunakan untuk subarachnoid, epidural, blok pleksus brachialis,

blok supra dan infra klavikuler, blok interkostal, blok saraf perifer,

blok peribulber dan retrobulber, infiltrasi lokal, anelgesi obsetri,

pengelolaan nyeri akut dan kronis. Dosis tunggal maksimum yang

digunakan 2 mg/kgBB dan 5,7 mg/kgBB (400 mg) dalam 24 jam.

Sama dengan efek obat anestesi lainnya, diantaranya hipotensi,

bradikardi, mual, muntah, gatal, nyeri kepala, pusing, telinga

berdenging, gangguan buang air besar, dan kejang.8

III. Penambahan Anestesi Adjuvant

Penambahan obat adjuvan, seperti opioid, ketamin, klonidin, dan juga

neostigmin sering dilakukan untuk memperpanjang lama kerja anestesi

16
spinal. Penambahan opioid intratekal pada anestesi lokal dianggap

meningkatkan kualitas anestesi dan analgesia. Penambahan adjuvan opioid

dapat memperpanjang durasi kerja obat anestesi tanpa menunda waktu pulih

pasien dan penambahan klonidin akan meningkatkan kualitas analgesi serta

mengurangi kebutuhan analgetik pascaoperasi.6,8

Opioid intartekal secara selektif menurunkan input aferen nosiseptif

dari serabut αծ dan serat C (C Fiber) sehingga sinyal nyeri tidak terjadi.

Penggunaan opioid lipofilik seperti fentanyl dan sufentanyl mempercepat

mula kerja serta durasi kerja anestesi. Mekanisme ini dipercaya didasarkan

atas adanya reseptor opioid di medulla spinalis dan mekanisme ini disebut

sebagai supraspinal analgesia.8

Fentanyl adalah opioid dengan sedikit larut lemak yang sering

ditambahkan ke anestesi lokal. Fentanyl menimbulkan analgesia setelah

disuntikkan intratekal hanya dengan dosis 10 µg. Depresi pernafasan akan

muncul lebih besar dari dosis 25 µg. Penambahan fentanyl pada anestesi lokal

untuk anestesi spinal memunculkan efek sinergis antara anestesi lokal dan

fentanyl dengan dampak analgesia viseral dan somatik tanpa meningkatkan

blokade simpatik.8

Sebagai tambahan, penambahan fentanyl menurunkan barisitas dan

mungkin akan memengaruhi distribusi di CSF. Jadi dosis efektif fentanyl

yang dapat ditambahkan ke obat anestesi lokal yaitu 10-25 µg. Efek samping

yang sering muncul menurut beberapa penelitian adalah pruritus sekitar 60%,

17
serta efek samping lain yang sebenarnya dinilai tidak bermakna yaitu depresi

pernafasan serta retensi urin.8

Morfin adalah narkotika dengan onset singkat dan durasi panjang, dan

berikatan sangat kuat terhadap reseptor µ-opioid pada kornu posterior

medulla spinalis. Beberapa penelitian telah berulang kali dilakukan dan

menunjukkan bahwa dosis morfin intratekal optimal pada nilai 100µg dengan

post operatif analgesia yang memuaskan sedangkan dosis yang lebih tinggi

akan meningkatkan efek samping. Penambahan adjuvan morfin dosis 0,1mg

memberikan durasi analgesia 4-6 jam pascabedah dengan kebutuhan

analgetik yang lebih sedikit, dan menghambat peningkatan respon stres

dibandingkan dengan tanpa pemberian morfin intratekal. Efek samping yang

biasa muncul berupa mual dan muntah, konstipasi, dan rasa mengantuk. Dosis

lebih besar menyebabkan depresi nafas, hipotensi, dan kekakuan otot.11

Klonidin merupakan salah satu obat adjuvan dalam anestesi spinal yang

mempunyai efek memperkuat analgesi pada teknik neuroaksial blok dengan

cara berikatan pada reseptor postsinaps α-2 adrenergik kornu dorsalis medula

spinalis. Keuntungan klonidin tidak menyebabkan depresi pernafasan serta

pruritus seperti yang sering terjadi pada penggunaan opioid, sedangkan

kerugiannya dapat menyebabkan efek samping yaitu hipotensi, bradikrdi serta

sedasi yang dalam, dimana hal tersebut tergantung dari dosis yang diberikan.

Efektifitas penambahan klonidin 1 mcg/kgBB intratekal pada bupivacain

hiperbarik 0,5% 12,5 mg dapat memperpanjang efek analgesi, namun terdapat

efek samping hipotensi dan bradikardi.6

18
Berikut tabel tentang penambahan opioid intratekal yang dapat

dijadikan acuan untuk spinal anestesi.8

Opioid IV/IT Dose Onset Duration Continuous

rasio range (min) (hrs) infusion

Morphine 2-300:1 0,1-0,5 µg 30 18-24 ?

Fentanyl 10-20:1 5-25 µg 5 1-4 5-20 µg/hr

Sufentanyl 10-20:1 2-10µg 5 2-6 1-5 µg/hr

Beberapa macam obat telah digunakan sebagai tambahan obat anestesi

lokal intratekal untuk meningkatkan efek analgetik obat anestesi lokal. Obat

yang digunakan sebagai tambahan obat anestesi lokal pada operasi bedah

sesar adalah golongan opioid seperti fentanil dan morfin serta golongan

agonis reseptor α2-adrenergik seperti klonidin. Hunt dkkmenyebutkan bahwa

penambahan 6,25–50 mcg fentanil intratekal akan meningkatkan periode

analgesia perioperatif pada anestesia spinal dengan bupivakain hiperbarik,

tetapi tidak mempengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik. Sedangkan

Semra dkk menyebutkan bahwa penambahan morfin 0,2 mg intratekal pada

bupivakain hiperbarik memberikan analgesia perioperatif yang lebih b aik

dibanding fentanil 25 mcg. Benhamou dkk menggunakan klonidin 75 mcg

untuk tambahan bupivakain hiperbarik memberikan analgesia perioperatif

tanpa perubahan hemodinamik dan efek samping yang signifikan. Benhamou

dkk juga mendapatkan bahwa penambahan fentanil pada kombinasi

bupivakain hiperbarik dan klonidin lebih meningkatkan efek analgesinya.12

19
Anestesi spinal dengan penambahan adjuvan intratekal dapat mencegah

peningkatan respons stres akibat pembedahan. Referensi yang lainnya

menyatakan bahwa adjuvan opioid dan klonidin untuk intratekal yang

dikombinasikan dengan agen anestesi regional dapat menekan respons

endokrin dan metabolik operasi dengan mencegah peningkatan konsentrasi

dari kortisol dan glukosa.11

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Londong, Jefrry F., dkk. Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal

Menggunakan Bupivakain Isobarik dengan Bupivakain Hiperbarik pada

Pasien yang Menjalani Operasi Abdomen Bagian Bawah. Jurnal Anestesi

Perioperatif. 2013. Vol.1(2)

2. Pramono, Ardi. Buku Kuliah Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Jakarta: 2016.

3. Spinal Anaesthesia. Diakses di: http://www.e-safe-anaesthesia.org

4. Ramli, Fadliasnyah., dkk. Pengaruh Penambahan Klonidin 75 mcg pada 12,5

mg Levobupivakain 0,5% Secara Intratekal terhadap Lama Kerja Blokade

Sensorik dan Motorik untuk Bedah Ortopedi Ekstremitas Bawah. Jurnal

Anestesi Perioperatif. 2015. Vol.3(1)

5. Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi

II. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009

6. Setiawan, Yosi Budi., dkk. Perbandingan Efek Penambahan Antara Klonidin

(50 μg) dan Fentanyl (25 μg) Sebagai Adjuvan Bupivacain Hiperbarik

0,5% 12,5 mg Intrathekal sebagai Anestesi Spinal. Jurnal Komplikasi

Anestesi. 2015. Vol.2. no.3

7. Soerasdi E. Satryanto. Susanto E. Buku Saku Obat-Obat Anesthesia Sehari-

hari. Bandung. 2010

8. Mangku, Gede., dkk. Obat-Obat Anestetika. Buju Ajar Ilmu Anestesidan

Reanimasi. Jakarta: Indeks Jakarta. 2010

21
9. Okatria, Ahmado., dkk. Perbandingan Kombinasi Bupivakain 0,5%

Hiperbarik dan Fentanil dengan Bupivakain 0,5% Isobarik dan Fentanil

terhadap Kejadian Hipotensi dan Tinggi Blokade Sensorik pada Seksio

Sesarea dengan Anestesi Spinal. Jurnal Anestesi Perioperatif. 2016. Vol. 4(2)

10. Santoso, S., Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Indonesia. Jakarta. 1995

11. Irawan, Hery., dkk. Perbandingan Kadar Kortisol dan Efek Analgesia

Pascabedah Anestesi Spinal Kombinasi Bupivakain Hiperbarik 0,5% 8mg dan

Klonidin 30µg dengan Bupivakain Hiperbarik 0,5% 8 mg dan Morfin 0,1mg

Pada Pasien yang Menjalani Prosedur Seksio Sesaria. Laporan Penelitian.

Anesthesia & Critical Care. 2014. Vol.32. No.2

12. Rindarto, Widya Istanto. Pengaruh Penambahan Morfin dan Klonidin pada

Bupivakain Dosis Rendah pada Anestesi Spinal untuk Bedah Sesar Ditinjau

dari Perubahan Hemodinamik dan Kadar Glukosa Darah. Medica Hospitalia.

2013. Vol.2 (1)

22

Anda mungkin juga menyukai