Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA TRAGEDI


KEMANUSIAAN PASCA GERAKAN 30
SEPTEMBER TAHUN 1965 (G30S/PKI)

DISUSUN OLEH :

1. Dwi Rahmawati ( 8111412028)


2. Muhammad Ricky Fauzi ( 8111412028)
3. Silvia Kumalasari ( 8111412028 )
4. Annisa Rizky Amalia ( 8111412029 )
5. Fandilla Susanti ( 8111412037 )
6.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia
merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya. Hak
asasi manusia melingkupi antara lain hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan
pangan, hak atas rasa aman, hak atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta
hak-hak lainnya sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948.
Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan dan tidak
perlu ada tekanan dari pihak manapun untuk melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara
pada dasarnya juga ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak
sebatas pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tetapi juga menyangkut pemenuhan
hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, rasa aman, penghidupan
yang layak, dan lain-lain. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas Negara/pemerintah
tetapi juga seluruh warga negara untuk memastikan bahwa hak tersebut dapat dipenuhi secara
konsisten dan berkesinambungan.

Peristiwa ‘pemberontakan PKI’ pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan
Gerakan 30 September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang
pada saat itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana
menjadikan Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu
memakan korban 7 orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di
Yogyakarta. Peristiwa 1965, Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa Kita tidak
pernah tahu bahwa sesungguhnya peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan
Angkatan Darat (AD) tapi juga ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa
tersebut karena dianggap terkait dengan PKI. Mereka yang haknya dirampas, dianiaya,

2
dilecehkan, diperkosa, di buang, diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam
perlakuan yang dapat disebut sebagai pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).

Pelanggaran HAM merupakan perbuatan orang atau sekelompok orang termasuk aparat
negara baik sengaja atau tidak atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi / menghalangi /
membatasi / mencabut HAM orang / kelompok orang yang dijamin oleh UU dan tidak
mendapat / dikhawatirkan tidak memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar. Peristiwa
Gerakan 30 September tahun 1965 (G 30 S/PKI -1965) telah menelan korban ratusan ribu jiwa,
bahkan terdapat laporan bahwa korban jauh lebih banyak dari itu. Peristiwa G 30 S/PKI tahun
1965 yang merupakan salah satu” lembaran hitam” dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia
memang terdapat berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tetapi sangat sulit untuk
diungkapkan soalnya terkait institusi-isntitusi negara waktu itu. Bahkan peristiwa tersebut juga
kononnya merupakan bagian dari skenario Blok barat dalam konteks merangkul Indonesia
supaya menjauhi Blok Timur,sehingga tidak bisa dipungkiri peristiwa G 30 S/PKI 1965
melibatkan agen-agen asing.

Meskipun sudah demikian berkibarnya PKI dan ormas-ormasnya, yang seringkali


melakukan berbagai kejahatan sehingga menimbulkan berbagai kerusuhan di berbagai wilayah
Indonesia. Namun Presiden Soekarno waktu itu tidak pernah merencanakan untuk
membubarkannya, maka PKI menjadi organisasi terbesar di dunia dengan berbagai ormasnya .
Kebesarannya itu membuatnya sangat arogan, yang secara terang-terangan mengancam Ormas
(organisasi masyarakat) lainnya terutama yang berseberangan politik dan ideologi dengan PKI.
PKI pimpinan DN Aidit menggelorakan gerkan progresif revolusioner dengan menjarah lahan-
lahan lalu membagi-bagikannya kepada rakyat, sebagai cara-cara untuk meraih dukungan
masyarakat.

Memang sangat disayangkan sebab setelah pemberontahan G 30 S/PKI tahun 1965


berhasil ditumpas, lalu terjadilah berbagai gerakan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia
tanpa bisa dikendalikan, ataupun disinyalir terdapat suatu “pembiaran” sehingga terjadilah
“Tragedi Kemanusian” tersebut. Meskipun tidak terbantahkan sudah terjadi pelanggaran HAM
yang berat dalam peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965, banyak warga masyarakat terjerumus karena
ketidak tahuannya mereka karena kemiskinannya dengan mudah direkruit dengan mengiming-

3
ngiming bantuan lahan dan perlengkapan pertaniannya secara gratis , ataupun ormas-ormas PKI
itu setiap menjelang Ramadhan mereka bagi-bagikan daging secara gratis pula kepada rakyat.
Jadi rakyat yang memang saat itu sedang terpuruk karena krisis ekonomi yang amat parah,
dengan mudah menerima pemberian mereka dengan hanya membubuhkan tandatangannya saja
di sebuah buku yang sudah disediakan sebelumnya.
Tetapi setelah PKI bisa ditumpas, maka rakyat yang ikut menandatangi sebagai bukti
menerima pemberian dari ormas-ormas PKI tersebut semua ditangkap, digiring kesuatu tempat
dan dieksekusi disana. Bahkan terdapat diantara rakyat sebelum dieksekusi disuruh menggali
kuburannya sendiri, dan banyak juga dibantai didepan keluarganya sendiri. Berbagai kejahatan,
kekejian memang terjadi waktu itu, namun sangat sulit jika hendak diusut oleh pengadilan
Indonesia. Tetapi jika Mahkamah Internasional seperti ICC, yang besar kemungkinannya bisa
mengusut masalah tersebut. Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM itu memang
sangat sulit untuk menyeret para pelakunya ke pengadilan di Indonesia, akan tetapi Komnas
HAM bisa saja mengajukannya ke Mahkamah Hukum Internasuional ataupun ke Pengadilan
Kejahatan Internasional (ICC).

B. Rumasan Masalah

1. Apakah penyebab terjadinya peristiwa G 30S/PKI ?

2. Bagaimanakah proses terjadinya peristiwa sampai pada penumpasan G 30S/PKI ?

3. Bagaimana pelanggaran-pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan setelah peristiwa


G 30S/PKI ?

4. Mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966 pasca terjadinya


peristiwa G 30S/PKI ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Penyebab Terjadinya Peristiwa G 30S/PKI

A. Penyusupan ke Dalam Organisasi Sosial Politik


Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak awal kemerdekaan senantiasa ingin merebut
pemerintahan indonesia. Selain merebut pemerintahan, mereka juga ingin mengganti ideologi
negara Pancasila dengan Marxisme – Leninisme. Upaya mewujudkan tujuan itu telah terlihat
sejak pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1948. Pemberontakan itu dapat
digagalkan, tetapi belum dapat ditumpas secara tuntas karena Pemerintahan RI menghadapi
Militer II Belanda. pada tahun 1950-an, PKI kembali bangkit. Dalam pemilihan umum tahun
1955, PKI menjadi partai terbesar nomor 4 di Indonesia.
Pada upacara peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan Pidato yang berjudul “ Penemuan Kembali
Revolusi Kita”. Pidato Presiden itu kemudian disahkan menjadi Garis – Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang diberi nama Manifesto Politik (Manipol).
Semenjak Manipol dikumandangkan menjadi GBHN, Presiden Soekarno lambat laun
mengambil alih berbgai wewenang yang seharusnya berada ditangan MPRS dan DPR-GR.
Demokrasi yang seharusnya dipimpin oleh permusyawaratan kemudian diubah menjadi
Demokrasi Terpimpin. Penyelewengan – penyelewengan di bidang ketatanegaraan lambat laun
menjerumuskan negara ke arah penyimpangan. Pandangan hidup bangsa Inonesia yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara berangsur – angsur diabaikan dan lebih
menekankan kepada Nasakom. Semakin lama PKI merasa semakin kuat karna program –
programnya menjadi bagian dari program pemerintah.

5
Untuk menunjukan kekuatannya PKI berpura – pura menerima Pancasila dan UUD ’45.
Akan tetapi kemudian mereka mengatakan bahwa Pancasila adalah alat pemersatu dan kalau
semua sudah bersatu, PKI tidak memerlukan Pancasila lagi.
Tindakan PKI itu tentu saja menggelisahkan kalangan yang setia kepada Pancasila. Partai
Murba mencoba menentang PKI, tetapi PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk
membubarkan Murba. PKI juga melakukan penyusupan pada tubuh PMI sehingga
mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI dibawah pimpinan Ali Sostroamidjojo disusupi
oleh tokoh PKI Ir.Surachman. PNI Osa-Usep dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja.
Untuk menyusup kedalam tubuh ABRI dan Organisasi sosial politik lain, Ketua Comite
Central PKI, D.N. Aidit, membentuk sebuah Biro Khusus. Selain mengadakan penyusupan,
tugas Biro Khusus, juga mempersiapkan pemberontakan. Usaha Biro Khusus ini cukup berhasil,
terbukti dari adanya beberpa anggota ABRI yang mendukung dan terlibat dalam pemberontakan
G 30 S/PKI. Anggota ABRI yang terlibat PKI adalat Letnan Kolonel Untung, Brigjen Soepardjo,
Kolonel Latif, dan lain – lain.
PKI juga menginkan agar organisasi yang ada dalam pengaruhnya, seperti Pemuda
Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita indonesia (Gerwani) dipersenjatai dan
diberi latihan kemiliteran, terutama mereka yang ikut sukarelawan Dwikora. Pada setia
kesempatan, tokoh PKI senantiasa menyampaikan usul kepada Presiden Soekarno untuk
membentuk Angkatan Ke-V. Akan tetapi usul PKI itu selalu, mendapat tantangan dari ABRI.
Mentri Koordinator (Menko) Hankam Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jendral A.H Nasution,
Mentri Panglima Angkatan Darat, Jendral A. Yani, dan pimpinan ABRI lainnya yang setia
kepada Pancasila menolak dengan tegas usulan tersebut.

B. Fitnah Dilakukan oleh PKI


Disamping melakukan penyusupan kedalam tubuh organisasi lawanya, PKI juga
melakukan fitnah keberbagai organisasi politik dan organisasi massa sebagi teror untuk
melumpuhkan kekuatan lawanya. Fitnah yang paling jahat tuduhan Pki tentang adanya Dewan
Jendral dalam tubuh Angkatan Darat. Dewan Jendral itu bertugas menilai kebijakan politik
Presiden Soekarno. Mereka menunjuk adanya sebuah dokumen yang disebut Document
Gilchrist. Gilchrist adalah duta besar inggris untuk RI saat itu. Dokumenini menyatakan bahwa
seolah – olah Dewan Jendral yang ada pada Angkatan Darat mempunyai hubungan dengan CIA

6
(Central Intelligence Agency) atau Dinas Rahasia Amerika Serikat dan mempunyai maksud akan
melakukan perebutan kekuasaan.
Wakil Perdana Mentri I (Waperdam I), Dr. Soebandrio, membawa “Dokumen” untuk ke
Istana Merdeka dan melaporkannya kepda Presiden Soekarno. Setelah membawa dokumen itu,
Presiden segera memanggil semua panglima Angkatan. Dalam pertemuan itu
Men/Pangad,Letnan Jendal Achmad Yani, menjelaskan bahwa Angkatan Darat tidak ada Dewan
Jendral seperti yang dimaksudkan oleh PKI. Oleh karena itu, ABRI/TNI-AD membantah keras
fitnah yang dilontarkan oleh PKI. Men/Pangad menambahakan bahwa yang ada dilingkungan
TNI-AD ialah Wanjati, yaitu Dewan yang menilai anggota perwira TNI-AD (Kolonel) yang
dapat dipromosikan mendapat jabatan tinggi

C. Persiapan Pembrontakan
Pada bulan Juli dan Agustus 1965, kesehatan Presiden Soekarno menurun dan mendapat
pemeriksaan tim dokter dari RRC dan dokter Indonesia. Menurut analisis dokter, keadan
presiden sangat gawat. Mengetahui situasi demikian, tokoh – tokoh PKI, seperti Nyoto dan Aidit
yang sedang berada diluar negeri segera kembali ke indonesia untuk melakukan persiapan
pemberontakan. Mereka khawatir, apabila keadaan bertambah kritis, ABRI akan mengambil
tindakan terhadap PKI dan ormasnya.
Aidit memerintahakan Biro Khusus PKI untuk membuat suatu rencana gerakan. Sejak
awal September 1965, mereka semakin sering mengadakan rapat rahasia dengan beberapa
oknum ABRI yang telah dipengaruhi komunisme untuk membahas rencana pemberontakan.
Rencana gerakan yang dibuat oleh Biro Khusus itu disetujui oleh Aidit. Selanjutnya, pimpinan
Biro Khusus segera menghubungi perwira – perwira ABRI yang telah dibina untuk
mempersiapka diri melaksanakan gerakannya.
Sebagai pendukung gerakan yang akan dilakukan, PKI mengadakan latihan militer bagi
anggota – anggotanya didaerah Lubang Buaya, Jakarta Timur. Latiham dilakukan dengan
berkedok melatih para sukarelawan dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Sampai akhir
September 1965, didesa Lubang Buaya telah dilatih kurang lebih 3.000 orang anggota PKI dan
organisasi bawahannya

7
2. Terjadinya Peristiwa sampai pada Penumpasan G 30S/PKI

A. Pemberontakan G 30S/PKI
Dini hari pada tanggal 1 Oktober 1965, PKI mulai mengadakan penculikan dan
pembunuhan terhadap para pemimpin tinggi atau pejabat teras TNI-AD.
Dalam aksinya jatuh korban enam perira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat
yang dianiaya dan dibunuh oleh PKI, dibawa ke Lubang Buaya. Setelah puasmenganiaya,
perwira yang masih hidup dimasukan kedalam sumur tua yang terletak disana. Perwira TNI-AD
yang menjadi korban tersebut adalah berikut:
 Letnan Jendral Achmad Yani, Mentri atau Panglima Angkatan Darat.
 Mayor Jendral R. Suprapto, Deputi II Panglima Angkatan Darat.
 Mayor Jendral Haryono Mas Tirtodarmo, Deputi III Panglima Darat.
 Mayor Jendral Siswondo Parman, Asisten I Panglima Angkatan Darat.
 Brigadir Jendral Donald Izacus Panjaitan, Asiten IV Panglima Angkatan Darat.
 Letna Satu Piere A. Tendean, Ajudan Menko Hankam Kasab.
Dalam gerakan penculikan itu, Jendral Abdul Haris Nasution, Mentri Koordinator Pertahanan
Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, berhasil meloloskan diri dari penculikan. Namun,
putrinya yang bernama Ade Irma Suryani, dan Ajudannya, Letnan Satu Piere Tendean, tewan
dibunuh oleh PKI. Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang sedangt bertugas jaga dirumah
Waperdam II, Dr. J. Leimena, tetangga Jendral Nasution, juga tewas ketika akan melawan
gerombolan penculik Jendral Nasution.
Politik luar negrri bebas aktif dialihkan menjadi politik luar negeri yang memihak Blok
Timur (Blok Komunis). Puncak semua kebijakan itu adalah G 30 S/PKI. Peristiwa itu
menyebabkan gugurnya tujuh patriiot bangsa yang dibunuh secara kejam oleh PKI.

B. Penumpasan G 30 S/PKI
Hanya sehari setelah PKI mencetuskan pemberontakannya, penumpasan terhadap mereka
pun dimulai. Penumpasan PKI dimulai di Jakarta kemudian Penumpasan di daerah – daerah.

8
1. Penumpasan PKI di Jakarta.
Pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, G 30 S/PKI masih menguasai studio RRI dan Kantor
Telekomunikasi. Melalui RRI, Letnan Kolonel Untung mengumumkan dekrit pembentukan
Dewan Revolusi sebagai sumber kekuasaan negara dan mendemisionerkan Kabinet Dwikora.
Upaya PKI untuk merebut pemerintahan RI tersebut segera dihadang oleh kekuatan yang setia
kepada Pancasila dan senantiasa waspada terhadap tindakan PKI. Di Jakarta, kekuatan itu berada
dibawah Panglima Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat (Pangkostrad), Mayor Jendral
Soeharto. Setelah mengetahui bahwa negara dalam keadaan bahaya, Panglima Kostrad bertindak
dengan cepat untuk memulihkan kekuasaan pemerintahan di ibu kota.
Tindakan yang pertama diambilnya adalah engadakan koordinasi. Ia mencoba
menghubungi Presiden Soekarno, tetapi tidak berhasil. Koordinasi kemudian dilanjutkan dengan
menghubungi Menteri/Panglima Angkatan Laut dan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian.
Menteri/Panglima Angkatan Udara tidak berhasil dihubungi, karena mereka memihak kepada
PKI. Setelah melakukan koordinasi, Pangkostrad memutuskan untuk segera mengadakan
penumpasan terhadap pemberontak.
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Dalam
waktu singkat ABRI yang dipimpin oleh Mayor Jendral Soeharto berhasil menyelamatkan
Republik Indonesia dari ancaman komunisme.
Hal ini memperlihatkan kepada kita bahwa Pancasila mampu membuktikan diri sebagai
kekuatan yang besar dan dijunjung tinggi oleh bangsa indonesia. Malam harinya, melalui RRI,
Mayor Jendral Soeharto menjelaskan kepada rakyat Indonesia tentang adanya perebutan
kekuasaan negara oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan Tiga Puluh September. Ia
juga menambahkan bahwa masyarakat diharapkan tenang dan waspada.
Pidato itu mematahkan semangat para pemberontak. Setelah keadaan ibu kota dapat
dikuasai kembali, penumpasan langsung ditujukan kebasis uatama G 30 S/PKIyang berada
disekitar dipangkalan udara Halim Perdanakusuma. Tanpa mengalami kesulitan, pada pagi hari,
tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim Perdanakusumadapat dikuasai.
Selanjutnya, ABRI mengadakan pencarian terhadap perwira – perwira Angkatan Drat
yang diculik oleh PKI ke kampung Lubang Buaya, Jakarta Timur. Pencarian ketempat itu
dilakukan atas petunjuk seorang polisi, Ajun Brigadir Polisi Sukitman mengetahui tempat itu
karena sebelumnaya ia memang ikut tawanan oleh PKI dan dibawa ketempat itu. Akan tetapi, ia
berhasil melarikan diri.

9
Di desa Lubang Buaya itulah jenazah para perwira tinggi angkatan darat itu dikubur
dalam sebuah sumur tua yang bergaris tengah kurang dari satu meter dengan kedalaman 12
meter. Luka – luka yang terdapat pada jenazah itu menunjukan bahwa mereka disiksa dengan
kejam sebelum dibunuh. Pengangkatan jenazah dilakukan pada tanggal 4 Oktober. Keesokan
harinya, bertepatan di Hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965, para perwira Angkatan
Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para korban di anugerahi Pahlawan
Revolusi dan diberikan kenaikkan pangkat satu tingkat lebih tinggi secara anumerta.
Untuk penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI dan pemulihan keamanan akibat
pemberontakan itu, pemerintah membentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Kopkamtib). Mayor Jendral Soeharto ditunjuk sebagai Panglima Kopkamtib.

2. Penumpasan di Daerah – Daerah


Keadaan di Jawa Tengah juag gawat karena ditempati ini PKI juga melakukan
pemberontakan dengan kekuatan bersenjata, seperti halnya di Jakarta. Di Semarang, Kolonel
Suhirman, Asisten l Kodam VII/Diponegoro, menyatakan dukungannya kepada pemberontak G
30 S/PKI. Pemberontak G 30 S/PKI menguasai Markas Kodam VII/Diponegorodan dijadikan
sebagai pusat gerakan.
Di Yogyakarta, pemberontak G 30 S/PKI menculik Komandan Korem 072/Pamungkas,
Kolonel Katamso, dan Kepala Staf Korem 072, Letnan Kolonel Sugiono. Kedua Perwira itu
dibunuh dengan kejam.
Pengumuman RRI Jakata bahwa Jakarta telah dikuasai kembali oleh ABRI menimbulkan
dampakyang besar. Untuk menumpas dan membersihkan sisa – sisa G 30 S/PKI secara lebih
intensif Mayor Jendral Soeharto mengirim pasukan RPKAD dibawah pipinan Kolonel Sarwo
Edhie Wibowo. Pasukan G 30 S/PKI di Jawa Tengah mulai patah semangat. Akhirnya, pimpian
pemberontak di Semarang, Kolonel Suhirman, dan kawan – kawannya melarikan diri keluar
kota. Kesatuan yang mendukung PKI dapat diinsyafkan.
Selanjutnya, satu demi satu kota – kota yang tadinya dikuasai oleh pemberontak G 30
S/PKI berhasil direbut kembali. Sejak tanggal 5 Oktober 1965 secara fisik militer keamanan
dalam jajaran Kodam VII/Diponegoro telah pulih kembali. Akan tetapi, setelah kekuatan militer
PKI dapat dihacurkan, di Jawa Tengah timbul gerakan pengacauan berupa sabotase dan
pembunuhan yang dilakukan oleh massa PKI terhadap rakyat. Berkat kerja sama ABRI dan
rakyat, keamanan dan ketertiban dapat dijaga.

10
Sementara itu, pemimpin – pemimpin PKI yang belum tertangkap berusaha mengadakan
konsolidasi. Mereka mempersiapkan pemberontakan bersejata dengan dukungan para petani.
Untuk melaksanakan rencan itu, secar diam – diam dan rahasia mereka menyusun kompro –
kompro (komite proyek) sebagai basis kembalinya PKI. Salah satu kompro yang paling besar
adalah Kompro Blitar Selatan. Di sini PKI berhasil mempengaruhi rakyat. Namun, ABRI segera
mencium usaha PKI itu. Penumpasan terhadap Kompro Blitar Selatan dilakukan dengan sebuah
operasi yang dinamakan Operasi Trisula sejak tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu berhasil
membongkar basis pertahanan PKI.
Penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI di tempat – tempat lain di Indonesia dilakukan
dengan melakukan operasi teritorial. Usaha penangkapan terhadap tokoh – tokoh PKI dilakukan
karena umumnya pendukung G 30 S/PKI tidak sempat melakukan gerakan perebutan kekuasaan.
Di daerah Jawa Timur dan Bali memang terjadi kekacauan penculikan dan pembunuhan, tetapi
dalam waktu singkat keadaan dapat ditertibkan kembali.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan “persatuan
nasional”, yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung “pemimpin revolusi Indonesia” dan tidak
melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama “Tribune”.
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan
Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: “Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik…Kita mendengar dengan penuh minat tentang
pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan…Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam.”
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi
Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di
Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Soviet berusaha dengan segala kemampuan
mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang
dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka
mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal
11 Februari, menyatakan “penghargaan penuh” atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari
Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara
Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner

11
apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Penyelesaian aspek politik mengenai pemberontakan G 30 S/PKI akan ditangani secara
langsung oleh Presiden Soekarno. Namun, karena berlarut – larut dan tidak ada ketegasan
timbullah aksi – aksi yang menuntut penyelesaian secara politis bagi mereka yang terlibat G 30
S/PKI. Pada tanggal 26 Oktober 1965, semua kekuatan yang anti komunis mengkokohkan diri
dalam satu barisan, yaitu Front Pancasila. Setelah itu, muncul gelombang demonstrasi yang
menuntut agar PKI dibubarkan. Aksi – aksi itu dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa
dan pelajar. Dan akhirnya G 30 S/PKI dapat di tumpas dan Indonesia memasuki Orde Baru.

3. Pelanggaran-Pelanggaran Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Setelah Peristiwa


G30S/PKI

Gerakan 30 September (G 30S/ PKI ) di bawah pimpinan Letkol Untung (G 30S/Untung)


yang melakukan aksinya dengan penahanan dan pembunuhan para jendral AD pada pagi tanggal
1 Oktober 1965, sudah berakhir pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah dihancurkan oleh pasukan
Suharto. Kemudian Presiden Soekarno membentuk Mahmilub yang berwewenang mengadili
mereka yang tersangkut dalam gerakan tersebut.
Setelah G 30S/PKI habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-1966 di beberapa daerah
Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa,
penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa
anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah
yang disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Masalah hukum/HAM, yang timbul setelah dihancurkannya G30S/Untung ialah masalah
yang berkaitan terjadinya pembunuhan, penahanan, penghilangan paksa, penganiayaan secara
massal pada 1965-1966 tanpa melalui proses hukum, yang korbannya antara 500.000 sampai 3
juta manusia yang tidak tahu apa-apa tentang G 30S/PKI, baik yang berkaitan dengan
warganegara Indonesia di tanah air mau pun di luar negeri (yang tanpa proseur hukum dicabut
paspornya).

12
Setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap
sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk
disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur dan
Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang
konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya 2.000.000 orang. Namun diduga
setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti
kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh
mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi,
tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA
menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian
keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan: "Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan
dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang
serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-
orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar
terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam
galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani
meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para
terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka.
Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi. Pekerja-pekerja
dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-
kejadian kontra-revolusioner ini dipecat. Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani

13
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang,
termasuk beberapa dozen sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar
Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak
kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30
September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

4. Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat 1965-1966 Pasca Terjadinya Peristiwa


G30S/PKI

Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya konstitusional
dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) dinilai perlu diupayakan agar
semua masalah pelanggaran tersebut memiliki kejelasan hukum, untuk selanjutnya menjadi
modal penting dalam menata masa depan bangsa dan negara tercinta ini. Menurut UU No.
26/2000, proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal.

 Pertama, Komnas HAM melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok


korban atau kelompok masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas
HAM kemudian membentuk satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan
kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti
terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida, maka akan
dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan Agung.

 Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan
kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan Ham
ad-hoc.

 Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu


pengadilan HAM ad-hoc.

14
Sebagaimana tertuang dalam UU RI Nomor 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Pasal 7
menjelaskan, bahwa yang termasuk pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 8 selanjutnya menjelaskan, kejahatan genosida adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, agama, dengan cara; Membunuh
anggota kelompok; Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok; Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; Memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak
dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sementara itu, dalam pasal 9 disebutkan, bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau diketahuinya
bahwa serangan tersebut secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa; Pembunuhan;
Pemusnahan; Perbudakan; Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Perampasan
kebebasan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-
asas) ketentuan pokok hukum internasional; Penyiksaan; Perkosaan, perbudakan seksual,
pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterelisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; Penganiayaan terhadap suatu kelompok
tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut Hukum Internasional; Penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan
apartheid.

Pada tahun 2008 dalam struktur Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus
pelanggaran HAM berat 1965-1966. Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan
berdasar prosedur hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang dugaan
adanya pelanggaran HAM berat 1965-1966. Kewajiban tersebut seharusnya sudah dijalankan
oleh penegak hukum pada awal kejadian tanpa diulur-ulur sampai 48 tahun lamanya. Tenggang
waktu yang begitu lama tentu menyukarkan tugas Komnas HAM dalam penyelidikan. Dalam
jangka kerja 5 tahun Komnas HAM berhasil mengumpulkan data-data dan menyimpulkan
terdapatnya indikasi-indikasi adanya pelanggaran HAM berat di tahun 1965-1966.

15
Kesimpulan Komnas HAM tersebut bersama rekomendasinya dilimpahkan ke Kejaksaan
Agung agar ditindak-lanjuti ke tahap penyidikan. Komnas HAM menyimpulkan telah
menemukan cukup bukti adanya dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa G30S
PKI. Terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang berat sebagai berikut, satu pembunuhan
pasal 7b, pemusnahan pasal 7b, dan pasal 9b UU 26 tahun 2000 kemudian perbudakan,
pengusiran, penyiksaan, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik pemerkosaan dan
penghilangan orang secara paksa.

Dalam proses ini tidak diperlukan pembuktian siapa dalang G 30S/PKI. Dan sama sekali
tidak diperlukan pembuktian apakah PKI memberontak atau tidak. Yang diperlukan ialah data-
data pembuktian ada tidaknya pelanggaran HAM berat 1965-1966, tidak pandang siapa pun
pelakunya dan siapa pun korbannya. Temuan hasil penyelidikan Komnas HAM yang sudah
dilimpahkan ke Kejaksaan Agung inilah merupakan bukti tahap awal yang akan ditindak lanjuti
oleh Kejaksaan Agung dalam proses penuntasan kasus pelanggaran HAM berat 1965-1966.

Penyelesaian kedua masalah (G 30S/PKI dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-1966)
berjalan pada jalur masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-
1966 adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Kasus tersebut
dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi. Sedang penyelesaian
masalah orang-orang yang tersangkut G 30S/PKI adalah masalah yang menjadi wewenang
Mahmilub.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia
merupakan suatu keharusan agar warga negara dapat hidup sesuai dengan kemanusiaannya.
Peristiwa ‘pemberontakan PKI’ pada tanggal 30 September 1965 atau dikenal dengan Gerakan
30 September (G30 S/PKI) merupakan peristiwa Partai Komunis Indonesia (PKI) yang pada saat
itu akan melakukan kudeta terhadap kepemimpinan Soekarno dan berencana menjadikan
Indonesia menjadi negara komunis. Kudeta yang akan dilakukan PKI saat itu memakan korban 7
orang jendral dikalangan angkatan darat di Jakarta dan dua orang di Yogyakarta. Peristiwa 1965,
Sebuah Tragedi kemanusiaan dalam Sejarah Bangsa Kita tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya
peristiwa 1965 tidak hanya menimbulkan korban dari kalangan Angkatan Darat (AD) tapi juga
ribuan rakyat sipil yang tidak tahu menahu mengenai peristiwa tersebut karena dianggap terkait
dengan PKI. Mereka yang haknya dirampas, dianiaya, dilecehkan, diperkosa, di buang,
diasingkan, di anggap bukan manusia, dan berbagai macam perlakuan yang dapat disebut sebagai
pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM).
Setelah G 30S/PKI habis riwayatnya, di sepanjang tahun 1965-1966 di beberapa daerah
Indonesia terjadi banyak kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan dengan paksa,
penganiayaan secara massal tanpa melalui proses hukum terhadap orang-orang yang didakwa
anggota PKI serta pendukungnya dan para Soekarnoist. Semua peristiwa tindak pidana inilah
yang disebut kejahatan kemanusiaan/pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Pada tahun 2008 dalam struktur Komnas HAM dibentuk Tim ad hoc penyelidikan kasus
pelanggaran HAM berat 1965-1966. Komnas HAM sesuai tugas serta wewenangnya dan
berdasar prosedur hukum yang berlaku berkewajiban melakukan penyelidikan tentang dugaan
adanya pelanggaran HAM berat 1965-1966.
Penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di masa lalu Menurut UU No. 26/2000,
proses terbentuknya pengadilan terdiri dari tiga bagian yang ideal. Pertama, Komnas HAM
melakukan penyelidikan berdasarkan pengaduan dari kelompok korban atau kelompok
masyarakat tentang satu kasus yang terjadi di masa lalu. Komnas HAM kemudian membentuk

17
satu KPP HAM untuk melakukan penyelidikan dan kemudian mengeluarkan rekomendasi. Jika
dalam rekomendasi tersebut terdapat bukti terhadap dugaan terjadinya kejahatan terhadap
kemanusiaan atau genosida, maka akan dilanjutkan pada tahap penuntutan oleh Kejaksaan
Agung. Kedua, DPR kemudian membahas hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan
kemudian membuat rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan Ham ad-hoc.
Ketiga, Presiden kemudian mengeluarkan keputusan presiden untuk pembentukan satu
pengadilan HAM ad-hoc.
Penyelesaian masalah (G 30S/PKI dan Kasus Pelanggaran HAM berat 1965-1966)
berjalan pada jalur masing-masing. Yang dituntut para korban pelanggaran HAM berat 1965-
1966 adalah penegakan kebenaran dan keadilan yang manusiawi baginya. Kasus tersebut
dituntaskan melalui Pengadilan ad Hoc atau berdasarkan UU Rekonsiliasi. Sedang penyelesaian
masalah orang-orang yang tersangkut G 30S/PKI adalah masalah yang menjadi wewenang
Mahmilub.

B. Saran

Telah kita ketahui bahwa G 30 S/PKI berusaha merebut kekuasaan negara dengan
kekerasan. Tidakan yang mereka lakukan menimbulkan bencana nasional karena membawa
korban, diantaranya adalah Pahlawan Revolusi. Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan
keampuhan pancasila sebagai ideologi bangsa, dalam waktu singkat pemberontakan dapat
ditumpas dan tokoh – tokohnya ditangkap. Itu berarti paham komunis dan kekejamanya tidak
dapat diterima oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pancasila membuktikan dirinya sebagai kekuatan besar
yang memiliki nilai – nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.

Selain itu dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM pasca terjadinya peristiwa
G30S/PKI di sepanjang tahun 1965-1966 dalam kejadian pembunuhan, penahanan, penghilangan
dengan paksa, penganiayaan terhadap orang-orang yang dianggap atau didakwa anggota PKI
serta pendukungnya dan para Soekarnoist secara massal ini seharusnya diproses melalui proses
hukum yang jelas. Hal inilah yang harus ditegakkan oleh aparat yang berwenang untuk

18
melindungi hak-hak asasi warga negaranya guna menciptakan negara hukum yang diamanatkan
oleh konstitusi negara kita. perlunya negara menerapkan Demokrasi dalam arti sesungguhnya,
dimana peralihan kekuasaan negara dapat berlangsung dengan aman dan damai tanpa korban
jiwa sama sekali. Apa yang terjadi pada 1965, kalau benar sebuah pelanggaran HAM berat, hal
itu disebabkan budaya politik sebagian masyarakat kita yang masih membenarkan segala cara
untuk mencapai tujuan politik. Doktrin “tujuan menghalalkan cara” yang dianut kaum Komunis,
menjadi awal pelanggaran HAM berat.

Nampaknya pembenahan tidak hanya dilakukan dalam kubu pemerintahan saja, tetapi
perlu adanya pembenahan dalam diri pemuda. Dari mempersiapkan moral, mental, dan
intelektual. Yang bisa diterapkan sesuai dengan era saat ini adalah adanya pendidikan karakter.
Dari segi moral, pendidikan karakter merupakan salah satu tolok ukur membentuk kepribadian
bangsa yang luhur. Akan membentuk mental yang tangguh dan tahan dengan berbagai bentuk
penyelewengan.

Perlu adanya kerjasama antara pemerintah dengan generasi muda. Bisa dalam bentuk
forum diskusi yang terprogram dengan baik. Harus diubah penyaluran aspirasi lewat demonstrasi
yang pada akhirnya ricuh. Kita bisa terapkan forum diskusi, misalnya dalam setiap propinsi
dihadirkan wakil-wakil pemuda yang membahas permasalahan yang terkait dengan
ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah dengan keinginan masyarakat. Atau secara
sederhana dalam lingkup daerah, adanya diskusi terbuka di setiap kabupaten. Hal-hal seperti itu
perlu dibiasakan untuk menumbuhkan sikap demokrasi dalam lingkup wilayah kecil hingga
lingkup pemerintahan negara Indonesia.

Ke depannya, sejarah mengenai tragedi 1965 jangan hanya dimaknai sebagai catatan
yang kelam dari bangsa Indonesia. Tetapi harus dijadikan landasan berpikir untuk melakukan
perubahan oleh para kaum muda sebagai bentuk kecintaan pada negara. Selain itu, tragedi 1965
akan membawa bangsa Indonesia lebih menghargai sejarah berkat generasi mudanya yang mau
ikut serta dalam pembangunan nasional. Berawal dari sejarah inilah kaum muda Indonesia akan
siap dan mampu mewujudkan negara yang demokratis, menjunjung tinggi HAM dari
pemerintahan di daerah hingga pemerintahan pusat.

19
DAFTAR PUSTAKA

Lorimer, Lomren. 1999. Negara dan Bangsa, Jakarta: Widya Dana M.C, Rickles. 1999. Sejarah
Modern Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University
Drs. C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta : Erlangga
As’ad Djamhari, Saleh. 1979. Ikhtisar Sejarah Perjuangan ABRI (1945 Sekarang). Cet. Ke-2.
Jakarta: Pusat Sejarah ABRI
Pour, Julius. 2011. Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan & Petualang. PT Kompas
Media Nusantara. Jakarta.
Roosa, John, 2008. Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto. Hasta Mitra. Jakarta
http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/31/g30spki-dalam-berbagai-versi/
http://macsman.wordpress.com/tag/sejarah-g-30-spki/

20

Anda mungkin juga menyukai