Anda di halaman 1dari 8

NAMA : PRINCE ALVIN YUSUF

KELAS : XI TKJ
TUGAS : INDIVIDU
TAGS : MEMBEDAH TEKS ULASAN FILM ATAU DRAMA DAN MEMBEDAH CERITA PENDEK

A. MEMBEDAH TEKS ULASAN FILM ATAU DRAMA

DI BALIK 98

 Orientasi

Merupakan gambaran umum atas bahan atau karya sastra yang akan diulas.

Di Balik '98 adalah sebuah film produksi MNC Pictures yang bercerita tentang peristiwa
rusuh 1998. Rakyat Indonesia tentu tahu mengenai peristiwa Mei 1998. Ya, waktu itu adalah
waktu-waktu yang genting bagi tahta kepresidenan Soeharto dan Orde Baru. Tetapi Di balik 98,
dibalik panasnya situasi politik, ada cerita-cerita yang bisa dipetik nilai kemanusiaannya.
 Tafsiran Isi

Pandangan pengulas terhadap film.

Dikisahkan, Diana (Chelsea Islan), seorang mahasiswi Trisakti akhirnya memutuskan untuk
menjadi demonstran. Masa kekuasaan Soeharto, menurutnya harus segera diakhiri. Memilih
untuk menjadi demonstran merupakan aplikasi yang kurang tepat, mengingat Diana kini tinggal
dengan kakaknya, Salma (Ririn Ekawati), seorang pegawai Istana Negara, dan suami Salma, Bagus
(Donny Alamsyah), seorang Letnan Dua, Angkatan Darat.
Sejak awal krisis moneter, Diana sudah menjadi bagian dari gerakan gabungan seluruh
mahasiswa Indonesia yang menuntut turunnya presiden Soeharta. Ini adalah salah satu bentuk
dari ketakutan masyarakat, dan puncaknya terjadi saat 13-14 Mei, dimana 4 orang mahasiswa
tertembak mati oleh aparat.
Di tengah kondisi yang sangat kacau ini, presiden Soeharto (Amoro Katamsi) memutuskan
untuk pergi ke Kairo, menghadiri KTT G-15. Sedangkan wakil presiden, B.J. Habibie dikejutkan
oleh insiden penembakan di Trisakti yang berbuntut kerusuhan besar.
Kemarahan bukan hanya milik Diana atau mahasiswa, tetapi juga Bagus, kakak iparnya.
Mengetahui istrinya sedang hamil tua, Bagus tetap harus melaksanakan perintah atasan demi
menjaga keamanan wilayah di berbagai titik di Jakarta. Semakin runyam hati Bagus saat
mengetahui istrinya tak ada di Istana, karena pergi mencari Diana yang sudah beberapa hari tidak
ada kabar dan tidak pulang ke rumah.
Semuanya kian pelik saat Daniel (Boy William), pacar Diana, seorang keturunan Tionghoa,
harus juga merasakan pedihnya hari-hari kala itu. Ayah dan adiknya menghilang dalam kerusuhan
14 Mei. Bahkan Daniel juga nyaris terjebak sweeping warga dalam penyaringan orang-orang Non
Pribumi, yang saat itu menjadi puncak issue rasial di Indonesia. Disisi lain, rakyat sekelas gembel
dan pengemis pun harus turut merasakan bagaimana imbas politik yang terjadi, dan dampak
buruknya bagi mereka.
 Evaluasi

Film yang dirilis pada 15 Januari 2015 lalu ini bukanlah film politik, tetapi film drama
keluarga, percintaan, yang dibalut dengan latar belakang kekisruhan Mei 1998. Dan karena ini
adalah film, memiliki paradigma yang berbeda dengan kejadian kerusuhan Mei '98 tersebut.
Dengan memasukkan bumbu-bumbu fiksi berupa kisah Diana, Daniel, dan yang lainnya, akan
melengkapi film Dibalik 98 menjadi lebih sempurna.
Kisah genting 1998 memang sampai saat ini masih terkenang dengan baik, khususnya bagi
mereka yang mengalami atau menyaksikan langsung peristiwa tersebut. Namun Lukman Sardi,
sang sutradara, mencoba menggambarkan problematika lain yang terdapat Dibalik 98 untuk
diketahui masyarakat. Kehadiran Chelsea Islan yang namanya sedang naik daun, berbanding lurus
dengan kualitas aktingnya yang semakin mumpuni. Boy William pun tak kalah hebatnya
memainkan mahasiswa turunan Tionghoa yang ikut merasakan kepahitan 1998. Untuk masalah
pemain, Dibalik 98 memberikan yang terbaik. Verdi Solaiman, Alya Rohali, Fauzi Baadilla, Teuku
Rifnu Wikana, Bima Azriel, dan masih banyak yang lainnya juga akan tampil di sini.

 Rangkuman

Jika Anda belum mengetahui bagaimana kira-kira situasi pada Mei 1998, Dibalik 98 juga
memberikan jawabannya. Karena meskipun mengedepankan kisah drama, film ini tetap memiliki
latar belakang politik yang dapat dipercaya demi keutuhan cerita. Bagaimana para demonstran
akhirnya dijamu oleh MPR/DPR, bagaimana perbincangan empat mata presiden dengan wakil
presiden, juga bagaimana keresahan yang sebenarnya dialami oleh warga kala itu. Yang tak
diduga adalah, beberapa adegan film Dibalik 98 memiliki unsur komedi saat Anda diperlihatkan
tokoh-tokoh politik yang diperankan oleh aktor-aktor yang tidak terduga. Itu adalah nilai tambah
lain untuk film dari MNC Pictures yang satu ini. Jadi, keputusan menonton film ini ada di tangan
Anda.
B. MEMBEDAH CERITA PENDEK

KABUT IBU

 Abstrak

Dari kamar ibu yang tertutup melata kabut. Kabut itu berjelanak dari celah bawah pintu.
Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu, dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan.

Awalnya, orang-orang mengira bahwa rumah kami tengah sesak dilalap api. Tapi kian waktu
mereka kian bosan membicarakannya, karena mereka tak pernah melihat api sepercik pun menjilati
rumah kami. Yang mereka lihat hanya asap tebal yang bergulung-gulung. Kabut. Pada akhirnya, mereka
hanya akan saling berbisik, ”Begitulah rumah pengikut setan, rumah tanpa Tuhan, rumah itu pasti sudah
dikutuk.”

 Orientasi

Peristiwa itu terjadi berpuluh tahun silam, pada Oktober 1965 yang begitu merah. Seperti warna
bendera bergambar senjata yang merebak dan dikibarkan sembunyi-sembunyi. Ketika itu, aku masih
sepuluh tahun. Ayah meminta ibu dan aku untuk tetap tenang di kamar belakang. Ibu terus mendekapku
ketika itu. Sayup-sayup, di ruang depan ayah tengah berbincang dengan beberapa orang. Entah apa yang
mereka perbincangkan, tetapi sepertinya mereka serius sekali. Desing golok yang disarungkan pun
terdengar tajam. Bahkan beberapa kali mereka meneriakkan nama Tuhan.

Beberapa saat kemudian ayah mendatangi kami yang tengah gemetaran di kamar belakang. Ayah
meminta kami untuk segera pergi lewat pintu belakang. Ayah meminta kami untuk pergi ke rumah abah
(bapak dari ayah) yang terletak di kota kecamatan, yang jaraknya tidak terlampau jauh.

Masih lekat dalam kepalaku, malam itu ibu menuntunku terburu-buru melewati jalan pematang
yang licin. Cahaya bulan yang redup malam itu cukup menjadi lentera kami dari laknatnya malam.
Beberapa kali aku terpeleset, kakiku menancap dalam kubang lumpur sawah yang becek dan dingin,
hingga ibu terpaksa menggendongku. Sesampainya di rumah abah, ibu mengetuk pintu terburu-buru dan
melemparkan diri di tikar rami. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Abah mengambilkan
segelas air putih untuk ibu, sebelum mengajakku tidur di kamarnya.

Malam itu, abah menutup pintu rapat-rapat dan berbaring di sebelahku. Sementara, di luar riuh
oleh teriakan-teriakan, suara kentungan, juga desing senjata api sesekali. Abah menyuruhku untuk segera
memejamkan mata.

Subuh paginya, ketika suara azan terdengar bergetar, abah memanggil-manggil nama ibu sambil
menelanjangi seluruh bilik. Abah panik karena ibu sudah tidak ada lagi di kamarnya.

Selepas duha, abah mengantarku pulang dengan kereta untanya. Ibumu pasti sudah pulang
duluan, begitu kata abah.

Sesampainya di depan rumah, tiba-tiba abah menutup kedua mataku dengan telapak tangannya
yang bau tembakau. Dari sela-sela jari abah aku bisa menilik kaca jendela dan pintu yang hancur
berantakan, terdapat bercak merah di antara dinding dan teras. Warna merah yang teramat pekat, seperti
darah yang mengering. Buru-buru abah memutar haluan, membawaku pulang kembali ke rumahnya. Dari
kejauhan aku melihat lalu lalang orang di depan rumah kami yang kian mengecil dalam pandanganku.
Orang-orang itu tampak terlunta-lunta mengangkat karung keranda.

”Mengapa kita tak jadi pulang, Bah?” tanyaku.

”Rumahmu masih kotor, biar dibersihkan dulu.” Abah tersengal-sengal mengayuh kereta untanya.

”Kotor kenapa, Bah?”

Abah terdiam beberapa jenak, ”Ya kotor, mungkin semalam banjir.”

”Banjir? Kan semalam tidak hujan, Bah. Banjir apa?”

”Ya banjir.”

”Banjir darah ya, Bah, kok warnanya merah.”

”Hus!”

 Komplikasi

Berselang jam, pada hari yang sama, abah memintaku untuk tinggal sebentar di rumah. Aku tak
boleh membuka pintu ataupun keluar rumah sebelum abah datang.

”Jangan ke mana-mana, abah mau bantu-bantu membersihkan rumahmu dulu, sekalian jemput ibumu.”

Aku tak tahu apa yang tengah terjadi di luar sana, tapi hawa mencekam itu sampai kini masih
membekas. Selagi abah pergi, aku hanya bisa mengintip keadaan di luar dari celah-celah dinding papan.
Di luar sepi sekali. Sangat sepi. Kampung ini seperti kampung mati. Lama sekali abah tak kunjung datang.
Jauh selepas ashar, baru kudengar decit rem kereta untanya di depan rumah. Aku mengempaskan napas
lega. Menyongsong abah.

Abah tertatih merangkul ibu. Ibu hanya terdiam lunglai seperti boneka. Matanya kosong tanpa
kedipan. Rambutnya acak-acakan, tak karuan. Guritan matanya lebam menghitam.

Ketika kutanya abah ada apa dengan ibu, abah hanya menjawab singkat, bahwa ibu sedang sakit.
Lalu aku bertanya lagi kepada abah, ayah mana? Dan abah tidak menjawab. Namun, beberapa waktu
kemudian, dengan sangat perlahan, abah mulai menjelaskan bahwa hidup dan mati adalah dua hal yang
tak bisa dipisahkan. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semuanya akan didatangi kematian—lantaran
mereka pernah hidup. Maka serta-merta aku paham dengan warna merah yang menggenang di teras
rumah tadi pagi. Saat itu aku tak bisa menangis. Namun, dadaku sesak menahan ngeri.

 Evaluasi

Semenjak hari yang merah itulah ibu tak pernah sudi keluar kamar, apalagi keluar rumah. Ketika
ibu kami paksa untuk menghirup udara luar, ia akan menjerit dan meronta tak karuan. Pada akhirnya, aku
dan abah hanya bisa pasrah. Tampaknya ada sesuatu yang rusak dalam kepala ibu. Ada sesuatu yang
hilang dari dirinya. Ibu seperti sudah tak peduli lagi pada dunia. Sepanjang hari pekerjaannya hanya diam,
sesekali menggedor-gedor meja dan lemari, menghantam-hantamkan bantal ke dinding dan terdiam lagi.

Ibu memang benar-benar sakit. Makan dan minum harus kami yang mengantarkan ke kamarnya.
Mandi pun harus kami yang menuntunnya. Berganti pakaian, menyisir rambut, melipat selimut, semua
aku dan abah yang melakukannya. Hanya satu hal yang kami tidak mengerti: kamar ibu selalu berkabut.

Lelah sudah kami mengusir kabut-kabut itu dari sana. Kabut yang selalu muncul tiba-tiba. Kabut
yang selalu mengepul, setelah kami menutup kembali pintu dan jendela, mengepul lagi dan lagi. Setelah
kami tilik dengan saksama, baru kami menyadari sesuatu, bahwa kabut itu bersumber dari mata ibu.
Sejauh ingatanku, ibu tak pernah menitiskan air mata. Namun dari matanya selalu mengepul kabut tebal
yang tak pernah kami pahami muasalnya. Mungkinkah kabut itu berasal dari air mata yang menguap
lantaran tertahan bertahun-tahun lamanya. Entahlah.

 Resolusi

Pada akhirnya, bagi kami, kabut ibu menjadi hal yang biasa. Kami hanya butuh membuka pintu
dan jendela lebar-lebar untuk memecah kabut itu. Namun begitulah, semenjak kami menyadari
keberadaan kabut itu, ibu tak lagi sudi membukakan pintu kamarnya untuk kami. Makanan dan minuman
kami selipkan melewati jendela kaca luar. Namun sepertinya ia tak lagi peduli dengan makanan. Beberapa
kali kami menemukan makanan yang kami selipkan membusuk di tempat yang sama. Tak tersentuh sama
sekali. Ketika kami memanggil-manggil nama ibu, tak ada sahutan sama sekali dari dalam, kecuali kepulan
kabut yang memudar dan pecah di depan mata kami.

Sementara, kian waktu, kamar itu kian buram oleh kabut yang terus mengental. Kami tak bisa
melihat jelas ke dalamnya. Hingga suatu ketika, aku dan abah berinisiatif untuk mendobrak pintu kamar
ibu. Kami benar-benar berniat melakukan itu. Kami benar-benar khawatir dengan keadaan ibu. Linggis
dan congkel kami siapkan. Beberapa kali kami melemparkan hantaman. Pintu itu bergeming. Kami terus
menghantamnya, mencongkelnya, mendobraknya, hingga pintu itu benar-benar rebah berdebam di
tanah.

Aku dan abah mengibaskan kabut itu pelan-pelan. Membuka jendela lebar-lebar. Perlahan kami
mendapati kabut itu memudar dan pecah. Beberapa saat kemudian kabut itu benar-benar lenyap. Namun
kamar ibu menjadi sangat senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya ada ranjang yang membatu, juga
bantal selimut yang tertata rapi. Kami tidak melihat ibu di sana. Aneh, kami juga tidak melihat ibu
berkelebat atau berlari keluar kamar. Yang kami saksikan dalam bilik itu hanya kabut yang kian menipis
dan hilang.

Kami masih belum yakin ibu hilang. Berhari-hari kami mencari ibu sampai ke kantor kecamatan.
Kami juga menyebarkan berita kehilangan sampai kantor polisi. Waktu melaju, berbilang pekan dan bulan,
tapi ibu tak juga kami temukan. Hingga keganjilan itu muncul dari kamar ibu. Kabut itu. Kabut itu masih
terus mengepul dari kamar ibu, entah dari mana muasalnya. Lambat laun kami berani menyimpulkan
bahwa ibu tidak benar-benar hilang. Ibu masih ada di rumah ini, di kamarnya. Kabut itu, kabut itu buktinya.
Kabut itu adalah kabut ibu. Kabut yang tak pernah ada kikisnya.

 Koda

Akhirnya, aku dan abah memutuskan untuk mengunci rapat-rapat kamar ibu. Membiarkan kabut
itu terus melata. Berjelanak dari celah bawah pintu. Merangkak memenuhi ruang tengah, ruang tamu,
dapur, kamar mandi, hingga merebak ke teras depan. Kami tak perlu lagi memedulikan ocehan orang-
orang yang mengatakan bahwa rumah kami adalah rumah setan, rumah tak bertuhan, rumah yang
menanggung kutukan. Karena, kami yakin, tak lama lagi, kabut itu pun akan menelan rumah kami,
sebagaimana ia menelan ibu.
DAFTAR PUSTAKA

 POWER POINT (.PPTX)


o Buku seri pendalaman materi bahasa indonesia

 WORD (.DOCX)
o http://www.smansax1-edu.com/2015/02/contoh-teks-ulasan-film-beserta.html
o https://cerpenkompas.wordpress.com/2012/07/08/kabut-ibu

Anda mungkin juga menyukai