Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN KASUS

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing :

dr. Nur Sp.A

Disusun oleh :
Chairunnisa Rifka W

Fitria Fadzri R

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Moh. Ridwan Meuraksa Tk. II

Periode 17 Juli – 25 September 2016

1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : An. M. W.
No. RM : 355280
Tanggal lahir : 08/12/2012
Usia saat masuk : 3 tahun 8 bulan
Alamat : Jln. H. Murthado No. XII, Paseban,
Kecamatan Senen, Jakarta Pusat
Status perkawinan : Belum kawin
Pekerjaan : Belum bekerja
Tanggal masuk : 21/07/2016
Tanggal pemeriksaan : 21/07/2016
Ruang perawatan : R. Anggrek

B. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Pasien mengeluh lemas dan pucat 7 hari SMRS

Keluhan tambahan :
Pasien tampak lemas dan pucat 7 hari SMRS. Disertai dengan demam 4
hari SMRS. Demam dirasakan hilang timbul. Terdapat ruam pada seluruh
tubuh sejak 3 hari SMRS, batuk kering (+), hematemesis berwarna merah
segar sejak 2 hari SMRS sebanyak 2 kali. BAB kehitaman (melena)
sebanyak 1 kali SMRS.

Riwayat penyakit sekarang :


Pasien laki-laki berusia 3 tahun 8 bulan datang dengan keluhan lemas dan
pucat sejak 7 hari SMRS disertai demam hilang timbul sejak 4 hari SMRS.
Timbul ruam kemerahan dan terasa gatal disekitar ruam sejak 3 hari
SMRS. Batuk tidak disertai dengan dahak dan tidak dipengaruhi oleh
perubahan cuaca, Terdapat mual kemudian muntah darah berwarna merah
segar sejak 2 hari SMRS. BAB cair kehitaman sebanyak 1 kali SMRS. BB
tidak ada kenaikan selama perawatan di RS. Tidak ada tanda-tanda
kebocoran plasma. Tidak terdapat bintik-bintik merah pada ekstremitas.
Tidak ditemukan adanya sklera ikterik pada mata kanan dan kiri.

Riwayat imunisasi :

2
Lengkap

Riwayat penyakit dahulu :


Disangkal

Riwayat Penyakit Lainnya :


a. DM (-)
b. Hipertensi (-)
c. Asma (-)
d. Penyakit Jantung (-)
e. Penyakit paru (-)
f. Penyakit hepar (-)

Riwayat penyakit keluarga :


Disangkal.

Riwayat kebiasaan :
Pasien memiliki riwayat tidak suka mengkonsumsi sayur sayuran

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan : 21 Juli 2016 (pukul 17.00 WIB)

Tanda-tanda vital
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 100 x/mnt
Laju pernafasan : 24 x/mnt
Suhu : 37.8 oC

Tinggi badan : 100 cm


Berat badan : 11 kg
Gizi : underweight (BMI 11.00 kg / m2)

Pemeriksaan Generalisata
Kepala : normocephal
Mata : Konjungtiva palpebra inferior anemis +/+ ;
Konjungtivitis +/+ ; sklera ikterik -/- ;
pupil isokor, Ø 3mm / 3mm, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung +/+
Mulut : Mukosa bibir tidak kering, bibir sianosis (-
),

3
lidah kotor (-), faring hiperemis (-)
Leher : trakea di tengah, deviasi (-) pembesaran
kelenjar getah bening (-) dan macula
eritamatosa (+)
Thorax : Simetris bilateral saat statis dan dinamis
Paru
(I) : pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan dinamis
(P) : fremitus taktil dan vokal, kiri dan kanan sama
(P) : sonor+/+ di seluruh lapang paru
(A) : bunyi nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-

Jantung
(I) : iktus kordis tidak terlihat
(P) : iktus kordis tidak teraba
(P) : batas kanan : ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri : ICS V linea mid-klavikula sinistra
(A) : bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defans muskular (-), hepar
dan lien tidak teraba, massa (-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran, shifting dullness (-) dan H/L : TTB
(A) : bising usus (+) normal, metallic sound (-)

Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema -/-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
21 Juli 2016
HEMATOLOGI
Hemoglobin 4,6 g/dl 13-16 g/dl
Leukosit 9.100 /ul 5,000-10,000 /ul
Hematokrit 14% 40-48%
Trombosit 312.000 /ul 150,000-400,000 /ul

4
22 Juli 2016
MORFOLOGI DARAH TEPI
Eritrosit Mikrositik Hipokrom, Sel pensil
(+)
Leukosit Jumlah & morfologi normal
Trombosit Jumlah & morfologi normal

Kesan : Anemia defisiensi fe dd/ hb-pati

23 Juli 2016 (Post-transfusi darah)

HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,4 g/dl 13-16 g/dl
Leukosit 14.800 /ul 5,000-10,000 /ul
Hematokrit 35% 40-48%
Trombosit 382.000 /ul 150,000-400,000 /ul

E. DIAGNOSIS PRIMER
Anemia defisiensi besi

F. DIAGNOSIS SEKUNDER
Morbili dan malnutrisi

G. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam


Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

H. TATALAKSANA
 IVFD KAEN3B 8 tpm (makro)
 Vitamin A 1 x 200.000 IU
 Syr. Paracetamol 3 x 1 cth
 Syr. Ambroxol 3 x ½ cth
 O2 1 L
 Transfusi PRC (Packed Red Cell) 300 cc

5
FOLLOW-UP

Waktu Perkembangan Tindakan

21 Juli 2016 S : Pasien datang dengan keluhan - IVFD KAEN3B 8 tpm


Pukul : pucat, demam sejak 4 hari SMRS. (makro)
17.00 Muncul ruam saat demam sejak 3 hari - Vit. A 1 x 200.000 IU
IGD SMRS. Batuk (+). Muntah darah - Syr. Paracetamol 3 x 1
berwarna merah sejak 2 hari SMRS cth
sebanyak 2 kali. BAB kehitaman - Syr. Ambroxol 3 x ½
sebanyak 1 kali SMRS. Riwayat - Rencana transfusi PRC
imunisasi lengkap (Packed Red Cell)
O : - O2 1 L
Ku : Tampak sakit sedang
Ks : Compos mentis
N : 100x/menit
RR : 24x/menit
T : 37,8°C
BB : 11 kg
TB : 100 cm
Mata : Konjungtiva palpebra pucat
+/+ ; Konjungtivitis +/+ ; Sklera
ikterik -/- ; Pupil isokor, Ø 3mm /
3mm, refleks cahaya langsung dan
tidak langsung +/+
Telinga : Normotia +/+, serumen -/-
Hidung : Pch (-), secret (-)
Mulut : Mukosa bibir tidak kering,
bibir sianosis (-) lidah kotor (-), faring
hiperemis (-)
Leher : Terdapat macula eritematosa
(+), pembesaran KGB (-)
Thorax :
o Pulmo : vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
o Cor : Bunyi jantung I/II
reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, massa (-) dan ascites

6
(-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran,
shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat ++/++, macula
eritematosa (+)

A : Febris e.c campak, anemia dan


hemoptoe

22 Juli 2016 S : Batuk (+), lemas (+), BAB - IVFD KAEN3B 8 tpm
06.30 berwarna hitam (+) (makro)
Anggrek O : Ku : tss, Ks : CM, S : 37,4, N : - Vit. A 1 x 200.000 IU
128x/mnt, RR: 28 x/mnt - Syr. Paracetamol 3 x 1
Kepala : normocephal cth
Mata : konjungtiva palpebra anemis - Syr. Ambroxol 3 x ½
+/+, konjungtivitis +/+, sclera ikterik - - Transfusi PRC 300 cc
/-, secret -/- dan edema palpebra -/- (Packed Red Cell),
Telinga : Normotia +/+, serumen -/- berikan inj. Lasix 10
Hidung : Pch (-), secret (-) mg
Mulut : Mukosa bibir tidak kering, - O2 1 L
bibir sianosis (-) lidah kotor (-), faring - Pemeriksaan MDT
hiperemis (-) (morfologi darah tepi)
Leher : Terdapat macula eritematosa
(+), pembesaran KGB (-)
Thorax :
o Pulmo : vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
o Cor : Bunyi jantung I/II
reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, massa (-) dan ascites
(-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran,
shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal

7
Ekstremitas :
Akral hangat ++/++, macula
eritematosa (+)

A : Febris e.c campak, anemia dan


hemoptoe

23 Juli 2016 S : Batuk (+), lemas (+), BAB - IVFD KAEN3B 8 tpm
10.00 berwarna hitam (+) (makro)
Anggrek O : Ku : tss, Ks : CM, S : 36,3, N : - Syr. Paracetamol 3 x 1
105x/mnt, RR: 22 x/mnt cth
Kepala : normocephal - Syr. Ambroxol 3 x ½
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/- cth
, konjungtivitis -/-, sclera ikterik -/-,
secret -/- dan edema palpebra -/-
Telinga : Normotia +/+, serumen -/-
Hidung : Pch (-), secret (-)
Mulut : Mukosa bibir tidak kering,
bibir sianosis (-) lidah kotor (-),
faring hiperemis (-)
Leher : Terdapat macula eritematosa
yang sudah mengalami
hiperpigmentasi, pembesaran KGB
(-)
Thorax :
o Pulmo : vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
o Cor : Bunyi jantung I/II
reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, massa (-) dan ascites
(-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran,
shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat ++/++, macula
eritematosa yang sudah mengalami

8
hiperpigmentasi

A : Anemia defisiensi besi, morbili


dan malnutrisi

24 Juli 2016 S : Batuk (+) - IVFD KAEN3B 8 tpm


10.00 O : Ku : tss, Ks : CM, S : 36,3, N : (makro)
Anggrek 104x/mnt, RR: 28x/mnt - Syr. Paracetamol 3 x 1
Kepala : normocephal cth
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/- - Syr. Ambroxol 3 x ½
, konjungtivitis -/-, sclera ikterik -/-, cth
secret -/- dan edema palpebra -/-
Telinga : Normotia +/+, serumen -/-
Hidung : Pch (-), secret (-)
Mulut : Mukosa bibir tidak kering,
bibir sianosis (-) lidah kotor (-),
faring hiperemis (-)
Leher : Terdapat macula eritematosa
yang sudah mengalami
hiperpigmentasi, pembesaran KGB
(-)
Thorax :
o Pulmo : vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
o Cor : Bunyi jantung I/II
reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, massa (-) dan ascites
(-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran,
shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat ++/++, macula
eritematosa yang sudah mengalami
hiperpigmentasi

A : Anemia defisiensi besi, morbili

9
dan malnutrisi

25 Juli 2016 S : Batuk (+) - IVFD KAEN3B 8 tpm


07.56 O : Ku : tss, Ks : CM, S : 37,5, N : (makro)
Anggrek 96x/mnt, RR: 24x/mnt - Syr. Paracetamol 3 x 1
Kepala : normocephal cth
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/- - Syr. Ambroxol 3 x ½
, konjungtivitis -/-, sclera ikterik -/-, cth
secret -/- dan edema palpebra -/-
Telinga : Normotia +/+, serumen -/- Terapi pulang :
Hidung : Pch (-), secret (-) - Cefixime 2 x 50 mg
Mulut : Mukosa bibir tidak kering, - Syr. Paracetamol 3 x
bibir sianosis (-) lidah kotor (-), 1 cth
faring hiperemis (-) - Syr. Ambroxol 3 x ½
Leher : Terdapat macula eritematosa cth
yang sudah mengalami
hiperpigmentasi, pembesaran KGB
(-)
Thorax :
o Pulmo : vesikuler +/+,
rhonki -/-, wheezing -/-
o Cor : Bunyi jantung I/II
reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
(I) : tampak datar
(P) : supel, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, massa (-) dan ascites
(-)
(P) : timpani pada seluruh kuadran,
shifting dullness (-)
(A) : Bising usus (+) normal
Ekstremitas :
Akral hangat ++/++, macula
eritematosa yang sudah mengalami
hiperpigmentasi

A : Anemia defisiensi besi, morbili


dan malnutrisi

10
11
1.7 Diagnosis

Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan


mengatasinya serta rnemberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar
80-85% penyebab ADB dapat diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan
dengan tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama efektiinya dengan pemberian
secara parenteral. Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang
tidak dapat memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi
secara peroral karena ada gangguan pencernaan.

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:

1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia 



2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%) 

3. Kadar Fe serum <50 μg/dL (N: 80-180 μg/dL) 

4. Saturasi transferin <15% (N: 20-50%) 

1) Anamnesis:

o Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi perdarahan 



o Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu makan, daya tahan
tubuh terhadap 
infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi
belajar 

o Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica) seperti es batu, kertas,
tanah, 
rambut 

o Memakan bahan makanan yang kurang mengandung zat besi, bahan
makanan yang 
menghambat penyerapan zat besi seperti kalsium dan
fitat (beras, gandum), serta konsumsi susu sebagai sumber energi utama
sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics) 

o Infeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan schistosoma.

2) Pemeriksaan fisik


o Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan anoreksia

12
o Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
o Tanpa organomegali
o Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardia, gagal
jantung, 
protein-losing enteropathy
o Rentan terhadap infeksi
o Gangguan pertumbuhan
o Penurunan aktivitas kerja

3) Pemeriksaan Laboratorium

1. Hemoglobin (Hb)

Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran


kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat
sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan,
yaitu trimester I dan III.

2. Penentuan Indeks Eritrosit

Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau


menggunakan rumus:

a. Mean Corpusculer Volume (MCV)


MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.
MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia
dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit
dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan
makrositik > 100 fl.

b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)


MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31
pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg.

c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)


MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan
membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30- 35% dan hipokrom <
30%.

13
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer

Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan


menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah
dapat dilihat pada kolom morfology flag.

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)

Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah
untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta
lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah
bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat
besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik. Nilai normal 15 %.

5. Eritrosit Protoporfirin (EP)

EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya


membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu
dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara
perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah
stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan
terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.

6. Besi Serum (Serum Iron = SI)

Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi
serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi
serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi
serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status
besi yang spesifik.

7. Serum Transferin (Tf)

14
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan
besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.

8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)

Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat


besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang.
Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai
besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat
menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi
populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh
transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi
serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang
bisa diikat secara khusus oleh plasma.

9. Serum Feritin

Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga
dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.

Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi,


tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian
range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi
serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan
cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada
dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada
wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama
seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian
mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara
dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang
mendapatkan suplemen zat besi.

Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada
inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur

15
dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay
(RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

B. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi,


walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum
tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum.
Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler.
Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian
pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan.
Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai
untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

1.8 diagnosis banding

Penyebab lain tersering dari anemia mikrositik adalah talasemia α atau β


dan hemoglobinopati lain termasuk hemoglobin E dan C. Anemia akibat inflamasi
biasanya normositik, namun dapat berupa mikrositik pada beberapa kasus.
Keracunan timbal juga dapat menyebabkan anemia mikrositik, tapi seringkali
anemia mikrositik karena DB menyebabkan pica dan intoksikasi tembaga
sekunder. 
Saat anemia ditentukan hanya dengan hemoglobin atau hematokrit,
60% dari anak pada negara berkembang memiliki anemia namun bukan karena
DB. Tatalaksana dengan zat besi tanpa pemeriksaan darah lengkap dan hitung
diferensial harus dilakukan dengan hati-hati karena diagnosis yang lebih serius
dapat terlewatkan

16
1.9 tatalaksana

Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit


dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain

a. Transfusi.
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin
berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa
pasien anemi penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat
menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien
anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dL.

b. Preparat Besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik masih terus
dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi
dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-α. Alasan lain,
pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.

c. Eritropoietin
Data penelitan menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin
bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemia
akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan
pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya,
pemberian eritropoietin mempunyai beberapa keuntungan, yakni
mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α dan
IFN-γ. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi
sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan
leher.

17
Saat ini terdapat 3 jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, beta
dan darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas
terhadap reseptor dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita
memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.

1.10 pencegahan

Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi makanan


yang kaya akan zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu eksklusif. Setelah
usia 6 bulan apabila tidak mendapat air susu ibu sebaiknya diberi susu formula
yang difortifikasi zat besi. Pemberian tambahan zat besi dianjurkan pula sejak
bayi sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha pencegahan terhadap anemis.5

Banyak bahan makanan di sekitar kita yang kaya kandungan zat besi. Sayuran
berdaun hijau seperti selada air, kangkung, brokoli, bayam hijau, buncis dan
kacang-kacangan kaya akan zat besi. Bahan makanan hewani seperti daging
merah dan kuning telur juga kaya zat besi dan lebih mudah diserap oleh tubuh
dibandingkan sumber nabati. Dalam proses pengolahan bahan makanan, sangat
perlu diperhatikan pengolahan yang baik dan benar sehingga kandungan zat
makanan misalkan zat besi tidak berkurang dari bahan makanan tersebut.
Usahakan anak banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi untuk
mencegah ADB.5

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB). Kelompok usia
yang paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga
kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan
atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2
tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak, antara lain menimbulkan defek
pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak yang
berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa
mendatang.6

Rekomendasi suplementasi besi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia

18
Sumber gambar: Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B.,
Soedjatmiko, & Hendarto, A. (2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

1. Suplementasi untuk bayi prematur/bayi berat lahir rendah (BBLR)

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi


mengalami DB. Menurut World Health Organization (WHO), suplementasi besi
dapat diberikan secara massal, mulai usia 2-23 bulan dengan dosis tunggal 2
mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki risiko 10 kali lipat lebih
tinggi mengalami DB. Pada dua tahun pertama kehidupannya, saat terjadi pacu
tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat. Bayi prematur perlu mendapat
suplementasi besi sekurangkurangnya 2 mg/kg/hari sampai usia 12 bulan.
Suplementasi sebaiknya dimulai sejak usia 1 bulan dan diteruskan sampai bayi
mendapat susu formula yang difortifikasi atau mendapat makanan padat yang
mengandung cukup besi.15 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di
Amerika merekomendasikan bayi-bayi yang lahir prematur atau BBLR diberikan
suplementasi besi 2-4 mg/kg/hari (maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1 bulan,
diteruskan sampai usia 12 bulan.10 Pada bayi berat lahir sangat rendah (BBSLR),
direkomendasikan suplementasi besi diberikan lebih awal.6

2. Suplementasi untuk bayi cukup bulan

19
Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi
diberikan jika prevalens ADB tinggi (di atas 40%) atau tidak mendapat makanan
dengan fortifikasi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis
2 mg/kgBB/hari. Hal tersebut atas pertimbangan bahwa prevalens DB pada bayi
yang mendapat ASI usia 0-6 bulan hanya 6%, namun meningkat pada usia 9-12
bulan yaitu sekitar 65%. Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan
kemudian tidak mendapat besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan
pemberian suplementasi besi dengan dosis 1 mg/kg/hari.10 Untuk mencegah
terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan, pada bayi yang
mendapatkan ASI perlu diberikan suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan. The
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian
suplementasi besi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif mulai usia 4 bulan
dengan dosis 1 mg/kg/hari dilanjutkan sampai bayi mendapat makanan tambahan
yang mengandung cukup besi. Bayi yang mendapat ASI parsial (>50% asupannya
adalah ASI) atau tidak mendapat ASI serta tidak mendapatkan makanan tambahan
yang mengandung besi, suplementasi besi juga diberikan mulai usia 4 bulan
dengan dosis 1 mg/kg/hari.6

3. Suplementasi untuk balita dan anak usia sekolah

Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining
diberikan jika prevalens ADB lebih dari 40%. Suplementasi besi dapat diberikan
dengan dosis 2mg/kgBB/hari (dapat sampai 30 mg/hari) selama 3 bulan.6

4. Suplementasi untuk remaja

Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan


dosis 60 mg/hari selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60
mg/hari, secara intermiten (2 kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja
perempuan ternyata terbukti dapat meningkatkan feritin serum dan free
erythrocyte protoporphyrin (FEP). Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) dan AAP merekomendasikan suplementasi besi pada remaja lelaki hanya
bila terdapat riwayat ADB sebelumnya, tetapi mengingat prevalens DB yang
masih tinggi di Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada remaja lelaki tetap

20
diberikan. Penambahan asam folat pada remaja perempuan dengan pertimbangan
pencegahan terjadinya neural tube defect pada bayi yang akan dilahirkan
dikemudian hari.

1.11 Komplikasi

Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat
besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa
kemuingkinan sebagai berikut:

• Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak


berlangsung menetap

• Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti:


infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12, asam folat)

• Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan


pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi)

1.12 prognosis

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi


saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan
pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu
dipertimbangkan beberapa kemuingkinan sebagai berikut:

• Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak


berlangsung menetap

• Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi


(seperti: infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid,
penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)

• Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang


berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi)

21
22

Anda mungkin juga menyukai