Anda di halaman 1dari 35

MORNING REPORT

ILEUS OBSTRUKTIF

Oleh :
dr. Genio Rachmadana

Pendamping :
dr. Dheni Pramudia H.

RSUD Kota Malang


Kota Malang Provinsi Jawa Timur
2018
BAB 1
PENDAHULUAN

Hambatan pasase usus dapat disebabkan oleh obstruksi lumen usus atau
oleh gangguan peristaltik. Obstruksi usus disebut juga obstruksi mekanik.
Obstruksi mekanik dapat disebabkan karena adanya lesi pada bagian dinding usus,
di luar usus maupun di dalam lumen usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik,
parsial atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai akibat
adanya karsinoma. Sebagian besar obstruksi justru mengenai usus halus: Ileus
obstruktif merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai
dan merupakan 60% - 70% dari seluruh kasus akut abdomen. Obstruksi total usus
halus merupakan kegawatan yang memerlukan diagnosa dini dan tindakan bedah
darurat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Markogiannakis et al,
ditemukan 60% penderita yang mengalami ileus obstruktif rata – rata berumur
sekitar 16 – 98 tahun dengan perbandingan jenis kelamin perempuan lebih banyak
daripada laki – laki (Markogiannakis et al., 2007).
Terapi ileus obstruktif biasanya melibatkan intervensi bedah. Penentuan
waktu kritis tergantung atas jenis dan lama proses ileus obstruktif. Operasi
dilakukan secepat yang layak dilakukan dengan memperhatikan keadaan
keseluruhan pasien.

BAB 2
DATA KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
 No. RM : 11801151
 Nama : Tn. I
 Umur : 58 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Alamat : Jl Babatan
 Waktu Datang ke IGD: Sabtu, 24 Februari 2018 pukul 14.20 WIB

II. SUBJEKTIF
Anamnesis
Alloanamnesis dari ibu pasien
 Keluhan Utama : Tidak bisa BAB
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD diantar oleh istrinya. Pasien mengeluh tidak
bisa BAB sudah 5 hari dan tidak bisa kentut sudah 3 hari, tiba-tiba. mual
(-) muntah 1x kemarin malam, muntah air, jumlah 1 gelas aqua. pusing (-).
nyeri (-). tidak ada riwayat di pijat sebelumnya.badan terasa lemas, bisa
makan tapi hanya 3 sendok sudah terasa penuh. BAK terakhir jam 06.00.
Ada benjolan di skrotum kiri yang tidak bisa masuk kembali sejak 5 hari
yll. Sebelumnya benjolan sudah ada sekitar 8 tahun yll. tidak nyeri dan
bisa masuk lagi.
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit serupa : disangkal
- Riwayat hipertemsi : disangkal
- Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
- Riwayat sakit serupa di keluarga : disangkal
 Riwayat Pemberian Obat
- Tidak ada
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
 Inspeksi umum : sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
Vital sign
 Nadi : 84 x/min, regular, isi dan tegangan kurang
 RR : 20 x/min, reguler
 Suhu : 36,2oC
 SpO2 : 98%
Kepala dan leher
 Kepala : palpebra edema (-/-), mata cowong (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Leher : Trakea di tengah, kelenjar getah bening tidak membesar
Thorax
- Normochest, simetris
- Penggunaan otot bantu nafas (-)
Pulmo
I : gerak nafas simetris, spatium intercosta melebar (-),
retraksi intercostal (-)
P : fremitus raba normal, nyeri tekan (-), jejas (-)
P : sonor seluruh lapangan paru
A :
Suara Nafas
Dextra Sinistra
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler

Rhonki Wheezing
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
- - - -
- - - -
- - - -

Jantung
I : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
P : Batas kiri atas ICS II LMC sinistra
Batas kanan atas ICS II LPS dekstra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Batas kanan bawah ICS IV LPS dekstra
A : S1 S2 tunggal reguler, ekstra sistole (-), murmur (-), gallop (-)

Abdomen
I : Distended, Darm contour (+) Darm steifung (-)
A : Bising usus positif meningkat
P : Timpani
P : nyeri tekan abdomen (-), H/L tidak teraba

Ekstremitas
Akral hangat kering merah Edema tungkai
+ + - -
+ + - -
Clubbing finger - / -
Sianosis - / -
CRT ≤ 2 detik

Skrotum sinistra
I : Massa (+)
A : Bising usus positif meningkat
P : nyeri tekan (+)

Rectal Touche
Tonus sfingter ani N, mukosa licin, ampula recti kolaps, nyeri tekan (-), feces (+)
darah (-)
IV HASIL LABORATORIUM HEMATOLOGI
Hasil Nilai normal
Hemoglobin 13,5 11,5-13,5
Hematokrit 41,1 34-40
Leukosit 9800 5000-14500
Trombosit 428000 150000-440000
Eritrosit 5,24 juta 3,87-5,39 juta
Limfosit 48,2 % 30-45 %
Monosit 6,7 % 2-8 %
Granulosit 45 %

GDS 110
SE: Natirum 117 Kalium 4,0 Cloride 97

V DIAGNOSIS KERJA
Ileus Obstruktif ec HIL S irreponible + hiponatremi

VI DIAGNOSIS KERJA
Ileus Paralitik
VII PLANNING
Planning Terapi:
 Inf NS 60 tpm
 Inj Ondansetron 4 mg
 Inj Ranitidin 1 ampul
 Pasang NGT
 Pasang Cateter Urin
 MRS
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Ileus obstruktif merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi
dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus.
Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu
Obstruksi intestinal secara umum didefinisikan sebagai kegagalan isi
intestinal untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke anus. Obstruksi
Intestinal ini merujuk pada adanya sumbatan mekanik atau nonmekanik
parsial atau total dari usus besar dan usus halus.

B. Epidemiologi
Perlekatan usus sebagai penyebab dari Ileus saat ini menempati
urutan pertama. Maingot melaporkan bahwa sekitar 70% penyebab dari
Ileus adalah perlekatan. Survey Ileus Obstruksi di RSUD DR. Soetomo pada
tahun 2001 mendapatkan 50% dari penyebabnya adalah perlekatan usus,
kemudian diikuti Hernia 33,3%, keganasan 15%, Volvulus 1,7%.(5,10).

C. Etiologi
Ileus obstruktif sering dijumpai dan merupakan penyebab terbesar
pembedahan pada akut abdomen. Hal ini terjadi ketika udara dan hasil
sekresi tak dapat melewati lumen intestinal karena adanya sumbatan yang
menghalangi. Obstruksi mekanik dari lumen intestinal biasanya disebabkan
oleh tiga mekanisme ; 1. blokade intralumen (obturasi), 2. intramural atau
lesi intrinsik dari dinding usus, dan 3. kompresi lumen atau konstriksi akibat
lesi ekstrinsik dari intestinal. Berbagai kondisi yang menyebabkan terjadinya
obstruksi intestinal biasanya terjadi melalui satu mekanisme utama. Satu
pertiga dari seluruh pasien yang mengalami ileus obstruktif, ternyata
dijumpai lebih dari satu faktor etiologi yang ditemukan saat dilakukan
operasi. (Thompson, 2005)
Gambar 2.3 Penyebab ileus obstruktif
(Sumber: Simatupang, 2010)
Penyebab terjadinya ileus obstruktif beragam jumlahnya berdasarkan
umur dan tempat terjadinya obstruksi. Adhesi post operatif merupakan
penyebab utama dari terjadinya obstruksi usus halus. Pada pasien yang tidak
pernah dilakukan operasi laparotomi sebelumnya, adhesi karena inflamasi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kasus ginekologi harus dipikirkan.
Adhesi, hernia, dan malignansi merupakan 80 % penyebab dari kasus ileus
obstruktif. Pada anak-anak, hanya 10 % obstruksi yang disebabkan oleh
adhesi; intususepsi merupakan penyebab tersering dari ileus obstruktif yang
terjadi pada anak-anak. Volvulus dan intususepsi merupakan 30 % kasus
komplikasi dari kehamilan dan kelahiran. Kanker harus dipikirkan bila ileus
obstruktif ini terjadi pada orang tua. Metastasis dari genitourinaria, kolon,
pankreas, dan karsinoma gaster menyebabkan obstruksi lebih sering
daripada tumor primer di intestinal. Malignansi, divertikel, dan volvulus
merupakan penyebab tersering terjadinya obstruksi kolon, dengan karsinoma
kolorektal. (Thompson, 2005).

Tabel 2.1. : Beberapa Penyebab Obstruksi Mekanik dari Intestinal (Whang et al.,
2005) (Thompson, 2005)
Obturasi Intraluminal Lesi Ekstrinsik Lesi Intrinsik
Benda Asing Adhesi Kongenital
- Iatrogenik Benda Asing - Atresia, stenosis,
- Tertelan Hernia dan webs
- Batu Empedu - Eksternal - Divertikulum
- Cacing - Internal Meckel

Intususepsi Massa Inflamasi


Pengaruh Cairan - Anomali organ - Divertikulitis
- Barium atau pembuluh - Drug-induced
- Feses darah - Infeksi
- Meconium - Organomegali - Coli ulcer
- Akumulasi Cairan
- Neoplasma Neoplasma
- Tumor Jinak
Post Operatif - Karsinoma
Volvulus - Karsinoid
- Limpoma
- Sarcoma
Trauma
- Intramural
Hematom

D. Patofisiologi
Respon Usus Halus Terhadap Obstruksi
Normalnya, sekitar 2 L asupan cairan dan 8 L sekresi dari gaster,
intestinal dan pankreaticobilier ditansfer ke intestinal setiap harinya.
Meskipun aliran cairan menuju ke intestinal bagian proksimal, sebagian
besar cairan ini akan diabsorbsi di intestinal bagian distal dan kolon. Ileus
obstruktif terjadi akibat akumulasi cairan intestinal di proksimal daerah
obstruksi disebabkan karena adanya gangguan mekanisme absorbsi normal
proksimal daerah obstruksi serta kegagalan isi lumen untuk mencapai daerah
distal dari obstruksi.
Akumulasi cairan intralumen proksimal daerah obstruksi terjadi
dalam beberapa jam dan akibat beberapa faktor. Asupan cairan dan sekresi
lumen yang terus bertambah terkumpul dalam intestinal. Aliran darah
meningkat ke daerah intestinal segera setelah terjadinya obstruksi, terutama
di daerah proksimal lesi, yang akhirnya akan meningkatkan sekresi
intestinal. Hal ini bertujuan untuk menurunkan kepekaan vasa splanknik
pada daerah obstruksi terhadap mediator vasoaktif. Pengguyuran cairan
intravena juga meningkatkan volume cairan intralumen. Sekresi cairan ke
dalam lumen terjadi karena kerusakan mekanisme absorpsi dan sekresi
normal. Distensi lumen menyebabkan terjadinya kongestif vena, edema
intralumen, dan iskemia.
Gas intestinal juga mengalami akumulasi saat terjadinya ileus
obstruktif. Sebagian kecil dihasilkan melalui netralisasi bikarbonat atau dari
metabolisme bakteri. Gas di Intestinal terdiri atas Nitrogen (70%), Oksigen
(12%), dan Karbon Dioksida (8%), yang komposisinya mirip dengan udara
bebas. Hanya karbon dioksida yang memiliki cukup tekanan parsial untuk
berdifusi dari lumen.
Intestinal, normalnya, berusaha untuk membebaskan obstruksi
mekanik dengan cara meningkatkan peristaltik. Periode yang terjadi ialah
berturut-turut: terjadinya hiperperistaltik, intermittent quiescent interval, dan
pada tingkat akhir terjadi ileus. Bagian distal obstruksi segera menjadi
kurang aktif. Obstruksi mekanik yang berkepanjangan menyebabkan
penurunan dari frekuensi gelombang - lambat dan kerusakan aktivitas
gelombang spike, namun intestinal masih memberikan respon terhadap
rangsangan. Ileus dapat terus menetap bahkan setelah obstruksi mekanik
terbebaskan.
Tekanan intralumen meningkat sekitar 20 cmH2O, sehingga
menyebabkan aliran cairan dari lumen ke pembuluh darah berkurang dan
sebaliknya aliran dari pembuluh darah ke lumen meningkat. Perubahan yang
serupa juga terjadi pada absorbsi dan sekresi dari Natrium dan Khlorida.
Namun, peningkatan tekanan intralumen tidak selalu terjadi dan mungkin
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan perubahan pada mekanisme
sekresi. Peningkatan sekresi juga dipengarui oleh hormon gastrointestinal,
seperti peningkatan sirkulasi vasoaktif intestinal polipeptida, prostaglandin,
atau endotoksin.
Peningkatan volume intralumen menyebabkan terjadinya distensi
intestinal di bagian proksimal obstruksi, yang bermanifestasi pada mual dan
muntah. Proses obstruksi yang berlanjut, kerusakan progresif dari proses
absorbsi dan sekresi semakin ke proksimal. Selanjutnya, obstruksi mekanik
ini mengarah pada peningkatan defisit cairan intravaskular yang disebabkan
oleh terjadinya muntah, akumulasi cairan intralumen, edema intramural, dan
transudasi cairan intraperitoneal. Pemasangan nasogastric tube malah
memperparah terjadinya defisit cairan melalui external loss. Hipokalemia,
hipokhloremia, alkalosis metabolik merupakan komplikasi yang sering dari
obstruksi letak tinggi. Hipovolemia yang tak dikoreksi dapat mengakibatkan
terjadinya insufisiensi renal, syok, dan kematian.
Stagnasi isi intestinal dapat memfasilitasi terjadinya proliferasi
bakteri. Bakteri Aerob dan Anaerob berkembang pada daerah obstruksi.
Koloni berlebihan dari bakteri dapat merangsang absorbtif dan fungsi
motorik dari intestinal dan menyebabkan terjadinya translokasi bakteri dan
komplikasi sepsis.
Gambar 2.4 Patofisiologi Ileus Obstruktif
(Sumber : Simatupang, 2010)
Strangulasi
Obstruksi strangulasi adalah hilangnya aliran darah di segmen
obtruksi dari intestinal. Hal ini dapat terjadi karena adanya penekanan
langsung dari vasa mesenteric atau sebagai akibat perubahan lokal pada
dinding intestinal. Komplikasi ini sering berhubungan dengan obstruksi
yang disebabkan oleh hernia dan volvulus. Obstruksi strangulasi pada
kolon paling sering disebabkan oleh volvulus.
Iskemia intramural dapat terjadi karena berbagai sebab. Distensi
dan peningkatan tekanan pada intramural dapat menyebabkan kongesti
dari vena, kebocoran kapiler, edema dinding usus besar dan perdarahan
serta thrombosis dari arteri dan vena. Peningkatan pertumbuhan bakteri
terjadi dalam beberapa jam setelah strangulasi. Hal ini menyebabkan
produksi toksin intralumen dan dapat merangsang pelepasan mediator
vasoaktif seperti prostaglandin. Mukosa dari intestinal lebih peka terhadap
iskemia dan beberapa faktor tampaknya memainkan peranan penting untuk
mendukung terjadinya iskemia, termasuk hipoksia, protease pankreas dan
radikal bebas. Mukosa pada intestinal lebih peka terhadap terjadinya
iskemia dibandingkan mukosa pada kolon. Saat terjadi nekrosis mukosa,
bakteri dan toksin dapat dengan segera berpindah tempat dari dinding
intestinal menuju ke cavum peritoneal, limfe pada mesenterikum, dan
sirkulasi sistemik. Hal ini menggiring pada terjadinya iskemia, sepsis,
perforasi frank yang dapat disertai dengan peritonitis dan kematian akibat
syok sepsis. Gut iskemia dan terjadinya reperfusion juga mendukung
terjadinya gagal organ, seperti paru.

Tabel 2.2 Perbedaan ileus obstruktif simple dan strangulate


(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)

Obstruksi Gelung Tertutup


Terjadi saat obstruksi terdapat di dua tempat. Volvulus merupakan
sebab yang paling sering dan dapat juga menyebabkan terjadinya
perputaran mesenterium. Obstruksi di bagian distal dari usus besar juga
dapat menyebabkan terjadinya closed loop obstruction jika katup ileocekal
masih tersisa. Saat tekanan intralumen di segmen obstruksi meningkat,
sekresi cairan ke dalam lumen meningkat sementara absorbsinya menurun.
Kepentingan klinis yang mungkin terjadi akibat fenomena ini ialah
meningkatnya resiko kejadian strangulasi. Distensi pada obstruksi gelung
tertutup terjadi sangat cepat sehingga biasanya strangulasi terjadi lebih
dahulu bahkan sebelum gejala klinis dari obstruksi tampak jelas.
Obstruksi Parsial Intestinal
Pada obstruksi parsial, lumen tak sepenuhnya tersumbat. Adhesi
merupakan penyebab tersering dari gangguan ini dan jarang sekali
mengakibatkan terjadinya strangulasi. Obstruksi parsial kronis dapat
menyebabkan terjadinya penebalan dinding intestinal akibat hipertrofi
otot. Perpanjangan waktu kontraksi dan peningkatan kelompok kontraksi
merupakan karakteristik yang dapat ditemukan. Kelainan motoris ini dan
kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan bakteri dapat
menyebabkan terjadinya malabsorbsi, distensi dan diare sekretorik.
Obstruksi kolon
Patofisiologi terjadinya obstruksi pada kolon berbeda dengan
intestinal. Kolon khususnya yang bagian distal memiliki kemampuan yang
terbatas pada absorbsi. Akumulasi Cairan dan gas di kolon terjadi lebih
lambat karena posisinya yang berada paling distal dari saluran pencernaan
dan karena sebagian besar cairan telah diabsorbsi di usus halus. Distensi
yang terjadi secara perlahan ini memungkinkan kolon untuk beradaptasi
dan dekompresi dapat terjadi karena katup ileocecal yang inkompeten.
Seperti disebutkan sebelumnya, katup ileocecal yang kompeten dapat
menyebabkan terjadinya closed loop obstruction. Dilatasi cecal dan
penipisan dinding cecum akibat penambahan diameter dapat meningkatkan
resiko terjadinya rupture. Rupture dapat disebabkan oleh iskemia yang
terjadi pada dinding kolon, diastasis dari lapisan otot, ataupun karena
invasi bakteri di dinding kolon. Obstruksi kolon berakibat pada motilitas
abnormal namun tidak hiperperistaltik.
Tabel 2.3. Perbedaan ileus obstruktif usus halus dan usus besar
(Sumber : Bickle dan Kelly, 2002)

E. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya ileus obstruktif dibedakan menjadi tiga
kelompok (Yates, 2004) :
a. Lesi-lesi intraluminal, misalnya fekalit, benda asing, bezoar, batu empedu.
b. Lesi-lesi intramural, misalnya malignansi atau inflamasi.
c. Lesi-lesi ekstramural, misalnya adhesi, hernia, volvulus atau intususepsi.

Berdasarkan Lokasi Obstruksi :

a.Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum


b. Letak Tengah : Ileum Terminal

c.Letak Rendah : Colon-Sigmoid-rectum

Ileus obstruktif dibagi lagi menjadi tiga jenis dasar (Sjamsuhidajat


& Jong, 2005):
1. Ileus obstruktif sederhana, dimana obstruksi tidak disertai dengan
terjepitnya pembuluh darah.
2. Ileus obstruktif strangulasi, dimana obstruksi yang disertai adanya
penjepitan pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir
dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum berat
yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren.
3. Ileus obstruktif jenis gelung tertutup, dimana terjadi bila jalan masuk dan
keluar suatu gelung usus tersumbat, dimana paling sedikit terdapat dua
tempat obstruksi.
Untuk keperluan klinis dan berdasarkan letak sumbatan, ileus
obstruktif dibagi dua (Ullah et al., 2009):
1. Ileus obstruktif usus halus, yaitu obstruksi letak tinggi dimana mengenai
duodenum, jejunum dan ileum
2. Ileus obstruktif usus besar, yaitu obstruksi letak rendah yang mengenai
kolon, sigmoid dan rectum.

A. Manifestasi Klinis
Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif :
1. Nyeri abdomen
2. Muntah
3. Distensi
4. Kegagalan buang air besar atau gas (konstipasi).
Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada:
1. Lokasi obstruksi
2. Lamanya obstruksi
3. Penyebabnya
4. Ada atau tidaknya iskemia usus (Ullah et al., 2009)
Gejala utama dari obstruksi ialah nyeri kolik, mual dan muntah dan
obstipasi. Adanya flatus atau feses selama 6-12 jam setelah gejala merupakan
ciri khas dari obstruksi parsial. Nyeri kram abdomen bisa merupakan gejala
penyerta yang berhubungan dengan hipermotilitas intestinal proksimal daerah
obstruksi. Nyerinya menyebar dan jarang terlokalisir, namun sering
dikeluhkan nyeri pada bagian tengah abdomen. Saat peristaltik menjadi
intermiten, nyeri kolik juga menyertai. Saat nyeri menetap dan terus menerus
kita harus mencurigai telah terjadi strangulasi dan infark. (Whang et al.,
2005)
Tanda-tanda obstruksi usus halus juga termasuk distensi abdomen
yang akan sangat terlihat pada obstruksi usus halus bagian distal ileum, atau
distensi bisa tak terjadi bila obstruksi terjadi di bagian proksimal usus halus,
dan peningkatan bising usus. Hasil laboratorium terlihat penurunan volume
intravaskuler, adanya hemokonsentrasi dan abnormalitas elektrolit. Mungkin
didapatkan leukositosis ringan.
Muntah terjadi setelah terjadi obstruksi lumen intestinal dan menjadi
lebih sering saat telah terjadi akumulasi cairan di lumen intestinal. Derajat
muntah linear dengan tingkat obstruksi, menjadi tanda yang lebih sering
ditemukan pada obstruksi letak tinggi. Obstruksi letak tinggi juga ditandai
dengan bilios vomiting dan letak rendah muntah lebih bersifat malodorus.
(Thompson, 2005).
Kegagalan untuk defekasi dan flatus merupakan tanda yang penting
untuk membedakan terjadinya obstruksi komplit atau parsial. Defekasi masih
terjadi pada obstruksi letak tinggi karena perjalan isi lumen di bawah daerah
obstruksi. Diare yang terus menerus dapat juga menjadi tanda adanya
obstruksi partial.
Tanda-tanda pada pemeriksaan fisik dapat saja normal pada awalnya,
namun distensi akan segera terjadi, terutama pada obstruksi letak rendah.
Tanda awal yang muncul ialah penderita segera mengalami dehidrasi. Massa
yang teraba dapat di diagnosis banding dengan keganasan, abses, ataupun
strangulasi. Auskultasi digunakan untuk membedakan pasien menjadi tiga
kategori : loud, high pitch dengan burst ataupun rushes yang merupakan
tanda awal terjadinya obstruksi mekanik. Saat bising usus tak terdengar dapat
diartikan bahwa obstruksi telah berlangsung lama, ileus paralitik atau
terjadinya infark. Seiring waktu, dehidrasi menjadi lebih berat dan tanda-
tanda strangulasi mulai tampak. Pemeriksaan lipat paha untuk mengetahui
adanya hernia serta rectal toucher untuk mengetahui adanya darah atau massa
di rectum harus selalu dilakukan.
Tanda-tanda terjadinya strangulasi seperi nyeri terus menerus,
demam, takikardia, dan nyeri tekan bisa tak terdeteksi pada 10-15% pasien
sehingga menyebabkan diagnosis strangulasi menjadi sulit untuk ditegakkan.
Pada obstruksi karena strangulasi bisa terdapat takikardia, nyeri tekan lokal,
demam, leukositosis dan asidosis. Level serum dari amylase, lipase, lactate
dehidrogenase, fosfat, dan potassium mungkin meningkat. Penting dicatat
bahwa parameter ini tak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi
sederhana dan strangulasi sebelum terjadinya iskemia irreversible.

B. Diagnosis
Diagnosis ileus obstruktif tidak sulit; salah satu yang hampir selalu
harus ditegakkan atas dasar klinik dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
kepercayaan atas pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboraorium harus
dilihat sebagai konfirmasi dan bukan menunda mulainya terapi yang segera.
Diagnosa ileus obstruktif diperoleh dari :
1. Anamnesis
Pada anamnesis ileus obstruktif usus halus biasanya sering dapat
ditemukan penyebabnya, misalnya berupa adhesi dalam perut karena
pernah dioperasi sebelumnya atau terdapat hernia (Sjamsuhudajat & Jong,
2004). Pada ileus obstruktif usus halus kolik dirasakan di sekitar umbilkus,
sedangkan pada ileus obstruktif usus besar kolik dirasakan di sekitar
suprapubik. Muntah pada ileus obstruktif usus halus berwarna kehijaun
dan pada ileus obstruktif usus besar onset muntah lama.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Dapat ditemukan tanda-tanda generalisata dehidrasi, yang mencakup
kehilangan turgor kulit maupun mulut dan lidah kering. Pada abdomen
harus dilihat adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa
abdomen. Inspeksi pada penderita yang kurus/sedang juga dapat
ditemukan “darm contour” (gambaran kontur usus) maupun “darm
steifung” (gambaran gerakan usus), biasanya nampak jelas pada saat
penderita mendapat serangan kolik yang disertai mual dan muntah dan
juga pada ileus obstruksi yang berat. Penderita tampak gelisah dan
menggeliat sewaktu serangan kolik.
Gambar 2.5 Gerakan Peristaltik Usus (Sumber : Faradilla, 2009)
b. Palpasi dan perkusi
Pada palpasi didapatkan distensi abdomen dan perkusi Hipertympani
yang menandakan adanya obstruksi. Palpasi bertujuan mencari adanya
tanda iritasi peritoneum apapun atau nyeri tekan, yang mencakup
‘defance muscular’ involunter atau rebound dan pembengkakan atau
massa yang abnormal.
c. Auskultasi
Pada ileus obstruktif pada auskultasi terdengar kehadiran episodik
gemerincing logam bernada tinggi dan gelora (rush’) diantara masa
tenang. Tetapi setelah beberapa hari dalam perjalanan penyakit dan
usus di atas telah berdilatasi, maka aktivitas peristaltik (sehingga juga
bising usus) bisa tidak ada atau menurun parah. Tidak adanya nyeri
usus bisa juga ditemukan dalam ileus paralitikus atau ileus obstruktif
strangulata.
Bagian akhir yang diharuskan dari pemeriksaan adalah
pemeriksaan rectum dan pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur akan
didapatkan tonus sfingter ani biasanya cukup namun ampula recti sering
ditemukan kolaps terutama apabila telah terjadi perforasi akibat obstruksi.
Mukosa rectum dapat ditemukan licin dan apabila penyebab obstruksi
merupakan massa atau tumor pada bagian anorectum maka akan teraba
benjolan yang harus kita nilai ukuran, jumlah, permukaan, konsistensi,
serta jaraknya dari anus dan perkiraan diameter lumen yang dapat dilewati
oleh jari. Nyeri tekan dapat ditemukan pada lokal maupun general
misalnya pada keadaan peritonitis. Kita juga menilai ada tidaknya feses di
dalam kubah rektum. Pada ileus obstruktif usus feses tidak teraba pada
colok dubur dan tidak dapat ditemukan pada sarung tangan. Pada sarung
tangan dapat ditemukan darah apabila penyebab ileus obstruktif adalah lesi
intrinsik di dalam usus (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Diagnosis harus terfokus pada membedakan antara obtruksi
mekanik dengan ileus; menentukan etiologi dari obstruksi; membedakan
antara obstruksi parsial atau komplit dan membedakan obstruksi sederhana
dengan strangulasi. Hal penting yang harus diketahui saat anamnesis
adalah riwayat operasi abdomen (curiga akan adanya adhesi) dan adanya
kelainan abdomen lainnya (karsinoma intraabdomen atau sindroma iritasi
usus) yang dapat membantu kita menentukan etiologi terjadinya obstruksi.
Pemeriksaan yang teliti untuk hernia harus dilakukan. Feses juga harus
diperiksa untuk melihat adanya darah atau tidak, kehadiran darah
menuntun kita ke arah strangulasi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga mengalami
obstruksi intestinal terutama ialah darah lengkap dan elektrolit, Blood
Urea Nitrogen, kreatinin dan serum amylase. Obstruksi intestinal yang
sederhana tidak akan menyebabkan perubahan pada hasil laboratorium jadi
pemeriksaan ini tak akan banyak membantu untuk diagnosis obsruksi
intestinal yang sederhana. Pemeriksaan elektrolit dan tes fungsi ginjal
dapat mendeteksi adanya hipokalemia, hipokhloremia dan azotemia pada
50% pasien.
4. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen (foto posisi supine, posisi tegak abdomen atau
posisi dekubitus) dan posisi tegak thoraks
Temuan spesifik untuk obstruksi usus halus ialah dilatasi usus
halus (diameter >3 cm), adanya air-fluid level pada posisi foto
abdomen tegak, dan kurangnya gambaran udara di kolon. Sensitifitas
foto abdomen untuk mendeteksi adanya obstruksi usus halus mencapai
70-80% namun spesifisitasnya rendah. Pada foto abdomen dapat
ditemukan beberapa gambaran, antara lain:
1) Distensi usus bagian proksimal obstruksi
2) Kolaps pada usus bagian distal obstruksi
3) Posisi tegak atau dekubitus: Air-fluid levels
4) Posisi supine dapat ditemukan :
a) distensi usus
b) step-ladder sign
5) String of pearls sign, gambaran beberapa kantung gas kecil yang
berderet
6) Coffee-bean sign, gambaran gelung usus yang distensi dan terisi
udara dan gelung usus yang berbentuk U yang dibedakan dari
dinding usus yang oedem.
7) Pseudotumor Sign, gelung usus terisi oleh cairan.(Moses, 2008)
Ileus paralitik dan obstruksi kolon dapat memberikan
gambaran serupa dengan obstruksi usus halus. Temuan negatif palsu
dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis ketika letak obstruksi
berada di proksimal usus halus dan ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja dengan tidak ada udara. Dengan demikian menghalangi
tampaknya air-fluid level atau distensi usus. Keadaan selanjutnya
berhubungan dengan obstruksi gelung tertutup. Meskipun terdapat
kekurangan tersebut, foto abdomen tetap merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien dengan obstruksi usus halus karena
kegunaannya yang luas namun memakan biaya yang sedikit.

Tabel 2.4 Perbedaan Radiologi obstruksi intestinal dan ileus


Temuan Radiologis Osbtruksi Mekanik Ileus
Air-fluid Level Present proximal to Prominent throughout
obstruction
Gas in small intestine Large bowel shape loops; Gas present diffusely;
moveable
stepladder pattern
gas ini colon Absent or diminished Increase throughout
Thickened bowel wall Present if chronic or Present with inflamation
strangulation
Intraabdominal fluid Rare Often present
Diapraghm Slightly elevated; normal Elevated; decrease
motion motion
Gastrointestinal Rapid progression to Slow progression to
contrast media point of obstruction colon

Gambar 2.6 Dilatasi usus (Nobie, 2009)

Gambar 2.7 Multipel air fluid level dan “string of pearls” sign (Nobie,
2009)
Gambar 2.8 Herring bone appearance (Nobie,2009)

Gambar 2.9 Coffee bean appearance (Bickle dan Kelly, 2002)

Gambar 2.10 Step ledder sign (Nobie, 2009)


b. Enteroclysis
Enteroclysis berfungsi untuk mendeteksi adanya obstruksi dan
juga untuk membedakan obstruksi parsial dan total. Cara ini berguna
jika pada foto polos abdomen memperlihatkan gambaran normal
namun dengan klinis menunjukkan adanya obstruksi atau jika
penemuan foto polos abdomen tidak spesifik. Pada pemeriksaan ini
juga dapat membedakan adhesi oleh karena metastase, tumor rekuren
dan kerusakan akibat radiasi. Enteroclysis memberikan nilai prediksi
negative yang tinggi dan dapat dilakukan dengan dua kontras. Barium
merupakan kontras yang sering digunakan. Barium sangat berguna dan
aman untuk mendiagnosa obstruksi dimana tidak terjadi iskemia usus
maupun perforasi. Namun, penggunaan barium berhubungan dengan
terjadinya peritonitis dan penggunaannya harus dihindari bila dicurigai
terjadi perforasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.11 Intususepsi (coiled-spring appearance).(Khan,2009)

c. CT-Scan
CT-Scan berfungsi untuk menentukan diagnosa dini atau
obstruksi strangulate dan menyingkirkan penyebab akut abdomen lain
terutama jika klinis dan temuan radiologis lain tidak jelas. CT-scan
juga dapat membedakan penyebab obstruksi intestinal, seperti adhesi,
hernia karena penyebab ekstrinsik dari neoplasma dan penyakit Chron
karena penyebab intrinsik. Obstruksi ditandai dengan diametes usus
halus sekitar 2,5 cm pada bagian proksimal menjadi bagian yang
kolaps dengan diameter sekitar 1 cm. (Nobie, 2009)
Tingkat sensitifitas CT scan sekitar 80-90% sedangkan tingkat
spesifisitasnya sekitar 70-905 untuk mendeteksi adanya obstruksi
intestinal. Temuan berupa zona transisi dengan dilatasi usus proksimal,
dekompresi usus bagian distal, kontras intralumen yang tak dapat
melewati bagian obstruksi dan kolon yang mengandung sedikit cairan
dan gas. CT scan juga dapat memberikan gambaran adanya strangulasi
dan obstruksi gelung tertutup. Obstruksi Gelung tertutup diketahui
melalui gambaran dilatasi bentuk U atau bentuk C akibat distribusi
radial vasa mesenteric yang berpusat pada tempat puntiran. Strangulasi
ditandai dengan penebalan dinding usus, intestinal pneumatosis (udara
didinding usus), gas pada vena portal dan kurangnya uptake kontras
intravena ke dalam dinding dari bowel yang affected. CT scan juga
digunakan untuk evaluasi menyeluruh dari abdomen dan pada akhirnya
mengetahui etiologi dari obstruksi.
Keterbatasan CT scan ini terletak pada tingkat sensitivitasnya
yang rendah (<50%) untuk mendeteksi grade ringan atau obstruksi
usus halus parsial. Zona transisi yang tipis akan sulit untuk
diidentifikasi. (Nobie, 2009)

Gambar 2.12 CT Scan Ileus Obstruktif akibat tumor mesenterium


(Khan, 2009)
Gambar 2.13 CT Scan Ileus Obstruksi Akibat Intususepsi : tampak distensi
usus halus yang tidak diikuti dengan distensi kolon (Vriesman dan Robin, 2005)

d. CT enterography (CT enteroclysis)


Pemeriksaan ini menggantikan enteroclysis pada penggunaan
klinis. Pemeriksaan ini merupakan pilihan pada ileus obstruksi
intermiten atau pada pasien dengan riwayat komplikasi pembedahan
(seperti tumor, operasi besar). Pada pemeriksaan ini memperlihatkan
seluruh penebalan dinding usus dan dapat dilakukan evaluasi pada
mesenterium dan lemak perinerfon. Pemeriksaan ini menggunakan
teknologi CT-scan dan disertai dengan penggunaan kontras dalam
jumlah besar. CT enteroclysis lebih akurat disbanding dengan
pemeriksaan CT biasa dalam menentukan penyebab obstruksi (89% vs
50%), dan juga lokasi obstruksi (100% vs 94%).(Nobie, 2009)
e. MRI
Keakuratan MRI hampir sama dengan CT-scan dalam
mendeteksi adanya obstruksi. MRI juga efektif untuk menentukan
lokasi dan etiologi dari obstruksi. Namun, MRI memiliki keterbatasan
antara lain kurang terjangkau dalam hal transport pasien dan kurang
dapat menggambarkan massa dan inflamasi. (Nobie, 2009)
Gambar 2.14 Kehamilan dengan ileus obstruktif (Edelman, 2010)
f. USG
Ultrasonografi dapat menberikan gambaran dan penyebab dari
obstruksi dengan melihat pergerakan dari usus halus. Pada pasien
dengan ilues obtruksi, USG dapat dengan jelas memperlihatkan usus
yang distensi. USG dapat dengan akurat menunjukkan lokasi dari usus
yang distensi. Tidak seperti teknik radiologi yang lain, USG dapat
memperlihatkan peristaltic, hal ini dapat membantu membedakan
obstruksi mekanik dari ileus paralitik. Pemeriksaan USG lebih murah
dan mudah jika dibandingkan dengan CT-scan, dan spesifitasnya
dilaporkan mencapai 100%. (Nobie, 2009)

Gambar 2.15 USG Abdomen tumor dinding epigastrium (Khan,


2009)
Gambar 2.16 USG Longitudinal dari abdomen bagian bawah
menunjukkan distensi multiple dari usus halus akibat invaginasi (Hagen-
Ansert, 2010).

C. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari ileus obstruktif, yaitu (Nobie, 2009)
1. Ileus paralitik
2. Appensicitis akut
3. Kolesistitis, koleliathiasis, dan kolik bilier
4. Konstipasi
5. Dysmenorhoe, endometriosis dan torsio ovarium
6. Gastroenteritis akut dan inflammatory bowel disease
7. Pancreatitis akut

D. Penatalaksanaan
Pasien dengan obstruksi intestinal biasanya mengalami dehidrasi dan
kekurangan Natrium, Khlorida dan Kalium yang membutuhkan penggantian
cairan intravena dengan cairan salin isotonic seperti Ringer Laktat. Urin
harus di monitor dengan pemasangan Foley Kateter. Setelah urin adekuat,
KCl harus ditambahkan pada cairan intravena bila diperlukan. Pemeriksaan
elektrolit serial, seperti halnya hematokrit dan leukosit, dilakukan untuk
menilai kekurangan cairan. Antibiotik spektrum luas diberikan untuk
profilaksis atas dasar temuan adanya translokasi bakteri pada ostruksi
intestinal. (Evers, 2004)
Dekompresi
Pada pemberian resusitasi cairan intravena, hal lain yang juga
penting untuk dilakukan ialah pemasangan nasogastric tube. Pemasangan
tube ini bertujuan untuk mengosongkan lambung, mengurangi resiko
terjadinya aspirasi pulmonal karena muntah dan meminimalkan terjadinya
distensi abdomen. Pasien dengan obstruksi parsial dapat diterapi secara
konservatif dengan resusitasi dan dekompresi saja. Penyembuhan gejala
tanpa terapi operatif dilaporkan sebesar 60 – 85% pada obstruksi parsial.
(Evers, 2004)
Terapi Operatif
Secara umum, pasien dengan obstruksi intestinal komplit
membutuhkan terapi operatif. Pendekatan non – operatif pada beberapa
pasien dengan obstruksi intestinal komplit telah diusulkan, dengan alasan
bahwa pemasangan tube intubasi yang lama tak akan menimbulkan masalah
yang didukung oleh tidak adanya tanda-tanda demam, takikardia, nyeri
tekan atau leukositosis. Namun harus disadari bahwa terapi non operatif ini
dilakulkan dengan berbagai resikonya seperti resiko terjadinya strangulasi
pada daerah obstruksi dan penundaan terapi pada strangulasi hingga setelah
terjadinya injury akan menyebabkan intestinal menjadi ireversibel.
Penelitian retrospektif melaporkan bahwa penundaan operasi 12 – 24 jam
masih dalam batas aman namun meningkatkan resiko terjadinya strangulasi.
Pasien dengan obstruksi intestinal sekunder karena adanya adhesi
dapat diterapi dengan melepaskan adhesi tersebut. Penatalaksanaan secara
hati hati dalam pelepasan adhesi tresebut untuk mencegah terjadinya trauma
pada serosa dan untuk menghindari enterotomi yang tidak perlu. Hernia
incarcerata dapat dilakukan secara manual dari segmen hernia dan dilakukan
penutupan defek.
Penatalaksanaan pasien dengan obstruksi intestinal dan adanya
riwayat keganasan akan lebih rumit. Pada keadaan terminal dimana
metastase telah menyebar, terapi non-operatif, bila berhasil, merupakan jalan
yang terbaik; walaupun hanya sebagian kecil kasus obstruksi komplit dapat
berhasil di terapi dengan non-operatif. Pada kasus ini, by pass sederhana
dapat memberikan hasil yang lebih baik baik daripada by pass yang panjang
dengan operasi yang rumit yang mungkin membutuhkan reseksi usus.
Pada saat dilakukan eksplorasi, terkadang susah untuk menilai
viabilitas dari segmen usus setelah strangulasi dilepaskan. Bila viabilitas
usus masih meragukan, segmen tersebut harus dilepaskan dan ditempatkan
pada kondisi hangat, salin moistened sponge selama 15-20 menit dan
kemudian dilakukan penilaian kembali. Bila warna normalnya telah kembali
dan didapatkan adanya peristaltik, berarti segmen usus tersebut aman untuk
dikembalikan. Ke depannya dapat digunakan Doppler atau kontras
intraoperatif untuk menilai viabilitas usus.
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang
dikerjakan pada obstruksi ileus.
1. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
2. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati"
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
3. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
4. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.
Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan
operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena
keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula
dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan
anastomosis. (Ullah et al., 2009).

Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi
usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan
yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh
karena catatan tersebut mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat
diperlukan. Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal,
walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukan berarti peristaltik usus
telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi
sama sekali belum baik.
Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai
diare pasca bedah. Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit
serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batas normal tetap
dilaksanakan pada pasca bedahnya. Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila
telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai
selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain pada masa pasca bedah adalah
toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari
ke 4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan
disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.

F. Komplikasi
Komplikasi pada pasien ileus obstruktif dapat meliputi gangguan
keseimbangan elektrolit dan cairan, serta iskemia dan perforasi usus yang
dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan kematian (Ullah et al., 2009).

G. Prognosis
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8%
asalkan operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan
pembedahan atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan
meningkatkan mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik
bila diagnosis dan tindakan dilakukan dengan cepat (Nobie, 2009).
DAFTAR PUSTAKA

1. Bickle IC, Kelly B. 2002. Abdominal X Rays Made Easy: Normal Radiographs.
studentBMJ April 2002;10:102-3
2. Edelman, RR. 2010. Pregnancy and Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th,
2011, Available at: http://www.mr-tip.com/serv1.php?type=img&img=Pregnancy
%20and%20Small %20Bowel%20Obstruction
3. Eroschenko, V. P. 2003. Atlas Histologi di Fiore dengan Korelasi Fungsional (9 ed.). (D.
Anggraini, T. M. Sikumbang, Eds., & J. Tambayong, Trans.) Jakarta: EGC
4. Evers, B. M. 2004. Small Intestine. In T. c. al, Sabiston Textbook Of Surgery (17 ed.,
pp. 1339-1340). Philadelphia: Elseviers Saunders
5. Faradilla, Nova. 2009. Ileus Obstruksi. Pekanbaru : FK UNRI
6. Hagen-Ansert, S. 2010. Sonographic Evaluation of the Acute Abdomen. Retrieved
June 6th, 2011, Available at: http://www.gehealthcare.com/usen/education/prof
leadership/products/msucmeaa.html
7. Khan, A. N. (2009, September 11). Small Bowel Obstruction. Retrieved June 6th,
2011, Available at emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/374962-
overview
8. Markogiannakis H, Messaris E, Dardamanis D, Pararas N, Tzertzemelis D,
Giannopoulos P,et al. 2007. Acute mechanical bowel obstruction:clinical
presentation, etiology, management and outcome. World Journal of
gastroenterology. January 2007 21;13(3):432-437. Available
from:URL:http://www.wjgnet.com
9. Moses, S. 2008. Mechanical Ileus. Retrieved July 16, 2010, Available at :
http://www.fpnotebook.com/Surgery/GI/MchnclIls.htm
10. Nobie, B. A. (2009, November 12). Obstruction, Small Bowel. Retrieved June 6th,
2011, from emedicine: http://emedicine.medscape.com/article/774140-overview
11. Price, S. A. 2003. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. (S. A. Price, L.
McCarty, & Wilson, Eds.) Jakarta: EGC
12. Simatupang O N. 2010. Ileus Obstruktif. Samarinda: UNMUL Retrieved June 6th,
2011, Available at: http://www.scribd.com/doc/28090500/ileus-obstruksi
13. Sjamsuhidajat. R, Jong WD. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
14. Snell, Richard S. 2004. Clinical Anatomy for Medical Students, Fifth edition, New York
15. Thompson, J. S. 2005. Intestinal Obstruction, Ileus, and Pseudoobstruction. In R. H.
Bell, L. F. Rikkers, & M. W. Mulholland (Eds.), Digestive Tract Surgery (Vol. 2, p. 1119).
Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
16. Ullah S, Khan M, Mumtaz N, Naseer A. 2009. Intestinal Obstruction : A Spectrum of
causes. JPMI 2009 Volume 23 No 2 page 188-92
17. Vriesman, AB and Robin S. 2005. Acute Abdomen - A Practical Approach. Retrieved
June 6th, 2011, Available at: http://www.radiologyassistant.nl/en/420cd11061ecd
18. Whang, E. E., Ashley, S. W., & Zinner, M. J. 2005. Small Intestine. In B. e. al (Ed.),
Schwatz`s Principles Of Surgery (8 ed., p. 1018). McGraw-Hill Companies.
19. Yates K. 2004. Bowel obstruction. In: Cameron P, Jelinek G, Kelly AM, Murray L,
Brown AFT, Heyworth T, editors. Textbook of adult emergency medicine. 2nd ed.
New York: Churchill Livingstone. p.306-9

Anda mungkin juga menyukai