Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

TUMOR SINONASAL

A. Pengertian tumor sinonasal


Tumor sinonasal adalah pertumbuhan jaringan abnormal di sinus
paranasal dan jaringan sekitar hidung. Tumor hidung adalah pertumbuhan ke
arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga
hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi. Tumor ini
merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang otorinolaringologi di
seluruh dunia. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe
histologi yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.

B. Etiologi
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi
diduga beberapa zat kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain
nikel, debu kayu, kulit, formaldehid, kromium, minyak isopropl dan lain-lain.
Pekerja di bidang ini mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya keganasan
sinonasal. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga
meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan
sayuran mengurangi kemungkinan terjadi keganasan. Jenis histologis yang
paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar 70% kasus.
Gejala klinis yang paling sering adalah obstruksi hidung dan epistaksis (Goel,
2012; Sukri, 2012; Roezin, 2007).
Selain akibat pekerjaan, ada yang menganggap bahwa sinusitis kronis
dapat menyebabkan metaplasia yang kemudian menjadi karsinoma sel
skuamosa pada sinonasal (Mangunkusumo, 1989).
C. Klasifikasi
1. Tumor Jinak
Makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak
mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan
yang kedua endofitik disebut papiloma inverted.
2. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%).
Sinus maksila tersering terkena (65-80%), sinus etmoid (15-25%), hidung
sendiri (24%).
3. Invasi Sekunder
Antara lain pituitary adenomas, chordomas, karsinoma nasofaring,
meningioma, tumor odontogenik, neoplasma skeleton kraniofasial jinak
dan ganas, tumor orbital.

D. Manifestasi klinik
Menurut Roezin (2007) gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah
dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila biasanya tanpa gejala. Gejala
timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang
meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.
1. Gejala nasal
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya
sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat
mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada
tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik
(Roezin, 2007).
2. Gejala orbital
Pada gejala orbital ada perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan
gejala diplopia, proptosis (penonjolan bola mata), oftalmoplegia,
gangguan visus, dan epifora (Roezin, 2007).
3. Gejala oral
Pada gejala oral dapat disertai perluasan tumor ke rongga
mulutmenyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus
alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak tepat melekat atau gigi
geligi goyang. Sering kali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di
gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut
(Roezin, 2007).
4. Gejala fasial
Pada pasien dengan gejala fasial adanya perluasan tumor ke area wajah
dimana akan menyebabkan penonjolan pipi. Gejala dapat disertai nyeri,
hilang sensasi (anesthesia atau parastesia) jika mengenai nervus
trigeminus (Roezin, 2007).
5. Gejala intracranial.
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia, dan gangguan visus, yang dapat disertai likuorea, yaitu
cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa
kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke
belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus
disertai anestesia danparestesia daerah yang dipersarafi nervus
maksilaris dan mandibularis (Roezin, 2007).
E. Patofisiologi

Karsinogen

HPV EBV
Memicu timbulnya

Karsinoma sinonasal
Berbagai jenis tipe tumor berbeda telah dijelaskan terdapat pada rahang atas.
Jenis histologis yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa, mewakili sekitar
80% kasus. Lokasi primer tidak selalu mudah untuk ditentukan dengan sejumlah sinus
berbeda yang secara umum terlibat seiring waktu munculnya pasien. Mayoritas 60%
tumor tampaknya berasal dari antrum, 30% muncul dalam rongga hidung, dan sisa 10%
muncul dari etmoid. Tumor primer frontal dan sfenoid sangat jarang.

Limfadenopati servikal teraba muncul pada sekitar 15% pasien pada presentasi.
Gambaran kecil ini disebabkan drainase limfatik sinus paranasal ke nodus retrofaring
dan dari sana ke rantai servikal dalam bawah. Sebagai akibatnya, nodus yang terlibat
diawal tidak mudah dipalpasi di bagian leher manapun.
F. Penatalaksanaan

1. Drainage/ debridement

Drainage adekuat(seperti nasoantral window) seharusnya dilakukan


pada pasien dengan sinusitis sekunder dan pada pasien yang mendapat
terapi radiasi sebagai pengobatan primes (Bailler, 2006).

2. Resection

Menurut Bailey (2006) surgical resection selalu direkomendasikan


dengan tujuan kuratif. Palliative excision dipertimbangkan untuk
mengurangi nyeri yang parah, untuk dekompresi cepat dari struktur-struktur
vital, atau untuk memperkecil lesi massif, atau estetika. Pembedahan
merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus sinonasal
dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86%.

Dengan kemajuan-kemajuan terbaru dalam preoperative imaging,


intraoperative image-guidance system, endoscopic instrumentation dan
material untuk hemostasis, teknik sinonasal untuk mengangkat tumor nasal
dan sinus paranasal mungkin merupakan alternatif yang dapat dilakukan
untuk traditional open technique. Pendekatan endoskopik dapat dipakai
untuk melihat tumor dalam rongga nasal, etmoid, sfenoid, medial frontal
dan sinus maksilaris medial. Frozen section harus digunakan untuk melihat
batas bebas tumor (Bailey, 2006).
3. Rehabilitasi

Tujuan utama rehabilitasi pasca operasi adalah penyembuhan luka


primer, memelihara atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal
yang terpisah kemudian memperlancar proses bicara dan menelan.
Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan dental
prosthesis atau reconstructive flap seperti flap otot temporalis dengan atau
tanpa inklusi tulang kranial, pedicled atau microvascular free myocutaneous
dan cutaneous flap (Bailey, 2006).

4. Terapi Radiasi

Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu


pembedahan atau sebagai terapi paliatif. Radiasi pasca operasi dapat
mengontrol secara lokal tetapi tidak mempengaruhi kelangsungan hidup
spesifik atau absolut. Sel-sel tumor yang sedikit dapat dibunuh, pinggir
tumor non radiasi dapat dibatasi sepanjang pembedahan dan penyembuhan
luka pasca operasi lebih dapat diperkirakan (Bailey, 2006).

5. Kemoterapi
Peran kemoterapi untuk pengobatan tumor traktus sinonasal
biasanya paliatif, penggunaan efek cytoreductive untuk mengurangi rasa
nyeri dan penyumbatan, atau untuk mengecilkan lesi eksternal massif.
Penggunaan cisplatin intrarterial dosis tinggi dapat digunakan secara
bersamaan dengan radiasi pada pasien dengan karsinoma sinus paranasal.
Angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 53%. Pasien yang menunjukkan
resiko pembedahan yang buruk dan yang menolak untuk dilakukan operasi
dipertimbangkan untuk mendapatkan kombinasi radiasi dan kemoterapi
(Bailey, 2006).
6. Prognosis

Menurut Roezin (2007) pada umumnya prognosis kurang baik.


Banyak sekali faktor yang mempengaruhi prognosis keganasan nasal dan
sinus paranasal. Faktor-faktor tersebut seperti perbedaan diagnosis
histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan
sebelumnya, batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat
berpengaruh terhadap agresivitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun
demikian, pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan
hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan
angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
a. Endoskopik, dimana terdapat polip atau sekret mukopurulen yang
berasal dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus
medius
b. CT – scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau
sinus paranasal. Pemeriksaan CT scan memberikan gambaran yang baik
mengenai lokasi dan perluasan tumor, CT scan dapat menentukan
adanya erosi atau dekstruksi tulang. CT scan dengan kontras
memberikan gambaran perluasan tumor ke organ sekitarnya.
c. MRI
2. Biopsi
Apabila lokasi tumor telah diidentifikasi selanjutnya dibutuhkan
pemeriksaan histopatologi jaringan. Biopsi jaringan dilakukan dengan
teknik yang paling tidak invasif tetapi mendapatkan jaringan yang cukup
representatif untuk diperiksa. Menghindari biopsi terbuka dengan alasan
sebagai berikut:
a. Akan menyebabkan gangguan keutuhan struktur anatomi dan batas
tumor
b. Kemungkinan sel tumor mengkontaminasi jaringan normal.
c. Menyebabkan lokalisasi tumor dan batas batas tumor terganggu
yang menyulitkan pada saat operasi.
Pendekatan endoskopi melalui hidung (nasoendoskopi) merupakan
teknik yang optimal untuk biopsi tumor sinonasal. Kelebihan teknik ini
adalah visualisasi yang lebih baik. Morbiditas yang minimal,perubahan
pada jaringan tumor dan organ sekitar minimal. Tumor kecil didinding
lateral sinus maksila dapat dicapai dengan melakukan antrostomi meatus
medius dan visualisasi dengan endoskop 30o atau 70o, biopsy dilakukan
dengan forceps jerapah.

3. Hispatologi
Karsinoma sel skuamosa merupakan gambaran hispatologi yang paling
sering pada keganasan sinonasal. Disamping karsinoma sel skuomosa,
keganasan sinonasal juga dapat berupa adenokarsinoma,adenoid sistik
karsinoma, melanoma maligna neuroblastoma olfaktori, karsinoma tidak
berdiferiensi dan limfoma serta sarcoma.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik :
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, kegansan dan stadium
penyakit, antara lain:
1) Gejala hidung :
 Buntu hidung unilateral dan progresif.

 Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.

 Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.

 Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis


menunjukkan kemungkinan keganasan.

 Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh


gangguan ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-
menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor
ganas.
2) Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang
tumor seperti:

 Pembengkakan pipi
 Pembengkakan palatum durum
 Geraham atas goyah, maloklusi gigi
 Gangguan mata bila tumor mendesak rongga orbita.
3) Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:

 Penurunan berat badan lebih dari 10 %


 Kelelahan/malaise umum
 Napsu makan berkurang (anoreksia)
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum,

didapatkan pembengkakan sesuai lokasi pertumbuhan tumor

 Palpasi, teraba tumor dan pembesaran kelenjar leher

 Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga


hidung

 Rinoskopi posterior untuk melihat ekstensi ke nasofaring

 Foto sinar X

b. Pengkajian Diagnostik
 WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus
maksilaris dan sinus frontal)
 Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii
anterior/medial)
 RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding
orbita)
 CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)

 Biopsi : Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada


tumor yang tampak. Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi
dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila perlu dapat
dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor
yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan
operasi. Untuk kecurigaan terhadap keganasan bila perlu
dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.
2. Diagnosa keperawatan
a. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan
status kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran,
perubahan interaksi sosial, ancaman kematian, perpisahan dari
keluarga.
b. Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat
keganasan, efek-efek radioterapi/kemoterapi.
c. Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan
status metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan
distres emosional.
e. Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek
imunosupresi radioterapi/kemoterapi

3. Intervensi keperawatan
a. Dx 1 :
 Orientasikan klien dan orang terdekat terhadap prosedur rutin
dan aktivitas yang diharapkan.
 Eksplorasi kecemasan klien dan berikan umpan balik.
 Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang lazim dialami
oleh banyak orang dalam situasi klien saat ini.
 Ijinkan klien ditemani keluarga (significant others) selama fase
kecemasan dan pertahankan ketenangan lingkungan.
 Kolaborasi pemberian obat sedatif.

b. Dx 2 :
 Diskusikan dengan klien dan keluarga pengaruh diagnosis dan
terapi terhadap kehidupan pribadi klien dan aktiviats kerja.
 Jelaskan efek samping dari pembedahan, radiasi dan kemoterapi
yang perlu diantisipasi klien

 Diskusikan tentang upaya pemecahan masalah perubahan peran


klien dalam keluarga dan masyarakat berkaitan dengan
penyakitnya.

c. Dx 3 :
 Lakukan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, masase
punggung) dan pertahankan aktivitas hiburan (koran, radio)

 Ajarkan kepada klien manajemen penatalaksanaan nyeri (teknik


relaksasi, napas dalam, visualisasi, bimbingan imajinasi)

 Berikan analgetik sesuai program terapi.

 Evaluasi keluhan nyeri (skala, lokasi, frekuensi, durasi)

d. Dx 4 :
 Dorong klien untuk meningkatkan asupan nutrisi (tinggi kalori
tinggi protein) dan asupan cairan yang adekuat.

 Kolaborasi dengan tim gizi untuk menetapkan program diet


pemulihan bagi klien.

 Berikan obat anti emetik dan roborans sesuai program terapi.

 Dampingi klien pada saat makan, identifikasi keluhan klien


tentang makan yang disajikan.

 Timbang berat badan dan ketebalan lipatan kulit trisep (ukuran


antropometrik lainnya) sekali seminggu
 Kaji hasil pemeriksaan laboratorium (Hb, limfosit total,
transferin serum, albumin serum)

e. Dx 5 :
 Tekankan penting oral hygiene.

 Ajarkan teknik mencuci tangan kepada klien dan keluarga,


tekankan untuk menghindari mengorek/me-nyentuh area luka
pada rongga hidung (area operasi).

 Kaji hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan


penurunana fungsi pertahanan tubuh (lekosit, eritrosit,
trombosit, Hb, albumin plasma)

 Berikan antibiotik sesuai dengan program terapi.

 Tekankan pentingnya asupan nutrisi kaya protein sehubungan


dengan penurunan daya tahan tubuh.

 Kaji tanda-tanda vital dan gejala/tanda infeksi pada seluruh


sistem tubuh.
E. Patofisiologi
Faktor resiko terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen
seperti bahan kimia inhalan, debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat
menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen yang mengatur
pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu
gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat
diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel
normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu
fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. Pada fase inisiasi terjadi
perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas
akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel yang telah
mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan
gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi
sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat
dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang
berbeda.9,10
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel
kanker memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30
tahun. Pada fase induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat
perubahan pada sel seperti displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ
dimana pada fase ini kanker mulai timbul namun pertumbuhannya masih
terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan belum menembus membran
basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel kanker yang
bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke
jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase
invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe
regional dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun.9,10
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga
menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak
(ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta
metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan terapi.10
2. Diagnosa Keperawatan
1. Kecemasan b/d krisis situasi (keganasan), ancaman perubahan status
kesehatan-sosial-ekonomik, perubahan fungsi-peran, perubahan interaksi sosial,
ancaman kematian, perpisahan dari keluarga.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Informasi yang tepat tentang


1. Orientasikan klien dan
situasi yang dihadapi klien
orang terdekat terhadap
dapat menurunkan
prosedur rutin dan aktivitas
kecemasan/rasa asing
yang diharapkan.
terhadap lingkungan sekitar
dan membantu klien
2. Eksplorasi kecemasan mengantisipasi dan
klien dan berikan umpan menerima situasi yang
balik. terjadi.
2. Mengidentifikasi faktor
pencetus/pemberat masalah
3. Tekankan bahwa kecemasan dan menawarkan
kecemasan adalah masalah solusi yang dapat dilakukan
yang lazim dialami oleh klien.
banyak orang dalam situasi 3. Menunjukkan bahwa
klien saat ini. kecemasan adalah wajar dan
tidak hanya dialami oleh
4. Ijinkan klien ditemani klien satu-satunya dengan
keluarga (significant harapan klien dapat
others) selama fase memahami dan menerima
kecemasan dan keadaanya.
pertahankan ketenangan 4. Memobilisasi sistem
lingkungan. pendukung, mencegah
perasaan terisolasi dan
menurunkan kecemsan.
5. Pantau dan catat respon 5. Menilai perkembangan
verbal dan non verbal klien masalah klien.
yang menunjukan
kecemasan.
2). Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan,
efek-efek radioterapi/kemoterapi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Membantu klien dan


1. Diskusikan dengan klien
keluarga memahami
dan keluarga pengaruh
masalah yang dihadapinya
diagnosis dan terapi
sebagai langkah awal proses
terhadap kehidupan pribadi
pemecahan masalah.
klien dan aktiviats kerja.
2. Efek terapi yang diantisipasi
lebih memudahkan proses
2. Jelaskan efek samping dari adaptasi klien terhadap
pembedahan, radiasi dan masalah yang mungkin
kemoterapi yang perlu timbul.
diantisipasi klien 3. Perubahan status kesehatan
yang membawa perubahan
status sosial-ekonomi-
3. Diskusikan tentang upaya fungsi-peran merupakan
pemecahan masalah masalah yang sering terjadi
perubahan peran klien pada klien keganasan.
dalam keluarga dan 4. Menginformasikan alternatif
masyarakat berkaitan konseling profesional yang
dengan penyakitnya. mungkin dapat ditempuh
dalam penyelesaian masalah
4. Terima kesulitan adaptasi klien.
klien terhadap masalah 5. Mengidentifikasi sumber-
yang dihadapinya dan sumber pendukung yang
informasikan kemungkinan mungkin dapat
perlunya konseling dimanfaatkan dalam
psikologis meringankan masalah klien.
6. Menilai perkembangan
masalah klien.
5. Evaluasi support sistem
yang dapat membantu
klien (keluarga, kerabat,
organisasi sosial, tokoh
spiritual)

6. Evaluasi gejala
keputusasaan, tidak
berdaya, penolakan terapi
dan perasaan tidak
berharga yang
menunjukkan gangguan
harga diri klien.

3). Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Meningkatkan relaksasi dan


1. Lakukan tindakan
mengalihkan fokus
kenyamanan dasar
perhatian klien dari nyeri.
(reposisi, masase
2. Meningkatkan partisipasi
punggung) dan
klien secara aktif dalam
pertahankan aktivitas
pemecahan masalah dan
hiburan (koran, radio)
meningkatkan rasa kontrol
diri/keman-dirian.
2. Ajarkan kepada klien 3. Analgetik mengurangi
manajemen respon nyeri.
penatalaksanaan nyeri 4. Menilai perkembangan
(teknik relaksasi, napas masalah klien.
dalam, visualisasi,
bimbingan imajinasi)

3. Berikan analgetik sesuai


program terapi.

4. Evaluasi keluhan nyeri


(skala, lokasi, frekuensi,
durasi)

4). Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status
metabolik akibat keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.
INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Asupan nutrisi dan cairan


1. Dorong klien untuk
yang adekuat diperlukan
meningkatkan asupan
untuk mengimbangi status
nutrisi (tinggi kalori tinggi
hipermetabolik pada klien
protein) dan asupan cairan
dengan keganasan.
yang adekuat.
2. Kebutuhan nutrisi perlu
diprogramkan secara
2. Kolaborasi dengan tim gizi individual dengan
untuk menetapkan melibatkan klien dan tim
program diet pemulihan gizi bila diperlukan.
bagi klien. 3. Anti emetik diberikan bila
klien mengalami mual dan
roborans mungkin
3. Berikan obat anti emetik diperlukan untuk
dan roborans sesuai meningkatkan napsu makan
program terapi. dan membantu proses
metabolisme.
4. Dampingi klien pada saat 4. Mencegah masalah
makan, identifikasi kekurangan asupan yang
keluhan klien tentang disebabkan oleh diet yang
makan yang disajikan. disajikan.
5. Menilai perkembangan
masalah klien.
5. Timbang berat badan dan 6. Menilai perkembangan
ketebalan lipatan kulit masalah klien.
trisep (ukuran
antropometrik lainnya)
sekali seminggu

6. Kaji hasil pemeriksaan


laboratorium (Hb, limfosit
total, transferin serum,
albumin serum)
5). Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek
imunosupresi radioterapi/kemoterapi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL


1.
1. Infeksi pada cavum nasi
2. Tekankan penting oral
dapat bersumber dari
hygiene.
ketidakadekuatan oral
hygiene.
3. Ajarkan teknik mencuci 2. Mengajarkan upaya
tangan kepada klien dan preventif untuk menghindari
keluarga, tekankan untuk infeksi sekunder.
menghindari 3. Menilai perkembagan
mengorek/me-nyentuh area imunitas seluler/ humoral.
luka pada rongga hidung 4. Antibiotik digunakan untuk
(area operasi). mengatasi infeksi atau
diberikan secara profilaksis
pada pasien dengan risiko
4. Kaji hasil pemeriksaan infeksi.
laboratorium yang 5. Protein diperlukan sebagai
menunjukkan penurunana prekusor pembentukan asam
fungsi pertahanan tubuh amino penyusun antibodi.
(lekosit, eritrosit, 6. Efek imunosupresif terapi
trombosit, Hb, albumin radiasi dan kemoterapi dapat
plasma) mempermudah timbulnya
infeksi lokal dan sistemik.
5. Berikan antibiotik sesuai
dengan program terapi.

6. Tekankan pentingnya
asupan nutrisi kaya protein
sehubungan dengan
penurunan daya tahan
tubuh.

7. Kaji tanda-tanda vital dan


gejala/tanda infeksi pada
seluruh sistem tubuh.

Anda mungkin juga menyukai