Anda di halaman 1dari 24

Pendahuluan

Sepsis adalah sindrom klinis yang dicetuskan oleh infeksi; ditandai dengan
sejumlah gejala klinis meliputi demam atau hipotermia, leukositosis atau
lekopenia, takhikardia dan tidakipnea. Sepsis sampai saat ini menjadi masalah
baik di negara berkembang maupun negara maju, baik dari segi morbiditas,
mortalitas, maupun ekonomi. Pemanfaatan kemajuan ilmu kedokteran untuk
pengelolaan sepsis dan syok septik berupa dipakainya peralatan monitoring
invasif, saranadiagnostik yang lebih canggih, obat vasopresor dan inotropis yang
lebih baik serta antibiotik yang lebih kuat memang dapat menekan angka
kematian, namun diikuti dengan peningkatan biaya yang sangat besar untuk
persatuan nyawa yang diselamatkan. Tingginya angka kematian dan konsekuensi
biaya yang harus dikeluarkan mengharuskan kita mengubah paradigma
pengelolaan sepsis; dari tindakan yang baru dikerjakan setelah sepsis dan
komplikasinya terjadi; ke arah tindakan penanganan infeksi sebelum sepsis dan
komplikasinya terjadi. Pada naskah ini akan di ulas patogenesis-patofisiologi
infeksi-sepsis, penanganan klinis serta pemberian terapi antimikrobial yang tepat.

a. Definisi
Terdapat beberapa istilah yang erat kaitannya dengan infeksi serta sepsis,
Inflamasi adalah respons lokal yang dipicu oleh jejas atau kerusakan jaringan,
bertujuan untuk menghancurkan, melarutkan bahan
penyebab, jejas atau pun jaringan yang mengalami jejas, yang ditandai
dengan gejala klasik dolor, color, rubor, tumor dan functio laesa. Infeksi adalah
ditemukannya organisme pada ternpat yang normal steril, yang biasanya disertai
dengan respons inflamasi tubuh. Bakteremia adalah ditemukan bakteri di dalam
darah, dibuktikan dengan biakan, dapat bersifat transien. Septisemia (Septicemia)
adalah bakteremia disertai dengan gejala klinis yang bermakna.
Sepsis adalah infeksi disertai dengan respons sistemik; respons sistemik
tersebut ditandai dengan 2 atau lebih tanda: temperatur > 38° atau kurang dari 36
°C; denyut jantung > 90/menit; respirasi > 20 /menit atau PaCO2 < 32 mmHg (<
4.3 kPa), sel darah putih > 12.000/mm3, < 4.000/mm3; atau > 10% bentuk
immature/band.
Sepsis syndrome adalah gejala klinis infeksi disertai dengan respons
sistemik yang menyebabkan gangguan organ berupa: insufisiensi respirasi,
disfungsi renal, asidosis atau gejala mental. Septic shock adalah sepsis syndrome
disertai dengan hipotensi dan adanya gangguan perfusi. Refractory septic shock
adalah syok septik yang berlangsung lebih dari satu jam tanpa respons terhadap
intervensi cairan atau obat farmakologis.
Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) merupakan istilah baru
yang banyak dipakai; SIRS adalah manifestasi klinis inflamasi sistemik yang
dapat merupakan respons terhadap infeksi (fokal/sistemik), atau noninfeksi
(misalnyalukabakar, pankreatitis). Dikatakan sepsis bila SIRS tersebut disebabkan
oleh infeksi; fokal maupun sistemik.

b. Etiologi
Penyebab sepsis terbesar adalah bakteri gram-negatif (60% sampai 70%
kasus), yang berbagai produknya dapat menstimulasi sel-sel imun yang kemudian
akan terpacu untuk melepaskan mediator-mediator inflamasi. Produk yang
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan
struktur dominan pada membran luar bakteri gram-negatif. LPS merangsang
peradangan jaringan, demam dan syok pada hospes yang terinfeksi. Struktur lipid
A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam hospes.
Stapilokokus, Pneumokokus, Streptokokus dan organisme gram positif
lainnya dapat menyebabkan kasus sepsis pada sejumlah 20 sampai 40% dari
keseluruhan kasus. Organ paru merupakan tempat sumber infeksi terbanyak
diikuti abdomen dan saluran kemih. Sekitar 20% sampai 30% dari penderita
sumber infeksi yang pasti tidak diketahui. Biakan darah yang positif merupakan
contoh infeksi yang serius tetapi biakan darah yang positif hanya didapatkan
sekitar 30% dari jumlah penderita sepsis. Walaupun demikian secara umum sepsis
dapat disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, parasit, atau pun jamur. Respons
septik umumnya terjadi apabila mikroorganisme komensal yang berada di salah
satu tempat di tubuh penderita (saluran gastrointestinal, kulit, saluran empedu,
saluran napas, saluran kencing, dan lain-lain) masuk ke dalam aliran darah, dan
menyebar ke seluruh tubuh. Dapat pula sepsis terjadi akibat infeksi lokal di salah
satu bagian tubuh oleh suatu mikroorganisme tertentu kemudian masuk ke dalam
aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh secara langsung atau akibat tindakan
medis misalnya: pemasangan kateter intravena/ buli-buli, tindakan operasi,
pemasangan alat bantu napas, dan lain-lain. Mikroorganisme juga dapat masuk
dari luar tubuh ke dalam aliran darah lewat jarum suntik yang tidak steril.
Kadang-kadang sumber infeksi tidak ditemukan.

c. Patofisiologi
Terjadinya infeksi dan sepsis erat kaitannya dengan faktor host dan faktor
mikrobiologi.
1. Faktor host
Infeksi terjadi bila mikroorganisme dapat melewati lapisan-lapisan
pertahanan tubuh/barrier. Barrier pertama berupa pertahanan
mekanis/kimiawi; misalnya kulit atau mukosa yang utuh, sekresi tubuh yang
bersifat bakterisidal atau bakteristatik, pergerakan silia, refleks batuk dan
sebagainya. Lapisan kedua pertahanan tubuh adalah sel-sel fagosit yang
umumnya bersifat nonspesifik; yang akan memusnahkan setiap invasi.
Lapisan pertahanan tubuh ketiga adalah yang bersifat spesifik terhadap
antigen-bahan asing tertentu. Gangguan pada barrier pertama, kedua atau
ketiga atau kombinasi memudahkan terjadinya infeksi. Secara umum faktor
host yang berperan dalam memudahkan timbulnya sepsis pada infeksi adalah:
penyakit dasar, status gizi, status metabolik pasien; adanya infeksi fokal
sebelumnya, pemakaian peralatan invasif pada lingkungan rumah sakit
(kateter urine, vena sentral), penekanan imunitas tubuh akibat pemberian
steroid, kemoterapi, radiasi.
2. Faktor mikrobiologi
Faktor mikrobiologi penting perannya sebagai pencetus segala perubahan
patogenesis dan patofisiologi yang terjadi, dan juga terkait dengan pemilihan
obat antibiotika yang sesuai. Telah diketahui bahwa kemungkinan terjadinya
syok septik pada infeksi oleh mikroorganisme-mikroorganisme tidak sama.
Pada era pra-antibiotik, syok septik tersering karena: Streptococcus
pneumonia; Streptococcus grup A, Staphylococcus aureus, Haemophylus
influenza, Neisseria meningitidis, Salmonella spp. Namun akhir-akhir ini
organisme gram-negatif merupakan patogen utama penyebab bakteremia.

Organisme gram positif dan jamur sama kemungkinannya dengan


organisme gram-negatif yang mengandung endotoksin dalam menyebabkan
sepsis, di mana mereka dapat memulai rangkaian patogenesis sepsis. Proses
dimulai dengan proliferasi organisme pada tempat masuknya infeksi. Organisme
dapat menginvasi pembuluh darah secara langsung (menyebabkan biakan darah
positif) atau berproliferasi secara lokal dan melepaskan berbagai macam substansi
(produk) ke dalam aliran darah. Substansi-substansi ini termasuk komponen dari
mikroorganisme (antigen techoid acid, endotoksin, dan lain-lain) dan eksotoksin
yang disintesisnya, yang akan merangsang pelepasan mediator endogen sepsis
dari sel monosit atau makrofag, sel endotel, neutrofil, dan lain-lain.
Berbagai proses terjadi setelah tubuh mendeteksi adanya invasi
mikroorganisme. Bagian dari mikroorganisme yang memberi isyarat tubuh bahwa
mikroorganisme telah menyerang adalah LPS/endotoksin kuman gram-negatif.
Peptidoglycan dan lipotechoic acid bakteri gram positif, bahan-bahan polisakarida
tertentu. serta enzim ekstraseluler dan toksin tertentu juga dapat memicu respons
yang sama seperti LPS. CD 14, baik yang berada pada permukaan sel atau pun
yang bebas, merupakan reseptor yang memfalisilitasi respons terhadap berbagai
stimulus. Mekanisme lain yang dapat mengenal molekul mikroba adalah
komplemen (melalui alternative pathways), mannose binding protein, dan C-
reactiueprotein.
Respons tubuh setelah invasi mikroba merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara microbial signal, leukosit, mediator humoral dan endotel
vaskuler. Cytokine pada reaksi inflamasi mengamplifikasi dan mendiversifikasi
respons. Cytokine dapat berfungsi sebagai endocrin, paracrine, autocrine. TNF-a
menstimulasi leukosit dan endotel vaskuler melepaskan cytokine-cytokine lain
(selain TNF-a sendiri), mengekspresi cell surface adhesion molecule dan
meningkatkan turn over arachidonic acid. Pada tingkat lokal, dengan adanya
proses tersebut; infeksi diharapkan dapat terlokalisasi di tempat tersebut dengan
terbentuknya trombus lokal; sehingga invasi kuman dapat dicegah. Dan dengan
mobilisasi sel darah putih, makrofag, maka infeksi dapat diatasi.
Meskipun TNF-a merupakan mediator utama, ia hanya merupakan salah
satu dari sekian banyak cytokine yang terlibat dalam sepsis. IL-1/3 misalnya, yang
mempunyai aktivitas mirip TNF-a, tampaknya juga mempunyai fungsi
pentingpada proses sepsis. TNF-a, IL-1/3, Interferon y, IL-8 mungkin bekerja
sinergis, bersama dengan cytokine tambahan lain. Dengan berlanjutnya sepsis,
campuran cytokine dan mediator menjadi begitu kompleks. Pada syok septik
ditemukan 30 bahanp?-o- dan anti-inflammatory molecul dengan kadar meningkat
di atas normal.
Arachidonic acid, yang dibebaskan dari fosfolipid oleh phospholipase A2
akan diubah dalam cyclooxigenase pathway menjadi prostaglandin dan
thromboxane. Prostaglandin E2, dan prostacyclin dapat menyebabkan
vasodilatasi perifer, sedangkan thromboxane menyebabkan vasokonstriksi dan
memacu agregasi trombosit. Leukotriene juga merupakan mediator yang kuat
pada iskemia dan syok. Bahan fosfolipid yang lain adalah PAF yang dapat
menyebabkan agregasi leukosit serta jejas jaringan.
Komplemen C5a dan produk lain hasil aktivasi komplemen akan
meningkatkan aktivitas reaksi neutrofil misalnya kemotaksis, agregasi,
degranulasi, dan produksi oxigen radical. C5a terbukti akan menginduksi
terjadinya pulmonary vasoconstriction, neutropenia, dan kebocoran vaskular
karena kerusakan endotel.
Banyak alat tubuh mengalami kerusakan akibat sepsis. Mekanisme yang
mendasari sangat mungkin adalah terjadinya vascular endothelial injury yang
sangat luas, di samping ekstravasasi cairan dan mikrotrombi yang akan
menurunkan utilisasi oksigen dan bahan lain oleh jaringan yang bersangkutan.
Mediator-mediator yang dibebaskan oleh leukosit, platelet-leukocyte-fibrin
trombus berperan pada peristiwa ini, tetapi endotel vaskuler sendiri tampaknya
juga berperan aktif. Stimulus oleh TNF-a pada sel endotel vaskuler akan
menyebabkan diproduksi dan dilepaskannya bahan cytokine, molekul
prokoagulan, PAF, endothelium derived relaxing factor (nitric oxide), serta
mediator lain. Juga, regulated cell adhesion molecule memudahkan terjadinya
aderensi leukosit pada sel endotel. Respons tersebut, selain akan lebih menarik
banyak fagosit ke tempat radang dan mengaktifkan berbagai bahan, aktivasi
endotel juga akan menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler, trombosis
mikrovaskuler, DIG dan hipotensi. Integritas kapiler akan rusak oleh pengaruh
enzim neutrofil (misalnya elastase), dan bahan metabolit toksik yang lain,
sehingga timbul perdarahan lokal.
Sessler dkk 1995 menyatakan circulatory intercellular adhesion molecule-
1 (cICAM -1) terbukti meningkat pada penderita sepsis dewasa; dan kenaikan
tersebut berkorelasi dengan intensitas sepsis dan beratnya syok, demikian juga
kemudian dengan kegagalan organ dan outcome penyakit. Pada Gambar 1 akan
dapat dilihat awal terjadinya sepsis sampai terjadi kerusakan jaringan, di mana
ICAM memegang peranan penting.
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa sistem koagulasi berperan
penting dalam patofisiologi mengedepan dalam fisiologi sepsis.
Ketidakseimbangan mekanisme hemostatik yang termanifestasi sebagai
mikrovaskuler trombus dan subclinical DIG yang bila dikombinasi dengan
keradangan; berperan pada MOF dan kematian.
Peristiwa dini pada kaskade sepsis, di-trigger oleh respons imun tubuh,
mengakibatkan kerusakan endotel vaskuler. Terpaparnya struktur subendotel
menyebabkan terlepasnya enzim proteolitik. Sel endotel melepas tissue factor
(TF) mentrigger kaskade koagulasi (konversi faktor pembekuan VII menjadi
Vila), dan mempercepat produksi trombin. T F merupakan mediator kunci antara
sistem imun dan koagulasi, dan merupakan aktivator utama koagulasi pada sepsis.
Kadar plasma endogenous hemostasis modulator, misalnya Protein C, Protein S
dan antitrombin III (AT), menurun akibat consumtive coagulopathy berlebihan
pada sepsis. Lebih jauh, peran normal trombomodulin dan endothelial protein C
receptor (EPCK) untuk mengaktifkan Protein C terganggu. Disfungsi sistem
koagulasi demikian menghasilkan procoagulant state yang memungkinkan
kerusakan endotel lebih lanjut. Secara bersamaan, kerusakan awal vaskuler akan
berakibat aktivasi neurofil, neutrophil-endothelial cell adhesion dan terlepasnya
inflammatory cytokine. Pada jaringan yang telah cenderung mengalami disfungsi
uptidake oksigen dan metabolisme, jejas vaskuler akan mengakibatkan hipoksia
yang lebih berat melalui hipoperfusi jaringan.
Pada kebanyakan pasien sepsis, fibrinolisis mengalami supresi meskipun
adanya aktivasi sistem koagulasi terus berlangsung. Dua inhibitor utama
fibrinolisis, plasminogen activator inhibitor (PAI-1) dan thrombin activateable
fibrinolysis nhibitor (TAFI) terpengaruh oleh adanya proses inflamasi dan
koagulasi pada sepsis. Endotoksin kuman gram-negatif meningkatkan aktivitas
PAI-1, yang berakibat penurunan tissue plasminogen activator (tPA) activity.
Demikian juga kadar protein C, Protein S dan AT menurun. Protein C sudah turun
18 jam sebelum diagnosis klinis sepsis ditegakkan. Berkurangnya AT dan Protein
C berkorelasi dengan beratnya sakit, sering dipakai sebagai petanda prognosis
buruk. Dengan berlanjutnya sepsis, maka gejala koagulopati menjadi muncul.
Hampir 100% pasien sepsis berat dijumpai peningkatan kadar D-dimer;
mengisyaratkan terjadinya aktivasi sistem koagulasi meski parameter koagulasi
lain dalam batas normal. Pada pasien septik syok, koagulopati berlanjut menjadi
DIG, meliputi trombositopenia, defisiensi Protein C, perpanjangaii PT dan PTT
memanjang; peningkatan fibrin monomer, menurunnya fibrinogen. dan
meningkatnya kadar D-dimer.

d. Manifestasi Klinis
Menurut Mansjoer (2000 : 509) manifestasi klinisnya adalah sebagai berikut :
1. Umum: panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi,
sklerema.
2. Saluran cerna: distensi abdomen, anoreksia, muntah, diare, hepatogemali
3. Saluran napas: apnu, dispnu, takipnu,retraksi, napas cuping hidung,
merintih, sianosis
4. Sistem kardiovaskular: pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab,
hipotensi, takikardia, bradikardia
5. System saraf pusat: iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, malas minum,
pernapasan tidak teratur, ubun-ubun membonjol, high pitched cry
6. Hematology: ikterus, splenomegali, pucat, petekie, purpura, perdarahan
e. Pemeriksaan Penunjang
Bila sindrom klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis
secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, pungsi lumbal, analisis
dan kultur urin, serta foto dada.
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya kuman pada biakan
darah. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropenia dengan
pergeseran ke kiri (imatur:total seri granulosit>0,2). Selain itu dapat dijumpai
pula trombositopenia. Adanya peningkatan reaktans fase akut seperti C-
reactive protein (CPR) memperkuat dugaan sepsis. Diagnosis sebelum terapi
diberikan (sebelum hasil kultur positif) adalah tersangka sepsis
(Mansjoer,2000:509).

f. Penatalaksanaan
Dasar pengelolaan sepsis adalah sebagai berikut.
1. Menghilangkan fokus infeksi, misalnya pada abses dengan tindakan
pembedahan.
2. Menghilangkan/menghindari faktor pencetus; misalnya: tindakan
kateterisasi urine.
3. Membunuh kuman penyebab. dengan pemberian antimikrobial yang tepat.
4. Meminimalkan efek interaksi host-mikroba; misalnya dengan bahan yang
bekerja terhadap mediator sepsis.
5. Meningkatkan pertahanan host; dengan memperbaiki penyakit dasar,
menghilangkan penyebab keadaan immunocompromized.
6. Mengobati komplikasi dari infeksi-sepsis.

Secara patogenesis, sepsis merupakan rangkaian (kaskade) proses


reaksi sitokin yang selalu berjalan (dinamis), di mana kadar sitokin (mediator)
yang berperan (pro-inflamasi >< anti-inflamasi) selalu berubah-ubah setiap
saat tergantung pada kondisi sistem imun host dan sifat kuman patogen
penyebab infeksi serta peran mediator. Nasib penderita ditentukan oleh
keseimbangan proses yang disebabkan kedua kelompok sitokin tersebut. Pada
penderita dengan risiko infeksi tinggi misalnya penderita immunocompromise
(diabetes melitus, sirosis hati, gagal ginjal kronis, cangkok organ), penderita
immunodeficiency (penderita HIV/ AIDS), perlu dipikirkan terapi prophylactic
antibiotics ditambah imunomodulator atau imunoglobulin. Pada saat infeksi
terjadi dan berkembang perlu diterapi dengan antibiotika dengan/tanpa
antitoksin, dan perlu dipertimbangkan pemberian antikoagulan (coagulant
inhibitor) dan antioksidan, sitokin antiinflamasi (anti-inflammatory cytokines)
atau sitokin antagonis (inflammatory cytokines antagonist) pada saat proses
bertambah berat (sepsis dan syok septik); terapi pendukung cairan-elektrolit
perlu diberikan sejak dini disertai O2 pada fase lanjut.
Karena surnber sepsis adalah infeksi, maka sebagai klinisi dalam
pengelolaan sepsis harus mengetahui sumber infeksi. Manifestasi Minis sepsis
biasanya berupa demam, namun kadang-kadang justru hipotermi. Evaluasi
awal meliputi anamnesis yang saksama, terutama untuk mengetahui apakah
ada penyakit dasar, apakah ada tindakan sebelumnya misalnya pembedahan,
khemoterapi, atau transplantasi, ataukah ada trauma. Apabila ada penyakit
dasar, perlu dievaluasi derajat keparahan penyakit dasar tersebut serta
pengobatan yang telah dilakukan terhadap penyakit dasar tersebut. Riwayat
infeksi dan pengobatan yang telah diberikan sebelumnya harus menjadi
perhatian dalam perencanaan terapi. Adanya tanda- gejala misalnya nyeri,
merah, sakit kepala, juga harus diperhatikan sebagai sumber atau luasnya
penyakit. Riwayat makanan, perjalanan, paparan atau kontak dengan bahan
infeksi atau lingkungan, sangat penting dalam identifikasi penyebab sepsis.
Juga dengan diketahuinya komplikasi pengobatan yang timbul sebelumnya,
misalnya reaksi obat, akan bermanfaat untuk memilih terapi yang tepat.
Suatu infeksi sistemik, misalnya bakteremia atau sepsis dengan demam
atau manifestasi sistemik yang lain, umumnya mempunyai sumber fokal.
Namun kadang-kadang sejumlah bakteremia tidak jelas sumber infeksinya;
sehingga timbul istilah bakteremia primer. Pada penderita
immunocompromised, sering sekali yang menjadi sumber infeksi adalah
saluran gastrointestinal.
Gejala sepsis dapat muncul dari suatu fokus infeksi, sebelum
bekteremia timbul, dan karenanya bila darah dibiakkan pada fase awal proses
infeksi, maka bakteremia tidak dapat didokumentasi. Pemberian antimikrobial
terapi secara paradoksal dapat menimbulkan eksaserbasi demam, sekunder
akibat bakteriolitik kuman, yang diikuti dengan terlepasnya endotoksin atau
bahan pirogen.
Pengelolaan pasien tidak hanya mengintegrasikan riwayat sakit dengan
hasil pemeriksaan Minis, namun juga harus berusaha mencari kumpulan
tanda-tanda infeksi, meski tidak jelas keberadaan infeksi lokal. Studi
mikrobiologis tidak hanya biakan darah, bahan sekret, namun juga evaluasi
semua tempat yang potensial menjadi sumber infeksi. Pemeriksaan fisik
dilakukan secara saksama. Penderita imunosupresif atau neutropeni mungkin
mempunyai respons inflamasi yang kurang, dan gejala tipikal berupa: indurasi,
fluktuasi, panas setempat, limfadenopati reaktif, eksudasi mungkin tidak ada,
misalnya, meski ada UTI, pada pasien mungkin tidak ada gejala klasik atau
piuria. Penderita IM juga mungkin tidak mempunyai refleks batuk, dan tidak
menghasilkan sputum atau eksudat lain. Pada penderita IM dengan meningitis,
maka tanda kaku leher sering tidak ada; namun 2 gejala masih ada: sakit
kepala dan gangguan status mental.
Status pertahanan tubuh, dan kemampuan mempertahankan
kemampuan organ vital merupakan faktor yang menentukan hasil akhir suatu
infeksi. Tabel 1 menunjukkan faktor-faktor penting yang memengaruhi
prognosis. Di samping penyakit dasar dan komplikasi, beberapa faktor lain
mempunyai pengaruh bermakna: adanya bakteremia polimikrobial
mempunyai prognosis buruk. Faktor lain adalah tidak jelas/tidak adanya fokus
infeksi yang tidak terlihat, umur pasien sangat muda atau pun tua. Pemilihan
obat antimikrobial dan cepatnya pemberian juga memengaruhi prognosis.
Tingginya kadar Detectable cytokine yang terus-menerus dalam serum
(misalnya TNF-alpha, LPS) juga dikaitkan dengan menurunnya survival pada
pasien bakteremia gram-negatif.
Pemeriksaan laboratorium juga tergantung pada pemeriksaan fisik dan
manifestasi klinis umum. Karena sindrom sepsis merupakan penyakit
sistemik, maka biakan darah dari 2 tempat berbeda perlu dikerjakan untuk
deteksi adanya bakteremia. Selain mengambil bahan dari setiap tempat yang
potensial sebagai sumber infeksi; maka pada penderita dengan perubahan
mental status atau tanda spesifik SSP hendaknya dilakukan pungsi lumbal,
asal tidak ada peningkatan tekanan intrakranial atau ada lesi fokal
supratentorial.

Tabel 1. Faktor yang berpengaruh pada Outcome infeksi bakteri sistemik


 Keadaan klinis
 Penyakit dasar
 Neutropenia
 Hipogamaglobulinemia
 Diabetes melitus
 Alkoholism +/- sirosis
 Gagal ginjal
 Respiratory failure
 Komplikasi infeksi yang terjadi saat awal
 pengobatan (syok, anuria) Terapi antimikrobial
 Derajat berat bakteremia (polimikrobial) Sumber
infeksi

 Interval awal terapi


 Umur: bayi dan usia lanjut
Sumber: Young (2005)

Pada pasien yang sakit berat dan keadaan klinis mundur, perlu
pemeriksaan yang lebih lengkap dan terapi empiris antibiotika harus segera
dimulai. Terapi kernudian dapat diubah bila hasil biakan darah telah
diketahui. Secara praktis cara terapi empiris ini didasarkah atas anamnesis,
intuisi, perkiraan patogen yang paling mungkin.
Keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh lebih dininya keadaan
infeksi dicurigai, tindakan diagnostik yang tepat, terapi awal antimikrobial
yang tepat dan agresif, supportive care yang menyeluruh, memulihkan
perubahan predisposisi. Kecurigaan terjadinya sepsis pada infeksi harus
diikuti dengan usaha identifikasi cepat organisme penyebab penyakit serta uji
suseptibilitas obat antimikrobial. Obat antimikrobial merupakan terapi utama
sepsis. Namun usaha perbaikan penyakit dasar/predisposisi juga merupakan
hal kritis.
Terapi leukemia, misalnya merupakan faktor utama penyembuhan,
tidak tergantung pada obat antimikrobial yang dipilih. Dilepasnya kateter
intravena atau kateter urine saluran kencing mungkin akan menghilangkan
gejala dan kesembuhan infeksi. Telah terbukti bahwa bakteremia yang terjadi
sebagai akibat manipulasi saluran kencing akan sembuh meskipun diberi
antibiotikayang tidak sesuai dengan kepekaan kuman. Juga terdapat
pengalaman dengan usaha mengadakan drainage abses atau menghilangkan
fokus infeksi misalnya viscera yang mengalami obstruksi akan sangat
memengaruhi penyembuhan. Usaha pemberian antimikrobial terhadap abses
yang besar-adalah sia-sia; meskipun fokus-fokus infeksi kecil dapat
disterilkan dengan terapi antimikrobial yang agresif. Banyak dilaporkan
bahwa pemakaian antimikrobia untuk gram-negatif bakteremia secara
bermakna menurunkan angka kematian. Namun sebetulnya banyak faktor
berperan di samping introduksi obat antimikrobial yang menghasilkan
perbaikan, misalnya lebih agresifnya usaha diagnosis dan memulai terapi,
serta perbaikan supportive care.
Pemberian obat antimikrobial spektrum luas sebelum hasil biakan
diketahui memang membawa risiko resistensi antibiotik di samping toksisitas
obat. Oleh karena itu, kadang-kadang pada pasien yang mempunyai daya
tahan yang cukup kuat, terapi empiris dapat ditunda karena masih cukup
waktu untuk pengambilan sampel dan tes kepekaan (misalnya kasus SEE
tanpa payah jantung, atau emboli). Tetapi terapi empiris perlu diberikan segera
pada pasien kritis dan akan diubah setelah hasil biakan diketahui. Terapi
kombinasi dengan beberapa alasan berikut.
1. Terapi kombinasi akan dapat mencakup banyak diagnosis termasuk gram
positif dan negatif, yang secara klinis sukar dibedakan.
2. Polymicrobial infection mungkin terjadi, dengan demikian pemberian
dua obat mungkin akan mengatasi infeksi kembar.
3. Pemakaian kombinasi mungkin akan mengatasi timbulnya kuman yang
resisten dengan cara menghilangkan subpopulasi kuman yang resisten
terhadap salah satu antibiotika yang dipakai.
4. Dua antibiotik mungkin bekerja sinergistik atau aditif, sehingga dapat
meningkatkan aktivitas obat.
Pengobatan yang tepat pada infeksi ditentukan oleh pemilihan
antimikroba yang tepat. Dalam situasi klinis, maka pemilihan antimikroba
yang tepat ditentukan oleh 3 faktor utama.
1. Identitas mikroorganisme penyebab infeksi harus diketahui, paling tidak
sesuai dengan dugaan secara statistik.
2. Terdapat informasi akurat mengenai kepekaan mikroorganisme penyebab
terhadap antimikroba.
3. Adanya faktor host yang member kesimpulan obat mana yang paling
tepat dapat dipakai (misalnya ada tidaknya riwayat reaksi samping obat,
umur, abnormalitas genetik/metabolisme, fungsi organ hati dan ginjal,
tempat infeksi).
Kebanyakan infeksi pada daya pertahanan tubuh yang normal dapat di
atasi dengan antibiotika tunggal. Namun kadang-kadang digunakan kombinasi
antibiotika. Kombinasi 2 obat dapat menghasilkan efek aditif, sinergis, namun
dapat berefek antagonis. Pemakaian kombinasi yang rasional adalah untuk
mencegah timbulnya strain resisten, terdapat infeksi polimikrobial, terapi awal
sepsis, mengurangi toksisitas, ada efek sinergisme. Kerugian dari terapi
kombinasi adalah: kemungkinan terjadinya antagonis, biaya meningkat, efek
samping mungkin lebih bermacam-macam.
Dalam pemberian antibiotika, pilihan bagaimana cara memberikan
sangat menentukan. Oral biasanya dipakai untuk infeksi ringan dan pasien
poliklinis; namun tidak semua obat dapat dipakai oral. Evaluasi efisien
tidaknya obat ditentukan dengan berbagai cara; namun yang paling penting
adalah keadaan klinis. Penentuan kadar obat memang juga bermanfaat;
terutama untuk mencapai dosis terapi yang hendak dicapai; terutama bila
klirens obat berjalan cepat.
Tabel 2. Rekomendasi pemberian antibiotika untuk terapi awal (presumptive)
sepsis
No.
1. Community acquired infection pada pasien nonneutropeni (netrofil >
1000/mm3) Dicurigai sebagai sumber: urineary tract
 sefalosporin generasi 3 atau piperacillin, mezlocillin, azlocillin, ticarcillin
atau quinolon;
semua +/- aminoglikosida
B. Sumber bukan urineary tract:
 sefalosporin generasi 3 + metronidazole, atau
ticarcillin-clavulonat atau ampicillin-sulbactam atau
piperacillin-tazobactam;
semua +/- aminoglikosida
2. Hospital acquired infection, pasien nonneutropeni:
 sefalosporin generasi 3 + metronidazole atau
 ticarcillin-clavulonat atau ampisilin-sulfbactam atau piperacillin-
tazobactam
 semua + aminoglikosida atau
 imipenem
 semua + aminoglikosida
3. Hospital acquired infection, pasien neutropeni
 ticarcillin-clavulonat, piperacillin-tazobactam
semua + aminoglikosida;
atau
imipenem +/- aminoglikosida
atau
ceftazidim + metronidazole + aminoglikosida
4. Thermal injury sampai paling sedikit 20% luas permukaan tubuh:
- ceftriaxzon + aminoglikosida atau
- vancomycin + antipseudomonal penicilin + aminoglikosida
5. Telah diketahui atau dicurigai resisten terhadap gentamisin:
Sebagai aminogiikosida dipakai amikasin
6. Dicurigai infeksi kateter intravena terpasang
Tambahkan vancomycin
Di atas adalah pilihan pemberian pada terapi awal dan hendaknya diubah atas
dasar hasil biakan Sumber: Young (2005)

Pada sepsis, pemakaian antibiotik terdapat pedoman khusus. Antibiotik


segera diberikan saat kecurigaan diagnosis sepsis ditegakkan. Sebelum
diberikan antibiotik, maka perlu diambil biakan lebih dahulu; namun
pemberian antibiotika jangan sampai ditunda hanya karena menunggu
pengambilan kultur. Identifikasi tempat masuk kuman atau site of infection
dapat dipakai sebagai pedoman pemilihan antibiotik. Karena sepsis baik
karena kuman gram-negatif maupun positif sama; maka pilihan pertama bila
sumber tidak diketahui adalah obat yang mempunyai cakupan terhadap
kuman gram-negatif maupun positif. Setelah hasil biakan masuk, maka
pengobatan lebih dapat spesifik.
Pada sepsis obat diberikan dengan cara intravena, dipilih yang
bakterisidal, dosis maksimal agar secepatnya terdapat konsentrasi yang cukup
dalam darah dan jaringan. Kombinasi pada kasus sepsis dipakai bila:
1. Pengobatan awal sampai hasil biakan datang
2. Mengobati patogen yang secara klinis dibuktikan dengan kombinasi
sinergis, misalnya pada ps aeroginosa dan enterococcus
3. Pada pasien imunosupresi; terutama bila ada neutropenia.
PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Keadaan Umum
1) Pasien biasanya dengan penurunan kesadaran
2) Buruknya kontrol suhu : hypothermi, hyperthermi
b. Sistem sirkulasi
Pucat, cyanosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung
abnormal (bradikardi, takikardi, aritmia).
c. Sistem pernapasan
Pernapasan irreguler, apneu/tachipneu, retraksi.

d. Sistem syaraf
1) Kurangnya aktivitas : lethargi, hiporefleksia, koma, sakit kepala,
pusing, pingsan.
2) Peningkatan aktivitas : iritabilitas, tremor, kejang.
3) Gerakan bola mata tidak normal
4) Tonus otot menigkat/berkurang.
e. Sistem Saluran cerna
Anoreksia, diare, adanya darah dalam feses, distensi abdomen.
f. Sistem Hemopoeitik
Jaundice, pucat, ptechie, cyanosis, splenomegali.

g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Kultur (luka, sputum, urine, darah) : mengidentifikasi organisme
penyebab sepsis.
2) SDP : Ht mungkin meningkat pada status hipovolemik karena
hemokonsentrasi, leukositosis, dam trombositopenia.
3) Elektrolit serum : Asidosis, perindahan cairan dan perubahan
fungsi ginjal.
4) Glukosa serum : Hiperglikemia.
5) GDA : Alkalosis respiratory dan hipoksemia.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko tinggi terhadap infeksi (progresi dari sepsis ke syok sepsis).
b. Hyperthermi
c. Penurunan perfusi jaringan kardiopulmonal
d. Resiko tinggi defisit volume cairan.
e. Nyeri akut
f. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3. Intervensi
a. Resiko tinggi terhadap infeksi (progresi dari sepsis ke syok sepsis)
NOC :
1. Immune Status
2. Knowledge : Infection control
3. Risk control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien tidak mengalami infeksi
dengan kriteria hasil:
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
 Jumlah leukosit dalam batas normal
 Menunjukkan perilaku hidup sehat
 Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
NIC :
 Pertahankan teknik aseptif
 Batasi pengunjung bila perlu
 Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
 Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
 Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung
kencing
 Tingkatkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik
 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
 Pertahankan teknik isolasi
 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas,
drainase
 Monitor adanya luka
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
 Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
b. Hyperthermi
NOC: Thermoregulasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama………..pasien
menunjukkan : Suhu tubuh dalam batas normal dengan kreiteria hasil:
 Suhu 36 – 37C
 Nadi dan RR dalam rentang normal
 Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman
NIC :
 Monitor suhu sesering mungkin
 Monitor warna dan suhu kulit
 Monitor tekanan darah, nadi dan RR
 Monitor penurunan tingkat kesadaran
 Monitor WBC, Hb, dan Hct
 Monitor intake dan output
 Berikan anti piretik:
 Kelola Antibiotik
 Selimuti pasien
 Berikan cairan intravena
 Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
 Tingkatkan sirkulasi udara
 Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa)
c. Penurunan perfusi jaringan kardiopulmonal
NOC :
 Cardiac pump Effectiveness
 Circulation status
 Tissue Prefusion : cardiac, periferal
 Vital Sign Status
Setelah dilakukan asuhan keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan
kardiopulmonal teratasi dengan kriteria hasil:
 Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
 CVP dalam batas normal
 Nadi perifer kuat dan simetris
 Tidak ada oedem perifer dan asites
 Denyut jantung, AGD, ejeksi fraksi dalam batas normal
 Bunyi jantung abnormal tidak ada
 Nyeri dada tidak ada
 Kelelahan yang ekstrim tidak ada
 Tidak ada ortostatikhipertensi
NIC :
 Monitor nyeri dada (durasi, intensitas dan faktor-faktor presipitasi)
 Observasi perubahan ECG
 Auskultasi suara jantung dan paru
 Monitor irama dan jumlah denyut jantung
 Monitor angka PT, PTT dan AT
 Monitor elektrolit (potassium dan magnesium)
 Monitor status cairan
 Evaluasi oedem perifer dan denyut nadi
 Monitor peningkatan kelelahan dan kecemasan
 Instruksikan pada pasien untuk tidak mengejan selama BAB
 Jelaskan pembatasan intake kafein, sodium, kolesterol dan lemak
 Kelola pemberian obat-obat: analgesik, anti koagulan, nitrogliserin,
vasodilator dan diuretik.
 Tingkatkan istirahat (batasi pengunjung, kontrol stimulasi lingkungan)

d. Resiko tinggi defisit volume cairan.


NOC:
 Fluid balance
 Hydration
 Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….. defisit volume cairan
teratasi dengan kriteria hasil:
 Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal,
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
 Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
 Orientasi terhadap waktu dan tempat baik
 Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal
 Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal
 pH urin dalam batas normal
 Intake oral dan intravena adekuat
NIC :

 Pertahankan catatan intake dan output yang akurat


 Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
 Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
osmolalitas urin, albumin, total protein )
 Monitor vital sign setiap 15menit – 1 jam
 Kolaborasi pemberian cairan IV
 Monitor status nutrisi
 Berikan cairan oral
 Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50 – 100cc/jam)
 Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
 Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
 Atur kemungkinan tranfusi
 Persiapan untuk tranfusi
 Pasang kateter jika perlu
 Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

e. Nyeri akut
NOC :
 Pain Level,
 Pain control,
 Comfort level
Setelah dilakukan tinfakan keperawatan Pasien dapat mengontrol nyeri,
dengan kriteria hasil:
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal
 Tidak mengalami gangguan tidur
NIC :
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi,
kompres hangat/ dingin
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
 Tingkatkan istirahat
 Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
kali

f. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


NOC :
 Nutritional Status : food and Fluid Intake
 Nutritional Status : nutrient Intake
 Weight control
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Ketidakseimbangan nutrisi lebih
teratasi dengan kriteria hasil:
 Mengerti factor yang meningkatkan berat badan
 Mengidentfifikasi tingkah laku dibawah kontrol klien
 Memodifikasi diet dalam waktu yang lama untuk mengontrol berat badan
 Penurunan berat badan 1-2 pounds/mgg
 Menggunakan energy untuk aktivitas sehari hari

NIC :
Weight Management
 Diskusikan bersama pasien mengenai hubungan antara intake makanan,
latihan, peningkatan BB dan penurunan BB
 Diskusikan bersama pasien mengani kondisi medis yang dapat
mempengaruhi BB
 Diskusikan bersama pasien mengenai kebiasaan, gaya hidup dan faktor
herediter yang dapat mempengaruhi BB
 Diskusikan bersama pasien mengenai risiko yang berhubungan dengan
BB berlebih dan penurunan BB
 Dorong pasien untuk merubah kebiasaan makan
 Perkirakan BB badan ideal pasien
Nutrition Management
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien.
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
 Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
 Berikan substansi gula
 Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah
konstipasi
 Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
 Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
 Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
 Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
 Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

Weight reduction Assistance


 Fasilitasi keinginan pasien untuk menurunkan BB
 Perkirakan bersama pasien mengenai penurunan BB
 Tentukan tujuan penurunan BB
 Beri pujian/reward saat pasien berhasil mencapai tujuan
 Ajarkan pemilihan makanan

Daftar Pustaka

Bernard GR, 2001. The Pathophysiology and treatment of sepsis: A review of


current information, http://www.medscape.com/ Medscape/Respiratoty
Care/Treatment Update/2000/ tu05 /public/tu05.html

Bone RC, 1991. Gram Negative Sepsis, Background, Clinical Features and
Intervention. Chest 100: 802-8.
Bone RC, Balk RA, Cerra FB, Dellinger RP, Fein AM, Knaus WA, Schein RMH,
Sibbald WJ, 1992. The ACCP/SCCM consensus conference. Definition
for sepsis and Organ failure and guidelines for the use of innovative
therapies in Sepsis. Chest 101:1644-55.

Brun-Buisson C, Doyon F, Carlet, 1996. Bacteremia and Severe Sepsis in Adults:


A Multicenter Prospective Survey in ICUs and Ward of 24 Hospitals. Am
J Resp Crit Care Med 154: 617-24.

Frank MO, Mandell GL, 1995. Immunomodulator. Dalam buku: Mandell GL,
Bennet JE, Dolin R (editor). Mandell, Douglas and Bennet's Principles
and Practice of Infectious Disease 4th edition. Churchill Livingstone New
York, p. 450-8.

Hollenberg SM, Parrillo, 1998. Shock. Dalam buku: Fauci AS, Barunwald E,
Isselbacher K, Wilson JD, Martin JP, Rasper DL, Hause SL, Longo DL
(editor). Harrison's Principles of Internal Medicine 14th edition Vol 1
International edition. New York: ..McGraw-Hill Health Profesion Divison.
p.214-22.

Janeway CA, Travers P, Walport M, Capra JD, 1999. Immunobiology The


immune system in health and disease, 4th edition. London: Current Biology
Publication. Isaacs RD, Cornwall J, 1991. Septicaemia in Adult. Medical
Progress 18: 19-26.

Anda mungkin juga menyukai