Anda di halaman 1dari 12

BAB II

PEMBAHASAN

A. Infeksi menular seksual


1. Epidemiologi IMS

Berdasarkan data epidemiologis, dalam semua masyarakat IMS


merupakan penyakit yang paling sering dari semua infeksi. Penularan
IMS terutama melalui hubungan seksual. Menurut WHO (2009), terdapat
±30 jenis mikroba (bakteri, virus, dan parasit) yang dapat ditularkan
melalui hubungan seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah
infeksi gonore, klamidia, sifilis, trikomoniasis, chancroid, herpes
genitalis, infeksi HIV dan hepatitis B. Penyakit ini tersebar di seluruh
dunia, dan angka kejadian paling tinggi tercatat di Asia Selatan dan Asia
Tenggara, diikuti Afrika bagian Sahara, Amerika Latin, dan Karibean.
Sumber lain menyebutkan bahwa IMS merupakan salah satu dari sepuluh
penyebab pertama penyakit yang tidak menyenangkan pada dewasa
muda laki-laki dan penyebab terbesar kedua pada dewasa muda
perempuan di negara berkembang. Dewasa dan remaja dengan rentang
usia antara 15-24 tahun merupakan 25% dari semua populasi yang aktif
secara seksual, tetapi memberikan kontribusi hampir 50% dari semua
kasus IMS baru yang didapat. Diperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru
dari IMS yang dapat disembuhkan (sifilis, gonore, infeksi klamidia, dan
infeksi trikomonas) terjadi setiap tahunnya pada laki-laki dan perempuan
usia 15-49 tahun.

Prevalensi IMS di Amerika menunjukkan bahwa jumlah wanita


yang menderita infeksi klamidial 3 kali lebih tinggi dari laki-laki. Dari
seluruh wanita yang menderita infeksi klamidial, golongan umur yang

1
memberikan kontribusi yang besar ialah umur 15-24 tahun. Mengenai
IMS di Indonesia sendiri, telah banyak laporan yang masuk. Beberapa
diantaranya ada dari sejumlah lokasi antara tahun 1999-2001
menunjukkan prevalensi Gonore dan Klamidia yang tertinggi antara 20-
35%. Jutaan IMS oleh virus juga terjadi setiap tahunnya, diantaranya
ialah HIV, virus Herpes, HPV, dan virus Hepatitis B.

2. Konsep Surveilans IMS

Konsep surveilans IMS tidak jauh berbeda dari konsep surveilans


secara umum dimana dilakukan studi eidemiologi terhadap perjalanan
dinamis suatu penyakit dengan berdasar pada sumber data yang
diperoleh. Berikut secara garis besar konsep dari tahapan surveilans :

a. Prosedur pemeriksaan duh tubuh untuk penderita IMS adalah yang


pertama harus mengisi informed consent yang artinya kebersediaan
subjek untuk diambil sampel duh tubuhnya kemudian diberikan
konseling sebelum dan sesudah tes terhadap subjek dan yang
terpenting harus bersifat rahasia agar subjek merasa nyaman dan
tidak timbul rasa khawatir misalnya tidak di beri nama bisa atau
langsung nama kota atau inisial nama saja.
b. Cara pencatatan kasus surveilans IMS yaitu yang pertama
malakukan pemeriksaan fisik terhadap penderita yang mencurigakan
terkena IMS, kedua yaitu pemeriksaan laboratorium untuk
menguatkan dugaan terhadap penderita, selanjutnya pemeriksaan
laboratorium akan menghasilkan data apakah penderita positif IMS
atau tidak.
c. Pelaporan kasus surveilans IMS yaitu dengan menggunakan formulir
dari laporan penderita positif IMS yang kemudian laporan kasus ini
dikirim secepatnya tanpa menunggu suatu periode waktu dan harus
dilaporkan pada saat menemukan penderita positif IMS bisa

2
melalui fax atau email untuk sementara tetapi kemudian disusul
dengan data secara tertulis.

3. Pedoman Surveilans IMS


Pedoman yang digunakan dalam melakukan surveilans IMS sama
dengan proses surveilans secara umum yang meliputi pengumpulan data
sampai dengan evaluasi.
a. Pengumpulan Data
Data kasus IMS dapat diperoleh melalui laporan hasil
pemeriksaan sampel duh tubuh pasien terduga IMS oleh
laboratorium yang meliputi kode spesimen yaitu : Kabupaten/ Kota,
sub-populasi sasaran, golongan umur, jenis kelamin, bulan dan tahun
pemeriksaan. Laporan Balai Laboratorium Kesehatan ini akan
dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Ditjen PPM & PL-Dit
P2ML minat Subdit AIDS& PMS di Jakarta. Laporan hasil
pemeriksaan dikirim dengan memakai formulir yang sudah
disediakan. Kemudian Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
mengirimkan laporan tersebut dari kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dengan tembusan ke Ditjen PPM & PL minat Subdit AIDS
& IMS langsung setelah menerima hasil laboratorium. Dinas
Kesehatan Provinsi akan memakai Laporan Surveilans IMS tersebut
sebagai data dasar untuk dimasukkan kedalam program komputer
yang menjadi pusat pengolahan data surveilans IMS di provinsi.
b. Kompilasi Data
Semua data yang dikumpulkan dari lapangan (dari masing-
masing sub- populasi sentinel) diolah oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota dan Provinsi, selanjutnya Dinas Kesehatan Provinsi
akan melakukan kompilasi hasil pengumpulan data dari lapangan
dan dari Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi di tingkat Provinsi.

3
Hasil olahan ini akan dikirimkan ke Ditjen PPM& PL - Dit P2ML,
cq Subdit AIDS& IMS untuk dilakukan analisis di tingkat nasional.

c. Analisis Data
Kabupaten/Kota dan Provinsi pengelola program IMS dan
HIV/AIDS melakukan analisis sederhana supaya bisa menunjukkan
tren/kecenderungan prevalensi IMS pada setiap populasi menurut
waktu dan tempat dengan menggunakan grafik-grafik sederhana.
Pada tingkat pusat, data yang terkumpul dari semua daerah akan
disimpan di Subdit AIDS & IMS Ditjen PPM & PL DepKes RI. Data
tersebut akan dianalisis untuk melihat tren/ kecenderungan
prevalensi infeksi IMS berdasarkan orang, waktu dan tempat dalam
bentuk grafik dan ditambahkan penjelasan.
d. Interprestasi Data
Data surveilans IMS harus diinterpretasikan untuk menilai
seberapa cepat peningkatan atau penurunan prevalensi IMS pada
berbagai populasi sasaran di daerah masing-masing.
e. Umpan Balik Data
Direktorat P2ML cq. Subdit AIDS & IMS akan memantau
pelaporan pelaksanaan kegiatan surveilans IMS di seluruh wilayah
yang melaksanakan kegiatan surveilans IMS. Selanjutnya mereka
akan membuat laporan singkat hasil surveilans. Laporan singkat
tersebut akan dikirimkan kepada semua pihak yang terkait baik di
tingkat nasional maupun di tingkat provinsi/kabupaten/kota yang
terkait. Dinas Kesehatan Provinsi juga perlu membuat laporan
singkat yang berasal dari kabupaten/ kota setempat, dan
mengirimkannya kepada semua pihak yang terkait di provinsi
tersebut.
f. Monitoring

4
Monitoring merupakan pengawasan rutin terhadap informasi
penting dari kegiatan surveilans sentinel yang sedang dilaksanakan
dan hasil-hasil program yang harus dicapai. Pada pelaksanaan
surveilans sentinel, monitoring dilakukan pada prosesnya melalui
sistem pencatatan dan pelaporan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh
petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, BLK dan Subdit AIDS& IMS sesuai dengan protap.
g. Evaluasi
Evaluasi kegiatan surveilans sentinel dilakukan pada tahap
input, proses pelaksanaan dan output.
1) Pada evaluasi input pemegang program IMS dari semua tingkat
admisnistratif perlu mengevaluasi berbagai kebutuhan. Petugas
tersebut perlu melaksanakan kerangka sampel yang benar dan
pelaksanaan pemetaan lokasi sentinel. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah jumlah petugas kesehatan yang bermutu,
materi dan peralatan serta biaya yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan lapangan. Selain itu perlu diantisipasi masalah-
masalah yang mungkin timbul dalam pelaksanaan di lapangan.
2) Evaluasi proses pelaksanaan perlu dilakukan untuk mengetahui
efektifitas pelaksanaan kegiatan. Pada tahap ini evaluasi
dilakukan terhadap “siapa melakukan apa dan bagaimana
caranya”. Evaluasi ini dilakukan untuk semua petugas yang
dilibatkan, seperti misalnya petugas pencatatan dan pelaporan,
petugas laboratorium. Misalnya apakah petugas pengambil
spesimen darah telah menggunakan prosedur yang benar dan
telah melakukan pengkodean pada setiap sampel.
3) Evaluasi output mencerminkan evaluasi terhadap kegunaan
data, kualitas data dan cakupan surveilans sentinel. Evaluasi
terhadap kegunaan hasil surveilans dilakukan oleh setiap tingkat
administrasi. Evaluasi ini dilakukan dengan mengintrepretasikan
tren/kecenderungan prevelansi IMS pada populasi yang diamati.

5
Sedangkan evaluasi terhadap kualitas surveilans sentinel ini
dilakukan untuk mengetahui seberapa valid data yang dihasilkan
kegiatan sentinel tersebut. Evaluasi tahap ini lebih dititik
beratkan pada proses pelaksanaan kegiatan. Evaluasi terhadap
cakupan surveilans ini meliputi hal-hal yang menghambat
pelaksanaan sentinel seperti jarak antara petugas kesehatan dan
sentinel site, jadwal pelaksanaan, biaya pelaksanaan dan sosial
budaya setempat.
4. Indikator Surveilans IMS
Indikator yang digunakan dalam proses surveilans IMS yaitu
meliputi indikator proses dan output.
a. Indikator proses yaitu semua kegiatan yang tercantum daalam protap
harus dimasukkan ke dalam daftar tilik ketika dilakukan pengawasan
b. Indikator output yaitu meliputi pencapaian populasi sesuai rencana,
ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan dan ketepatan waktu
pelaporan hasil kegiatan tersebut.
5. Prosedur dan Ketentuan Surveilans IMS
Prosedur pelaksaan surveilans IMS sudah memiliki ketentuan
sebagai berikut.
a. Menentukan populasi sesuai dengan sasaran dan lokasi tertentu
b. Menentukan jumlah sampel yang akan diperiksa
c. Tes dilakukan tanpa nama untuk mengurangi bias partisipasi
sehingga hasilnya berupa jumlah yang positif, bukan siapa yang
positif
d. Surveilans dilakukan pada beberapa lokasi yang telah ditentukan dan
dapat dikembangkan sesuai kebutuhan
e. Surveilans tidak dapat dan tidak boleh digunakan untuk mencari
kasus IMS
f. Surveilans harus menjamin kerahasiaan identitas sampel dengan
tidak mencantumkan identitas pada spesimen yang diambil untuk
pemeriksaan.

6
6. Kelemahan Sistem Surveilans IMS
Kelemahan yang ditemukan dalam sistem surveilans IMS meliputi
hal-hal sebagai berikut.

a. Tenaga profesional serta sarana dan prasarana yang belum memadai


untuk pelaksanaan kegiatan surveilans epidemiologi IMS.
b. Kesalahan pada sumber daya manusia yang ada seperti
kader/petugas surveilans belum memasukkan data tepat waktu,
ketepatan pelaporan masih kurang, data sudah diolah tapi tidak
dianalisis, petugas Puskesmas mengalami hambatan menyebarkan
informasi dalam pencegahan dan penanggulangan IMS.
c. Penyajian hanya dibuat dalam bentuk table dan grafik.
d. Penyebaran informasi hanya dalam bentuk laporan tahunan dan
penyuluhan, belum pernah dibuat buletin epidemiologi.
e. Pelaksanaan atribut sistem belum sederhana.
f. Fleksibilitas, sensitivitas, nilai prediktif positif dan kerepresentatifan
belum diukur.
g. Kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dalam
program pencegahan penyakit IMS.
h. Jumlah kasus yang dilaporkan semu (fenomena gunung es), lebih
banyak yang ditutupi atau tertutupi karena stigma yang timbul di
masyarakat terhadap penderita IMS.
7. Kelebihan Sistem Surveilans IMS
Kelebihan yang sudah dimiliki sistem surveilans IMS yaitu sebagai
berikut.
a. Sudah memantau prevalensi IMS pada suatu subpopulasi tertentu.
b. Sudah memantau tren/kecenderungan infeksi IMS berdasarkan
waktu dan tempat.
c. Sudah memantau dampak program, menyediakan data untuk
estimasi dan proyeksi kasus IMS di Indonesia, menggunakan data
prevalensi untuk advokasi, menyelaraskan program pencegahan
dengan perencanaan pelayanan kesehatan.

7
d. Telah mendapat dukungan dari pemerintah baik dalam kebijakan
maupun komitmen politik, bentuk penerimaan sosial, maupun bentuk
dukungan sistem.
e. Para petugas surveilans IMS sudah mendapatkan pelatihan dalam
melakukan kegiatan survailens tersebut baik petugas provinsi,
kabupaten/kota, laboratorium,dan supervisi.
f. Syarat populasi survailens sudah ditentukan meliputi : dapat
diidentifikasi, dapat dijangkau untuk survei, terjaminnya
kesinambungan survei pada populasi tersebut, jumlah anggota
populasi tersebut cukup memadai.
g. Standarisasi waktu pengumpulan data sudah ditetapkan tergantung
dari kebutuhan.
h. Manajemen data dilakukan pada setiap tingkat administratif
kesehatan untuk advokasi dan perencanaan program selanjutnya
dimana prosesnya menggunakan software yang telah disiapkan untuk
mempermudah tugas pencatatan dan pelaporan, maupun analisis,
interpretasi, dan data tersebut digunakan untuk menentukan
intervensi selanjutnya.
i. Indikator dalam kegiatan survailens IMS sudah ditentukan yaitu
berupa indikator proses dan indikator output.
j. Hasil survailens IMS akan dievaluasi ulang oleh pihak terkait dan
apabila sudah memenuhi standar maka akan disebarluaskan ke
publik.
a.
b. ng kemudian laporan kasus ini dikirim secepatnya tanpa menunggu
suatu periode waktu dan harus dilaporkan pada saat menemukan
penderita positif HIV-AIDS bisa melalui fax atau email untuk
sementara tetapi kemudian disusul dengan data secara tertulis.
1. Pedoman Surveilans HIV-AIDS

8
Pedoman yang digunakan dalam melakukan surveilans HIV-AIDS
sama dengan proses surveilans secara umum yang meliputi pengumpulan
data sampai dengan evaluasi.
a. Pengumpulan Data
Data kasus HIV-AIDS dapat diperoleh melalui laporan hasil
pemeriksaan sampel darah pasien terduga HIV-AIDS oleh
laboratorium yang meliputi kode spesimen yaitu : Kabupaten/ Kota,
sub-populasi sasaran, golongan umur, jenis kelamin, bulan dan tahun
pemeriksaan. Laporan Balai Laboratorium Kesehatan ini akan
dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan
tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Ditjen PPM & PL-Dit
P2ML minat Subdit AIDS& IMS di Jakarta. Laporan hasil
pemeriksaan dikirim dengan memakai formulir yang sudah
disediakan. Kemudian Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
mengirimkan laporan tersebut dari kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dengan tembusan ke Ditjen PPM & PL minat Subdit AIDS
& IMS langsung setelah menerima hasil laboratorium. Dinas
Kesehatan Provinsi akan memakai Laporan Surveilans HIV-AIDS
tersebut sebagai data dasar untuk dimasukkan kedalam program
komputer yang menjadi pusat pengolahan data surveilans HIV-AIDS
di provinsi.
b. Kompilasi Data
Semua data yang dikumpulkan dari lapangan (dari masing-
masing sub- populasi sentinel) diolah oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota dan Provinsi, selanjutnya Dinas Kesehatan Provinsi
akan melakukan kompilasi hasil pengumpulan data dari lapangan
dan dari Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi di tingkat Provinsi.
Hasil olahan ini akan dikirimkan ke Ditjen PPM& PL - Dit P2ML,
cq Subdit AIDS& IMS untuk dilakukan analisis di tingkat nasional.
c. Analisis Data

9
Kabupaten/Kota dan Provinsi pengelola program IMS dan
HIV-AIDS melakukan analisis sederhana supaya bisa menunjukkan
tren/kecenderungan prevalensi HIV-AIDS pada setiap populasi
menurut waktu dan tempat dengan menggunakan grafik-grafik
sederhana. Pada tingkat pusat, data yang terkumpul dari semua
daerah akan disimpan di Subdit AIDS & IMS Ditjen PPM & PL
DepKes RI. Data tersebut akan dianalisis untuk melihat tren/
kecenderungan prevalensi infeksi HIV-AIDS berdasarkan orang,
waktu dan tempat dalam bentuk grafik dan ditambahkan penjelasan.
d. Interprestasi Data
Data surveilans HIV-AIDS harus diinterpretasikan untuk
menilai seberapa cepat peningkatan atau penurunan prevalensi HIV-
AIDS pada berbagai populasi sasaran di daerah masing-masing.
e. Umpan Balik Data
Direktorat P2ML cq. Subdit AIDS & IMS akan memantau
pelaporan pelaksanaan kegiatan surveilans HIV-AIDS di seluruh
wilayah yang melaksanakan kegiatan surveilans HIV-AIDS.
Selanjutnya mereka akan membuat laporan singkat hasil surveilans.
Laporan singkat tersebut akan dikirimkan kepada semua pihak yang
terkait baik di tingkat nasional maupun di tingkat
provinsi/kabupaten/kota yang terkait. Dinas Kesehatan Provinsi juga
perlu membuat laporan singkat yang berasal dari kabupaten/ kota
setempat, dan mengirimkannya kepada semua pihak yang terkait di
provinsi tersebut.
f. Monitoring
Monitoring merupakan pengawasan rutin terhadap informasi
penting dari kegiatan surveilans sentinel yang sedang dilaksanakan
dan hasil-hasil program yang harus dicapai. Pada pelaksanaan
surveilans sentinel, monitoring dilakukan pada prosesnya melalui
sistem pencatatan dan pelaporan. Kegiatan ini dilaksanakan oleh

10
petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan
Provinsi, BLK dan Subdit AIDS& IMS sesuai dengan protap.
g. Evaluasi
Evaluasi kegiatan surveilans sentinel dilakukan pada tahap
input, proses pelaksanaan dan output.
1) Pada evaluasi input pemegang program HIV-AIDS dari semua
tingkat admisnistratif perlu mengevaluasi berbagai kebutuhan.
Petugas tersebut perlu melaksanakan kerangka sampel yang
benar dan pelaksanaan pemetaan lokasi sentinel. Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah jumlah petugas kesehatan yang
bermutu, materi dan peralatan serta biaya yang dibutuhkan
dalam pelaksanaan lapangan. Selain itu perlu diantisipasi
masalah-masalah yang mungkin timbul dalam pelaksanaan di
lapangan.
2) Evaluasi proses pelaksanaan perlu dilakukan untuk mengetahui
efektifitas pelaksanaan kegiatan. Pada tahap ini evaluasi
dilakukan terhadap “siapa melakukan apa dan bagaimana
caranya”. Evaluasi ini dilakukan untuk semua petugas yang
dilibatkan, seperti misalnya petugas pencatatan dan pelaporan,
petugas laboratorium. Misalnya apakah petugas pengambil
spesimen darah telah menggunakan prosedur yang benar dan
telah melakukan pengkodean pada setiap sampel.
3) Evaluasi output mencerminkan evaluasi terhadap kegunaan
data, kualitas data dan cakupan surveilans sentinel. Evaluasi
terhadap kegunaan hasil surveilans dilakukan oleh setiap tingkat
administrasi. Evaluasi ini dilakukan dengan mengintrepretasikan
tren/kecenderungan prevelansi HIV-AIDS pada populasi yang
diamati. Sedangkan evaluasi terhadap kualitas surveilans
sentinel ini dilakukan untuk mengetahui seberapa valid data
yang dihasilkan kegiatan sentinel tersebut. Evaluasi tahap ini
lebih dititik beratkan pada proses pelaksanaan kegiatan.

11
Evaluasi terhadap cakupan surveilans ini meliputi hal-hal yang
menghambat pelaksanaan sentinel seperti jarak antara petugas
kesehatan dan sentinel site, jadwal pelaksanaan, biaya
pelaksanaan dan sosial budaya setempat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hakim,Lukman. 2011. Epidemiologi Infeksi Menular Seksual. dari Infeksi
Menular Seksual. Ed. 4. Sjaiful Fahmi Daili dkk. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI

12

Anda mungkin juga menyukai