Anda di halaman 1dari 3

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pemilihan Umum atau yang lebih akrab ditelinga masyakarat dengan sebutan “Pemilu”
merupakan layaknya sebuah ajang pesta demokrasi milik dan oleh masyarakat Indonesia, dan
negara kita sebagai negara hukum yang menghendaki kehadiran demokrasi tersebut juga
membutuhkan kehadiran Pemilu, dimana salah satu tujuan pemilu menurut Dr. Muhammad
Labolo dipercaya sebagai suatu cara untuk mengangkat eksistensi rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dalam suatu negara. Organisasi Inter-Parliamentary Union melalui
Universal Declaration on Democracy yang diadopsi pada 16 September 1997 di Kairo
bahkan menegaskan bahwa elemen kunci untuk menjalankan demokrasi adalah dengan
cara menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan adil secara berkala. Jauh lebih
awal, International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada 1965
menyatakan bahwa Pemilu merupakan cara yang demokratis untuk membentuk dan
mentrasfer kekuasaan dari rakyat kepada otoritas negara.

Sosok Pemilu itu sendiri seharusnya bersifat aman dan nyaman untuk masyarakat
luas, namun pada kenyataannya hampir dalam tiap pelaksanaan pemilu di seluruh daerah
selalu terjadi permasalahan dan pelanggaran, baik yang bersifat pelanggaran pidana,
administrasi maupun kode etik, bahkan jika kita mengambil contoh dari pesta demokrasi DKI
Jakarta Tahun 2017 saja terdapat 308 temuan dan laporan mengenai adanya pelanggaran, dan
tentunya di Pemilukada (Pemilihan umum kepala daerah) di daerah lain juga ditemui hal yang
sama, oleh sebab itu tepat rasanya jika pemilu di Indonesia masih belum bersifat nyaman dan
berkeadilan baik bagi masyarakat maupun pesertanya. Jika melihat kondisi saat menjelang
maupun sesudah pemilu, adanya ungkapan dari Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf yang memiliki
makna bahwa “Pemilu itu tidak memberikan keuntungan apapun, apalagi menyejahterakan
rakyat melainkan berisi konflik horizontal yang amat memilukan” benar adanya, di dalam
kenyataan tersebut mulai muncul berbagai anggapan bahwa perlunya suatu perubahan dan
perbaikan mengenai Pemilu di negara Indonesia, salah satu yang menjadi kendala hingga saat
ini adalah sengketa hasil Pemilukada yang hampir selalu bermasalah itu tersebut tidak
diimbangi dengan lembaga peradilan yang dapat secera efektif menyelesaikan segala
permasalahan, dikarenakan lembaga peradilan yang ditugaskan dalam undang-undang untuk
menyelesaikan persoalan Pemilu adalah lembaga peradilan biasa bukan lembaga peradilan
khusus. Sehingga penyelesaian pelanggaran dapat berlarut-larut dan kepastian hukum tidak
terjamin. Pada akhirnya pun keinginan perubahan dan perbaikan pada sistem Pemilu-pun
sedikit demi sedikit mulai terjawab, dikarenakan pada pembahasan perubahan UU Pemilu
No. 8 tahun 2015 tentang perubahan atas UU No. 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan
pemerintah pengganti UU No.1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2015, dimana pada pasal 157
ayat (1) menyatakan,

“Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan, peserta
Pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan
perolehan suara oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota kepada Pengadilan
Tinggi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung.”

Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 ini kemudian diubah lagi oleh Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 dimana pasal 157 Ayat (3) dinyatakan,

(3) Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan diperiksa dan
diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus

Sebetulnya permasalahan ini tidak dipicu dikarenakan perubahan UU itu semata,


melainkan adanya “lempar kewenangan” dari Mahkamah Agung kepada Mahkamah
Konstitusi, Menurut pasal 106 UU ini penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum
diselesaikan di Mahkamah Agung, kemudian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diubah
dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, dimana salah satu perubahannya
mempengaruhi lembaga yang berwenang memutus sengketa hasil pemilihan umum
kepala daerah, yaitu pada Pasal 236 C yang menyatakan,

“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling
lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk menangani sengketa hasil Pemilukada juga diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf e UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU
48/2009”) yang berbunyi,

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”

Kemudian, di dalam penjelasan Pasal 29 ayat (1) huruf e UU 48/2009 disebutkan bahwa,

“dalam ketentuan ini termasuk kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil
pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal ini sesuai pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi No. 25 /PHPU.D-VI/2008 yang
memasukan Pemilukada dalam rezim pemilu, sehingga konsekuensi logisnya sengketa hasil
Pemilukada menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi

Anda mungkin juga menyukai