Anda di halaman 1dari 24

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Diabetes Mellitus

Penyakit Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu penyakit kronik

(menahun) yang disebabkan oleh berkurangnya produksi insulin baik kekurangan

ini absolut maupun relatif (Haznam, 1991). Menurut WHO, DM adalah penyakit

kronis yang terjadi baik ketika pankreas tidak menghasilkan insulin yang cukup

atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan

(WHO, 2008).

Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) ,

DM merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan

oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi

insulin yang dilatarbelakangi oleh kerusakan sel beta pankreas dan resistensi

insulin (Soegondo, dkk, 2009).

Hormon insulin mengendalikan kadar gula darah tubuh. Bila keadaan

tubuh kekurangan insulin atau jumlah cukup tetapi tidak efektif akan

menyebabkan hiperglikemia. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa

puasa yang lebih tinggi dari 110 mg/dL. Kadar glukosa serum puasa normal

adalah 70 sampai 110 mg/dL. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus dan hampir

semuanya difiltrasi oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak

melebihi 160-180 mg/dL ( Price dan Lorraine, 2006).

Seseorang dapat dikatakan DM bila didiagnosis dengan kriteria diagnostik

DM dan gangguan toleransi glukosa yaitu kadar glukosa darah sewaktu (plasma

Universitas Sumatera Utara


vena) ≥ 200 mg/dl, kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, kadar

glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada Test

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) (PERKENI, 2011).

2.2 Sejarah Diabetes Mellitus

Diabetes sudah dikenal sejak berabad-abad sebelum masehi. Pada Papyrus

Ebers di Mesir kurang lebih 1500 SM, digambarkan adanya penyakit dengan

tanda-tanda banyak kencing.Kemudian Celsus atau Paracelsus kira-kira pada

30SM juga menemukan penyakit tersebut. Pada 200 tahun kemudian, Artaeus

menamai penyakit itu Diabetes dari kata Diabere yang berarti siphon atau tabung

untuk mengalirkan cairan dari suatu tempat ke tempat lain (Suyono,dkk, 2007).

Cendekiawan India dan Cina pada abad ke 3 sampai dengan 6 masehi juga

menemukan penyakit ini dan mengatakan bahwa urin pasien-pasien rasanya

manis. Pada tahun 1674 Willis melukiskan urin tersebut seperti digelimangi madu

dan gula. Sejak saat itu nama penyakit ditambah dengan kata Mellitus yang berarti

madu (Suyono, dkk, 2007).

Ibnu Sina pertama kali melukiskan ganggren diabetik pada tahun 1000.

Pada tahun 1889 Von Mehring dan Minowski mendapatkan gejala diabetes pada

anjing yang diambil pankreasnya. Kemudian pada abad ke-20, tepatnya tahun

1921 seorang ahli bedah Frederick Grant Banting dan Charles Herbert Best

asistennya menemukan insulin. Pada tahun 1954-1956 ditemukan tablet jenis

sulfonilurea yang dapat meningkatkan kadar insulin. Tahun 1969 ditemukan jenis

sulfonilurea generasi kedua yaitu Glibenklamid (Suyono, dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.3 Epidemiologi Diabetes Mellitus

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi

a. Menurut Orang

DM cenderung diderita oleh penduduk usia 45-65 tahun pada negara

berkembang sedangkan pada negara maju penderita DM cenderung pada usia

diatas 64 tahun (Wild, dkk, 2004). Pada umur 40 sampai 70 tahun diabetes lebih

banyak pada wanita, tetapi pada umur yang lebih muda frekuensi diabetes lebih

banyak pada pria (Haznam, 1991).

Penderita DM tipe I biasanya penduduk berusia <40 tahun dan penderita

DM tipe II adalah penduduk berusia ≥40 tahun. Menurut penelitian Lina (2011) di

RS Herna Medan tahun 2009-2010 proporsi tertinggi penderita DM dengan

komplikasi berdasarkan jenis kelamin yaitu perempuan 59,7% sedangkan proporsi

terendah pada laki-laki 40,3% (Tarigan, 2011).

Berdasarkan penelitian Merlyn (2012) di Rumah Sakit Vita Insani

Pematangsiantar tahun 2011 proporsi penderita DM dengan komplikasi

berdasarkan kelompok umur tertinggi adalah pada kelompok umur 51-60 tahun

33,3% sedangkan proporsi terendah pada kelompok umur ≤ 40 tahun 5,7%.

Proporsi penderita DM dengan komplikasi berdasarkan jenis kelamin tertinggi

yaitu perempuan 65,0% sedangkan proporsi terendah pada laki-laki 35,0%

(Sinaga, 2012).

b. Menurut Tempat

Terdapat perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah

rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes.

Universitas Sumatera Utara


Sebuah penelitian dilakukan di Jakarta tahun 1993 di daerah urban di kelurahan

kayu putih adalah 5,6%, sedangkan didaerah rural di suatu daerah di Jawa Barat

tahun 1995 adalah 1,1 % (Suyono, dkk, 2009).Berdasarkan laporan hasil

Riskesdas tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan menunjukkan prevalensi DM

di daerah urban Indonesia untuk usia di atas 15 tahun yaitu 5,7% (PERKENI,

2011).

Perbedaan prevalensi DM di perkotaan dengan di pedesaan menunjukkan

bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM. Menurut laporan PERKENI

tahun 2005 dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia, menunjukkan

bahwa angka prevalensi DM terbanyak terdapat di kota-kota besar, antara lain

Jakarta (12,8%), Surabaya (1,8%), Makassar (12,5%), dan Manado (6,7%).

Sedangkan prevalensi DM terendah terdapat di daerah pedesaan, antara lain

Tasikmalaya (1,8%) dan Tanah Toraja (0,9%) (Soegondo,dkk, 2009).

c. Menurut Waktu

Insidensi dan prevalensi penyakit diabetes tidak pernah berhenti mengalir

dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah penderita diabetes di dunia

yang tercatat pada tahun 1990 mencapai angka 80 juta, dan mengalami

peningkatan tajam empat tahun kemudian mencapai angka 110,4 juta. Pada tahun

2010 jumlah penderita mencapai angka 239,3 juta (Arisman, 2011).

Peningkatan prevalensi DM dari waktu ke waktu lebih banyak disebabkan

oleh faktor genetik, life style dan faktor lingkungan.Pada tahun 2011 penderita

DM mencapai angka 346 juta dan lebih dari 80% terdapat di negara berkembang.

Universitas Sumatera Utara


(WHO, 2011). Penderita DM mengalami peningkatan tahun 2014 yaitu 387 juta

atau 8,3% (IDF, 2014).

2.3.2. Faktor Resiko


a. Genetika
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap

diabetes. Ini terjadi karena DNA pada orang diabetes mellitus akan ikut

diinformasikan pada gen berikutnya terkait dengan penurunan produksi insulin

(Riyadi dan Sukarmin, 2008).Sekitar 40% penderita diabetes terlahir dari keluarga

yang juga mengidap penyakit diabetes (Arisman, 2011).

Diabetes tipe 2 lebih terkait dengan faktor riwayat keluarga bila

dibandingkan tipe 1. Anak dengan ayah penderita DM tipe 1 memiliki

kemungkinan terkena diabetes 1:17. Namun bila kedua orang tua menderita DM

tipe 1 maka kemungkinan menderita DM adalah 1:4-10. Pada DM tipe 2, seorang

anak memiliki kemungkinan 1:7 untuk menderita DM bila salah satu orang tuanya

menderita DM pada usia kurang dari lima puluh tahun dan 1:13 bila salah satu

orang tuanya menderita DM pada usia lebih dari lima puluh tahun. Namun bila

kedua orang tuanya menderita DM tipe 2, maka kemungkinan menderita DM

adalah 1: 2 (ADA, 2008).

b. Usia

Pada DM tipe I terjadi akibat kerusakan sel-sel beta Langerhans. Sehingga

DM tipe I banyak ditemukan pada anak atau usia muda. Sebaliknya pada DM tipe

II, lebih banyak pada usia setelah 40 tahun diakibatkan terjadinya penurunan

fisiologis yang secara dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun.

Penurunan ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk

Universitas Sumatera Utara


memproduksi insulin. Resiko menderita penyakit DM bertambah sejalan dengan

usia seseorang (Arisman, 2011).

c. Pola makan dan Obesitas/ Kegemukan

Pola makan di kota-kota besar telah bergeser dari pola makan tradisional

yang mengandung banyak kerbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan

beresiko dengan komposisi makanan yang terlalu banyak mengandung protein,

lemak, gula, garam, dan mengandung sedikit serat.Komposisi makanan seperti ini

terutama terdapat pada makanan siap saji yang akhir-akhir ini sangat digemari

oleh anak-anak muda (Suyono, dkk, 2010).

Kelebihan mengonsumsi lemak akan disimpan di tubuh dalam bentuk

jaringan lemak dan mempengaruhi berat badan bahkan mencapai obesitas.

Kondisi ini akan membutuhkan jumlah hormon insulin yang banyak untuk

mengelolanya. Obesitas meningkatkan gangguan kerja atau resistensi insulin

(Waspadji, dkk, 2007).

d. Kurangnya aktivitas fisik

Olahraga sangat berperan pada kontrol gula darah.Pada saat tubuh

melakukan aktifitas fisik maka sejumlah glukosa akan diubah menjadi energi

sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang dan kebutuhan insulin juga akan

berkurang. Pada orang yang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke

dalam tubuh tidak dibakar tetapi ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula.

Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi maka akan

timbul DM (Lanywati, 2001).

Universitas Sumatera Utara


e. Infeksi

Beberapa orang ahli diabetes percaya bahwa DM mempunyai beberapa

sebab. Penyebab lain yang dicurigai adalah berbagai jenis virus. Virus yang dapat

memicu DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus.Melalui

mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta pankreas, virus ini menyebabkan

kerusakan atau destruksi sel. Virus ini dapat juga menyerang melalui reaksi

autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta

pankreas.Pada kasus DM tipe 1 yang sering dijumpai pada anak-anak, seringkali

didahului dengan infeksi flu atau batuk pilek yang berulang-ulang, yang

disebabkan oleh virus mumps dan coxsackievirus.DM akibat bakteri masih belum

bisa dideteksi. Namun para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan

menyebabkan DM (Johnson, 1998).

2.4 Patofisologi Diabetes Mellitus

Pada proses pencernaan, pengolahan bahan makanan dimulai di mulut

kemudian ke lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan

makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi

glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak.Didalam

tubuh, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme, dan

hasil akhirnya timbulnya energi. Insulin bertugas memasukkan glukosa ke dalam

sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar (Suyono,dkk, 2007).

Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar

glukosa memasuki ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan

glukosa untuk digunakan sebagai sumber energi meskipun adanya glukosa di

Universitas Sumatera Utara


dalam aliran darah. Akhirnya, glukosa yang lebih ini atau glukosa yang tidak

digunakan ini akan diekskresikan dalam urin (Suyono,dkk, 2007).

Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam

mengatur tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan

meningkat, untuk mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya

melepaskan lebih banyak insulin ke dalam aliran darah untuk membantu glukosa

memasuki sel-sel dan menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Ketika

kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin dari pankreas dihentikan

(Suyono, dkk, 2007).

Dalam DM tipe I, pankreas mengalami serangan autoimmune oleh tubuh

sendiri, dan menyebabkan sel-sel pankreas tidak bisa menghasilkan

insulin.Antibodi abnormal telah ditemukan di sebagian besar pasien dengan DM

tipe I. Pada pasien DM Tipe I, sel-sel beta pankreas yang bertanggung jawab

untuk produksi insulin diserang oleh sistem kekebalan tubuh.Hal ini diyakini

bahwa warisan genetik mungkin suatu faktor risiko berkembangnya antibiotik

yang abnormal.Selain itu, paparan terhadap infeksi virus tertentu atau racun-racun

lingkungan hidup lainnya bisa memicu respons antibodi abnormal yang

merusakan sel-sel pankreas (Suyono, dkk, 2007).

Dalam DM tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak dapat

menggunakannya secara adekuat, terutama pada pasien yang mengalami resistensi

insulin (Suyono,dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus

2.5.1 Diabetes Mellitus Tipe 1/ IDDM (Insulin Dependent DM)

Diabetes Mellitus tipe 1 disebut insulin-dependent DMkarena pasien

sangat bergantung terhadap insulin dan hanya dapat diobati dengan

menggunakaninsulin. Penderita memerlukan suntikan setiap hari untuk

mencukupi kebutuhan insulin dalam tubuh (Johnson,1998).DM tipe 1 dahulu

disebut juga diabetes onset-anakkarena banyak terjadi pada usia muda dan

diabetes rentan-ketosis karena DM tipe ini sering menimbulkan

ketoasidosis(Arisman, 2011).

Diabetes Mellitus tipe 1 diakibatkan terjadinya kerusakan sistem imunitas

(kekebalan tubuh) yang kemudian merusak sel-sel langerhans di

pankreas.Kelainan ini berdampak pada penurunan produksi insulin (Sujono dan

Sukarmin, 2008).Gejala penyakit ini biasanya muncul secara mendadak, berat,

dan perjalanannya secara progresif.Jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi

ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosis ditegakkan, pasien biasanya memiliki

berat badan yang rendah, dan kadar gula darah puasa >140 mg/dL (Arisman,

2011).

Di Indonesia, penderita DM tipe 1 secara pasti belum diketahui tetapi

diakui kasusnya memang sangat jarang. Mungkin ini disebabkan karena sebagian

tidak terdiagnosis atau tidak diketahui sampai pasien mengalami komplikasi atau

mengalami kematian (Suyono, 2007).

2.5.1 Diabetes Mellitus Tipe 2/NIDDM (Non Insulin Dependent DM)

Universitas Sumatera Utara


Istilah Non Insulin Dependent DM sebenarnya kurang tepat karena

banyak individu yang mengidap DM tipe 2 dapat ditangani dengan insulin. DM

jenis ini disebut juga diabetes onset-matur/onset-dewasa karena banyak terjadi

pada usia tua atau 40 tahun dan diabetes resistan-ketosis karena DM tipe ini

cenderung tidak berkembang ke arah ketosis. DM tipe 2 merupakan penyakit

familier yang mewakili kurang lebih 85% kasus DM di negara maju dengan

prevalensi sangat tinggi pada masyarakat gaya hidup tradisional menjadi modern.

Gejala DM tipe 2 muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan dan belum

menampakkan gejala selama bertahun-tahun.Progresifitas gejala berjalan lambat

(Arisman, 2011).

Sekitar 80% pasien DM tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas

berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan

toleransi glukosa yang menyebabkan DM tipe 2 (Price dan Lorraine, 2006).Pasien

biasanya tidak perlu tambahan suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi

memerlukan obat yang bekerja untuk memperbaiki fungsi insulin dan menurunkan

kadar gula darah (Tjokoprawiro, 1991).

2.6 Gambaran Klinis Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus dapat timbul secara perlahan sehingga penderita tidak

menyadari akan adanya perubahan. Gejala klinis yang khas penyakit DM seperti

poliuria (peningkatan pengeluaran urine), polidipsia (peningkatan rasa haus), dan

polifagia (peningkatan rasa lapar) merupakan petunjuk penting dalam

mendiagnosis DM dan disebut sebagai Trias P (3P) (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Poliuria (peningkatan pengeluaran urine) merupakan gejala yang paling

utama yang dirasakan oleh setiap pasien.Polidipsia (peningkatan rasa haus)

diakibatkan peningkatan pengeluaran urin sehingga menyebabkan dehidrasi

ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air intrasel akan

berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradient konsentrasi ke plasma yang

hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH

(antideuretic hormone) dan menimbulkan rasa haus.Polifagia (peningkatan rasa

lapar) diakibatkan habisnya cadangan gula didalam tubuh meskipun kadar gula

darah tinggi (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

Keluhan yang dialami juga oleh penderita DM seperti rasa lelah dan

kelemahan otot akibat gangguan aliran darah pada pasien diabetes, kelainan kulit

berupa gatal-gatal, biasanya terjadi di daerah lipatan kulit seperti diketiak dan di

bawah payudara, kesemutan rasa baal akibat terjadinya neuropati. Pada penderita

DM regenerasi sel persarafan mengalami gangguan akibat kekurangan bahan

dasar utama yang berasal dari protein (Riyadi dan Sukarmin, 2008).

2.7 Diagnosis Diabetes Mellitus

Diagnosis DMharus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.

Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang

diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang

dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan

darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah

dilakukan di laboratorium klinik (Gustaviani, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Uji diagnotik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda

DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka

yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik

akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya

positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Gustaviani, 2009).

Diagnosis klinis DM umumnya bila ada keluhan khas DM berupa poliuria,

polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya.Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,

kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvea

pada pasien wanita (Gustaviani, 2009).Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui

tiga cara:

a. Jika keluhan klasik ditemukan ( poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200

mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu

hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

b. Pemeriksaan glukosa plasma puasakeluhan klasik. Puasa diartikan pasien

tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

c. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada

TTGO200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar

WHO,menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa

anhidrus yangdilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75g

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa

Universitas Sumatera Utara


plasma puasa, namunpemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.

TTGO sulit untuk dilakukanberulang-ulang dan dalam praktek sangat

jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus (PERKENI,

2011).

Pemeriksaan HbA1C dapat juga dijadikan sebagai salah satu kriteria

diagnosis DM. Pemeriksaan ini sangat penting untuk mengevaluasi pengendalian

gula darah. Ketika kadar gula darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi)

maka kadar gula darah akan berikatan dengan hemoglobin. Oleh karena itu, rata-

rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar

HbA1C(PERKENI,2011).Kadar HbA1C didalam darah menggambarkan kadar

gula darah rata-rata selama 3 bulan. Kadar normal HbA1C <7% (Soegondo, dkk,

2009).

Pemeriksaan HbA1C dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada

pasien DM. Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap

awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap

keberhasilan pengendalian (Kee JL, 2003).

2.8 Komplikasi Diabetes Mellitus

2.8.1 Komplikasi Akut

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinik gangguan syaraf yang

disebabkan oleh penurunan gula darah (Ranakusuma,1992).Kekurangan glukosa

sama dengan kekurangan oksigen akan menimbulkan gangguan fungsi otak,

kerusakan jaringan atau mungkin kematian apabila kekurangan tersebut

Universitas Sumatera Utara


berkepanjangan (Waspadji, dkk, 2007).Bila terdapat penurunan kesadaran pada

penderita DM kemungkinan terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia ditandai dengan

menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL (PERKENI, 2011).

Gejala dan tanda hipoglikemia adalah gejala otonom yang diperantarai

neurotransmitter susunan saraf otonom seperti cemas, gemetaran, berkeringat,

jantung berdebar-debar dan lapar. Sedangkan gejala lain adalah gejala

neuroglikopeni berupa gangguan berpikir, lemas, kesadaran menurun, mata kabur

dan sulit berkonsentrasi (Setiati,dkk, 2008).

b. Hiperglikemia

Hiperglikemia adalah komplikasi akut dari diabetes yang sering terjadi

pada penderita DM tipe.Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi berat,

hiperosmolalitas, dieresis osmotik.Jika keadaan ini tidak segera ditangani dapat

menyebabkan penderita menjadi tidak sadarkan diri dan meninggal (Price dan

Lorraine, 2006).

Hiperglikemia dapat terjadi karena meningkatnya asupan glukosa dan

produksi glukosa hati.Hal ini dapat menyebabkan penumpukan glukosa pada sel

dan jaringan tertentu sehingga dapat menyebabkan kerusakan dan perubahan

fungsi (Waspadji, dkk, 2007).

Hiperglikemia ini antara lain adalah:

a. Ketoasidosis

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM

yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. KAD biasanya

mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan

Universitas Sumatera Utara


syok.Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu

pencetus terjadinya KAD (Soewondo, 2009).

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan gawat darurat akibat

hiperglikemia dimana terbentuk banyak asam dalam darah. Hal ini terjadi

akibat sel otot tidak mampu lagi membentuk energi sehingga dalam

keadaan darurat ini tubuh akan memecah lemak dan terbentuklah asam

yang bersifat racun dalam peredaran darah yang disebut keton (Suastika,

2008).

Keluhan dan gejala KAD berupa pernafasan cepat dan dalam,

turgor kulit berkurang, lidah dan bibir berkurang, kadang-kadang disertai

hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah

tercium.Keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD

(Soewondo, 2009).

b. Non Ketotik Hiperosmolar (NKH)

Mekanisme terjadinya NKH hampir sama dengan KAD.

Pemeriksaan laboratorium sangat membantu untuk membedakannya

dengan KAD. Hal yang membedakannya adalah bila pasien mempunyai

kadar glukosa darah >600mg%, osmolalitas serum 350 mOSM/L dan

positif lemah serta pemeriksaan aseton negatif. Secara klinis penderita

dalam keadaan tanda-tanda dehidrasi (turgor menurun disertai tanda

kelainan neurologis, hipotensi postoral, bibir dan lidah kering), tidak ada

bau aseton yang tercium dari hawa napas dan tidak ada pernafasan

kussmaul(Waspadji, dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.8.2 Komplikasi Kronik

a. Kerusakan Mata (Retinopati Diabetika)

Kerusakan mata akibat DM yang paling sering adalah Retinopati

(Kerusakan Retina).Glukosa darah yang tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh

darah retina bahkan dapat mengakibatkan kebocoran pembuluh darah

kapiler.Darah yang keluar dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang

menuju ke retina sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur (Oawara,

2003).

Retinopati Diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering

ditemukan pada usia dewasa antara 20-74 tahun. Resiko mengalami retinopati

pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya diabetes. Pada

waktudiagnosis DM tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetik hanya ditemukan pada

kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi meningkat menjadi 40-50%

dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah menderita retinopati diabetik

(Pandelaki, 2009).

Pada DM tipe 2 ketika didiagnosis diabetes ditegakkan, sekitar 25% sudah

menderita retinopati diabetik nonproliferatif (background retinopathy).Setelah 20

tahun, prevalensi retinopati diabetik meningkat menjadi lebih dari 60%.Pasien

diabetes memiliki resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding

nondiabetes (Pandelaki, 2009).

b. Kerusakan Saraf (Neuropati Diabetik)

Neuropati Diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling

sering ditemukan pada DM.Resiko yang dihadapi pasien DM dengan neuropati

Universitas Sumatera Utara


antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi

jari/kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan

kematian, yang berakibat pada meningkatnya biaya pengobatan pasien DM

dengan neuropati (Subekti, 2009).

Manifestasi Neuropati Diabetik bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa

keluhan dan hanya bisa dideteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga

keluhan nyeri yang hebat.Keluhannya dapat berupa neuropati lokal atau sistemik,

semua tergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.Pasien diabetes

memiliki resiko 7 kali lebih mudah mengalami neuropati dibanding nondiabetes

(Subekti, 2009).

c. Kerusakan Ginjal (Nefropati Diabetik)

Hampir 20-30% penderita DM akan mengalami kelainan ginjal dalam

perjalanan penyakitnya.Nefropati diabetik adalah komplikasi pada ginjal yang

dapat berakibat dengan gagal ginjal.Kerusakan ginjal disebabkan oleh kadar

glukosa dalam darah sangat tinggi, sehingga ginjal dipacu lebih berat akibatnya

terjadi penyempitan pembuluh darah kapiler dalam darah. Pada saat terdiagnosis

DM, khususnya bila kadar glukosa darah tinggi maka mekanisme Glomerular

Filtration Rate meningkat hingga 150ml/menit pada penderita diabetes dapat

menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin (Sjaifoellah, 1996). Angka

kejadian nefropatik diabetik pada DM tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidens pada

tipe 2 sering lebih besar dari tipe 1 karena jumlah penderita DM tipe 2 lebih

banyak dari DM tipe 1 (Hendromartono, 2009).

Universitas Sumatera Utara


d. Hipertensi

Gagal ginjal merupakan komplikasi kronik DM yang diperburuk oleh

adanya hipertensi. Pengontrolan kadar glukosa darah sebaik mungkin disertai

pengontrolan tekanan darah. Pengelolaan hipertensi pada DM berguna untuk

mencegah kematian dan disabilias akibat tekanan darah yang tinggi. Penderita

hipertensi pada penderita DM ada dua yaitu hipertensi primer yang berkaitan

dengan hipertensi endokrin dan hipertensi sekunder seperti Syndrome

Cushing(Sjaifoellah, 1996).

e. Penyakit Jantung Koroner

Diabetes Mellitus (DM) merusak dinding pembuluh darah yang

menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai darah berkurang dan tekanan darah

meningkat. Keluhan sakit jantung sangat bervariasi, biasanya tidak ada keluhan,

tetapi selanjutnya akan timbul gejala akibat penyumbatan antara lain sesak nafas,

nyeri dada, rasa lelah, sakit kepala, detak jantung cepat dan tidak teratur, banya

berkeringat. Akan tetapi, kadang pada penderita diabetes keluhan sakit jantung

tidak disertai dengan rasa nyeri.Hal ini disebabkan karena saraf yang mengantar

rasa nyeri telah rusak (Tjokoprawiro, 2006).

f. Ulkus/ Ganggren

Diantara komplikasi kronik DM, kelainan makrovaskuler memberikan

gambaran kelainan pada tungkai bawah berupa ulkus maupun gangren selanjutnya

disebut kaki diabetik.Kaki diabetik merupakan luka terbuka pada permukaan kulit

Universitas Sumatera Utara


karena adanya komplikasi makroangiopati yang terdapat luka pada penderita yang

sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh

bakteri aerob maupun anaerob (Hastuti, 2008).Data dari beberapa penelitian di

Indonesia menunjukkan angka amputasi dan angka kematian ulkus-ganggren

sebesar 15%-30% dan 17%-32%. Penderita dengan ulkus-ganggren ditemukan

sebesar 2,4%-14% pada penderita DM. Penderita DM mempunyai kecenderungan

5 kali mudah mengalami ulkus-ganggren (Sjaifoellah, 1996).

g. Dispepsia

Dispepsia diakibatkan karena urat saraf yang memelihara lambung rusak

sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah. Hal ini

mengakibatkan proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama

tinggal dalam lambung. Gangguan pada usus yang sering dialami oleh penderita

DM adalah sukarbuang air besar, perut gembung, dan kotoran kerasdan kadang-

kadang menunjukkan keluhan diare, kotoran banyak mengandung air tanparasa

sakit perut (Tjokoprawiro, 2006).

2.9 Pencegahan Penyakit Diabetes Mellitus

Kunci utama pencegahan DM terletak pada tiga titik yang saling berkaitan

yaitu pengendalian berat badan, olahraga, dan makan makanan sehat. Bentuk

pengendalian ini dilakukan dengan menurunkan berat badan sekitar 5-7% dari

total berat badan dengan 30 menit kegiatan fisik/olahraga 5 hari per minggu, dan

makan secukupnya makanan sehat. Pencegahan DM diantaranya pencegahan

primer, sekunder, dan tersier (Bustan, 2007).

Universitas Sumatera Utara


2.9.1 Pencegahan Primer

Semua aktivitas yang ditujukan untuk mencegah timbulnya hiperglikemia

pada individu yang beresiko mengidap DM atau pada populasi umum. Adapun

pencegahan primer yaitu:

a) Program penurunan berat badan. Pada seseorang yang mempunyai resiko

DM dan mempunyai berat badan lebih, penurunan berat badan merupakan

cara utama untuk menurunkan resiko terkena DM tipe 2.

b) Diet Sehat. Dapat dilakukan dengan mengatur jumlah asupan kalori agar

tercapai berat badan yang ideal. Mengatur makanan yang rendah lemak

jenuh, rendah karbohidrat kompleks, dan tinggi serat dapat mencegah

timbulnya puncak (peak) glukosa darah yang dapat meningkatkan resiko

terkena DM (PERKENI, 2011).

c) Latihan Jasmani (Olahraga). Olahraga yang teratur akan memperbaiki

sirkulasi insulin dengan cara meningkatkan dilatasi sel dan pembuluh

darah sehingga membantu masuknya glukosa dalam sel. Dalam melakukan

latihan jasmani dianjurkan 3-4 kali setiap minggu selama kurang lebih ½

jam. Tetapi hal yang perlu diingat ketika melakukan olahraga adalah jika

penderita DM memulai olah raga tanpa makan akan beresiko terjadinya

starvasi sel dengan cepat dan akan berdampak pada nekrosis sel

(hipoglikemia). Oleh karena itu, penderita harus makan sebelum olahraga

dan harus didampingi orang yang tahu mengatasi serangan hipoglikemia.

(Riyadi dan Sukarmin, 2008)

Universitas Sumatera Utara


d) Penyuluhan. Melalui penyuluhan masyarakat dapat diberi pengetahuan

tentang hidup sehat untuk mencegah penyakit DM sehingga masyarakat

dapat dilibatkan dalam program skrining kasus baru terutama pada

kelompok resiko tinggi untuk timbulnya penyakit DM (Subekti, 2007).

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya deteksi dini penyandang DM. Maka

dianjurkan pada mereka yang mempunyai resiko tinggi agar dilakukan

pemeriksaan penyaring glukosa darah. Dengan demikian mereka yang mempunyai

resiko tinggi DM dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai

DM akan dapat ditindak lanjuti, sampai diyakini benar mereka mengidap DM.

Jika mereka yang sudah didiagnosis menderita DM maka dilakukan pencegahan

dan mnghambat penyakit penyulit lebih lanjut (Waspadji, dkk, 2007).

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani

selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan Obat Hipoglikemik

Oral (OHO) dan atau suntikan insulin(PERKENI, 2011).

a) Obat Hipoglikemik Oral (OHO)

Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 5 golongan:

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonylurea dan glinid.

Golongan Sulfonilurea mempunyai efek utama meningkatkan sekresi

insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk

pasien dengan berat badan normal dan kurang. Sedangkan golongan

Universitas Sumatera Utara


glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,

dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.

2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: tiazolidindion

Golongan tiazolidindion ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer.

3. Penghambat gluko neogenesis: metformin

Golongan metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan

glukosa perifer.Terutama dipakai pada penyandang DM yang gemuk.

4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidasealfa.

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,

sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah

makan.

5. DPP-IV inhibitor

DPP-IV inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1

tetapdalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu

merangsang pelepasan insulin serta menghambat penglepasan

glucagon (PERKENI, 2011).

b) Insulin

Terdapat 3 jenis insulin yang penting menurut cara kerjanya yaitu:

a. Yang kerjanya cepat yaitu Regular Insulin (RI) dengan masa kerja 2-4

jam.

Universitas Sumatera Utara


b. Yang kerjanya sedang yaitu NPN dengan masa kerja 6-12 jam.

c. Yang kerjanya lambat yaitu PZI (Protamme Zinc Insulin) dengan masa

kerja 18-24 jam.

Untuk pasien yang pertama kali akan dapat insulin, sebaiknya dimulai

dengan dosis rendah (8-20 unit) disesuaikan dengan reduksi urin dan

glukosa darah (Riyadi dan Sukarmin, 2008). Pada penderita DM tipe 1

harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme

karbohidrat di dalamtubuhnya agar berjalan normal. Ini diakibatkan

karena sel-sel β Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga

tidak dapat memproduksi insulin (Depkes, 2005). Pada pasien DM tipe 2

dapatdimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral,

kendali kadar glukosadarah yang buruk (HbA1C > 7,5% atau kadar

glukosa darah puasa > 250 mg/dL), riwayat pankreatektomi, atau disfungsi

pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat

ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan

penyandang DM lebih dari 10 tahun (PERKENI, 2008).

2.9.3 Pencegahan Tersier

Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkan penyakit

DM temasuk kedalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap yaitu:

a. Mencegah komplikasi diabetes

b. Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus ke

penyakit organ.

Universitas Sumatera Utara


c. Mencegah terjadinya kecacatan yang disebabkan oleh kegagalan organ

atau jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan

dokter maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait

dengan komplikasinya (Suyono, 2009).

2.10 Kerangka konsep

Karakteristik Penderita DM dengan Komplikasi

1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Suku
Pekerjaan
Pendidikan
Daerah Asal
2. Tipe DM
3. Jenis Komplikasi
4. Kategori Komplikasi
5. Pemeriksaan HbA1C
6. Kadar HbA1C
7. Pengobatan
8. Sumber Biaya
9. Lama Rawatan Rata-Rata
10. Keadaan sewaktu pulang

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai