Anda di halaman 1dari 4

RESUME PUTUSAN PRAPERADILAN KASUS BUDI GUNAWAN OLEH HAKIM SARPIN

RIZALDI

M E N G A D I L I DALAM EKSEPSI : - Menolak Eksepsi Termohon untuk seluruhnya ;

DALAM POKOK PERKARA :

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon Praperadilan untuk sebagian ;

2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari


2015 yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon terkait peristiwa pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
adalah tidak sah dan tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan aquo tidak
mempunyai kekuatan mengikat ;

3. Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana


sebagaimana dimaksud dalam Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau 12 B Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP adalah tidak sah dan tidak
berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan mengikat;

4. Menyatakan Penetapan Tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon adalah
tidak sah ;

5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh
Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Termohon;

6. Membebankan biaya perkara kepada negara sebesar nihil ;

7. Menolak Permohonan Pemohon Praperadilan selain dan selebihnya


ANALISA :

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Sarpin Rizaldi mengabulkan
permohonan praperadilan penetapan tersangka Budi Gunawan. Hakim membuat “terobosan”
dengan memasukan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, dan menyatakan penetapan
Budi Gunawan tidak sah. Ada yang setuju dengan putusan ini. Namun, tidak sedikit pula yang
menolaknya begitupun saya. Karena dalam hal ini Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) tak mengatur penetapan tersangka bisa di-praperadilan-kan. Menurut saya amar
putusan praperadilan atas perkara a quo itu non-executable karena tidak berlandaskan hukum.
Dalam pertimbangan hukum yang menghasilkan amar di atas patut dipertanyakan. Yaitu
pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang untuk memeriksa dan
mengadili permohonan a quo, dan kedua, bahwa pemohon (Komjen. Pol. Budi Gunawan) bukan
merupakan subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan termohon
(KPK), bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan pada perkara nomor 04/Pid/Prap/2015/PN Jkt
Sel., juga bukanlah merupakan objek dari upaya hukum praperadilan. Karena, berdasarkan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penetapan tersangka bukanlah
merupakan suatu objek praperadilan. Karena pada dasarnya penetapan sebagai tersangka belum
merupakan suatu tindakan paksa yang merampas kemerdekaan dan/atau merampas hak asasi
seseorang. Tindakan-tindakan yang mengikuti penetapan seseorang sebagai tersangka-lah yang
dapat dikatakan sebagai suatu tindakan merampas kemerdekaan, contoh: penangkapan dan
penahanan.

Perlu untuk diketahui bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti
sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre, yang memperbolehkan
hakim untuk menciptakan hukum (judge made law). Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20
Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB –AB masih berlaku sepanjang belum
dicabut secara tegas oleh UU berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945), yang menyatakan:
“Hakim harus mengadili berdasarkan Undang-Undang”. Hal ini berarti, bahwa dalam hukum
yang berlaku di Indonesia, hakim dilarang menafsirkan lebih dari yang seharusnya jika sudah
jelas pengaturannya. Namun bukan berarti hakim menjadi tidak bebas dalam menjalankan
kewenangannya. Hakim diperkenankan untuk menafsirkan lebih luas suatu peraturan di kala
peraturan tersebut tidak jelas maksudnya atau hakim diperkenankan untuk membuat suatu kaidah
hukum di saat terjadi kekosongan hukum, karena pada hakekatnya, Hakim dilarang menolak
perkara dengan alasan tidak ada hukumnya. Oleh karenanya, dalam perkara praperadilan yang
diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan, pendapat hakim praperadilan yang menyatakan
bahwa mengenai permohonan yang diajukan oleh Komjen. Pol. Budi Gunawan mengenai
penetapan tersangka tidak diatur dalam KUHAP, sehingga terjadi kekosongan hukum adalah
pertimbangan yang salah tafsir menurut saya. Seperti menurut Guru Besar Universitas
Parahyangan Bernard Arief Sidharta yang menjadi saksi ahli dalam praperadilan mengatakan
hakim tunggal Sarpin Rizaldi salah menafsirkan perkataannya dan hal tersebut dapat menjadi
alasan kasasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia mengatakan dalam sidang praperadilan
ia memaparkan Pasal 77 KUHAP mengenai praperadilan menangani kasus penangkapan dan
tidak mencantumkan penetapan tersangka dalam pasal itu. Ia juga meminta hakim mengkaji
apakah penetapan tersangka Komjen Pol Budi Gunawan masuk dalam wewenang Pasal 77.
Akibat salah tafsir, Hakim Sarpin telah menyalahi aturan karena hakim terikat dalam tiga aturan,
yakni gramatikal, historis dan sistematis. Selain itu, ia mengatakan salah tafsir juga telah
menyebabkan hakim mengambil keputusan berbeda dari yang dimaksudkan saksi. Berikut tadi
merupakan dasar yang menguatkan pendapat saya bahwa Hakim Sarpin salah Tafsir. Dari
pandangan di atas, secara keseluruhan, berdasarkan sistem hukum di Indonesia, yaitu positivisme
hukum, maka menyangkut praperadilan, yang sudah diatur secara limitatif di dalam Pasal 77
KUHAP, sehingga hakim praperadilan seharusnya tidak dapat Mempergunakan kewenangan
yang diberikan kepadanya melalui UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU
Kehakiman), untuk menemukan hukum atau menafsirkan lebih dari yang sudah diatur dalam
Pasal 77 KUHAP, karena kewenangan untuk menafsirkan ataupun menemukan hukum
berdasarkan UU Kehakiman juga dibatasi, yaitu hanya dapat dipergunakan di saat hukum yang
mengatur tidak ada atau hukum yang mengatur tidak jelas. Dalam hal ini, mengenai praperadilan,
hukum yang mengatur sudah jelas, yaitu Pasal 77 KUHAP dan aturan yang mengatur tersebut
juga sudah jelas, yaitu limitatif. Dengan memahami filosofi dari pidana dan pemidanaan, dapat
dipahami, bahwa hukum pidana akan selalu bersentuhan dengan kekuasaan (Negara) melawan
warga Negara (orang- perorangan). Hal ini berarti, akan selalu ada, kekuasaan yang besar pada
penegak hukum yang dapat dipergunakan secara subjektif, dan kelemahan yang teramat besar
bagi orang yang berhadapan dengan hukum yang tergantung pada kekuasaan subjektif penegak
hukum. Kewenangan kekuasaan yang besar yang melekat pada penegak hukum yang dapat
dipergunakan secara subjektif tersebut, berdasarkan hukum positif yang berlaku saat ini, yang
mengatur mengenai aturan penegakan hukum pidana materiil, yaitu KUHAP, tidak memiliki
daya control yang cukup memadai untuk mengontrol kekuasaan tersebut, padahalharus dipahami
jika “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Anda mungkin juga menyukai