FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016
PEMELIHARAAN PERDAMAIAN DAN KEAMANAN INTERNASIONAL DALAM
KERANGKA PBB
PENDAHULUAN
Salah satu tujuan dari pendirian organisasi internasional adalah untuk memeliharan
perdamaian dan keamanan internasional. Untuk itu PBB dapat mengambil tindakan-tindakan
kolektif yang diperlukan untuk mencegah dan menyingkirkan ancaman terhadap perdamaian
serta menyelesaikan sengketa-sengketa secara damai. Sehubungan dengan itu juga para pendiri
PBB menciptakan sistem yang memberikan peranan utama kepada Dewan Keamanan bagi
pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dengan demikian, Dewan Keamanan
telah dijadikan suatu organ eksekutif yang dilengkapi dengan wewenang-wewenang untuk
memutuskan terutama di bidang pelaksanaan Bab VII Piagam. Dewan Keamanan juga
dilengkapi dengan pasukan-pasukan bersenjata yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Negara-
negara anggota untuk keperluan organ tersebut, yang intinya terdiri dari kesatuan-kesatuan dari
Negara-negara anggota tetap Dewan Keamanan.
Pada waktu Perang Saudara di Semenanjung Korea tahun 1950, walaupun dibentuk
angkatan bersenjata internasional yang menghadang agresi Korea Utara, itu sama sekali
bukanlah pelaksanaan sistem keamanan kolektif yang dirancang oleh Piagam. Memang benar
ada suatu angkatan bersenjata internasional yang dibentuk oleh Dewan Keamanan untuk
menghadapi agresi Korea Utara, tetapi pembentukan angkatan bersenjata tersebut terjadi dalam
keadaan yang tidak normal. Intervensi militer tersebut dapat terjadi karena tidak adanya wakil
Uni Soviet di Dewan Keamanan, sehingga Organ tersebut mempunyai peluang untuk
memutuskan pembentukan suatu pasukan bersenjata internasional.
Kasus perang Korea ini merupakan bukti bahwa sistem keamanan kolektif yang
dirancang para pendiri Piagam langsung macet, karena pasca Perang Dunia II segera diracuni
konflik ideologi Timur-Barat dan suasana Perang Dingin. Sebagai akibatnya banyak ketentuan
dalam Piagam yang berkaitan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional
tidak dapat dilaksanakan, karena kurang atau tidak adanya kerjasama antara Negara-negara
anggota tetap Dewan Keamanan PBB sendiri. Sebaliknya, sebagai suatu Organisasi
Internasional yang dinamis dan yang selalu berusaha memecahkan berbagai permasalahan
keamanan yang dihadapi, PBB dengan segala kelemahan dan kekurangannya, telah dapat
mencegah terjadinya suatu perang dunia baru seperti yang sudah dua kali membawa
kesengsaraan pada umat manusia pada bagian pertama abad XX yang lalu.
Sistem keamanan bersama yang dirancang oleh para pembuat Piagam dengan tujuan
memelihara perdamaian dan keamanan internasional, dan merupakan tulang punggung sistem
keamanan PBB, hanya tinggal diatas kerta, karena dunia setelah Perang Dunia II langsung
ditandai dengan suasana saling tidak percaya dan mencurigai antara Blok Timur dan Barat,
terutama antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Perumusan kesepakatan-kesepakatan khusus
tercantum dalam Pasal 43 Piagam yang harus menentukan cara dan modalitas pengadaan
pasukan-pasukan bersenjata dari negara-negara anggota untuk Dewan Keamanan bagi
pelaksanaan tugasnya tidak dapat terwujud. Dan masih ada lagi penyebab lain, yaitu gagalnya
sistem keamanan bersama dalam kerangka PBB di samping sebab diatas (amanat pasal 43 tidak
dilaksanakan dengan baik); juga sistem keamanan dilaksanakan dengan cara lain; dan
melakukan Sistem Union untuk pemeliharaan perdamaian.
1. Amanat Pasal 43 Piagam Tidak Dilaksanakan dengan Baik
Pada media bulan Februari 1946, Presiden Dewan Keamanan menginstrusikan Komite
Kepala-kepala Stafnya yang terdiri dari kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan untuk
mempelajari ketentuan-ketentuan Pasal 43 Piagam dari segi militer dan pada waktunya
menyampaikan hasil-hasil dari pengkajiannya. Beberapa waktu kemudian, Komite
menyampaikan laporannya yang berisi sejumlah kesepakatan. Disamping itu, laporan juga
berisi perbedaan-perbedaan pandangan atas sejumlah aspek. Perdebatan-perdebatan tersebut
tidak dapat diatasi. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa sengketa Timur-Barat telah
menggagalkan sistem keamanan kolektif PBB. Sistem ini bukan gagal dalam pelaksanaanya
tetapi Abortus (gagal sebelum lahir), sebagai akibat suasana Perang Dingin yang langsung
menandai hubungan internasional pasca Perang Dunia II.
2. Melalui Pakta Pertahanan Bersama
Gagalnya sistem keamanan bersama dalam kerangka PBB ini telah mendorong negara-
negara Blok Timur dan Barat mengembangkan zona-zona pengaruh dan blok-blok militer.
Pembentukan pakta-pakta pertahanan ini merupakan bukti bahwa negara-negara tidak mungkin
lagi mengharapkan sistem keamanan bersama PBB, dan karena itu mereka mencari sendiri
cara-cara lain untuk melindungi mereka melalui sistem aliansi tradisional yang dilengkapi
dengan teknik-teknik organisasi internasional dan intergrasi militer.
3. Sistem Union untuk Pemeliharaan Perdamaian
Untuk keluar dari jalan buntu, maka atas prakarsa Amerika Serikat, Majelis Umum PBB
pada tanggal 3 November 1950 menerima resolusi yang dikenal dengan nama “Uniting for
Peace Resolution” ( Res . No.377 / V ) , yang dikenal dengan nama Resolusi Dean Acheson
yang memberikan wewenang kepada Majelis Umum untuk bertindak bila Dewan Keamanan
menjadi lumpuh karena penggunaan hak veto. Ketentuan sentral resolusi Uniting For Peace
ini memberikan kemungkinan kepada Majelis untuk membahas semua keadaan di mana terjadi
ancaman rekomendasi yang sesuai mengenai tindakan-tindakan kolektif termasuk penggunaan
senjata bila diperlukan sekirany Dewan Keamanan tidak dapat melaksanakan tugas pokoknya.
Untuk melengkapi mekanisme baru ini, Majelis Umum membentuk dua komisi antara
pemerintah yang masing-masingnya terdiri dari 14 negara. Komisi pertama bernama Komisi
Observasi dimana terdapat ancaman terhadap perdamaian. Komisi kedua(Komisi
Militer)bertugas untuk mempelajari tindakan tindakan kolektif dan cara-cara penggunaannya
untuk memelihara dan memperkokoh perdamain termasuk pembentukan unsuur militer dari
negara-negara anggota. Jadi staf seperti yang dicantumkan dalam Pasal 43 Piagam. Namun
sistem pengganti dirancang Majelis umum juga mengalami kegagalan. Sebabnya ialah karena
tidak adanya pasukan-pasukan yang dengan cepat dapat digunakan PBB sesuai dengan Pasal
43 Piagam, tidak satupun negara yang bersedia memberikan komitmen sebelumnya, melalui
pengadaan pasukan terhadap suatu sengketa yang belum jelas bentuknya dengan kemungkinan
melibatkan kepentingan kedua negara adidaya akhirny pada tahun 1956 gagasan ini secara
definitive ditinggalkan karna tidak sesuai dengan realita politik dunia yang ada.
Mengenai Prinsip dalam Piagam PBB, Pasal 42 yang merupakan inti ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Bab VII Piagam memberikan wewenang kepada Dewan Keamanan untuk
mengambil tindakan-tindakan militer, udara, laut dan darat yang diperlukan untuk memelihara
dan memulihkan perdamaian dan keamanan internasional. Namun dinyatakan pula bahwa
ketentuan tersebut baru dilakukan bila tindakan-tindakan kekerasan non militer tidak memadai
atau mengalami kegagalan. Kalau dibanding dengan LBB yang menjadikan pelaksanaan
sanksi-sanksi militer bersifat fakultatif bagi negara-negara anggota, maka PBB bukan saja
dapat memutuskan penggunaan kekerasan tetapi juga ikut melaksanakannya. Rancangan yang
sesuai dengan Pasal 43 Piagam adalah negara-negara anggota menyerahkan ke Dewan
Keamanan pasukan-pasukan bersenjata yang diperlukan atas dasar kesepakatan-kesepakatan
khusus dengan Dewan Keamanan. Dalam hal sanksi militer, ternyata Piagam memberikan pula
wewenang kepada Majelis Umum PBB. Namun, Piagam hanya memberikan peranan
tambahan kepada Majelis Umum dibidang pemeliharaan perdamaian. Namun karena sering
macetnya Dewan Keamanan sebagai akibat suasana Perang Dingin, peranan Majelis pada
waktu-waktu tertentu menjadi lebih penting karena pelaksaanaan Resolusi 337 (V) Uniting for
peace. Majelis dapat mengambil sanksi-sanksi non militer berbeda dari sanksi-sanksi yang
terdapat dalam Bab VII Piagam. Pembatasan utama terhadap tindakan yang diambil Majelis
bukan mengenai isi dari tindakan yang disarankan, tetapi mengenai dampak hukumnya, karena
tindakan tersebut hanya bersifat rekomendasi.
5. Peranan Organisasi-Organisasi Regional
Bab VII Piagam yang terdiri dari 3 pasal saja yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai
pengaturan regional dalam kaitannya dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan
internasional. Pasal 52 Piagam mengizinkan dibuatnya kesepakatan-kesepakatan regional
dengan syarat-syarat tertentu. Kegiatan-kegiatan organisasi regional tersebut harus sesuai
dengan tujuan dan prinsip PBB, dan organisasi-organisasi tersebut harus menyelesaikan
sengketanya secara damai melalui suatu tindakan yang bersifat regional. Yang dimaksud
dengan Organisasi-organisasi Regional menurut pasal 52 Piagam ini adalah organisasi yang
juga menangani masalah-masalah pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional
seperti OAS, OAU, OIC, dan Liga Arab. Formulasi yang terdapat dalam Pasal 52 Piagam
tidak menyatakan dengan jelas bahwa kesepakatan-kesepakatan regional tersebut harus sesuai
dengan kriteria sistem universal keamanan bersama.
Lahirnya sistem pasukan pemeliharaan perdamaian dunia terjadi secara improvisasi dalam
menghadapi krisis yang disebabkan oleh interaksi militer dari dua anggota tetap Dewan
Keamanan di Terusan Suez, dan keadaan luar biasa yang mengelilingi peristiwa tersebut.
Kegiatan pasukan perdamaian tersebut dinamakan Operasi Pemeliharaan Perdamaian, istilah
selanjutnya dipakai untuk segala macam kegiatan operasional PBB untuk perdamaian dengan
sistem yang selalu berkembang sesuai perkembangan keadaan, dan secara praktis
menggantikan sistem keamanan bersama yang diinginkan Piagam.
Karena tidak adanya rujukan secara khusus mengenai pembentukkan pasukan
pemeliharaan perdamaian ini dalam Piagam. Sekjen Dag Hammarskjold menamakannya Bab
Enam Setengah sebagai pengembangan dari Bab VI Piagam PBB. Sejak berdirinya PBB
sampai permulaan tahun 2000-an, sudah 48 operasi pemeliharaan perdamaian, dan 17
diantaranya masih aktif. Namun sistem baru ini bukanlah merupakan obat ajaib yang dapat
menyelesaikan semua sengketa dan yang segera membawa perdamaian.
1. Asal Usul Pasukan Pemeliharaan Perdamaian
Atas dasar laporan Sekjen, Majelis Umum pada tanggal 5 November 1956 menerima
Resolusi Baru (1000-ES-I) yang mendirikan Komando Pasukan PBB, dan menunjuk
Jenderal Burns, yang sebelumnya bertugas mengawasi perletakan senjata antara negara-
negara Arab dan Israel pada tahun 1948. Kepada Jenderal Burns diberi tugas untuk merekrut
perwira-perwira yang diperlukan. Beberapa jam sesudah diterimanya Resolusi (1000-ES-I),
keempat pemerintahan yang bersangkutan memberitahukan bahwa mereka menerima resolusi
dan perintah gencatan senjata diberikan tanggal 6 November 1956 tengah malam. Demikianlah
pasukan Internasional secara definitive dibentuk tanggal 7 November 1956 melalui Resolusi
(1000-ES-I) yang mengatur prinsip-prinsip pokok organisasi dan cara kerja pasukan seperti
yang disampaikan Sekjen dalam laporannya. Pada hari yang sama diterima lagi Resolusi
(1002-ES-I) yang mengulangi lagi permintaan kepada ketiga pemerintahan yang melakukan
intervensi militer di Mesir untuk menarik pasukannya segera.
2. Karakteristik Umum
Operasi pemeliharaan perdamaian adalah suatu operasi konservatoar, non koersitif yang
dilaksanakan oleh PBB atas dasar kesepakatan bersama. Paduan ciri-ciri yang berbeda inilah
yang menentukan bentuk dari sistem baru tersebut dengan tujuan untuk memelihara
perdamaian dan keamanan internasional.
a. Kehadiran Fisik
Kehadiran Fisik ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk sesuai dengan keadaan setempat
baik dalam bentuk kehadiran sipil maupun militer.
b. Kehadiran Fisik Pembentukan Oleh Majelis Umum dan Dewan keamanan PBB
Pembentukan oleh Majelis Umum, pembentukan pasukan pemeliharaan perdamaian
tersebut akan merupakan ciri-ciri pasukan-pasukan PBB berikutnya yaitu didirikan atas
kesepakatan semua pihak yang terlibat, bersifat non represif atau tanpa
kekerasan.Pembentukan oleh Dewan Keamanan, pembentukan pasukan pemeliharaan
perdamaian dan keamanan internasional PBB di level Dewan keamanan tidak mempunyai
banyak kesulitan seperti di level Majelis Umum. Persoalannya hanya terletak atas tidak adanya
ketentuan yang jelas dalam Piagam mengenai pembentukan pasukan perdamaian.
3. Prinsip-Prinsip Dasar
Penggelaran operasi pemeliharaan perdamaian dilandasi oleh tiga prinsip dasar yang
senantiasa dipegang teguh oleh PBB, yaitu kesepakatan pemerintah/pihak yang
berkepentingan, tidak menggunakan kekuatan militer kecuali untuk membela diri, dan bersifat
konservasi dan netral.
a. Operasi Yang Disepakati
Proses pembentukan dan kegiatannya mengharuskan kesepakatan semua pihak yang
berkepentingan. Sekjen, dalam pembentukan suatu pasukan internasional selalu membuat
persetujuan-persetujuan dengan negara-negara yang memberikan kesatuan-kesatuan militer
untuk menetapkan status yuridik modalitas penempatan pasukan, syarat-syarat penggunaan
kesatuan-kesatuan itu dengan pemerintah nasionalnya masing-masing.
4. Partisipasi Indonesia
Sesuai amanat konstitusi sebagaimana tercantum dalam alinea 4 UUD 1945, Indonesia juga
ikut dalam kegiatan-kegiatanoperasi pemeliharaan perdamaian dan keaman dalam kerangka
PBB. Keikutsertaan Indonesia tersebut memberikan manfaat yaitu meningkatkan citra
indonesoa di dunia internasional sebagai negara anggota PBB yang ikut berpartisipasi aktif
dalam penyelesaian berbagai masalah internasional, memberikan kesempatan kepada personol
POLRI/TNI untuk memperkaya pengalaman dalam menangani berbagai konflik dan juga
dapat meningkatkan daya saing Indonesia dimata dunia internasional.
D. Kegiatan Operasional Pasukan Pemeliharaan Perdamaian Perserikatan Bangsa-
Bangsa
Pasukan pemeliharaan perdamaian PBB secara tradisional dibagi menjadi 2 kategori yaitu
misiobservasi dan keamanan internasional, misi observasi di perkuat oleh unsur unsur infantry
atau kesatuan kesatuan logistic yang pada umumnya untuk satu tujuan tertentu dalam jangka
waktu pendek, pasukan pemeliharaan perdamaian biasanya terdiri dari kesatuan infantry dan
di lengkapi persenjataan ringan , dan didukung oleh unsur-unsur logistic yang diperlukan..
pasukan pemeliharaan perdamaian di dalam tugas nya sering dibantu oleh peninjau militer yang
tidak di persenjatai.
1. Batas-Batas Kemampuan
Kehadiran pasukan atau misi peninjau pemeliharaan perdamaian PBB paling tidak dapat
menjaga agar jangan sampai memburuk sebelum tercarapainya penyelesaian sengketa secara
definitive, disamping itu keberadaan pasukan perdamaian tersebut dapat membantu keadaan
yang masih dalam transisi dimana kesepakatan telah dapat dicapai antara pihak-pihak yang
bersengketa , dalam keadaan transisi ini pasukan pemeliharaan yang telah berpengalaman dan
tidak memihak sering dapat berguna dalam memungkinkan terlaksana nya kesepakatan yang
telah di capai
2. Masalah Pembiayaan
Sejak dibentukan nya UNEF II tahun 1973, dibuatlah kriteria rangkap politik dan ekonomi
yang memungkinkan perhitungan partisipasi keuangn negara-negara anggota untuk tiap-tiap
operasi. Tiap kalo dibentuk pasukan pemeliharaan perdamaian dibentuk pula suatu pengaturan
ad hoc untuk menghitung kontribusi masing masing negara dengan menggunakan metodologi
yang diterima oleh resolusi majelis umum no.3101 (xxviiii) tanggal 11 desember 1973.
Metodologi ini berisikan ketentuan mengenai pengurangan skala kontribusi negara negara
miskinkalau dibandingkan dengan skalakontribusi negara negara miskin kalau dibandingkan
dengan sumbangan wajib terhadap anggaran beanja PBB. Dan menaikan kontribusi negara
negara besar anggota dewan keamanan.
Sengketa-sengketa yang masa kini terjadi, pada umumnya lebih banyak berbentuk konflik
internal di dalam negara dan bukan antarnegara. PBB selanjutnya juga menangani masalah-
masalah perang saudara, separatis dan perang antar-suku. Tugas-tugas operasi pemeliharaan
perdamaian PBB karenanya telah bergeser dari tugas untuk memeliharan perdamaian menjadi
operasi yang memiliki sejumlah dimensi kegiatan dlam mengatasi konflik internal. Operasi
pemeliharaan perdamaian multidimensi atau yang disebut juga sebagai generasi kedua ini tidak
hanya memiliki dimensi militer sebagaimana halnya generasi pertama, tetapi juga dimensi
politik, ekonomi, social, kemanusiaan dan bahkan lingkungan hidup. Operasi multidimensi
tersebut mencakup pula bantuan dalam rangka pemilihan umum, pelatihan bagi kepolisian
setempat, rekonstruksi pasca konflik, perlindungan konvoi bantuan kemanusiaan, perlindungan
hak-hak asasi manusia, dan pembersihan ranjau darat.
3. Generasi Ketiga
Dalam kasus-kasus konflik bersenjata di mana pertikaian terjadi antara dua kelompok besar
bersenjata dan tidak terdapat sedikitpun perdamaian, maka kehadiran pasukan pemeliharaan
perdamaian PBB sulit diharapkan akan diterima oleh salah satu atau oleh kedua belah pihak.
PBB mulai menyusupkan unsur peace enforcement rationale dalam operasi-operasi
pemeliharaan perdamaian dlam menghadapi situasi konflik sejenis itu. Pertimbangan pokoknya
adalah bahwa pihak yang bertikai dinilai tidak akan secara sukarela melakukan dialog dan
perundingan damai, sehingga perdamaian perlu dipaksakan oleh PBB melalui teknan oleh
kekuatan militer pasukan operasi pemeliharaan perdamaian PBB. Tiga prinsip dasar
penggelaran operasi pemeliharaan perdamaian yaitu: (1) Persetujuan pemerintah/pihak terkait;
(2) netralitas, dan (3) tidak menggunakan kekuatan militer kecuali untuk membela diri, mulai
ditinggalkan, karena sudah menggunakan kekuatan militer dalam mengupayakan tercapainya
perdamaian. Operasi dengan kekuatan militer bedasarkan Bab VII Piagam PBB tersebut tidak
hanya digelarkan untuk mengatasi konflik bersenjata di suatu Negara, tetapi telah berkembang
sebagai mekanisme untuk melakukan tindakan-tindakan kemanusiaan di suatu wilayah.
4. Pasukan Multinasional