Anda di halaman 1dari 41

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi Terapeutik

2.1.1.1 Pengertian

Komunikasi adalah suatu proses

pertukaran informasi atau proses pemberian

arti sesuatu antara dua atau lebih orang dan

lingkungannya bisa melalui simbol, tanda,

atau perilaku yang umum, dan biasanya

terjadi dua arah (Supartini, 2004).

Komunikasi terapeutik adalah

komunikasi yang dilakukan atau dirancang

untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau

perawat dapat membantu klien mengatasi

masalah yang dihadapinya melalui

komunikasi (Supartini, 2004). Menurut

Mundakir (2006) menyatakan bahwa

komunikasi terapeutik adalah komunikasi

yang direncanakan secara sadar, bertujuan,

dan kegiatannya dipusatkan untuk


11

kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik

adalah proses di mana perawat

menggunakan pendekatan terencana dalam

mempelajari klien (Potter & Perry, 2001).

Dari beberapa pengertian di atas

dapat disimpulkan bahwa komunikasi

terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan

oleh seorang perawat kepada pasien dengan

teknik-teknik tertentu yang direncanakan

secara sadar, bertujuan, dan kegiatannya

dipusatkan untuk kesembuhan pasien.

Komunikasi terapeutik juga merupakan salah

satu cara untuk membina hubungan saling

percaya terhadap pasien dan pemberian

informasi yang akurat kepada pasien,

sehingga diharapkan dapat berdampak pada

perubahan yang lebih baik pada pasien

dalam menjalankan terapi dan membantu

pasien dalam rangka mengatasi persoalan

yang dihadapi pada tahap perawatan.


12

2.1.1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik bertujuan untuk

mengembangkan pribadi klien ke arah yang

lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada

pertumbuhan klien yang meliputi:

1. Realisasi diri, penerimaan diri, dan

peningkatan penghormatan diri. Melalui

komunikasi terapeutik diharapkan terjadi

perubahan dalam diri klien. Klien yang

tadinya tidak biasa menerima apa adanya

atau merasa rendah diri, setelah

berkomunikasi terapeutik dengan perawat

akan mampu menerima dirinya.

2. Kemampuan membina hubungan

intrapersonal dan saling bergantung dengan

orang lain. Melalui komunikasi terapeutik,

klien belajar bagaimana menerima dan

diterima orang lain. Dengan komunikasi yang

terbuka, jujur, dan menerima klien apa

adanya, perawat akan dapat meningkatkan

kemampuan klien dalam membina hubungan

saling percaya.
13

3. Peningkatan fungsi dan kemampuan

untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai

tujuan yang realistis. Terkadang klien

menetapkan ideal diri atau tujuan yang terlalu

tinggi tanpa mengukur kemampuannya.

4. Rasa identitas personal yang jelas dan

peningkatan integritas diri. Identitas personal

di sini termasuk status, peran, dan jenis

kelamin. Klien yang mengalami gangguan

identitas personal biasanya tidak mempunyai

rasa percaya diri dan mengalami harga diri

rendah. Melalui komunikasi terapeutik

diharapkan perawat dapat membantu klien

meningkatkan integritas dirinya dan identitas

diri yang jelas. Dalam hal ini perawat

berusaha menggali semua aspek kehidupan

klien di masa sekarang dan masa lalu.

Kemudian perawat membantu meningkatkan

integritas diri klien melalui komunikasinya

dengan klien (Supartini, 2004).


14

2.1.1.3 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik

Menurut Supartini (2004) terdapat

beberapa prinsip yang harus dimiliki seorang

perawat sehingga dapat memfasilitasi

tumbuhnya hubungan yang terapeutik

dengan pasien, yaitu sebagai berikut:

1. Kejujuran (Trustworthy)

Kejujuran merupakan modal utama

agar dapat melakukan komunikasi yang

bernilai terapeutik, tanpa kejujuran

mustahil dapat membina hubungan saling

percaya. Klien hanya akan terbuka dan

jujur dalam memberikan informasi yang

benar bila klien yakin bahwa perawat

dapat dipercaya.

2. Tidak Membingungkan dan Ekspresif

Dalam berkomunikasi hendaknya

perawat menggunakan kata-kata yang

mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi

non verbal harus mendukung komunikasi

verbal yang disampaikan.

Ketidaksesuaian dapat menyebabkan

klien menjadi bingung.


15

3. Bersikap Positif

Bersikap positif dapat ditunjukkan

dengan sikap yang hangat, penuh

perhatian, dan penghargaan terhadap

klien. Roger menyatakan inti dari

hubungan terapeutik adalah kehangatan,

ketulusan, pemahaman yang empati, dan

sikap positif.

4. Empati Bukan Simpati

Sikap empati sangat diperlukan dalam

asuhan keperawatan, karena dengan

sikap ini perawat akan mampu

merasakan dan memikirkan

permasalahan klien seperti yang

dirasakan dan dipikirkan oleh klien.

Dengan empati seorang perawat dapat

memberikan alternatif pemecahan

masalah bagi klien, meskipun dia turut

merasakan permasalahan yang dirasakan

oleh kliennya, tetapi tidak larut pada

permasalahan tersebut sehingga perawat

dapat memikirkan masalah yang dihadapi

klien secara objektif. Sikap simpati


16

membuat perawat tidak mampu melihat

permasalahan secara objektif karena dia

terlibat secara emosional dan terlarut di

dalamnya.

5. Mampu Melihat Permasalahan Klien

Dalam memberikan asuhan

keperawatan perawat harus berorientasi

pada klien. Untuk itu agar dapat

membantu memecahkan masalah klien

perawat harus menggunakan active

listening technic dan kesabaran dalam

mendengarkan ungkapan klien. Jika

perawat menyimpulkan secara tergesa-

gesa dengan tidak menyimak secara

keseluruhan ungkapan klien akibatnya

akan menjadi fatal, karena bisa saja

diagnosa yang dirumuskan perawat tidak

sesuai dengan masalah klien dan

akibatnya tindakan yang diberikan tidak

dapat membantu bahkan merusak klien.

6. Menerima Klien Apa Adanya

Jika seorang pasien diterima dengan

tulus, pasien akan merasa nyaman dan


17

aman dalam menjalin hubungan intim

terapeutik. Memberikan penilaian atau

mengritik klien berdasarkan nilai-nilai

yang diyakini perawat menunjukkan

bahwa perawat tidak menerima klien apa

adanya.

7. Sensitif Terhadap Perasaan Klien

Tanpa kemampuan ini hubungan yang

terapeutik sulit terjalin dengan baik,

karena jika tidak sensitif perawat dapat

saja melakukan pelanggaran batas,

privasi, dan menyinggung perasaan klien.

8. Tidak Mudah Terpengaruh Oleh Masa

Lalu Klien Ataupun Diri Perawat Sendiri

Seseorang yang selalu menyesali

tentang apa yang telah terjadi pada masa

lalunya tidak akan mampu berbuat yang

terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat

untuk membantu klien, jika ia sendiri

memiliki segudang masalah dan

ketidakpuasan dalam hidupnya.


18

2.1.1.4 Sikap Dalam Berkomunikasi Terapeutik

Menurut Hidayat (2009) sikap

menghadirkan diri secara fisik yang dapat

memfasilitasi komunikasi yang terapeutik,

yaitu:

1. Berhadapan, arti posisi ini adalah “Saya

siap untuk Anda.”

2. Mempertahankan kontak mata, kontak

mata pada level yang sama berarti

menghargai klien dan menyatakan

keinginan untuk tetap berkomunikasi.

3. Membungkuk ke arah klien, posisi ini

menunjukkan keinginan untuk

mengatakan atau mendengarkan

sesuatu.

4. Mempertahankan sikap terbuka, tidak

melipat kaki atau tangan, menunjukkan

keterbukaan berkomunikasi.

5. Tetap rileks, dapat mengontrol

keseimbangan antara ketegangan dan

relaksasi dalam memberikan respon pada

klien.
19

6. Berjabat tangan menunjukkan perhatian

dan memberikan kenyaman pada pasien

serta penghargaan atas keberadaannya.

2.1.1.5 Teknik Dalam Berkomunikasi Terapeutik

Menurut Potter & Perry (2001) ada

banyak teknik komunikasi yang dapat

digunakan dalam berkomunikasi. Teknik

komunikasi yang biasa digunakan saat

perawat berhadapan dengan pasien antara

lain, yaitu:

a. Mendengarkan Aktif

Keuntungan yang diperoleh jika

mampu mengembangkan keterampilan

mendengar aktif adalah:

1. Pasien dan keluarga merasa didengar

dan dipahami.

2. Pasien dan keluarga merasa dirinya

berharga dan penting.

3. Pasien dan keluarga menjadi mudah

untuk mendengarkan apa yang kita

sampaikan.

4. Pasien dan keluarga merasa nyaman.


20

5. Pasien dan keluarga mampu

berkomunikasi

b. Mengajukan Pertanyaan

Tujuannya untuk mendapatkan

informasi yang spesifik apa yang

disampaikan oleh pasien dari keluarga.

1. Pertanyaan terbuka, yaitu

memberikan dorongan pada pasien

untuk memilih topik yang akan

digunakan. Contoh: “Apa yang sedang

Anda pikirkan?”

2. Pengulangan pertanyaan, yaitu

mengulang kembali pikiran utama

yang telah diekspresikan oleh pasien

dan keluarga. Contoh: “Anda

mengatakan bahwa Ibu Anda telah

meninggalkan Anda ketika Anda

berusia 5 tahun?”

3. Pertanyaan klarifikasi, berupaya untuk

menjelaskan ide atau pikiran pasien

yang tidak jelas atau meminta pasien

untuk menjelaskan artinya. Contoh:

“Saya tidak jelas dengan apa yang


21

Anda maksudkan, dapatkah Anda

menjelaskannya kembali?”

4. Pertanyaan refleksi, yaitu

mengarahkan kembali ide, perasaan,

pertanyaan, dan isi pembicaraan

kepada pasien. Contoh: “Anda tampak

tegang dan cemas, apakah ini

berhubungan dengan pembicaraan

Ibu Anda semalam?”

5. Pertanyaan berbagi persepsi, yaitu

meminta pasien untuk memastikan

pengertian perawat yang sedang

dipikirkan dan dirasakan oleh pasien.

Contoh: “Anda tersenyum tetapi saya

merasa bahwa Anda sangat marah

kepada saya.”

c. Memberikan Informasi

Memberikan tambahan informasi

merupakan tindakan penyuluhan

kesehatan untuk pasien dan keluarga.

Pada teknik komunikasi tidak dibenarkan

petugas kesehatan memberikan nasihat

kepada pasien karena tujuan tindakan ini


22

adalah memfasilitasi klien dalam

mengambil keputusan. Hal-hal yang perlu

diperhatikan dalam memberikan informasi

adalah:

1. Gunakan bahasa yang sederhana dan

mudah dimengerti pasien

2. Katakan dengan jelas

3. Gunakan kata-kata yang positif

4. Tunjukkan sikap yang antusias

d. Tingkat Hubungan Komunikasi

Komunikasi intrapersonal, terjadi

dalam diri individu sendiri. Komunikasi ini

akan membantu agar seseorang atau

individu tetap sadar akan kejadian di

sekitarnya. Komunikasi intrapersonal

merupakan interaksi antara dua orang

atau kelompok kecil. Komunikasi ini

merupakan inti dari praktek keperawatan

karena dapat terjadi antara perawat, dan

klien serta keluarga, perawat dengan

perawat, dan perawat dengan tim

kesehatan lain. Komunikasi massa,

interaksi yang terjadi dalam kelompok


23

besar. Ceramah yang diberikan kapada

mahasiswa kampanye, merupakan

contoh komunikasi massa.

e. Memberi Umpan Balik

Tahap-tahap yang perlu diperhatikan

dalam melakukan umpan balik, yaitu:

1. Mempelajari hasil kerjanya dengan

teliti. Beri tanda pada hal-hal yang

perlu diperbaiki.

2. Ketika menyampaikan umpan balik,

perhatikan contoh-contoh dari

kesalahan yang telah dibuat.

3. Mengembangkan argumen mengenai

dampak negatif yang bisa muncul dari

kesalahan yang dibuat.

4. Memastikan penerima umpan balik

menyadari kekeliruan, kekurangan,

atau kesalahan.

5. Menggali lebih dalam mengenai

hambatan yang ditemui.

6. Mendorong penerima umpan balik

untuk menemukan jalan keluar dan


24

langkah-langkah untuk memperbaiki

tugasnya atau cara kerjanya.

7. Membuat kesepakatan mengenai

perbaikan yang akan dilakukan.

2.1.1.6 Fase-Fase Komunikasi Terapeutik

Menurut Hidayat (2007) timbulnya

respon kecemasan sangat dipengaruhi oleh

kemampuan perawat untuk terbuka, empati,

dan responsif terhadap kebutuhan klien pada

pelaksanaan komunikasi terapeutik. Berikut,

merupakan fase-fase komunikasi terapeutik:

a. Fase Pra-Interaksi

Pada tahap ini perawat menggali

perasaan dan mengidentifikasi kelebihan

serta kekurangannya sendiri. Pada tahap

ini perawat juga mencari informasi

tentang klien. Kemudian perawat

merancang strategi untuk pertemuan

pertama dengan klien. Tugas perawat

pada tahap ini antara lain, yaitu:

1. Mengeksplorasi perasaan, harapan,

dan kecemasan. Sebelum


25

berinteraksi dengan klien, perawat

perlu mengkaji perasaannya sendiri.

2. Menganalisis kekuatan dan

kelemahan sendiri. Kegiatan ini

sangat penting dilakukan agar

perawat mampu mengatasi

kelemahannya secara maksimal

pada saat berinteraksi dengan klien.

3. Mengumpulkan data tentang klien.

Kegiatan ini juga sangat penting

karena dengan mengetahui informasi

tentang klien perawat bisa

memahami klien.

4. Merencanakan pertemuan yang

pertama dengan klien. Hal yang

direncanakan mencakup kapan, di

mana, dan strategi apa yang akan

dilakukan untuk pertemuan pertama

tersebut.

b. Fase Orientasi

Fase orientasi merupakan kegiatan

yang dilakukan saat pertama kali bertemu

atau kontak dengan klien. Dengan


26

memperkenalkan dirinya berarti perawat

telah bersikap terbuka pada klien dan ini

diharapkan akan mendorong klien untuk

membuka dirinya. Tugas perawat pada

tahap ini antara lain:

1. Membina rasa saling percaya,

menunjukkan penerimaan, dan

komunikasi terbuka. Hubungan saling

percaya merupakan kunci dari

keberhasilan komunikasi terapeutik.

2. Merumuskan kontrak pada klien. Pada

saat merumuskan kontrak perawat

juga perlu menjelaskan atau

mengklarifikasi peran-peran perawat

dan klien agar tidak terjadi kesalah

pahaman klien terhadap kehadiran

perawat.

3. Menggali pikiran dan perasaan serta

mengidentifikasi masalah klien. Pada

tahap ini perawat mendorong klien

untuk mengekspresikan perasaannya.

4. Merumuskan tujuan dengan klien.

Perawat perlu merumuskan tujuan


27

interaksi bersama klien, karena tanpa

keterlibatan klien mungkin tujuan sulit

dicapai. Tujuan ini dirumuskan setelah

klien diidentifikasi.

c. Fase Kerja

Fase kerja merupakan tahap inti dari

keseluruhan proses komunikasi

terapeutik. Pada tahap ini perawat dan

klien bekerja bersama-sama untuk

mengatasi masalah yang dihadapi klien.

Pada tahap ini perawat perlu melakukan

active listening karena tugas perawat

pada tahap kerja ini bertujuan untuk

menyelesaikan masalah klien. Melalui

active listening, perawat membantu klien

untuk mendefinisikan masalah yang

dihadapi, bagaimana cara mengatasi

masalahnya, dan mengevaluasi cara atau

alternatif pemecahan masalah yang telah

dipilih.
28

d. Fase Terminasi

Fase terminasi merupakan akhir dari

pertemuan perawat dengan klien. Tugas

perawat pada tahap ini antara lain:

1. Melakukan evaluasi objektif.

Mengevaluasi pencapaian tujuan dari

interaksi yang telah dilaksanakan.

Dalam mengevaluasi, sebaiknya

perawat terkesan mengulang atau

menyimpulkan apa yang menjadi

interaksi dengan klien selama ini,

bukan menguji pemahaman klien.

2. Melakukan evaluasi subjektif.

Dilakukan dengan menanyakan

perasaan klien setelah berinteraksi

dengan perawat.

3. Menyepakati tindak lanjut terhadap

interaksi yang telah dilakukan. Tindak

lanjut yang diberikan harus relevan

dengan interaksi yang akan dilakukan

berikutnya.

4. Membuat kontrak untuk pertemuan

berikutnya. Kontrak ini penting dibuat


29

agar terdapat kesepakatan antara

perawat dan klien untuk pertemuan

berikutnya. Kontrak yang dibuat

termasuk tempat, waktu, dan tujuan

interaksi.

2.1.2 Konsep Kecemasan

2.1.2.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan atau ansietas adalah

reaksi yang normal terhadap stres dan

ancaman bahaya. Ansietas merupakan reaksi

emosional terhadap persepsi adanya bahaya,

baik yang nyata maupun yang hanya

dibayangkan. Ansietas dan ketakutan sering

digunakan denga arti yang sama, tetapi

ketakutan biasanya merujuk akan adanya

ancaman yang spesifik, sedangkan ansietas

merujuk pada ancaman yang tidak spesifik

(Brunner & Suddart, 2002).

Kecemasan merupakan suatu respon

emosi atau perasaan yang timbul dari

penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik

yang dapat menimbulkan perasaan tidak


30

nyaman dan merasa terancam. Kecemasan

terjadi sebagai akibat adanya ancaman

terhadap diri, harga diri atau identitas

seseorang, selain itu kecemasan bisa

berhubungan dengan ketakutan akan

hukuman, penolakan, kurang kasih sayang,

rusaknya hubungan atau rusaknya fungsi

tubuh (Stuart, G.W & Sundeen, S.J, 1995).

Kecemasan juga berkaitan dengan

tingkat perkembangan, jenis kelamin, sosial

budaya, dan pengalaman. Manifestasi yang

khas pada ansietas tergantung pada masing-

masing individu dan dapat meliputi menarik

diri, membisu, hiperaktif, mengumpat,

berbicara, atau bercanda secara berlebihan,

menyerang dengan kata-kata atau secara

fisik, berkhayal, mengeluh, dan menangis

(Stuart & Sundeen, 1995).

Riwayat kecemasan yang

berkembang secara normal pada awalnya

nampak pada usia 7-8 bulan, ketika bayi

mulai membandingkan dengan pengasuh

primernya, pada diri mereka sedang


31

berkembang rasa was-was dan perubahan

suasana hati yang sebelumnya tidak ada

apabila bersama orang asing.

Anak usia prasekolah secara khas

mengembangkan ketakutan spesifik akibat

gelap, binatang, maupun situasi khayalan.

Anak usia sekolah berhenti mengkhayalkan

ketakutan secara perlahan dan menggantinya

dengan takut bahaya badaniah dan juga

dengan ketakutan lain yang secara potensial

nyata (Arvin, 2000).

Kecemasan yang dirasakan oleh klien

dan keluarganya di saat klien harus dirawat

mendadak dan tanda terencana merupakan

reaksi pertama yang muncul begitu mulai

masuk rumah sakit dan akan terus menyertai

klien dan keluarganya dalam setiap upayanya

perawatan terhadap penyakit yang diderita

klien.

Cemas adalah emosi dan merupakan

pengalaman subyektif individual, mempunyai

kekuatan tersendiri dan sulit untuk

diobservasi secara langsung. Perawat dapat


32

mengidentifikasi cemas lewat perubahan

tingkah laku klien.

Stuart (1995) mendefinisikan cemas

sebagai emosi tanpa obyek yang spesifik,

penyebabnya tidak diketahui, dan didahului

oleh pengalaman baru. Sedangkan takut

mempunyai sumber yang jelas dan obyeknya

dapat didefinisikan. Takut merupakan

penilaian intelektual terhadap stimulus yang

mengancam dan cemas merupakan respon

emosi terhadap penilaian tersebut. Lebih jauh

dikatakan pula, kecemasan dapat

dikomunikasikan dan menular, hal ini dapat

mempengaruhi hubungan terapeutik perawat-

klien dan keadaan seperti inilah yang harus

menjadi perhatian klien.

Stuart & Sundeen (1995)

mengemukakan stresor sebagai faktor

presipitasi kecemasan adalah bagaimana

individu berhadapan dengan kehilangan dan

bahaya yang mengancam. Bagaimana

mereka menerima tergantung dari kebutuhan,


33

keinginan, konsep diri, dukungan keluarga,

pengetahuan, kepribadian, dan kedewasaan.

Kecemasan adalah suatu kondisi

yang menandakan suatu keadaan yang

mengancam keutuhan serta keberadaan

dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk

perilaku seperti rasa tak berdaya, rasa tidak

mampu, rasa takut, maupun phobia tertentu

(Stuart & Sundeen, 1995). Kecemasan

muncul bila ada ancaman, ketidakberdayaan,

kehilangan kendali, perasaan kehilangan

fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan

pertahanan, serta perasaan terisolasi.

Berdasarkan pengertian kecemasan

di atas, dapat disimpulkan bahwa kecemasan

atau ansietas adalah suatu respon emosional

terhadap persepsi adanya bahaya yang tidak

spesifik atau tidak pasti sehingga

menimbulkan perasaan terancam dan tidak

nyaman.
34

2.1.2.2 Gejela-Gejala Kecemasan (Perry & Potter,

2001)

a. Fisiologis

Peningkatan frekuensi jantung,

peningkatan tekanan darah, peningkatan

frekuensi pernafasan, diaphoresis, dilatasi

pupil, suara tremor atau perubahan nada,

gelisah, gemetar, berdebar-debar, sering

berkemih, diare, insomnia, kelemahan,

pucat kemerahan, pusing, mual, dan

anoreksia.

b. Emosional

Ketakutan, ketidakberdayaan, gugup,

kurang percaya diri, kehilangan kontrol,

ketegangan, individu juga sering

memperlihatkan marah berlebihan,

cenderung menyalahkan orang lain,

kontak mata buruk, kritisme pada diri

sendiri, menarik diri, kurang inisiatif, dan

mencela dirinya sendiri.

c. Kognitif

Tidak dapat berkonsentrasi, mudah

lupa, penurunan kemampuan belajar,


35

terlalu perhatian, orientasi pada masa lalu

daripada masa kini atau masa depan.

2.1.2.3 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kecemasan (Perry & Potter, 2001)

1. Jenis Kelamin

Kecemasan sering terjadi pada

perempuan daripada laki-laki. Selain itu

umumnya laki-laki dalam merespon

stimulus atau rangsangan yang berasal

dari luar lebih kuat dan lebih intensif

daripada perempuan.

Gunarsa (2011) menyatakan bahwa

perempuan lebih cemas dibandingkan

laki-laki karena laki-laki lebih aktif dan

eksploratif, sedangkan perempuan lebih

sensitif dan banyak menggunakan

perasaan. Selain itu perempuan lebih

banyak dipengaruhi oleh tekanan-tekanan

lingkungan daripada laki-laki yang kurang

sabar dan tidak mudah menggunakan air

mata.
36

2. Umur

Semakin tua seseorang, maka

semakin baik seseorang dalam

mengendalikan emosinya.

3. Lama Hari Rawat

Lama hari rawat dapat mempengaruhi

seseorang yang sedang dirawat dan juga

mempengaruhi anggota keluarga klien.

Kecemasan akan sangat terlihat pada

hari pertama sampai dengan hari kedua

bahkan hari ketiga. Biasanya memasuki

hari keempat dan kelima kecemasan

akan dirasakan berkurang. Kecemasan

yang terjadi biasanya dipengaruhi oleh

lamanya seseorang dirawat serta faktor

biaya dan diagnosis pasien.

2.1.2.4 Kecemasan Anak Usia Prasekolah Ketika

Dirawat Di Rumah Sakit

Dirawat di rumah sakit atau perawatan

di rumah sakit adalah suatu proses yang

karena suatu alasan berencana ataupun

darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di


37

rumah sakit, untuk menjalani terapi dan

perawatan sampai pemulangan kembali ke

rumah. Penyakit dan dirawat di rumah sakit

sering kali menjadi krisis pertama yang harus

dihadapi anak. Untuk anak-anak, penyakit

dan dirawat di rumah sakit merupakan

pengalaman yang penuh dengan tantangan.

Anak-anak, terutama selama tahun-

tahun awal sangat rentan terhadap krisis

penyakit dan dirawat di rumah sakit karena

stres akibat perubahan dari keadaan sehat

dan rutinitas lingkungan. Anak memiliki

mekanisme koping yang terbatas untuk

menyelesaikan stresor atau kejadian-kejadian

yang menimbulkan stres. Stresor utama dari

dirawat di rumah sakit, antara lain;

perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh,

dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis

tersebut dipengaruhi usia perkembangan

mereka, pengalaman mereka sebelumnya

dengan penyakit, perpisahan atau dirawat di

rumah sakit, ketrampilan koping yang mereka

miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis,


38

serta sistem pendukung yang ada.

Perpisahan, kehilangan kendali, cidera tubuh,

dan nyeri dapat membuat anak menjadi

cemas. Rasa cemas yang ditunjukkan setiap

anak berbeda-beda, sesuai usianya. Namun,

yang menjadi pokok bahasan dalam

penelitian ini yaitu pada anak usia 3-6 tahun

yang masuk dalam usia prasekolah. Berikut

ini adalah proses kecemasan ketika proses

dirawat di rumah sakit pada anak usia

prasekolah atau usia 3-6 tahun menurut

Wong (2009):

1. Cemas Akibat Perpisahan

Kecemasan akibat perpisahan

merupakan stres yang besar yang timbul

selama proses perawatan di rumah sakit

pada masa bayi, masa kanak-kanak awal,

atau masa prasekolah. Respon terhadap

stresor ini pada masa bayi, masa kanak-

kanak awal, atau masa prasekolah,

ditunjukkan melalui tiga fase, yaitu; fase

protes, fase putus asa, dan fase

pelepasan (Wong, 2009).


39

a. Fase Protes

Selama fase protes, anak-

anak bereaksi secara agresif terhadap

perpisahan dengan orang tua yang

mereka tunjukkan dengan cara

menangis, dan berteriak memanggil

orang tua mereka, menolak perhatian

dan orang lain, serta kedukaan

mereka tidak dapat ditenangkan.

Perilaku lain yang diobservasi selama

masa toddler dan prasekolah yaitu

menyerang orang asing secara verbal

misalnya; pergi, menyerang orang

asing secara fisik misalnya;

menendang, memukul, mencubit,

maupun menggigit, mencoba kabur

untuk mencari orang tua, mencoba

menahan orang tua secara fisik agar

tetap tinggal bila ada perawat yang

akan melakukan tindakan invasive

seperti pemasangan infus ataupun

injeksi.
40

Perilaku-perilaku tersebut

dapat berlaku dari beberapa jam

sampai beberapa hari. Protes seperti

menangis dapat terus berlangsung,

hanya berhenti bila lelah. Pendekatan

orang dapat mencetuskan

peningkatan stres.

b. Fase Putus Asa

Perilaku yang diobservasi

pada usia prasekolah dalam fase

putus asa, yaitu; anak menjadi tidak

aktif, anak menarik diri dari orang lain,

anak terlihat depresi atau sedih, anak

menjadi tidak tertarik dengan

lingkungan, misalnya; hanya ingin

tidur terus, tidak komunikatif, mundur

ke perilaku awal, seperti; mengisap

ibu jari, mengompol, menggunakan

dot, ataupun menggunakan botol.

Lamanya perilaku tersebut

berlangsung bervariasi dan kondisi

anak dapat memburuk karena


41

menolak untuk makan, minum, atau

bergerak.

c. Fase Pelepasan

Fase pelepasan disebut juga

penyangkalan. Pada tahap ini, secara

superficial tampak bahwa anak

menyesuaikan diri terhadap

lingkungan. Anak tersebut menjadi

tertarik terhadap lingkungan sekitar,

bermain dengan orang lain, dan

tampak membentuk hubungan baru,

akan tetapi perilaku ini merupakan

hasil dari kepasrahan dan bukan

tanda-tanda kesenangan.

Anak memisahkan diri dari

orang tua sebagai upaya

menghilangkan nyeri emosional

karena menginginkan kehadiran orang

tua dan mengatasinya dengan

membentuk hubungan yang dangkal

dengan orang lain, menjadi makin

berpusat dengan diri sendiri.


42

Perkembangan pada tahap

pelepasan jarang terjadi. Perilaku

yang diobservasi pada fase pelepasan

yaitu menunjukkan peningkatan minat

terhadap lingkungan sekitar,

berinteraksi dengan orang asing atau

pemberi asuhan yang dikenalnya,

membentuk hubungan baru, namun

dangkal dan tampak bahagia.

2. Kehilangan Kendali

Suatu faktor yang mempengaruhi

jumlah stres akibat dirawat di rumah sakit

adalah jumlah kendali yang orang

tersebut rasakan. Wong (2009)

mengatakan bahwa perasaan kehilangan

kendali terjadi akibat perpisahan, restriksi

fisik, perubahan rutinitas, pemaksaan

ketergantungan, dan pemikiran magis.

Kurangnya kendali akan meningkatkan

persepsi ancaman dan dapat

mempengaruhi koping anak-anak.

Kehilangan kendali dalam konteks

kekuasaan diri mereka merupakan faktor


43

yang mempengaruhi secara krisis

persepsi dan reaksi mereka terhadap

perpisahan, nyeri, sakit, dan dirawat di

rumah sakit.

Egosentris dan pemikiran magis

anak usia prasekolah membatasi

kemampuan mereka untuk memahami

berbagai peristiwa karena mereka

memandang semua pengalaman dari

sudut pandang mereka sendiri

(egosentrik). Tanpa persiapan yang

adekuat terhadap lingkungan yang tidak

dikenal atau pengalaman, penjelasan

fantasi anak prasekolah untuk peristiwa-

peristiwa semacam itu biasanya lebih

berlebihan, aneh, dan lebih menakutkan

dari kejadian sebenarnya.

Respon terhadap pemikiran

semacam itu membuat anak biasanya

merasa malu, bersalah, dan takut. Anak

prasekolah juga menyimpulkan dari

sesuatu yang khusus ke sesuatu yang

khusus lagi, bukan dari spesifik ke umum


44

atau sebaliknya, misalnya; jika konsep

ada prasekolah tentang perawat adalah

mereka yang menyebabkan nyeri, maka

anak prasekolah akan berpikir bahwa

setiap perawat atau setiap orang yang

memakai seragam yang sama juga akan

menyebabkan nyeri.

3. Cidera Tubuh dan Nyeri

Takut akan cidera tubuh dan nyeri

sering terjadi di antara anak-anak.

Konsekuensi rasa takut ini sangat

mendalam. Konflik psikososial pada anak

kelompok usia prasekolah membuatnya

sangat rentan terhadap ancaman cidera

tubuh. Prosedur intrusif baik yang

menimbulkan nyeri maupun yang tidak,

merupakan ancaman bagi anak

prasekolah yang konsep integritas

tubuhnya belum berkembang baik. Anak

prasekolah dapat bereaksi terhadap

injeksi yang sama kuatirnya dengan nyeri

pada saat jarum dicabut, mereka takut

intrusif atau pungsi vena atau pungsi


45

lumbal pada tubuh tidak akan menutup

kembali dan ‘isi tubuh’ mereka akan bocor

keluar.

Reaksi terhadap nyeri cenderung

sama dengan yang terlihat pada masa

toddler, meskipun beberapa perbedaan

menjadi jelas, misalnya; respon anak

prasekolah terhadap intervensi persiapan

dalam hal penjelasan dan distraksi lebih

baik bila dibandingkan dengan anak yang

lebih kecil.

Agresi fisik dan verbal lebih spesifik

dan mengarah pada tujuan bukan

menunjukkan resistensi tubuh total, anak

prasekolah akan mendorong orang yang

akan melakukan prosedur agar menjauh,

mencoba mengamankan peralatan, atau

berusaha mengunci diri di tempat yang

nyaman. Anak prasekolah juga bisa

menyerang atau melarikan diri. Ekspresi

verbal yang bisa mereka tunjukkan

dengan mengatakan kepada perawat


46

secara verbal, “pergi dari sini” atau “saya

benci kamu”.

Respon anak prasekolah saat

mengalami cidera tubuh dan nyeri, yaitu;

menangis keras, berteriak, memukul-

mukulkan lengan dan kaki, berusaha

mendorong stimulus menjauh sebelum

nyeri terjadi, tidak kooperatif, memerlukan

restrain fisik, meminta agar prosedur

dihentikan, bergelayut pada orang tua

atau orang bermakna lainnya, meminta

dukungan emosional seperti pelukan,

dapat menjadi gelisah, ekspresi verbal

seperti; “aduh”, “auw”, “sakit”, dan peka

terhadap nyeri yang berkelanjutan.

2.2 Tinjauan Praktik Komunikasi Terapeutik Perawat

Dengan Tingkat Kecemasan Anak Usia Prasekolah

Penelitian yang dilakukan oleh Oppenheim,

Goldsmith, dan Koren-Karie (2004) menunjukkan

bahwa komunikasi terapeutik perawat kepada pasien

anak usia prasekolah di Haifa dapat meningkatkan

mekanisme koping secara emosional.


47

Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Hannan, Susilo, dan Suwanti (2009) di RSUD

Ambarawa menunjukkan pelaksanaan komunikasi

terapeutik perawat pada anak usia prasekolah di ruang

perawatan anak RSUD Ambarawa dapat menurunkan

tingkat kecemasan. Ditunjukkan dengan 17 dari 32

responden pasien anak usia prasekolah (53,1%)

memiliki tingkat kecemasan ringan.

Hasil penelitian Stadler, Bolten, dan Schmeck

(2011) menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik

yang dilakukan oleh salah satu rumah sakit di Jerman

dan salah satu rumah sakit di Jepang yang keduanya

menjadi kelompok kontrol dalam penelitian,

komunikasi terapeutik dapat menurunkan tingkat

kecemasan pasien anak usia prasekolah dengan

pendekatan terapeutik yang komprehensif.

Hal yang hampir serupa dilakukan dalam

penelitian Sukoati dan Astarani (2012) di RS Babtis

Kediri bahwa adanya upaya komunikasi terapeutik

perawat pada pasien anak usia prasekolah yang

merupakan salah satu cara untuk mengurangi

ketegangan dan membantu anak beradaptasi.


48

Hal yang sama dilakukan oleh Washington,

Stonell, Oddson, McLeod, Leeper, Robertson dan

Rosenbaum (2013) di Canada bahwa fokus pada pra-

intervensi keperawatan dan post-intervensi

keperawatan dengan dilakukannya komunikasi

terapeutik pada pasien anak usia prasekolah dapat

menurunkan tingkat kecemasan dan dapat

meningkatkan sikap adaptif dari pasien anak usia

prasekolah tersebut.
49

2.3 Kerangka Konseptual Penelitian

Faktor-faktor yang
mempengaruhi:
a. Pengalaman dirawat
sebelumnya
b. Lama dirawat

Variabel Independen:
Komunikasi terapeutik

Ada hubungan
Variabel Dependen:
Pemberian
Tingkat kecemasan anak
tindakan invasif
usia prasekolah
Tidak ada
hubungan

Keterangan:

Yang di teliti :

Yang tidak diteliti :

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Sumber: Wong (2009) yang telah dimodifikasi
50

2.4 Hipotesis

Ho: Tidak ada hubungan antara komunikasi

terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak

usia prasekolah pada pemberian tindakan invasif di

Ruang Anggrek RSUD Kota Salatiga.

Ha: Ada hubungan antara komunikasi terapeutik

perawat dengan tingkat kecemasan anak usia

prasekolah pada pemberian tindakan invasif di Ruang

Anggrek RSUD Kota Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai