Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

PEMBAHASAN

Bell’s palsy didefinisikan sebagai gangguan neurologis yang disebabkan

oleh adanya kerusakan pada nervus facialis (nervus VII), yang menyebabkan

kelemahan pada salah satu sisi wajah (Dewanto, 2009).

Dari definisi tersebut, bell’s palsy dapat diartikan sebagai suatu kelainan

pada saraf wajah yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan secara tiba-tiba

pada otot-otot di satu sisi wajah. Dalam hal ini fisioterapis berperan membantu

untuk meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan aktivitas kemampuan

fungsional pasien khususnya pada daerah wajah. Dengan menggunakan berbagai

macam modalitas yang ada, maka fisioterapis mampu untuk meningkatkan

kondisi pasien menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Tn. N datang ke fisioterapi pada minggu ketiga setelah terkena serangan

yaitu pada tanggal 14 Februari 2019 dengan keluhan utama adalah adanya rasa

tebal pada salah satu sisi wajah karena satu sisi nya mengalami kelemahan.

Diagnosa dari dokter, Tn. N di diagnosa terkena bell’s palsy. Sebelum nya pasien

telah mengkonsumsi obat yang diberikan dari dokter selama dua minggu, namun

tidak ada perubahan hingga kemudian dirujuk ke poli fisioterapi oleh dokter saraf.

Setelah dilakukan pemeriksaan fisik berupa palpasi, didapatkan hasil adanya

spasme pada otot-otot wajahnya. Pemeriksaan lainnya adalah pemeriksaan

fungsional otot-otot wajah dengan menggunakan Ugo Fisch Score (UFS), dari

hasil pemeriksaan didapatkan skor 49 atau berada dalam derajat sedang, serta

pengukuran dengan menggunakan House Brackmann berada pada derajat IV atau

35
36

disfungsi sedang ke parah. Dari kasus tersebut, terapis memilih modalitas terapi

latihan dengan metode kabat exercise. Selama pemberian terapi, pasien juga

diberi edukasi dan home program oleh terapis untuk dilakukan dirumah agar

menunjang kesembuhan pasien.

Namun sebelum dilakukan tindakan fisioterapi berupa terapi latihan

dengan metode kabat exercise, sesuai dengan rujukan yang diberikan oleh dokter

saraf bahwa pasien harus diberikan modalitas berupa terapi panas dengan

menggunakan Infrared. Infrared yang digunakan menggunakan infrared dengan

lampu luminous, tipe gelombang pendek dengan penetrasi dangkal. Kemudian

lampu terpasang secara tegak lurus dengan area yang diterapi yaitu pada bagian

spasme pada wajah dengan jarak 35-45 cm serta durasi waktu yang diberikan

adalah selama 15 menit.

Efek fisiologis yang dihasilkan dari penggunaan infrared adalah untuk

meningkatkan metabolisme dalam tubuh, vasodilatasi pembuluh darah,

pigmentasi, destruksi jaringan otot, memengaruhi jaringan otot serta urat saraf

sensoris. Sedangkan efek terapeutik dari infrared antara lain untuk mengurangi

dan mengilangkan rasa nyeri, relaksasi otot, meningkatkan suplai darah, dan

menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Sujatno et al, 2002).

Metode kabat exercise merupakan suatu teknik neurorehabilitasi yang

menggunakan pola gerakan spiral dan diagonal dalam hubungannya dengan

peregangan, resistensi dan teknik fasilitasi propioseptif lainnya untuk memperkuat

perekrutan neuromuscular (Monari et al., 2016).


37

Rehabilitasi fisik kabat adalah suatu pendekatan latihan terapi yang

mengkombinasikan secara fungsional pola gerakan diagonal dengan teknik

fasilitasi neuromuskular untuk membangkitkan respon motorik dan memperbaiki

kontrol dan fungsi neuromuskular. Pendekatan ini telah secara luas digunakan

untuk latihan, dan telah dikembangkan sejak tahun 1940 dan 1950 oleh Kabat,

Knott dan Voss (Kisner et al, 2007).

Teknik kabat dapat digunakan untuk mengembangkan kekuatan dan

ketahanan otot, memfasilitasi stabilitas, mobilitas, kontrol neuromuskular dan

gerakan-gerakan yang terkoordinasi, dan memberikan dasar untuk pemulihan

fungsi otot. Teknik kabat bermanfaat pada keseluruhan rangkaian rehabilitasi dari

fase awal penyembuhan jaringan (teknik neuromuskular cocok) hingga ke fase

akhir rehabilitasi (gerakan diagonal dengan kecepatan tinggi dapat dilakukan

melawan tahanan maksimal). Pendekatan latihan terapi ini menggunakan pola

diagonal dan penerapan petunjuk sensorik, khususnya proprioceptif untuk

mendapatkan respon motorik yang besar. Pada pendekatan ini telah diketahui

bahwa kelompok otot yang lebih kuat dari suatu pola diagonal memfasilitasi

kemampuan reaksi dari kelompok otot yang lebih lemah. Teknik dan pola kabat

rnerupakan bentuk yang penting dari latihan resistensi untuk mengembangkan

kekuatan, tahanan otot dan stabilitas dinamik (Kisner et al, 2007).

Teknik ini dapat diterapkan secara luas pada pasien-pasien dengan

gangguan muskuloskeletal (ekstremitas, leher, tubuh) dan wajah. Pada wajah,

secara rasional teknik ini dapat digunakan karena serabut-serabut ototnya paling

banyak berjalan secara diagonal, dengan suatu penyebaran yang mudah ke daerah
38

wajah bagian atas karena inervasi saraf fasialis yang menyilang. Pada teknik ini,

terdapat tiga fulcra yang diperhatikan, yaitu atas, tengah dan bawah. Fulcra atas

(dahi dan mata) dihubungkan melalui suatu aksis vertikal menuju fulcra

pertengahan (hidung), sedangkan fulcra yang lebih bawah (mulut) untuk

mengunyah dan artikulasi terletak disepanjang aksis horizontal. Karenanya, kerja

fulcra atas wajah juga melibatkan dua fulcra lainnya (Barbara et al, 2010).

Selama rehabilitasi, terapis memfasilitasi kontraksi neuromuskular dari

otot yang terganggu dengan menerapkan suatu regangan yang global kemudian

tahanan pada keseluruhan otot dan memotivasi kerja dengan input verbal dan

kontak manual. Pada fulcra atas, pengaktifan dari otot frontal, corrugators dan

orbicularis oculi dilakukan dengan traksi keatas atau ke bawah, yang selalu

berada pada bidang vertikal tergantung pada fungsi khusus yang harus diaktifkan.

Pada fulcra tengah, pengaktifan dari otot elevator communis dari cuping hidung

dan bagian atas bibir juga dikerjakan dengan gerakan traksi, mengikuti garis

vertikal. Untuk fulcra bawah, manuver dikerjakan pada m. orbicularis oris dan

risorium pada bidang horizontal dan m. mentalis pada bidang vertikal (Barbara et

al, 2010).

Rehabilitasi fisik kabat adalah salah satu bentuk latihan terapi yang telah

digunakan dalam penatalaksanaan pasien Bell’s palsy. Satu penelitian yang

dilakukan Barbara et al (2010) terhadap 20 orang penderita Bell’s palsy, yang

dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama (9 orang) diberi terapi

medikamentosa (kombinasi steroid dan antivirus) dengan rehabilitasi fisik,

sedangkan kelompok kedua (11 orang) hanya diberi medikamentosa. Rehabilitasi


39

fisik yang diberikan adalah berdasarkan konsep kabat. Rehabilitasi dimulai pada

hari ke-4 setelah onset paralisis fasialis, dengan satu sesi setiap hari selama 15

hari. Pasien kemudian di follow up selama 15 hari dan dinilai tingkat

perbaikannya berdasarkan House-brackmann pada hari ke 4, 7 dan 15 setelah

onset pengobatan. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa pasien-pasien pada

kelompok pertama yang mendapatkan rehabilitasi fisik secara jelas menunjukkan

perbaikan klinis yang lebih cepat dibandingkan kelompok tanpa rehabilitasi fisik.

Dari penjelasan diatas, bisa disimpulkan bahwa teknik kabat bermanfaat

pada keseluruhan rangkaian rehabilitasi dari fase awal penyembuhan jaringan

hingga ke fase akhir rehabilitasi. Kemudian secara rasional teknik ini dapat

digunakan karena serabut-serabut ototnya paling banyak berjalan secara diagonal,

dengan suatu penyebaran yang mudah ke daerah wajah bagian atas karena inervasi

saraf fasialis yang menyilang. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perbaikan

berdasarkan House Brackmann dengan metode kabat terlihat mulai pada hari ke 4

setelah onset pengobatan yang dilakukan satu sesi selama 15 hari. Sedangkan dari

hasil tindakan yang dilakukan oleh penulis, penulis hanya melakukan satu kali

penanganan. Selama satu kali tindakan tersebut, pasien tidak mendapat hasil

peningkatan kekuatan otot dan peningkatan kemampuan fungsional.

Anda mungkin juga menyukai