Anda di halaman 1dari 27

EFEKTIVITAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL INDIKASI

GEOGRAFIS DALAM MENINGKATKAN POTENSI DAERAH

THE EFFECTIVENESS OF INTELLECTUAL PROPERTY RIGHTS OF


GEOGRAPHICAL INDICATIONS TO INCREASE POTENTIAL LOCAL

Deky Paryadi 1
Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPP, Kemendag.
Gedung Utama Lantai 15 Jl M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat.

Abstrak
Indonesia memiliki kekayaan hayati dan budaya yang beraneka ragam. Dari
keanekaragaman tersebut telah dikembangkan berbagai bentuk produk yang
berbasis budaya atau pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dari
masing-masing suku bangsa yang ada. Produk-produk tersebut memiliki ciri khas
tertentu dan peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat maupun bangsa
Indonesia serta memiliki daya saing maupun potensi ekonomi yang dapat
dikomersilkan secara global. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian emperical legal research. Obyek dari penelitian ini adalah
penerapan HKI Indikasi Geografis yang telah didaftarkan di Direktorat Jenderal
HKI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Suatu
Indikasi Geografis dapat menjadi suatu simbol kedaulatan dan kebanggaan sebuah
daerah yang nantinya juga akan mewakili nama Indonesia ke dalam perdagangan
internasional.
Kata kunci : Potensi Daerah, Hak Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis

Abstract
Indonesia has a wealth of natural and cultural diversity. From this diversity has
developed various forms of culture or products based on traditional. These
products have a certain characteristic and important role in the lives of local
people and the nation of Indonesia as well as the competitiveness and economic
potential that can be commercialized globally. The method used in this research is
emperical legal research. The object of this research is the application of
Intellectual Property Rights Geographical Indication has been registered in the
Directorate General of Intellectual Property Rights, Ministry of Law and Human
Rights of the Republic of Indonesia. A Geographical Indication can be a symbol
of sovereignty and pride of an area that will also represent the name of Indonesia
in international trade.

Keywords: Potential Lokal, Intelektual Property Rights, Geographical Indication

1
Telp: 0818110403 Email: deckyparyadi@gmail.com

1
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber
daya manusia. Dengan jumlah lebih dari 17.500 pulau yang tersebar dari Sabang
sampai Merauke dan 34 provinsi di Indonesia membuka peluang bagi daerah
untuk dapat terus menggali potensi-potensi yang ada di daerahnya masih-masing.
Undang-undang otonomi daerah telah membuka ruang bagi pemerintah daerah
dalam mengembangkan dan memanfaatkan peluang ekonomi yang ada. Dari segi
sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan
mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang
tinggi sebagai contoh: Kopi Gayo, Kopi Kintamani, Kopi Toraja, Salak Pondoh
Jogja, Ubi Cilembu, Meubel Jepara, dan sebagainya. Kepopuleran produk tersebut
akan lebih baik jika mendapat perlindungan hukum yang akan melindungi
komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dan dapat memberikan
keuntungan ekonomis serta meningkatkan daya saing produk dalam perdagangan
Internasional Indonesia.
Salah satu potensi daerah yang dapat dikembangkan sehingga dapat
memberikan ciri daerah yang bersangkutan adalah potensi yang berkenaan dengan
produk asli daerah, seperti produk-produk unggulan spesifik lokasi yang mana
produk-produk tersebut sangat lekat dengan pengetahuan tradisional dan kearifan
lokal. Produk-produk unggulan spesifik lokasi dalam bidang pertanian, perikanan
dan kerajinan unggulan banyak yang telah memiliki reputasi baik, sehingga
produk-produk tersebut perlu mendapatkan perlindungan hukum serta sekaligus
sebagai sarana untuk promosi dalam pemasarannya.2
Produk-produk yang berpotensi tersebut dikenal karena kekhasannya dan
muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut dengan lingkungan,
sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan tersebut tidak akan dapat
diperoleh di lokasi lain, meskipun bila komoditas atau bahan bakunya sama.
Kekhasan yang dimiliki oleh produk-produk yang ada merupakan keunggulan
produk dan wilayah tersebut dari produk sejenis yang dihasilkan oleh wilayah

2
Agus Sardjono, “Perkembangan Perlindungan Hukum atas Indikasi Geografis, Sumber Daya
Genetika, dan Pengetahuan Tradisional di Indonesia”, dalam Lokakarya Kepentingan Negara
Berkembang Atas Indikasi Geografis, (Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan
Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005), hal 15.

2
lain.3 Kekhasan tersebut muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut
dengan lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan tersebut
tidak akan dapat diperoleh di lokasi lain, meskipun bila komoditas atau bahan
bakunya sama.
Indonesia memiliki kekayaan hayati dan budaya yang beraneka ragam. Dari
keanekaragaman tersebut telah dikembangkan berbagai bentuk produk yang
berbasis budaya atau pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dari
masing-masing suku bangsa yang ada. Produk-produk tersebut memiliki ciri khas
tertentu dan peran penting dalam kehidupan masyarakat setempat maupun bangsa
Indonesia serta memiliki daya saing maupun potensi ekonomi yang dapat
dikomersilkan secara global. Hal tersebut dapat dilihat, dimana pada saat ini
banyak produk –produk yang berbasis pengetahuan tradisional dari negara-negara
maju telah mampu memberi manfaat ekonomi bagi masyarakatnya.4
Melihat fenomena tersebut, perlindungan atas Indikasi Geografis (IG)
sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat diperlukan. Indikasi
Geografis suatu produk memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada
konsumen tentang adanya nilai lebih pada produk yang ditawarkan, baik
mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang dapat meningkatkan daya saing yang
cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara.
Indikasi Geografis suatu produk memegang peranan vital dalam
memberikan kesan kepada konsumen tentang adanya nilai lebih pada produk yang
ditawarkan, baik mengenai kualitas maupun sifat-sifat yang dapat meningkatkan
daya saing yang cukup kuat dan akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai
negara. Dalam khasanah keilmuan, ciri khas wilayah yang melekat pada produk
yang memiliki karakteristik berbeda dengan produk sejenis lainnya, karena faktor
lingkungan geografis termasuk faktor alam dan faktor manusia, atau kombinasi di
antara keduanya, dikenal dengan istilah indikasi geografis (geographical
indication) yaitu “a sign used on goods that have a specific geographical origin

3
Cita Citrawinda Noerhadi, Kepentingan Negara Berkembang terhadap Hak atas Indikasi
Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional, (Jakarta: Lembaga Pengkajian
Hukum Internasional FHUI, 2005), hal 10.
4
Sudarmanto, “Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual Masyarakat
Indonesia”, dalam Lokakarya Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis, (Depok:
LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, 2005), hal 109.

3
and process qualities or a reputation that are due to that place of origin”.5 Dari
rumusan tersebut, tampak bahwa indikasi-geografis dapat digunakan sebagai
tanda yang menunjukkan “nama wilayah” asal suatu komoditas atau suatu produk
yang kualitas dan karakteristik khasnya dipengaruhi oleh faktor geografis.
Bagi negara seperti Indonesia perlindungan terhadap indikasi geografis
sudah sangat diperlukan. Perlindungan ini diperlukan mengingat Indonesia adalah
negara yang memiliki alam yang melimpah dan sumber daya manusia yang
mampu menghasilkan produk-produk bernilai seni dan memiliki ciri khas dari
daerah dimana produk itu dibuat atau dihasilkan. Indonesia yang ikut dalam
penandatangan Perjanjian Trade Related Intelectual Property Rights (TRIPs)
memandang bahwa Perjanjian TRIPs, yang menjadi bagian dari Perjanjian
pembentukan World Trade Organization (WTO) (Agreement Establishing the
World Trade Organization) merupakan dasar dari perlindungan hukum terhadap
Indikasi Geografis di Indonesia.6
Tidak hanya di Indonesia, Negara-negara lain pun saat ini tengah berlomba-
lomba untuk meningkatkan kekhasan daerah mereka masing masing melalui
indikasi geografis yang telah mereka daftarkan. Beberapa potensi indikasi
geografis di Negara Asia selain Indonesia antara lain: Bario Rice (Malaysia);
Pomelo From Nam Roi (Vietnam); Rice from Battabang, Cardamom, Pranoc
(Fish sauce), Pepper from Kampot (Kamboja); Alcohol From Cereals, Mootai
(Gui Zhou), Longjing Tea From Huangzhou (Zhetiang), Xuanwei Ham (Yunnan),
Mengshan tea (Sinchuan),Shuijing Alcohol (Sinchuan), Ginseng From
Changbaishan, Art paper from Xuancheng,Yellow Rice Spirit from Shaoxing
(Cina); Durian from Chanthaburi, Rayong,Mangosteem from Rayong, Pineapple
from Phuket, Salted eggs from Chai Ya (Surattnani), Oysters from Surattnani,
Wine from Loei, Pak Chong, Khao Yai, Gold from Sukhotai (Thailand).7
Masalah indikasi geografis diatur dalam Perjanjian Trade Related Aspect of
Intellectual Property Rights (TRIPs), yang mewajibkan negara-negara anggota

5
WIPO, Intellectual Property – Some Basic Definitions, http://www.wipo.int/about-
ip/en/studies/publications/ip_definitions.htm, diunduh pada 2 April 2015.
6
Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, (Jakarta: Alumni, 2005),
hal 6.
7
Saky Septiono, Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis Indonesia,
http://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-
Geografis-Indonesia#scribd, hal 5, (diunduh 16 Mei 2015).

4
untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis dengan tujuan memberikan
perlindungan hukum terhadap praktek atau tindakan persaingan curang. Sebagai
catatan berdasarkan laporan WIPO International Bureau pendekatan yang
dipandang dalam perlindungan indikasi geografis berdasar pada empat katagori
pertimbangan hukum yaitu: (1) unfair competition and passing of, (2) collective
and certification mark, (3) protected appellations of originand registered
geographical indications dan (4) administratives schemes for protection.8
Sebagai negara yang ikut menandatangani persetujuan Trade-Related
Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai hasil dari putaran
Uruguay yang berbicara mengenai Hak Kekayaan Intelektual (HKI), pada tanggal
15 April 1994 dan dengan diratifikasinya Persetujuan Pembentukan World Trade
Organization (WTO) oleh Indonesia pada tanggal 2 November 1994 9 maka
Indonesia wajib menerima persetujuan-persetujuan WTO dan yang menjadi
lampirannya, termasuk TRIPs. Indonesia wajib menyesuaikan kerangka hukum
nasionalnya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tingkat perlindungan atas
enam jenis hak kekayaan intelektual sebagaimana terdapat dalam persetujuan
TRIPs, termasuk perlindungan indikasi geografis. Salah satu langkah dalam
pelaksanaan komitmen tersebut adalah Indonesia mengintegrasikan perlindungan
indikasi geografis ke dalam Undang-Undang RI No. 15 Tahun 2001 tentang
Merek dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 tentang Indikasi
Geografis.
Perkembangan perdagangan global telah membuktikan bahwa hak kekayaan
intelektual (HKI) telah menjadi salah satu komponen yang sangat penting dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dimasukannya Persetujuan
mengenai Aspek-aspek Hak Kekayaan Intelektual yang terkait dengan
Perdagangan (TRIPs) sebagai salah satu bagian dari paket Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Sedunia (WTO) merupakan bukti nyata
semakin pentingnya peran HKI dalam perdagangan.
Salah satu aspek hak khusus pada HKI adalah Hak Ekonomi (economic
rights), yakni hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas kekayaan
8
WIPO Standing Commiitee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and Geographical
Indication, SCT/8/4, April 2, 2002 at paras. 66-71.
9
Indonesia, Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, UU No. 7
tahun 1994, LN No. 57 Tahun 1994, TNL No. 3564.

5
intelektual.10 Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang
diperoleh karena penggunaan sendiri HKI, atau karena penggunaan HKI oleh
pihak lain berdasarkan lisensi. Kenyataan adanya nilai ekonomi diatas,
menunjukkan bahwa HKI merupakan salah satu objek perdagangan.11
Di era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, banyak negara yang
mulai mencari alternatif. produk baru untuk diperdagangkan. Mereka menggali
produk-produk yang berbasis pengetahuan tradisional dari negara-negara
berkembang yang banyak memiliki kekayaan budaya seperti yang ada di
Indonesia, untuk dapat diekskplorasi dan dikembangkan lebih jauh. Sehingga
produk tersebut mampu menguasai pasar dunia tanpa ada kontribusi terhadap
negara atau masyarakat pemilik produk asal tersebut. Dalam hal ini peran
perlindungan HKI Indikasi Geografis menjadi vital dalam melindungi
kepentingan bangsa dari kepentingan pihak asing.
Manfaat perlindungan Indikasi Geografis ini adalah memberikan
perlindungan hukum pada setiap komoditas barang atau produk, sekaligus sebagai
strategi pemasaran barang atau produk Indikasi Geografis dalam transaksi
perdagangan, baik di dalam maupun di luar negeri. Perlindungan ini sekaligus
memberikan nilai tambah pada produk berpotensi Indikasi geografis di daerah
yang poten sial meningkatkan kemampuan ekonomi daerah. Di samping itu, juga
tercipta adanya persamaan perlakuan atas perlindungan dan promosi Indikasi
Geografis di luar negeri, sekaligus sebagai salah satu alat untuk menghindari
persaingan curang yang sangat merugikan berbagai pihak.12
Sesungguhnya di tingkat internasional Indikasi Geografis semakin menarik
minat dan menjadi popular. Pemerintah Indonesia pun menyadari bahwa
pemanfaatan maupun perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia belum
maksimal, meskipun diakui bahwa beberapa komoditas Indonesia sudah
mendapatkan reputasi yang harus dijaga, karena pengembangan indikasi geografis

10
A. Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: Cet. Ke-1,
Citra Aditya Bakti, 2001) hal 20.
11
Yeti Sumiyati, Tatty Aryani Ramli, Rusli Iskandar, Kajian Yuridis Sosiologis mengenai
Indikasi Geografis Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), (MIMBAR, Vol. XXIV, No.
1, Januari - Juni 2008), hal 79-88.
12
E. Junus, “Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis sebagai Bagian dari HKI dan
Pelaksanaannya di Indonesia”, Makalah pada Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis
di Indonesia, (Jakarta, 6-7 Desember 2004).

6
akan meningkatkan dan mempertahankan nilai tambah komoditas - komoditas
tersebut.13 Persaingan pasar yang semakin ketat dalam perdagangan internasional,
mengharuskan adanya kreatifitas dari pelaku usaha dan pemerintah, sehingga
diferensiasi produk merupakan salah satu cara yang dapat menarik konsumen.
Dengan memenuhi persyaratan pendaftaran Indikasi Geografis, maka hal tersebut
dapat meningkatkan profesionalisme petani, pengrajin dan produsen lain serte
membawa berbagai manfaat lain seperti perlindungan terhadap praktik usaha tidak
sehat, perlindungan konsumen, meningkatkan daya saing, menarik investasi dan
menerobos pasar baru, baik domestik maupun internasional.
Indonesia sebagai negara berkembang harus mampu mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk dapat mengantisipasi segala perubahan dan
perkembangan serta kecenderungan global sehingga tujuan nasional dapat
tercapai. Salah satu langkah penting yang dilakukan adalah penguatan sistem Hak
Kekayaan Intelektual yang efektif dan kompetitif secara nasional maupun
internasional

PERMASALAHAN
Dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka, terdapat
beberapa permasalahan yang hendak dijawab dalam penelitian ini, antara lain
sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk keuntungan ekonomis yang diperoleh pemegang hak
Indikasi geografis?
2. Bagaimana Indikasi Geografis dapat mendorong perekonomian daerah?

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
emperical legal research. Metode ini dipilih karena obyek kajian penelitian adalah
mengenai fakta (reality) dari interaksi antara hukum dan masyarakat. Realitas
yang menjadi pengamatan penelitian ini berupa pengaruh penerapan peraturan
terhadap perilaku masyarakat dan atau mengenai perilaku masyarakat yang
13
Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan,
Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia Dengan Pengembangan Indikasi Geografis,
2004.http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?
module=news_detail&news_content_id=406&detail=true

7
mempengaruhi pembentukan hukum. Seperti yang dikatakan oleh Holmes, that
the life of the law was experiences, as well as logic. Beliau menekankan aspek
empiris dan pragmatis dari hukum. Ruang lingkup perilaku yang diamati adalah
perilaku verbal yang di dapat melalui wawancara dengan narasumber dan
stakeholder yang terkait.
Obyek dari penelitian ini adalah penerapan HKI Indikasi Geografis yang
telah didaftarkan di Direktorat Jenderal HKI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia. Penelitian ini menggunakan data primer dan data
sekunder. Data primer akan di dapat dengan cara wawancara dengan pemangku
kepentingan terkait permasalahan penelitian. Adapun narasumber dalam penelitian
ini adalah para pengambil keputusan atau pihak yang berkompeten dari berbagai
institusi yang terkait diatas, wakil pemerintah dan pelaku usaha sebagai pemegang
HKI Indikasi Geografis
Data sekunder dalam penelitian ini akan didapat melalui studi kepustakaan.
Penggunaan data sekunder atau kepustakaan dimaksudkan untuk;
1) Memberitahu pembaca mengenai hasil penelitian lain yang berhubungan
dengan penelitian yang sedang dilakukan;
2) Menghubungkan suatu penelitian yang dilakukan secara
berkesinambungan untuk mengisi kekurangan dan memperluas penelitian
lainnya; dan
3) memberikan kerangka dan acuan untuk membandingkan suatu penelitian
dengan temuan-temuan lainnya.
Adapun data sekunder dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier dan bahan non hukum.
Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait Hak
Kekayaan Intelektual. Bahan hukum sekunder berupa artikel, buku, hasil
penelitian, jurnal, makalah dan tulisan ilmiah lainnya di bidang hukum yang
membahas mengenai HKI Indikasi Geografis dan Perdagangan. Bahan hukum
tersier berupa kamus dan ensiklopedia hukum serta dari media elektronik berupa
internet. Bahan non hukum adalah segala dokumen, gambar, data statistik, berita
surat kabar dan berbagai artikel umum.

8
Data yang terkumpul dalam penelitian ini akan dianalisis secara deskriptif
dengan pendekatan kualitatif (qualitative approach), yaitu dengan memberikan
pemaparan dan menjelaskan secara menyeluruh dan mendalam
(holistic/verstelen), berdasarkan kata-kata yang disusun dalam sebuah latar ilmiah,
untuk mengungkap apa yang tampak maupun yang terdapat dibalik peristiwa
nyata dengan maksud mencari pemahaman dan jawaban dari pokok permasalahan
penelitian.
Penulis memilih objek penelitian Hak Indikasi Geografis yang sudah
dimiliki oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi
Kintamani Bali dan Meubel Ukir Jepara. Selain itu, karena penelitian ini terkait
dengan perdagangan, maka indikator pemilihan produk juga menjadi alasan
mengapa menjadikan produk kopi dan meubel sebagai pilihan.
Penulis memilih produk kopi dan meubel sesuai dengan indikator 10 produk
ekspor utama yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan, diantaranya
adalah14 Tekstil dan Produk Tekstil, Elektronik, Karet dan Produk Karet, Sawit,
Produk Hasil Hutan, Alas Kaki, Otomotif, Udang, Kakao dan Kopi. Dari
kesepuluh produk ekspor utama tersebut, yang beririsan dengan Indikator
Geografis yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Kementerian Hukum dan HAM adalah Kopi Kintamani dan Meubel Ukir Jepara,
dimana meubel merupakan produk turunan dari produk hasil hutan dan Kopi
Kintamani Bali merupakan produk yang pertama yang mendaftarkan diri sebagai
pemegang Indikasi Geografis di Indonesia.

TEORI DAN KONSEPSIONAL


1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran
yang sistematis mengenai masalah yang akan diteliti. Teori ini masih bersifat
sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam
realitas. Kerangka teoritis lazimnya dipergunakan dalam penelitian ilmu-ilmu

14
http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-
main-commodities

9
sosial dan juga dapat dipergunakan dalam penelitian hukum yaitu pada penelitian
hukum sosiologis dan empiris.15
Teori yang relevan untuk menjelaskan tentang efektivitas hukum adalah
Teori Efektivitas Hukum dari Donald Black. Untuk menyatakan efektivitas suatu
hukum seyogianya dibicarakan lebih dahulu hukum dalam tataran normatif (law
in books) dan hukum dalam tataran realita (law in action), sebab tanpa
membandingkan kedua variabel ini adalah tidak mungkin untuk mengukur tingkat
efektifitas hukum. Donald Black berpendapat bahwa efektifitas hukum adalah
masalah pokok dalam sosiologi hukum yang diperoleh dengan cara
membandingkan antara realitas hukum dalam teori (law in theory) dengan realitas
hukum dalam praktek (law in active) sehingga nampak adanya kesenjangan antara
keduanya. Hukum dianggap tidak efektif jika terjadi disparitas antara realitas
hukum dan ideal hukum. Untuk mencari solusinya, langkah apa yang harus
dilakukan untuk mendekatkan kenyataan hukum dengan ideal hukum agar 2 (dua)
variable (law in theory dan law in action) menjadi sama. Pertanyaan selanjutnya
adalah manakah yang harus berubah dari kedua variable tersebut, apakah
hukuman yang harus diubah agar sesuai dengan tuntutan masyarakat atau
sebaliknya, yaitu tingkah laku masyarakat yang harus berubah mengikuti
kehendak hukum.16
Politik domestik berhubungan langsung dengan semua isu dan aktivitas di
dalam sebuah batas negara. Politik domestik dalam kebijakan perdagangan
menghadirkan dua pendekatan. Pendekatan society centered (pendekatan berpusat
pada masyarakat), yaitu menyatakan bahwa segala kebijakan perdagangan dalam
suatu negara merupakan kebijakan yang hadir sebagai respon dari tuntutan
kelompok kepentingan domestik (domestic interest groups). Sedangkan
pendekatan state centered (pendekatan berpusat pada negara) menyatakan bahwa
segala kebijakan perdagangan yang diambil dalam suatu negara merupakan upaya
negara otonom untuk meningkatkan posisinya dalam sistem internasional.17

15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 127.
16
Achmad Ali, Donald Black: Karya dan Kritikan Terhadapnya (Dilengkapi Komentar Awal
sebagai Prolog dan Komentar Penutup sebagai Kesimpulan), Makassar, 2000, hal. 95
17
Thomas Oatley, International Political Economy: Interest and Institutions in The Global
Economy, (University of North Carolina Chapel Hill, Longman, 2004), hal 76.

10
Dalam tulisan ini digunakan pendekatan society centered, yaitu untuk
menganalisis bagaimana upaya dari kelompok kepentingan domestik dalam
mempengaruhi kebijakan perdagangan yang diputuskan oleh pemerintah dalam
sebuah negara. Kepentingan sosial tidak bertranformasi langsung dalam kebijakan
perdagangan, namun kepentingan sosial dibawa ke dalam arena politik dan
bertranformasi dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang dihasilkan yang diproses
melalui institusi politik.18 Institusi politik dapat dianggap sebagai wadah bagi
masyarakat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingannya.
Konsep politik domestik dalam kebijakan perdagangan ini dianggap relevan
dalam menjelaskan kasus ini yaitu dengan menggunakan pendekatan society
centered. Pendekatan society centered digunakan untuk menjelaskan bahwa
kebijakan yang diambil oleh pemerintah yaitu sertifikasi indikasi geografis
merupakan hasil dari tuntutan para aktor domestik yang tergabung dalam
kelompok kepentingan domestik. Melalui pendekatan ini akan dikaji bagaimana
para aktor domestik yaitu kelompok kepentingan mengupayakan perlindungan
indikasi geografis dalam berbagai aspek sesuai dengan ranah tanggung jawabnya
masing-masing.

2. Kerangka Konsepsional
Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti, sedangkan
konsep atau variabel merupakan abstraksi dari gejala atau fenomena yang akan
diteliti. Kerangka konsepsional pada hakekatnya merupakan suatu pengarah atau
pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih
bersifat abstrak. Kerangka konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman
dan penafsiran yang keliru dan memberikan arah dalam penelitian ini.

a. Efektivitas
Secara etimologi, kata efektivitas berasal dari kata efektif sebagai
terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris yang dalam bahasa Indonesia
memiliki makna berhasil, dan dalam bahasa Belanda di kenal dengan kata

18
ibid, hal 96.

11
effective yang memiliki makna berhasil guna.19 Secara umum, kata efektivitas
menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah
ditetapkan. Jika hasilnya semakin mendekati sasaran berarti makin tinggi
efektivitasnya.20 Dalam konteks dengan hukum, maka efektivitas hukum secara
tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan hukum, yaitu keberhasilan
dalam mengimplementasikan hukum itu sendiri dalam tatanan masyarakat.
Adapun secara terminologi, para pakar hukum dan pakar sosiologi
memberikan pandangan yang beragam tergantung pada sudut pandang masing-
masing pakar. Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat
efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat
terhadap hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya, sehingga dikenal suatu
asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indicator
berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda
bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk
mempertahankan dan menghubungi masyarakat dalam pergaulan hidup.21
Selanjutnya Soejono Soekanto mengungkapkan juga bahwa yang di maksud
dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang
ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, dan agar kaidah
hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan kehidupan
masyarakat, maka dikatakan lebih lanjut oleh Soerjono Soekanto bahwa kaidah
hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut haruslah mengandung tiga
unsur sebagai berikut:22
a) Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen), atau bila terbentuk
menurut cara yang telah ditentukan atau ditetapkan (W. Zevenberger), atau
apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan
akibatnya (J.H.A. Logeman);

19
Nurul Hakim, Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa dengan Lembaga Peradilan, www.badilag.net., di unduh pada tanggal 4 Mei 2015.
20
Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002),
hal. 24.
21
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Bandung: Rajawali Pres, 1996), hal. 19.
22
Ibid, hal 57.

12
b) Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya
kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori
kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan);
c) Hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif tertinggi.
Sartjipto Rahardjo menyatakan dengan tegas bahwa bekerjanya hukum
dalam masyarakat tidak serta merta dan terjadi begitu saja, karena hukum
bukanlah merupakan hasil karya pabrik, yang begitu keluar langsung dapat
bekerja, melainkan memerlukan beberapa langkah yang memungkinkan ketentuan
(hukum) tersebut dijalankan atau bekerja.23
Sekurang-kurangnya ada empat langkah yang harus dipenuhi untuk
mengupayakan hukum atau aturan atau ketentuan dapat bekerja dan berfungsi
(secara efektif) yaitu:24
a) Adanya pejabat/aparat penegak hukum sebagaimana ditentukan dalam
peraturan hukum tersebut;
b) Adanya orang (individu/masyarakat) yang melakukan perbuatan hukum,
baik yang mematuhi atau melanggar hukum;
c) Orang-orang tersebut mengetahui adanya peraturan;
d) Orang-orang tersebut sebagai subjek maupun objek hukum bersedia untuk
berbuat sesuai hukum.

b. Indikasi Geografis
Secara garis besar HKI dibagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
1) Hak Cipta (copyright);
2) Hak kekayaan industri (industrial property rights), yang mencakup:
- Paten (patent);
- Desain industri (industrial design);
- Merek (trademark);
- Penanggulangan praktek persaingan curang (repression of unfair
competition);
- Desain tata letak sirkuit terpadu (layout design of integrated circuit);
23
Sartjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung:Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 70.
24
Ibid, hal 72.

13
- Rahasia dagang (trade secret).
3) Indikasi Geografis (Geographical Indication)
Dari sekian banyak jenis HKI yang disebutkan, yang menjadi concern saya
dalam artikel ini adalah Indikasi Geografis. Banyak hal dan alasan kenapa saya
mencoba memilih Indikasi Geografis dalam tulisan ini, salah satunya adalah
keunikan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia.
Indikasi geografis adalah tanda yang digunakan untuk produk yang
mempunyai asal geografis spesifik dan mempunyai kualitas atau reputasi yang
berkaitan dengan asalnya. Pada umumnya indikasi geografis terdiri dari nama
produk yang diikuti dengan nama daerah atau tempat asal produk.
Dari segi definisi, Indikasi Geografis mengandung pengertian25

“A Geographical Indication is a sign used ongoods that have specific


geographical origin and possess qualities or a reputation that are due tothat
place of origin. Most commonly, a geographical indications consists of the
name of the place of originof the goods. Agricultural products typically
havequalities that derive from their place of production andare influence by
specific local factors, such as climateand soil.”

Dari pengertian di atas dapat diuraikan ciri atau unsur-unsur pokok Indikasi
Geografis sebagai berikut:
1) Sebagai tanda yang diambil dari nama daerah yang merupakan ciri khas
suatu produk atau barang yangdiperdagangkan;
2) Sebagai tanda yang menunjukkan kualitas atau reputasi produk atau
barang yang bersangkutan;
3) Kualitas barang tersebut dipengaruhi oleh alam, cuaca dan tanah di daerah
yang bersangkutan;
Jadi jelas dari uraian di atas bahwa Indikasi geografis menyangkut
perlindungan atas nama asal barang terhadap barang-barang tertentu Perlindungan
atas indikasi geografis diatur dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan 24
Perjanjian Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Namun demikian,
istilah mengenai indikasi geografis dan perlindungan hukumnya sudah dikenal
sejak dahulu. The common law doctrin of passing off, based on protection against

25
http://www.wipo.int/geo_indications/en/about.html.

14
the tort of unfair competition telah diberlakukan guna melindungi produsen dari
penggunaan asal barang yang menyesatkan.26
Ketentuan hukum di Inggris dan Amerika sebagai contoh mengatur
perlindungan indikasi geografis dalam collective mark dan certification mark.27
dan pada sistem hukum Civil Law The Appellation Of Origin telah digunakan
untuk melindungi klaim asal barang yang menyesatkan (false claims of
geographic origin)28
Definisi yang berkaitan dengan Indikasi Geografis dalam beberapa
perjanjian Internasional, antara lain:29
Indication of Source dalam Madrid Agreement, Art (1)

“All goods bearing a false or deceptive indication by which one of the


countries to which this agreement applies, or a placesituated therein, is
directly or indirectly indicated as being thecountry ar place of origin shall be
seize on importation into any of the said countries”

Appelations of Origin dalam Lisbon Agreement

(1) ….appelation of origin means the geographical name of acountry, region


or locality, which serves to designate a product originating therein, the quality
and characteristics of which aredue exclusively or essentially to the
geographical environment, including natural and human factors.

(2) The country of origin is the country whose name, or thecountry in which is
situated the region or locality whose name,constitutes the appellation of
origin which has given the product is reputation.

TRIPs Article (22.1)

For the purpose of this agreement, Indications which indentify agood as


originating an territory of a member, or a region or locality in that territory,
where a given quality, reputation or other characteristic of the good is
essentially attributable to its geographical origin

26
On The Common Law Doctrine Of Passing Of, lihat W.R. Cornish, Intellectual Property:
Patents, Copyright, Trade Mark, and Allied Rights (4th ed.1999), at Chapter 16.
27
Di Inggris, sebagai contoh, Stilton chesse dan Harirs Tweed dilindungi Dalam Certification
Trade Mark, The Harris Tweed mark terdaftar pada tahun 1909.
28
Resource Book on TRIPS and Development., UNCTAD-ICTSD Project on IPRs and
Sustainable Development. Cambridge University 2005. Hal.270.
29
Septiono, op.cit, hal.2.

15
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2007 Tentang Indikasi
Geografis.30
(1) Indikasi-Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal
suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri
dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Pembahasan
Hak kekayaan Intelektual (HKI) bagi sebagian besar masyarakat Indonesia
mungkin sudah sering mengenai. Namun apa sebenarnya HKI? Hak Kekayaan
Intelektual, disingkat "HKI" atau akronim "HaKI", adalah padanan kata yang
biasa digunakan untuk Intellectual Property Rights (IPR), yakni hak yang timbul
bagi hasil olah pikir yang menghasikan suatu produk atau proses yang berguna
untuk manusia. Pada intinya HKI adalah hak untuk menikmati secara ekonomis
hasil dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya-
karya yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Sistem HKI merupakan hak privat (private rights). Disinilah ciri khas HKI.
Seseorang bebas untuk mengajukan permohonan atau mendaftar karya intelektual
atau tidak. Hak eksklusif yang diberikan negara kepada individu pelaku HKI
(inventor, pencipta, pendesain, dan sebagainya) tidak lain dimaksud sebagai
penghargaan atas hasil karya (kreativitas)nya dan agar orang lain terangsang
untuk lebih lanjut mengembangkan lagi, sehingga dengan sistem HKI tersebut
kepentingan masyarakat ditentukan melalui mekanisme pasar. Di samping itu,
sistem HKI menunjang diadakannya sistem dokumentasi yang baik atas bentuk
kreativitas manusia sehingga kemungkinan dihasilkan teknologi atau hasil karya
lain yang sama dapat dihindarkan/dicegah. Dengan dukungan dokumentasi yang
baik tersebut, diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan maksimal
untuk keperluan hidup atau mengembangkan lebih lanjut untuk memberikan nilai
tambah yang lebih tinggi lagi.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber
daya manusia, sebagian besar potensi sumber daya alam di Indonesia banyak
terdapat di daerah. Hal tersebut membuka peluang bagi daerah di Indonesia untuk

30
Peraturan Pemerintah Tentang Indikasi Geografis. PP. No. 51 tahun 2007,Pasal 1, TLN 4763.

16
dapat secara terus menerus menggali potensi-potensi yang ada di daerah untuk
dapat dikembangkan dalam era otonomi daerah seperti yang dewasa ini.
Salah satu potensi daerah yang dapat dikembangkan sehingga dapat
memberikan ciri daerah yang bersangkutan adalah potensi yang berkenaan dengan
produk asli daerah, yaitu produk-produk unggulan spesifik lokasi yang sangat
lekat dengan pengetahuan tradisional dan kearifan lokal. Dari segi sumberdaya
alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di
pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh:
Kopi Gayo, Kopi Toraja, Tembakau Deli, Pala Banda, Ubi Cilembu, Batik
Pekalongan, Jenang Kudus, Ukir jepara dan sebagainya. Keterkenalan produk
tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk
melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan
(Septiono, Saky, 2011).
Kekhasan tersebut muncul akibat adanya interaksi antara komoditas tersebut
dengan lingkungan, sosial budaya, dan teknologi setempat. Kekhasan tersebut
tidak akan dapat diperoleh di lokasi lain, meskipun bila komoditas atau bahan
bakunya sama. Wilayah yang terbatas dan tidak mungkin bertambah, permintaan
yang terus menerus dan semakin meningkat adalah potensi keuntungan yang dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat wilayah penghasil produk khas
tersebut. Dalam kenyataannya saat ini, kekhasan tersebut kadang tidak sempat
dimanfaatkan oleh masyarakat wilayah penghasil produk, tetapi dimanfaatkan
oleh pelaku usaha atau masyarakat wilayah lain.
Melihat fenomena tersebut, perlindungan atas Indikasi Geografis sebagai
bagian dari Hak Kekayaan Intelektual sangat diperlukan. Indikasi Geografis suatu
produk memegang peranan vital dalam memberikan kesan kepada konsumen
tentang adanya nilai lebih pada produk yang ditawarkan, baik mengenai kualitas
maupun sifat-sifat yang dapat meningkatkan daya saing yang cukup kuat dan
akhir-akhir ini banyak dikembangkan di berbagai negara.
Terkait dengan regulasi di Indonesia, aturan Indikasi Geografis, terdapat
dalam undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menjadi dasar
pengaturan perlindungan Indikasi Geografis, dimana dalam Pasal 56 UU Merek
tersebut menyatakan:

17
“Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan
daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografisnya
termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor
tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang
dihasilkan”.

Sebagai tindak lanjut dari UU Merek tersebut, Pemerintah juga mengatur


lebih khusus Indikasi Geografis melalui Peraturan Pemerintah No 51 Tahun 2007
dan menjelaskan secara spesifik dalam Pasal 1 mengenai definisi Indikasi
Geografis yaitu:
“Indikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal
suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor
alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.
Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek yang
berhak untuk mengajukan permintaan pendaftaran Indikasi Geografis ada
beberapa pihak diantaranya adalah :
(1) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi
barang yang bersangkutan, yang terdiri atas:
(a) pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau
kekayaan alam;
(b) produsen barang hasil pertanian;
(c) pembuat barang-barang kerajinan tangan atau hasil industri; atau
(d) pedagang yang menjual barang tersebut.
(2) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau
(3) Kelompok konsumen barang tersebut.
Sementara itu, dalam Pasal 24 UU 18/2004 Tentang Perkebunan, diatur juga
mengenai indikasi geografis sebagai berikut:
(1) Wilayah geografis yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat
spesifik lokasi dilindungi kelestariannya dengan indikasi geografis.

(2) Wilayah geografis yang sudah ditetapkan untuk dilindungi kelestariannya


dengan indikasi geografis dilarang dialihfungsikan.

(3) Setiap orang atau badan hukum yang melanggar ketentuan sebagimana
dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi berupa wajib membatal-alihkan

18
fungsi yang bersangkutan dan wajib mengembalikan wilayah geografis
kepada fungsi semula.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai wilayah geografis sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi jenis tanaman perkebunan
dan hubungannya dengan cita rasa spesifik hasil tanaman tersebut serta
tata cara penetapan batas wilayah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Berdasarkan regulasi yang ada tersebut, terdapat dua pendekatan berbeda


dalam mengatur Indikasi Geografis di Indonesia. Secara umum dapat dikatakan
bahwa UU 15/2001 mengatur tentang tata cata pendaftaran dan pemberian
Indikasi Geografis. Sementara UU 18/2004 Tentang Perkebunan mengatur tentang
tata cara penetapan batas wilayah Indikasi Geografis dalam hubungannya dengan
citarasa spesifik yang dihasilkan tanaman perkebunan. Dengan demikian, UU
15/2001 mengatur Indikasi Geografis sebagai bagian dari merek, sehingga
pendekatan yang dilakukan adalah berbasis kebendaan (hak), yakni sebagai suatu
HKI yang dilindungi. Sementara itu, UU 18/2004 mengatur Indikasi Geografis
sebagai bagian dari wilayah usaha perkebunan, sehingga pendekatan yang
dilakukan adalah berbasis kewilayahan (spasial), dalam suatu konsep peruntukan
tata ruang bagi usaha perkebunan.
Peraturan pelaksana dari UU 15/2001 adalah Peraturan Pemerintah Nomor
51 tahun 2007 tentang Indikasi Geografis (PP 51/2007), sementara peraturan
pelaksana dari UU 18/2004 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2009
tentang Perlindungan wilayah geografis Penghasil Produk Perkebunan Spesifik
Lokasi (PP 31/2009). Keseluruhan peraturan perundang-undangan ini secara
spesifik menjelaskan bahwa barang Indikasi Geografis tidak hanya terbatas pada
wines and spirits, tetapi juga mencakup barang kerajinan, hasil pertanian, produk
olahan, dan barang lainnya. Namun, kelengkapan instrumen hukum ini masih
memerlukan tindakan konkrit.
Dalam Pasal 1 poin 1 PP 51/2007 disebutkan bahwa Indikasi Geografis
adalah “suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena
faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau
kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada
barang yang dihasilkan.”

19
Dalam Pasal 2, dilanjutkan bahwa tanda demikian merupakan nama
tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat
dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi- geografis. Barang dapat
berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan, atau barang lainnya.
Tanda ini kemudian dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila telah terdaftar
dalam Daftar Umum Indikasi Geografis di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Kementerian Hukum dan HAM. Terkait jangka waktu, Indikasi
Geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar
bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi-geografis tersebut masih ada.
Indikasi-geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik umum, melainkan
menjadi milik pendaftar. Namun demikian, terdapat Indikasi Geografis yang tidak
dapat diaftar apabila Indikasi Geografis tersebut:
(a) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, moralitas agama,
kesusilaan atau ketertiban umum;
(b) menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai: ciri, sifat, kualitas,
asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya;
(c) merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama
varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis; atau
(d) telah menjadi generik.

Keberadaan regulasi tentang Indikasi Geografis ternyata masih belum dapat


memberikan efek yang signifikan bagi masyarakat atau pemangku kepentingan
didaerah di Indonesia, hal ini ditandai masih minimnya pemahaman masyarakat
tentang Hak Indikasi Geografis yang dapat dilihat dari jumlah pendaftaran
indikasi geografis yang tergolong minim ini. Hal ini terlihat seperti yang terlihat
dalam tabel

Tabel 1. Indikasi Geografis Indonesia Terdaftar


No Produk Pemohon
MPIG (Masyarakat Perlindungan
1 Kopi Arabika Kintamani Bali
Indikasi Geografis) Kopi Bali
Jepara Indikasi Geografis, Produk
2 Mebel Ukir Jepara
Mebel – Mebel
3 Lada Putih Munthok Badan Pengelola Pengembangan dan
Pemasaran Lada (BP3L) Provinsi Kep

20
Bangka Belitung
MPKG (Masyarakat Perlindungan
4 Kopi Arabika Gayo
Kopi Gayo)
5 Tembakau Hitam Sumedang Pemerintah Kabupaten Sumedang
6 Tembakau Mole Sumedang Pemerintah Kabupaten Sumedang
Asosiasi PengembanganSusu Kuda
7 Susu Kuda Sumbawa
Sumbawa.
Masyarakat Perlindungan Indikasi
8 Carica Dieng
Geografis (MPIG) Carica Dieng
Asosiasi Agrobisnis Ubi Cilembu
9 Ubi Cilembu Sumedang
(ASAGUCI)
Asosiasi Komoditas Kangkung
10 Kangkung Lombok
Lombok.
11 Madu Sumbawa Jaringan Madu HutanSumbawa
Perlindungan Indikasi Geografis Salak
12 Salak Pondoh Sleman Jogja
Pondoh Sleman
Masyarakat Perlindungan Indikasi
Gula Kelapa Kulonprogo
13 Geografis (MPIG) Gula Kelapa
Jogya
Kulonprogo Jogja
Sumber: Ditjen HKI, Kemenkumham Daftar Umum Pemegang Indikasi Geografis
Direktorat Jenderal HKI Tahun 2014

Jumlah pendaftaran Indikasi Geografis yang tergolong minim ini,


menimbulkan beberapa asumsi, pertama apakah pemahaman masyarakat daerah
mengenai indikasi geografis masih rendah ataukah perangkat hukum yang ada
dirasa belum dapat mengakomodir potensi-potensi indikasi geografis di beberapa
daerah di Indonesia. Sehingga dalam rentang waktu empat tahun (2007 – 2014)
hanya 13 indikasi geografis yang baru terdaftar di Ditjen HKI Kementerian
Hukum dan HAM, seperti yang dapat dilihat dalam tabel 1.
Melihat hasil yang di dapat dari Ditjen HKI, pemerintah daerah, sebagai
perwakilan dan perwujudan dari komunitas suatu daerah, harus dapat menentukan
kebijakan dalam rangka memberikan jaminan perlindungan akan hak indikasi
geografis yang ada di daerahnya, sebagai bentuk kepedulian terhadap kekayaan
daerah tersebut. Karena sesungguhnya banyak potensi yang sangat khas dari suatu
daerah dan dapat dijadikan sebuah potensi dari indikasi geografis, yang memiliki
nilai ekonomis, namun belum ada upaya dari pemerintah daerah untuk menjadikan
komoditas tersebut sebagai ciri khas daerah, seperti contohnya telur asin brebes,
tahu sumedang, gerabah kasongan dan lain sebagainya.

21
Adanya anggapan tidak semua indikasi geografis yang didaftarkan dapat
bernilai ekonomis, kerap menjadi alasan oleh para pihak yang berkepentingan
untuk tidak mendaftarkan produknya sebagai indikasi geografis. Hak Kekayaan
Intelektual Indikasi Geografis memang berbeda dengan Hak Kekayaan Intelektual
lainnya yag bersifat privat seperti hak merek, hak cipta, hak tata letak sirkuit
terpadu. Karena hak dalam Indikasi Geografis bersifat komunal atau hak kolektif.
Dikaitkan dengan kondisi aktual di Indonesia, terdapat suatu gejala yang
sangat menarik. Secara tradisional, bangsa Indonesia tidak mengenal konsep HKI
yang bersifat abstrak. Bagi bangsa Indonesia, kepemilikan atas sesuatu pada
umumnya masih bersifat kolektif karena pengaruh pola agrikultural, berlainan
dengan konsep HKI yang pada dasarnya bersifat individual sebagai akibat dari
perkembangan kebudayaan masyarakat industrial. Namun sekarang ini mulai
terjadi suatu proses transisi berpikir dari sebagian masyarakat Indonesia terhadap
HKI, terutama jika dikaitkan dengan kekayaan intelektual milik masyarakat lokal
dan penduduk asli.31 Indikasi Geografis sebagai hak kolektif dianggap cukup
sesuai dengan pandangan masyarakat asli tersebut. Karakter kepemilikan Indikasi
Geografis yang kolektif sejalan dengan nilai-nilai ketimuran dan ke-Indonesiaan
yang lebih menghargai kepemilikan bersama dari kepemilikan pribadi. 32
Nilai ekonomis yang akan didapat dari pemegang Hak Kekayaan Indikasi
Geografis bukan merupakan benefit layaknya Hak Cipta, Hak Merek ataupun Hak
Paten yang bernilai komersil. Bagi pemegang Hak Indikasi Geografis, nilai
ekonomis yang diperoleh adalah nilai ekonomis yang bersifat komunal dan secara
tidak langsung dapat bernilai komersil. Seperti misalnya suatu daerah memiliki
potensi unggulan berupa kopi Kintamani, karena kopi tersebut memiliki cita rasa
yang khas maka perlindungan geografis terhadap kopi tersebut dilakukan,
sehingga konsumen akan melihat bahwa Kitamani sebagai suatu daerah yang dan
akan memperoleh Indirect benefit disektor lain. Indirect benefit yang diperoleh
antara lain, seperti daerah tersebut akan lebih dikenal yang akhirnya akan

31
Basuki Antariksa, “Kepentingan Indonesia Terhadap Hak Atas Indikasi Geografis,
Sumberdaya Genetika, Pengetahuan Tradisional Dan Folklore”, dalam Lokakarya Kepentingan
Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis (Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama
dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005), hal
90-91.
32
Miranda Risang Ayu, Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi Geografis,
(Bandung: PT Alumni , 2006), hal 9.

22
memberikan dampak lain seperti di sektor wisata seperti mendatangkan banyak
wisatawan mancanegara maupun domestik didaerah tersebut, dan bukan tidak
mungkin akan menarik investor-investor luar yang akan memberikan dampak
positif bagi kemajuan daerah setempat. Keuntungan ekonomis dengan adanya
Indikasi Geografis bagi daerah adalah produk Indikasi Geografis daerah tersebut
akan menjadi bernilai “premium” dimata konsumen baik konsumen lokal maupun
mancanegara. Karena hanya di daerah tersebutlah konsumen dapat mendapatkan
produk Indikasi Geografis yang asli bukan ditempat lain.
Peran Pemerintah dalam mendorong keaktifan stakeholder Hak Kekayaan
Indikasi Geografis sangat dibutuhkan, terutama dalam memberikan pemahaman
kepada masyarakat akan keuntungan yang dapat dinikmati walaupun disadari
butuh waktu yang tidak singkat untuk menjadikan masyarakat sadar akan
pentingnya hal tersebut. Disadari atau tidak, negara memiliki banyak keuntungan
dari banyak atau tidaknya potensi Indikasi Geografis disuatu negara. Banyaknya
Indikasi Geografis yang terdaftar disuatu negara menandakan banyaknya potensi
keunggulan yang dimiliki negara tersebut dan itu secara tidak langsung dapat
meminimalisir pengakuan dari negara lain terhadap suatu produk yang berasal
dari negara kita yang sudah lebih dulu mendaftarkannya sebagai Hak Kekayaan
Indikasi Geografis.
Dalam PP 51 tahun 2007 telah diatur mengenai tata cara pendaftaran
indikasi geografis secara detil, namun dalam prakteknya ternyata tidak mudah
untuk menyadarkan pentingnya Indikasi Geografis bagi daerah yang memiliki
potensi Indikasi Geografis yang cukup besar. Dalam PP 51 tahun 2007 juga telah
diatur dengan jelas syarat-syarat pendaftaran disertai dengan berapa berkas yang
diperlukan. Berikut ditampilkan tabel biaya yang diperlukan dalam pendaftaran
Indikasi Geografis berdasarkan PP No. 38 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.

23
Tabel 2. Tarif Biaya Permohonan Indikasi Geografis
berdasarkan PP No 38 tahun 2009

Dari Tabel 2 di atas, dapat dilihat secara jelas secara administrasi biaya
pendaftaran Indikasi Geografis tidaklah terlalu high cost. Namun yang perlu
menjadi pertanyaan oleh masyarakat kembali adalah, apakah dengan waktu dan
biaya yang telah dikeluarkan akan dapat memberikan dampak yang baik bagi
masyarakat. Sebagai gambaran, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pendaftaran
Indikasi Geografis suatu daerah atau wilayah merupakan sarana suatu daerah
untuk mempromosikan daerah atau wilayah tersebut kepada publik. Dengan
mendaftarkan Indikasi Geografis sebagai Hak Kekayaan Intelektual berarti negara
mengakui dan melindungi potensi daerah tersebut, dan berarti pula potensi daerah
tersebut diakui oleh publik karena hanya daerah tersebut yang memiliki ciri khas
terhadap suatu produk tertentu.

Kesimpulan
Tidak ada hal lain yang seharusnya menjadi alasan bagi para pihak untuk
menjadikan produknya didaftarkan sebagai hak Kekayaan Intelektual Indikasi
Geografis. Suatu Indikasi Geografis dapat menjadi suatu simbol kedaulatan dan
kebanggaan sebuah daerah yang nantinya juga akan mewakili nama Indonesia ke
dalam perdagangan internasional. Sehingga tidak ada lagi peristiwa suatu produk
atau ciri khas suatu daerah negara lain diakui sebagai produk dinegara lain.

24
Indikasi Geografis masih belum dipahami sebagai sebuah nilai ekonomis yang
dapat dijadikan nilai lebih dalam dunia perdagangan internasional, sehingga
banyak potensi daerah yang seharusnya dijadikan indikasi geografis wilayah
Indonesia malah di akui sebagai indikasi geografis oleh Negara lain.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad. Donald Black: Karya dan Kritikan Terhadapnya (Dilengkapi


Komentar Awal sebagai Prolog dan Komentar Penutup sebagai
Kesimpulan), Makassar, 2000.
Antariksa, Basuki. “Kepentingan Indonesia Terhadap Hak Atas Indikasi
Geografis, Sumberdaya Genetika, Pengetahuan Tradisional Dan Folklore”
dalam Lokakarya Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi
Geografis. Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen
HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia,
2005.
Ayu, Miranda Risang. Memperbincangkan Hak Kekayaan Intelektual Indikasi
Geografis. Bandung: PT Alumni , 2006.
Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Kementerian
Perdagangan, Peningkatan Nilai Tambah Komoditas Indonesia Dengan
Pengembangan Indikasi Geografis, 2004.
http://ditjenkpi.depdag.go.id/index.php?
module=news_detail&news_content_id=406&detail=true
Fink, Carsten dan Keith Maskus, “The Debate on Geographical Indications in the
WTO” dalam Richard Newfarmer, ed, Trade, Doha, and Development a
Window into the Issues. The World Bank, 2005.
Hakim, Nurul. Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dengan Lembaga Peradilan, www.badilag.net, di
unduh pada tanggal 4 Mei 2015.
Indonesia, Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization,
UU No. 7 tahun 1994, LN No. 57 Tahun 1994, TNL No. 3564.

25
Junus, E. “Pentingnya Perlindungan Indikasi Geografis sebagai Bagian dari HKI
dan Pelaksanaannya di Indonesia”, Makalah pada Seminar Nasional
Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia, Jakarta, 6-7 Desember
2004.
Mafhudo Hartini, http://www.academia.edu/9477917/Perdagangan_Internasional,
diunduh tanggal 18 Mei 2015
Materi Perdagangan Luar Negeri
http://lms.unhas.ac.id/claroline/backends/download.php?url=, diunduh
tanggal 18 Mei 2015
Muhammad, A, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung:
Cet. Ke-1, Citra Aditya Bakti, 2001.
Noerhadi, Cita Citrawinda. Kepentingan Negara Berkembang terhadap Hak atas
Indikasi Geografis, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional.
Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FHUI, 2005.
Peraturan Pemerintah tentang Indikasi Geografis. PP. No. 51 tahun 2007. TLN
4763.
Produk Ekspor Utama dan Potensial http://www.kemendag.go.id/id/economic-
profile/10-main-and-potential-commodities/10-main-commodities,
diunduh tanggal 25 Mei 2015
Rahardjo, Sartjipto. Ilmu Hukum, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2000.
Resource Book on TRIPS and Development.UNCTAD-ICTSD Project on IPRs
and Sustainable Development.Cambridge university 2005.
Salvator, Dominick. Ekonomi Internasional. Jakarta : Erlangga, 2004.
Sardjono, Agus. Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional.
Bandung: PT Alumni, 2006.
Sardjono, Agus. Membumikan HKI di Indonesia. Bandung: CV. Nuansa Aulia,
2009
Sardjono, Agus. “Perkembangan Perlindungan Hukum atas Indikasi Geografis,
Sumber Daya Genetuka, dan Pengetahuan Tradisional di Indonesia” dalam
Lokakarya Kepentingan Negara Berkembang Atas Indikasi Geografis.

26
Depok: LPHI Fakultas Hukum UI bekerjasama dengan Dirjen HKI,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2005.
Septiono, Saky. Perlindungan Indikasi Geografis dan Potensi Indikasi Geografis
Indonesia, http://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-
Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia#scribd, diunduh 16
Mei 2015.
Siagian, Sondang P. Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Sudarmanto. “Produk Kategori Indikasi Geografis Potensi Kekayaan Intelektual
Masyarakat Indonesia” dalam Lokakarya Kepentingan Negara
Berkembang Atas Indikasi Geografis. Depok: LPHI Fakultas Hukum UI
bekerjasama dengan Dirjen HKI, Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia, 2005.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi: Suatu Pengantar, Bandung: Rajawali Pres, 1996.
Sumiyati, Yeti, Tatty Aryani Ramli, Rusli Iskandar. Kajian Yuridis Sosiologis
mengenai Indikasi Geografis Sebagai Sumber Pendapatan Asli Daerah
(PAD), MIMBAR, Vol. XXIV, No. 1 (Januari - Juni 2008).
Vining, Aidan R. and David L. Weimer, "Information Asymmetry Favoring
Sellers: A Policy Framework," 21(4) Policy Sciences 281–303 (1988).
WIPO, Intellectual Property – Some Basic Definitions,
http://www.wipo.int/about-ip/en/studies/publications/ip_definitions.htm,
diunduh pada 2 April 2015.
WIPO. Standing Commiitee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and
Geographical Indication, SCT/8/4, April 2, 2002 at paras.
Zen Umar Purba, Achmad. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Jakarta:
Alumni, 2005.
http://www.wipo.int/geo_indications/en/about.html, diunduh tanggal 20 April
2015
http://www.academia.edu/9477917/Perdagangan_Internasional, diunduh tanggal
18 Mei 2015

27

Anda mungkin juga menyukai