Anda di halaman 1dari 4

“Prostitusi Artis”

(Popularitas & Sanksi Nyata)

Iwa Kustiwa
NIM : 110120180045

Pengungkapan perkara prostitusi online yang melibatkan artis (VA) dan model
(AS) ibukota seketika menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Seketika itu pula
berbagai meme, hujatan, hingga pembelaan terhadap kasusu tersebut membanjiri
berbagai lini masa cetak maupun online. Rilis data Polda Jawa Timur yang
mengungkapkan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk mengunakan jasa prostitusi artis
dan model tersebut adalah 80 jt dan 25 juta dalam sekali kencan. Selain itu, dalam
jaringan ini masih terdapat ratusan nama artis yang diduga terlibat.
Dengan nominal yang tidak sedkit sedikit, maka tidak semua kalangan yang dapat
menggunakan jasa tersebut. Dapat dipastikan penggunanya adalah mereka para oknum
konglomerat dan pemilik modal banyak yang dapat leluasa melakukannya. Entah
sekedar merasakan sesaat atau ingin menaikkan gengsi dikalangan elit, tindakan seperti
ini bukan hanya sekali ini terjadi. Dalam kehidupan gemerlap perkotaan, hal tersebut
tentu adalah hal yang biasa dan sulit untuk dihentikan sepenuhnya.
Pada kasus prostitusi artis ini penyidik hanya hanya menetapkan status tersangka
kepada dua orang mucikari. Sementara itu, untuk ketiga orang lainnya (VA, AS, dan R)
hanya ditetapkan statusnya sebagai saksi. Langkah yang diambil oleh penyidik tersebut
tentu menimbulkan tanda tanya bagi sebagian kalangan yang masih kurang paham
terkait regulasi yang mengatur hal tersebut. Walaupun disisi lain ada tanggapan bahwa
tindakan prostitusi baik itu yang terselubung maupun secara online tetap keliru dalam
perspektif kegamaan.
Jeratan & Punishment
Setiap tindakan hukum akan berakibat hukum dan dibutuhkan tanggungjawab atas
tindakan itu. Sekiranya kalimat tersebut dapat menggambarkan pengaturan tentang
tindakan prostitusi saat ini dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pasal
296 Jo Pasal 506 KUHP hanya menjerat bagi penyedia jasa layanan prostitusi. Bagi
penjaja prostitusi maupun penggunanya tidak spesifik diatur. Hal yang sama tidak diatur
dalam UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008. Pasal 45

1
ayat (1) UU No 19 Tahun 2016 pun hanya menjerat pelaku yang mendistrubusikan
informasi/dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan.

Pada UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi juga hanya mengatur larangan dan
sanksi bagi orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana tertuang dalam Pasal
4, Pasal 8, dan Pasal 34 UU No 44 tahun 2008. Sementara Pornografi sendiri hanya
dimaknai sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai
bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Terkait dengan pengguna jasa prostitusi, sebenarnya dalam pasal 284 KUHP telah
membuka ruang sanksi pidana bagi pelaku pengguna jasa prostitusi. Namun pasal
tersebut hanya dapat menjerat pelanggan prostitusi yang telah memiliki hubungan
suami-istri. Penindakan pasal ini hanya dapat dilakukan apabila ada laporan/aduan dari
pihak suami atau istri yang merasa dirugikan.

Dalam perspektif lain, secara sempit setiap orang memiliki hak untuk menguasai
tubuhnya secara pribadi, termasuk komersialisasi atas tubuhnya. Akan tetapi, secara
luas saat tubuh yang melekat pada pribadi tertentu, dan pribadi tersebut berada dalam
interaksi sosial, maka tubuh tidak sepenuhnya dimiliki secara pribadi. Komersialisasi
tubuh dalam lingkungan interaksi sosial tentunya tidak akan sejalan dengan ragam
tatanan yang lahir dan berkembang dimasyarakat. Oleh sebab itu, komersialisasi tubuh
merupakan hal yang ‘tabuh’ dalam lingkungan masyarakat.

Pada kerangka keagamaan, tindakan prostitusi tentunya merupakan hal yang


dilarang oleh kitab suci. Umumnya seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak
membenarkan perilaku seperti ini dikerjakan oleh umatnya. Bahkan, langkah ekstrem
yang pernah terjadi adalah melakukan penutupan tempat prostitusi dengan tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang atas nama agama.

Dalam hukum positif Indonesia, tafsiran tindakan prostitusi memang belum diatur
sepenuhnya. Walaupun secara religiusitas keagamaan perilaku semacam ini mendapat
larangan dalam kitab suci. Akan tetapi, sebagimana konsepsi kenegaraan Indonesia
yang berdasar atas hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945), maka pilihan yang diambil

2
oleh pihak kepolisian tidak dapat dikatakan keliru. Oleh sebab itu, sanksi yang paling
nyata terjadi adalah sanksi sosial di lingkungan masyarakat. Stempel buruk bagi VA dan
AV tentu akan terus melekat di kehidupan sosial. Sanksi sosial tentunya akan lebih
kejam dari hukuman badan, sebab sanksi sosial tidak akan pernah dibatasi sekat waktu
seperti sanksi pidana.

Artis Juga Manusia

Kasus VA dan AS bukanlah satu-satunya kasus prostitusi online yang melibatkan


artis. Sebelumnya telah ada artis NM dan AA juga terlibat kasus serupa. Kepopuleran
seseorang yang bekerja dalam dunia hiburan ternyata tidak mampu membatasi perilaku
yang tercela. Kebutuhan akan kehidupan yang gemerlap seorang artis tentu mendorong
dan membuka peluang lain untuk menambah pundi-pundi kekayaan dari jasa prostitusi,
selain pendapatan dan honor pekerjaannya.

Sama seperti manusia pada umumnya, artis bukanlah mahluk sempurna. Oleh
sebab itu, kesalahan yang dilakukan oleh VA dan AS dalam kasus prostitusi online ini
hendaknya tidak menjadikan pembenaran terhadap tindakan menghakimi secara
berlebihan. Sanksi sosial memang tak dapat dihindari, namun tentunya tidak melanggar
norma dan kehidupan VA dan AS. Seberapapun pembelaan yang dilakukan oleh
keduanya, masyarakat umum telah menilai tindakan tersebut adalah tindakan yang
salah.

Sebagai orang yang telah memberikan karyanya, selayaknya kita sebagai


masyarakat dapat mengapresiasi karya seorang artis dalam hal-hal positif semata. Akan
tetapi, dalam sisi kelam negatif seorang artis seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita
untuk tidak mengikuti hal tersebut. Pembatasan diri dengan nilai-nilai kesopanan,
kesusliaan serta keagamaan agaknya menjadi solusi nyata untuk dapat mengambil
pengalaman dari apa yang terjadi.

Terakhir, apabila kita menganggap tindakan prostitusi sebagai hal yang dapat
merugikan, maka pengaturan terkait prostitusi seharusnya dapat dilengkapkan dalam
peraturan perundangan-undangan. Pun apabila pembentukan UU anti prostitusi maupun
revisi KUHP sulit terwujud, maka pemerintah daerah lebih proaktif dengan
mengeluarkan regulasi berupa perda yang melarang tindakan prostitusi. Agaknya hal

3
tersebut juga dapat direnungkan oleh pemerintah daerah di Gorontalo. Sebagai daerah
Serambi Madinah maka perilaku prostitusi harus dihilangkan dari bumi Gorontalo.

Anda mungkin juga menyukai