Anda di halaman 1dari 38

BEHAVIORISME DAN PSIKOLOGINYA DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA

I. Behaviorisme dan Psikologinya dalam Pembelajaran Matematika


A. Filosofi Behaviorisme
1. Pengertian Filosofi Behaviorisme
Behaviorisme adalah salah satu dari "isme" yang artinya paham atau
pandangan. Behaviorisme atau aliran perilaku filosofi dalam psikologi yang
berdasar pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme (tindakan, pikiran,
atau perasaan) dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat
bahwa perilaku demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa
fisiologis internal atau konstrak hipotesis seperti pikiran. Behaviorisme
beranggapan bahwa semua teori harus memiliki dasar yang bisa diamati tetapi tidak
ada perbedaan antara proses yang dapat diamati secara publik (seperti tindakan)
dengan proses yang diamati secara pribadi (seperti pikiran dan perasaan).
Singkatnya, behaviorisme adalah suatu sikap, suatu cara untuk memahami kendala
empiris pada atribusi status psikologis.
Terkadang dikatakan bahwa "berperilaku adalah apa yang organisme
lakukan." Behaviorisme dibangun di atas asumsi ini, dan tujuannya adalah untuk
mempromosikan studi ilmiah tentang perilaku. Perilaku, khususnya, organisme
individu. Bukan dari kelompok sosial. Bukan dari budaya. Tetapi orang dan hewan
tertentu. Jadi, Behaviorisme adalah sebuah gerakan dalam psikologi dan filsafat
yang menekankan aspek perilaku luar dari pemikiran dan menolak pengalaman
batin, dan kadang-kadang prosedural dalam aspek juga sebuah gerakan yang
mengingatkan kembali pada proposal metodologis dari John B. Watson, yang telah
menciptakan nama behaviorisme. J.B. Watson pada tahun 1913 yang menganggap
psikologi sebagai bagian dari ilmu kealaman yang eksperimental dan obyektif, oleh
sebab itu psikologi harus menggunakan metode empiris, seperti : observasi,
pengkondisian, pengujian, dan laporan lisan .
Behaviorisme juga merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh,
serta memiliki akar sejarah yang cukup dalam. Behaviorisme lahir sebagai reaksi
terhadap introspeksionisme (yang menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-
laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang berbicara tentang alam bawah sadar

0
yang tidak tampak). Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran
yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi
tentang perilaku yang nyata.

Dengan demikian Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke


dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalisme. Berarti juga
behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih
mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat
diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Behaviorisme memandang pula bahwa ketika
dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan
berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya.
Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan yang baik
akan menghasilkan manusia baik. Kaum behavioris memusatkan dirinya pada
pendekatan ilmiah yang sungguh-sungguh objektif. Kaum behavioris mencoret dari
kamus ilmiah mereka, semua peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi,
persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir dan emosi, sejauh kedua
pengertian tersebut dirumuskan secara subjektif.
Meskipun pandangan behaviorisme sekilas tampak radikal dan mengubah
pemahaman tentang psikologi secara drastis, Brennan (1991) menyatakan bahwa,
munculnya behaviorisme lebih sebagai perubahan evolusioner (perubahan dalam
proses lambat, dalam waktu yang cukup lama) daripada revolusioner (perubahan
yang berlangsung secara cepat). Dimana dasar-dasar pemikiran behaviorisme sudah
ditemui berabad-abad sebelumnya.
2. Asal Muasal Teori Behaviorisme
Beberapa yang telah berkontibusi dalam terbentuknya behaviorisme, dari
Aristotelis dengan faham empirisnya, dimana arisoteles seorang filsuf Yunani yang
hidup antara 384 dan 322 SM. Guru Aristoteles adalah Plato yang mempercayai
bahwa semua yang kita ketahui adalah bawaan lahir (yang ia anggap sebagai "hidup
dalam jiwa kita"), dengan demikian, belajar hanyalah sebuah proses refleksi batin
untuk mengungkap pengetahuan yang sudah ada di dalam. Aristoteles,
bagaimanapun, tidak setuju dengan Plato, ia berpendapat bahwa pengetahuan tidak
ada sejak lahir tetapi sebaliknya diperoleh melalui pengalaman. Ketidaksetujuan
Aristoteles dengan Plato adalah contoh awal dari perdebatan klasik antara nativisme

1
dan empirisme, atau alam dan pengasuhan. Persepektif nativisme (alam)
mengasumsikan bahwa kemampuan dan kecenderungan seseorang sebagian besar
lahir, sedangkan perspektif empiris (mengasuh) mengasumsikan bahwa
kemampuan dan kecenderungan seseorang sebagian besar dipelajari. Oleh karena
itu, Plato merupakan contoh awal dari seorang nativist dan Aristoteles adalah
contoh awal seorang empirisis.
Kemudian Descartes mengusulkan bahwa perilaku tak sadar, yang terjadi
pada manusia dan hewan, secara otomatis ditimbulkan oleh rangsangan eksternal.
Sedangkan perilaku sukarela, yang hanya terjadi pada manusia, dikendalikan oleh
kehendak bebas. Para empiris Inggris berpendapat bahwa semua pengetahuan
adalah fungsi dari pengalamanan mereka sangat menekankan hukum asosiasi dalam
studi mereka belajar. Strukturalis, seperti Titchener, berasumsi bahwa pikiran
terdiri dari sejumlah elemen dasar yang dapat ditemukan dengan menggunakan
metode instropeksi. Teori evolusi Darwin menetapkan gagasan bahwa, karakteristik
adaptif, termasuk kemampuan untuk belajar, berevolusi melalui proses seleksi
alam. Ini mempengaruhi para fungsionalis, seperti William James, yang percaya
bahwa psikolog harus mempelajari proses adaptasi pikiran. Fungsionalis akhirnya
mengarah pada pembentukan behaviorisme, dengan penekanan pada studi perilaku
yang dapat diamati publik dan peristiwa lingkungan yang mempengaruhinya.
Strukturalis ke fungsionalis berawal dari pengertian psikologi, dimana secara
etimologi psikologi berasal dari kata psyche yang berarti pikiran, jiwa, atau ruh serta
logos yang berarti pengetahuan, wacana, ataupun kajian. Berdasarkan asal kata
tersebut, maka psikologi kemudian didefinisikan sebagai kajian tentang pikiran.
Kemunculan psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu yang terpisah dari filsafat
dengan sifat yang empiris terjadi pada tahun 1879. Hal ini ditandai dengan
didirikannya laboratorium psikologi pertama di Universitas Leipzig Jerman oleh
Wilhelm Wundt (1832-1920). Dengan munculnya behaviorisme pada tahun 1920,
pemisahan antara psikologi dan filsafat menjadi lebih ideologis, yaitu dengan
dijadikannya psikologi menjadi lebih profesional. Beberapa tokoh yang cukup
vokal terkait upaya pemisahan ini antara lain yaitu J.B. Watson, Weiss, Hunter,
Lashley yang berpandangan bahwa psikologi harus menjadi sesuatu yang radikal
dan berbeda dari filosofi. Utamanya yaitu dalam pokok persoalan “mind (pikiran)
vs perilaku”; dan metode “observasi empiris vs introspeksi dan spekulasi terjaga”.

2
Dalam sudut pandang ini, psikologi menjadi ilmu empiris, ilmu alam yang
menyelidiki perilaku organisme murni secara empiris, terobservasi, dan
menggunakan sarana eksperimental. Filsafat sebagai kebalikannya, terdiri atas
kajian spekulatif tentang entitas yang tidak terobservasi yang sering kali didasarkan
pada intuisi maupun introspeksi, dan klaim terhadap beberapa kepastian yang
bersifat transenden ataupun transendental. Di sini terjadi pertempuran antara
“empirisme vs rasionalisme”, “fakta vs teori”, fakta vs norma, dll. Oleh karena itu,
meskipun filsafat memiliki sesuatu yang dapat diperlukan oleh bidang psikologi,
namun kebanyakan dari individu-individu semisalnya JB. Watson berpikir bahwa
psikologi tidak dapat belajar apa pun dari filsafat, sehingga filsafat harus dihindari
(O’Dohonue, 1996: xiii).
Meskipun demikian, pada tahap awal berpisahnya psikologi dari filsafat,
fokus penelitian atau kajian pada laboratorium yang didirikan oleh Wilhelm Wundt
adalah menyelidiki “aktivitas pikiran” melalui proses introspeksi. Introspeksi yang
dimaksudkan di sini adalah mengamati dan menganalisis pikiran sadar menjadi
elemen-elemen dasar serta menganalisis persepsi menjadi sensasi-sensasi
konstituennya. Upaya untuk mengidentifikasi struktur pikiran inilah yang kemudian
disebut dengan strukturalisme (Gross, 2012: 4-5).
Proses identifikasi atas struktur pikiran tersebut di atas dilakukan oleh Wundt
secara terkontrol, yaitu dengan menggunakan stimulus yang sama, instruksi verbal
yang sama, ataupun lingkungan yang sama terhadap partisipan. Pada tahap inilah
terjadi proses terpisahnya psikologi dari induknya, yaitu filsafat. Psikologi sebagai
sebuah disiplin ilmu baru lebih berfokus pada pengukuran dan kontrol sebagai
metode dasar dalam investigasi ilmiah pada ranah kajian proses-proses mental,
berbeda dengan apa yang didiskusikan oleh para filsuf yang juga banyak
mendiskusikan tentang pikiran.
Setelah berhasil memisahkan diri dari filsafat dan membentuk disiplin ilmu
baru, psikologi mengalami banyak perkembangan yang ditandai dengan munculnya
berbagai aliran/teori dalam psikologi. Jika pada kemunculan psikologi sebagai
ilmu, model strukturalisme yang dipelopori oleh Wundt menempati posisi yang
cukup bergengsi, namun kemudian muncul tantangan dari aliran fungsionalisme
yang dipelopori oleh psikolog Amerika Serikat William James (1842-1910).
William James adalah seorang dosen di Harvard University untuk mata
kuliah anatomi dan fisiologi, namun dimulai pada tahun 1875 dia mulai
mengembangkan relasi antara fisiologi dan psikologi. Begitu kuat minatnya pada

3
bidang ini sampai dia meninggalkan bidang anatomi dan fisiologi yang telah lama
digelutinya dan beralih pada psikologi murni dengan mendirikan laboratorium kecil
untuk mendukung studi psikologinya tersebut.
Fungsionalisme yang diusung oleh W. James mengkritik konsep Wundt yang
terlalu mendalam tentang struktur dan elemen jiwa. Menurut William James,
sebagai pelopor fungsionalisme, psikologi harusnya lebih berfokus pada fungsi
jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh cara berpikir ala Amerika Serikat yang serba
pragmatis, sehingga jiwa dalam sudut pandang aliran ini adalah berfungsi sebagai
alat manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (Sarwono, 2009: 26-27).
Selain fungsionalisme, aliran selanjutnya yang juga berkembang di Amerika
Serikat adalah behaviorisme. Aliran ini dipelopori oleh John B. Watson (1878 –
1958). Langkah awal yang dilakukan oleh Watson adalah memutuskan hubungan
antara psikologi dengan fisiologi dan untuk kemudian memperkuat pertaliannya
dengan biologi. Jika pada Wundt dan William James masih berkisar pada problem
kesadaran sebagai psikologi murni, maka Watson yang memang sedang melakukan
riset terhadap binatang-binatang menjadi semakin kritis terkait penggunaan metode
introspeksi. Behaviorisme secara khusus mempersoalkan validitas dari metode
introspeksi yang digunakan oleh Wundt dalam mengidentifikasi struktur pikiran.
Hal ini disebabkan karena introspeksi tidak akan pernah dapat dibuktikan ataupun
dibantah. Sebagai contoh adalah ketika ada dua orang yang menghasilkan dua
penjelasan introspektif yang berbeda, maka sulit untuk menentukan mana yang
secara objektif benar. Hal ini disebabkan karena secara objektif pihak lain akan
mengalami kesulitan untuk memeriksa keakuratan hasil introspeksi tersebut.
Karena sejatinya penjelasan introspeksi bersifat sangat subjektif, dan hanya
individu itu sendiri yang dapat memahami proses mentalnya (Gross, 2012: 4).
Lebih lanjut Watson memberikan konsep baru, bahwa seharusnya psikologi
lebih berfokus pada upaya untuk mempelajari perilaku, sebab hanya perilakulah
yang dapat diobservasi ataupun diukur oleh orang lain. Oleh karena itu proses
introspeksi dalam psikologi haruslah dihilangkan. Pada karya tesis John B. Watson
yang berjudul “Psychology as The Behaviorist Views It” atau yang lebih dikenal
dengan manifesto behaviorist yang dipublikasikannya di tahun 1913, dinyatakan
bahwa behaviorismelah yang membawa psikologi menjadi benar-benar ilmiah,
karena mampu merepresentasikan sebuah pendekatan empiris yang taat asas.
“Psikologi seperti yang dilihat oleh behavioris adalah sebuah ilmu pengetahuan
alam objektif murni. Tujuan teoritiknya adalah prediksi dan kontrol perilaku.

4
Introspeksi tidak menjadi bagian esensial metodenya; nilai ilmiah datanya juga
tidak tergantung pada kesiapannya untuk diinterpretasi dalam kaitannya dengan
kesadaran. Behavioris tidak mengenal garis pemisah antara manusiawi dan
kebrutalan. Perilaku seorang manusia hanya sebagian dari total skema investigasi
behavioris”(Watson dalam Gross, 2012: 48).
Behaviorisme yang berarti studi perilaku yang dapat diamati. Karya John,
menyatakan bahwa, ia menyesali kurangnya kemajuan yang dicapai oleh psikolog
eksperimental hingga saat itu, terutama kurangnya temuan yang memiliki
signifikansi praktis. Kesulitan utama, Watson percaya adalah penekanan saat ini
pada studi pengalaman sadar, terutama seperti yang dipromosikan oleh strukturalis.
Dari metode introspeksi terbukti menjadi penelitian sering gagal untuk mereplikasi.
Kesulitannya, tentu saja adalah bahwa kita dapat secara langsung mengamati
pikiran dan perasaan yang ada di dalam diri kita. Oleh karena itu kami harus
membuat kesimpulan bahwa laporan verbal seseorang tentang pikiran dan perasaan
itu adalah akurat. Ini juga kasus bahwa banyak pertanyaan yang ditangani oleh para
strukturalis yang dasarnya tidak dapat dijawab, seperti apakah suara memilih
kualitas “ekstensi dalam ruang” dan apakah ada perbedaan dalam tekstur “antara
suatu bayangan yang dikira dari suatu objek tersebut, (Waston, 1913 :164). Dalam
arti yang sangat nyata, pengalaman psikologi mental sepertinya tenggelam dalam
lautan gambaran yang samar-samar dirasakan dan peristiwa mental yang sulit
digambarkan. Selain itu, gagasan bahwa subjek yang tepat dari psikologi adalah
studi tentang kegembiraan begitu kuat mengakar sehingga mempengaruhi bahkan
mereka yang mempelajari perilaku hewan. Watson berseru,
Pada pandangan ini, setelah menentukan kemampuan metode
belajarnya, efek dari kebiasaan masa lalu. Kita masih harus merasa
bahwa tugas belum selesai dan bahwa hasilnya tidak berharga, sampai
kita dapat menafsirkannya dengan analogi dalam cahaya kesadaran.
Dengan kata lain, kami merasa terpaksa mengatakan sesuatu tentang
kemungkinan proses mental hewan. (Watson, 1913: 160).

Watson beralasan bahwa satu-satunya solusi untuk dilema ini adalah untuk
membuat psikologi murni "sains obyektif" semata-mata berdasarkan pada studi
perilaku langsung yang dapat diamati dan peristiwa lingkungan yang
mengelilinginya. Semua merujuk pada proses internal, seperti pikiran dan perasaan
yang tidak dapat diukur secara objektif oleh pengamat luar, akan menjadi fronm
yang terpukul.

5
Berawal dari pandangan John Locke mengenai jiwa anak yang baru lahir,
ialah jiwanya dalam keadaan kosong. seperti meja lilin bersih, disebut tabularasa.
Dengan demikian pengaruh dari luar sangat menentukan perkembangan jiwa anak,
dan pengaruh luar itu dapat dimanipulasi (direatmen secara leluasa).
Behaviorisme muncul awalnya melalui penelitian Psikolog Rusia bernama
van Pavlov (1849-1936). Penelitian yang dilakukan Ivan Pavlov adalah penelitian
yang dilakukan terhadap beberapa anjing. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Pavlov, anjing-anjing yang ada di laboratoriumnya mulai mengeluarkan air liur
pada saat mereka diberi makan, bahkan sebelum mereka bisa melihat atau mencium
aroma makanannya. Anehnya, mereka mengeluarkan air liur ketika mereka melihat
penjaganya atau pada saat mereka mendengar langkah kaki penjaganya.
Selanjutnya penelitian sederhana ini membimbing Pavlov untuk melakukan
serangkaian percobaan yang cukup terkenal, dia akan membunyikan bel atau suara
berdengung yang dua-duanya tidak menyebabkan anjing berliur dan kemudian
dengan Pavlov memberi makan anjing-anjingnya, sebuah stimulus yang mengarah
pada keluarnya liur. Dengan segera Pavlov menemukan bahwa apabila prosedur
yang sama diulang sesering mungkin, bunyi bel dan dengung saja sudah
mengakibatkan keluarnya air liur. Penelitian Pavlov ini kemudian menghasilkan
teori stimulus-respon yang bernama Classical Condisioning.
John B. Watson (1878-1958), mengikuti petunjuk Pavlov, menegaskan
bahwa tingkah laku manusia adalah persoalan dari refleks-refleks yang
dikondisikan. Watson mengendalilkan bahwa psikologi sebaiknya menghentikan
studi tentang apa yang manusia pikir dan rasakan, dan mulai mempelajari apa yang
dilakukan orang-orang. Bagi Watson, lingkungan adalah pembentuk tingkah laku
utama. Ia berpendapat bahwa lingkungan anak dapat dikendalikan, kemudian ia
dapat mengatur anak ke dalam banyak tipe manusia yang diinginkan.
Tokoh Behavioris yang paling berpengaruh adalah BF. Skinner. Dalam
Eksperimen tersebut, seekor tikus diletakkan dalam kotak (Skinner Box).
Lefrancois (2000.132) mengatakan untuk eksperimennya, kotak tersebut berisi
sebuah pengungkit, sebuah tali, sebuah jaring bermuatan listrik yang terletak di
lantai, dan sebuah baki makanan, semuanya diatur sedemikian rupa sehingga
apabila tikus menekan pengungkit, lampu akan menyala dan sebutir makanan akan
masuk ke dalam baki makanan. Pada kondisi seperti itu, kebanyakan tikus akan
dengan segera belajar menginjak pengungkit, dan mereka akan melakukan hal
6
serupa selama beberapa waktu meskipun mereka tidak selalu memperoleh makanan
setiap kali mereka menekan pengungkit. Demikian pula tikus tersebut dapat dengan
tiba-tiba diarahkan untuk menolak pengungkit jika pada saat menekannya akan
mengaktifkan arus listrik pada lantai jaring. Tetapi, tikus-tikus tadi juga akan belajar
menekan pengungkit untuk memadamkan arus listrik. Eksperimen ini
menghasilkan teori tingkah laku yang menekankan bahwa tindakan-tindakan
seseorang dapat diarahkan melalui reinforcement/penguatan dan
punishment/hukuman.
Bertrand Russell adalah salah satu filsuf pertama yang mengakui makna
filosofis dari revolusi behaviorisme yang diusulkan Watson. Meskipun tidak
pernah, seorang pelaku perilaku yang membawa kartu bersikeras bahwa
keterbukaan atau "privasi" dari "data-indera" "tidak dengan sendirinya membuat
mereka tidak dapat diobati dengan pengetahuan ilmiah" (Russell, 1921: 119).
Russell, bagaimanapun, menegaskan bahwa behaviorisme "mengandung lebih
banyak kebenaran daripada yang dikira orang" dan menganggapnya "seperti yang
diinginkan untuk mengembangkan metode behavioris sampai batas semaksimal
mungkin" (Russell 1927: 73), mengusulkan sebuah front persatuan antara
behaviorisme dan filsafat analitik analitik ramah sains. Front semacam itu segera
muncul di kedua sisi "bahasa formal" dan "bahasa biasa" dari debat filosofis analitik
yang sedang berlangsung. Kemudian behaviorisme sendiri mempnyai berbagai
macam aliran-aliran.

B. Teori Belajar Behaviorisme


1. Pengertian Teori Behaviorime
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu
hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek–aspek mental.
Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat
dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
(Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting
adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah
apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
7
tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena
tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan
respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Adapun ciri dari rumpun teori behaviorisme ini adalah:
1. Mengutamakan unsur-unsur atau bagian-bagian kecil;
2. Lebih bersifat mekanistis;
3. Menekankan pentingnya latihan;
4. Mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan
5. Menekankan peranan lingkungan dalam proses pembelajaran.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement)
maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1)
Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3)
Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in
Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Pendekatan psikologi ini mengutamakan pengamatan tingkah laku dalam
mempelajari individu dan bukan mengamati bagian dalam tubuh atau mencermati
penilaian orang tentang penasarannya. Behaviorisme menginginkan psikologi
sebagai pengetahuan yang ilmiah, yang dapat diamati secara obyektif. Data yang
didapat dari observasi diri dan intropeksi diri dianggap tidak obyektif. Jika ingin
menelaah kejiwaan manusia, amatilah perilaku yang muncul, maka akan
memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Jadi,
behaviorisme sebenarnya adalah sebuah kelompok teori yang memiliki kesamaan
dalam mencermati dan menelaah perilaku manusia yang menyebar di berbagai
wilayah, selain Amerika teori ini berkembang di daratan Inggris, Perancis, dan
Rusia.
2. Tokoh-tokoh Behaviorisme

8
Tokoh-tokoh yang terkenal dalam teori behavirosme meliputi
E.L.Thorndike, I.P.Pavlov, B.F.Skinner, J.B.Watson, dll.
a. Teori Connectionism (E. L. Thorndike)
Teori ini merupakan teori yang paling awal dari rumpun behaviorisme.
Menurut teori ini tingkah laku individu tidak lain dari suatu hubungan
rangsangan dengan jawaban atau stimulus-respon. Siapa yang dapat menguasai
hubungan stimulus respon sebanyak-banyaknya maka dia dapat berhasil dalam
belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respon perlu dilakukan berulang-
ulang. Tokoh yang terkenal dalam mengembangkan teori ini adalah Edward L.
Thorndike. Hasil penelitiannya dikenal dengan trial and error. Menurut
connectionism belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara
stimulus dan respon. Thorndike mengemukakan tiga hukum dalam belajar
yaitu:
1) Law of Readiness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan
untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh Rian sangat bersemangat ketika
akan memulai pelajaran matematika, sedangkan Tuti terlihat kurang
bersemangat saat akan memulai pelajaran matematika karena dia tidak
senang dengan matematika, menurut Anda siapa yang akan mudah
menerima pelajaran matematika jika dilihat dari kesiapan belajar? Ya,
pastinya Rian, karena dia punya semangat yang tinggi pada saat akan
memulai pelajaran. Namun kesiapan belajar ini sebenarnya dapat diciptakan
oleh guru dalam proses pembelajaran, yaitu dengan memberikan motivasi
dan dapat menarik perhatian siswa pada saat akan memulai pelajaran.
2) Law of Exercise, yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan
pengulangan dalam belajar. Sebagai contoh Mail selalu mengulang
pelajaran di rumah yang telah disampaikannya di sekolah. Tentu Mail akan
lebih mudah memahami pelajaran, karena dia terbiasa latihan dan
mengulang materi. Namun di dalam kelas guru juga dapat melakukan
latihan dan pengulangan dalam memberikan pelajarannya, yaitu dengan
memberikan latihan-latihan soal, penugasan, dan lain sebagainya, sehingga
dengan berlatih pemahaman siswa terhadap suatu materi dapat relatif
menetap sehingga proses pembelajaran menjadi lebIh bermakna.
3) Law of Effect, belajar akan semangat apabila mengetahui hasil belajar yang
baik. Mengetahui hasil belajar dengan segera dapat meningkatkan motivasi
9
siswa dalam belajar, sehingga ia tahu dimana letak kelemahannya dan
memperbaikinya dengan segera. Untuk itu dalam proses pembelajaran
feedback yang menyenangkan sangat diperlukan agar dapat mempengaruhi
usaha siswa dalam belajar. Sebagai contoh Runi sangat menyukai pelajaran
matematika, dia selalu belajar memahami materi, rajin mengerjakan tugas
dan PR serta latihan mengerjakan soal. Ketika ujian akhir semester tiba, Rini
hampir mampu mengerjakan semua soal yang guru berikan, akibatnya Rini
mendapat nilai tertinggi dikelasnya. Sedangkan Angga tidak menyukai
pelajaran matematika, Angga selalu tidak mengerjakan PR dan hampir tidak
bisa mengerjakan soal matematika. Ketika ujian akhir semester tiba, Angga
mendapatkan nilai paling rendah dikelasnya. Berdasarkan kedua contoh
diatas tingkah laku kebiasaan belajar siswa sangat mempengaruhi hasil
belajarnya. Siswa yang mengetahui hasil belajar mampu meningkatkan
motivasi belajarnya. Bila hasil belajarnya baik maka siswa harus
mempertahankannya, dan bila hasil belajarnya buruk maka seharusnya
siswa berusaha mencari kelemahannya dan memperbaikinya.
Penerapan teori belajar behaviorisme:
1) Guru dalam proses pembelajaran harus tahu apa yang hendak diberikan
kepada siswa.
2) Dalam proses pembelajaran, tujuan yang akan dicapai harus dirumuskan
dengan jelas, masih dalam jangkauan kemampuan siswa.
3) Motivasi dalam belajar tidak begitu penting, yang lebih penting ialah adanya
respon-respons yang benar terhadap stimuli.
4) Ulangan yang teratur perlu sebagai umpan balik bagi guru, apakah proses
pembelajaran sudah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau belum.
5) Siswa yang sudah belajar dengan baik segera diarahkan.
6) Situasi belajar dibuat mirip dengan kehidupan nyata, sehingga terjadi
transfer dari kelas ke lingkungan luar.
7) Materi pembelajaran yang diberikan harus dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
8) Tugas yang melebihi kemampuan peserta didik tidak akan meningkatkan
kemampuan siswa dalam memecahkan permasalahannya.
b. Teori Conditioning Classic (I. P. Pavlov)

10
Teori ini dipelopori oleh Ivan Pavlov seorang ahli fisiologi dari Rusia.
Percobaan yang dilakukan dengan menggunakan seekor anjing yang
mengeluarkan air liur”. Percobaan ini membuktikan bahwa suatu rangsangan
tertentu (cahaya merah) akan mengakibatkan suatu tindak balas tak terlazim
yaitu keluar air liur, karena bersamaan dengan rangsangan tak lazim (alami)
yaitu makanan (Mohamad Surya: 2003: 34). Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa respon yang dikondisikan sebagai tujuan. Penelitian
ini menjelaskan bahwa individu dapat dikendalikan melallui cara mengganti
stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan
respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Untuk melihat hubungan antara rangsangan dengan respon. Menurut teori
ini belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan sutau
perilaku atau respon terhadap sesuatu. Sedangkan mengajar adalah
membentuk kebiasaan dengan mengulang-mengulang suatu perbuatan
sehingga menjadi suatu kebiasaan. Artinya belajar merupakan suatu upaya
untuk mengkondisikan pembentukan sutau perilaku atau respon terhadap
sesuatu.
Tentunya Anda mengetahui betul salah satu contoh bentuk pengkondisian
yang biasa kita temukan di sekolah misalnya seperti lonceng berbunyi yang
mengisyaratkan mulai belajar atau selesai belajar. Contoh lainnya, guru saat
mengajukan pertanyaan kemudian langsung iikuti dengan acungan tangan
anak yang ingin menjawab, sebagai pertanda bahwa ana tersebut dapat
menjawab pertanyaan guru. Kondisi-kondisi tersebut diciptakan untuk
memanggil suatu respon sari stimulus yang diajukan. Contoh lain misalnya
dengan memberikan contoh-contoh gambar yang disertai dengan kata-kata
pada saat akan mengajarkan perbendaharaan kata kepada siswa.
Penerapan teori conditioning dalam belajar. Kalau mata pelajaran
termasuk CS, sikap guru termasuk US, dan respon siswa termasuk UR atau
CR, maka akan terjadi hal sebagai berikut :
1) Mata pelajaran Matematika ( CS ) + guru yang baik (US) → siswa
mempunyai respon positif (UR), yang berarti siswa senang pada cara guru
mengajar matematika dengan baik. Kalau hal ini dilakukan berkali-kali,

11
maka akan terjadi : mata pelajaran Matematika (CS) → siswa mempunyai
respon positif terhadap mata pelajaran Matematika (CR).
2) Matematika (CS) + guru otoriter (US) → respons siswa negatif (UR).
Kalau hal ini dilakukan berkalikali, maka akan terjadi hal sebagai berikut
: mata pelajaran matematika (CS) → respons siswa terhadap mata
pelajaran matematika negatif (CR).
Keterangan:
1) US (unconditioned stimulus) : Stimulus tidak dikondisikan yaitu stimulus
yang langsung menimbulkan respon, misalnya daging dapat merangsang
anjing untuk mengeluarkan air liur.
2) UR (unconditioned respons) : respon tak bersyarat, yaitu respon yang
muncul dengan hadirnya US, misalnya air liur anjing keluar karena anjing
melihat daging.
3) CS (conditioning stimulus) : stimulus bersyarat, yaitu stimulus yang tidak
dapat langsung menimbulkan respon, agar dapat menimbulkan respon perlu
dipasangkan dengan US secara terus menerus agar menimbulkan respon.
Misalnya Bunyi bel akan menyebabkan anjing mengeluarkan air liur jika
selalu dipasangkan dengan daging.
4) CR (conditioning respons) : respons bersyarat, yaitu respon yang muncul
dengan hadirnya CS. Misalnya : air liur anjing keluar karena anjing
mendengar bel.
c. Teori Operant Conditioning (Burrhus Frederic Skinner)
Asumsi dari teori ini adalah bahwa perubahan perilaku merupakan fungsi
dari pada kondisi atau peristiwa lingkungan. Tokoh teori ini salah satunya
adalah B.F. Skinner. Menurut Skinner dalam Surya (2003) bahwa respon
individu tidak hanya terjadi karena adanya rangsangan dari lingkungan, akan
tetapi dapat juga terjadi karena sesuatu di lingkungan yang tidak diketahui atau
tidak disadari. Menurut Skinner bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah
penguatan (reinforcement). Penguatan tersbut terbagi menjadi dua yaitu bentuk
penguatan yang bersifat positif dan negatif. Penguatan yang bersifat positif
dapat berupa hadiah atau penghargaan (reward), sedangkan yang berupa
penguatan negative antara lain menunda atau tidak memberikan penghargaan
(punishment), misalnya dengan memberikan tugas tambahan.

12
Sebagai contoh Juned adalah seorang anak yang sangat rajin dan giat
dalam belajar, dia selalu dapat menjawab semua pertanyaan dalam ulangan,
maka gurunya memberikan penghargaan pada Juned dengan memberikan nilai
yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat penghargaan ini Juned semakin rajin
belajar dan lebih bersemangat lagi, bahkan dapat menjadikan motivasi bagi
teman lainnya untuk mendapat penghargaan dari guru. Prinsip-prinsip belajar
yang banyak digunakan pada teori ini menurut Harley dan Davis dalam Sagala
(2010) adalah:
1) Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila siswa ikut terlibat secara
aktif didalamnya;
2) Materi pelajaran diberikan dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur
sedemikian rupa sehingga hanya perlu diberikan suatu respon tertentu saja;
3) Setiap respon perlu diberi umpan balik secara langsung sehingga siswa
dapat dengan segera mengetahui apakah respon yang diberikan betul atau
tidak;
4) Perlu diberikan penguatan setiap kali siswa memberikan respon baik itu
postif ataupun negatif. Penguatan yang bersifat positif akan lebih baik
karena dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi siswa,
sehingga ia ingin mengulang kembali respons yang telah diberikan.
Teori belajar Skinner ini banyak diterapkan dalam bidang pendidikan
formal terutama dalam penetapan model pembelajaran dan teknologi
pembelajaran. Memilih rangsangan dan memberikan peneguhan adalah
merupakan unsur utama dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran di kelas
siswa perlu mendapat perhatian terutama dalam aspek perbedaan individual,
kesiapan untuk pembelajaran, dan pemberian motivasi (Mohammad Surya:
2003, 44). Program pembelajaran yang terkenal dari Skinner adalah “program
Instruction” yaitu suatu bahan belajar yang menggunakan media dalam
pembelajaran. Dalam pembelajaran berprogram ini bahan ajar disajikan dalam
bentuk unit-unit kecil yang diberikan ilustrasi dan pertanyaan, tujuannya adalah
untuk memberikan umpan balik dengan segera terhadap aktivitas belajar siswa.
Program Instruction yang dikembangkan Skinner ini menjadi cikal bakal
berkembangnya program pembelajaran berbasis computer model tutorial, drill,
games, dan simulasi.
` Penerapan Teori Skinner dalam belajar:
13
1) Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan,
jika benar diberi penguat.
2) Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3) Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4) Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktivitas sendiri.
5) Dalam proses pembelajaran, tidak digunakan hukuman. Untuk ini
lingkungan perlu diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
6) Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah
diberikan dengan digunakannya jadwal variable rasio reinforcer.
7) Dalam pembelajaran, digunakan shaping.
d. John B. Watson
Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor yang datang
sesudah Thorndike, stimulus dan respons tersebut harus berbentuk tingkah laku
yang bisa diamati (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan
berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan
menganggapnya sebagai faktor yang tidak perlu diketahui. Bukan berarti semua
perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu
penting, akan tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah
proses belajar sudah terjadi atau belum.
Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan
perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Hanya dengan demikian pula
psikologi dan ilmu belajar dapat disejajarkan dengan ilmu lainnya seperti fisika
atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empiris. Berdasarkan
uraian ini, penganut aliran tingkah laku ini lebih suka memilih untuk tidak
memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui
bahwa hal itu penting.
Penjelasan dari keempat rumpun teori behaviorisme dapat disimpulkan
bahwa belajar dengan menggunakan pendekatan behaviorisme sangat menekankan
pada perubahan perilaku siswa pada setiap akhir pembelajaran yang dapat diukur
dan diamati. Hal ini berimplikasi pada penetapan tujuan pembelajaran pada setiap
sesi pelajaran. Sehingga perubahan perilaku siswa pada aspek pengetahuan dapat
diamati dengan segera untuk dapat diberikan tindakan selanjutnya. Penerapan teori
behaviorisme ini sangat menekankan pada penyusunan tujuan pembelajaran yang
harus mengandung unsur ABCD ( A= Audience; B= Behaviour; C= Condition; D=
14
Degree) sehingga setelah menyelesaikan unit materi kemampuan siswa dapat
terukur dan teramati dengan jelas.
3. Tahap-tahap Perkembangan Behavioristik
Fakta penting tentang perkembangan ialah bahwa dasar perkembangan
adalah kritis. Sikap, kebiasaan dan pola perilaku yang dibentuk selama tahun
pertama, menentukan seberapa jauh individu berhasil menyesuaikan diri dalam
kehidupan mereka selanjutnya. Menurut Erikson (Hurlock, 1980: 6) berpendapat
bahwa masa bayi merupakan masa individu belajar sikap percaya atau tidak
percaya, bergantung pada bagaiamana orang tua memuaskan kebutuhan anaknya
akan makanan, perhatian, dan kasih sayang. Pola-pola perkembangan pertama
cenderung mapan tetapi bukan berarti tidak dapat berubah. Ada 3 kondisi yang
memungkinkan perubahan:
a. Perubahan dapat terjadi apabila individu memperoleh bantuan atau bimbingan
untuk membuat perubahan.
b. Perubahan cenderung terjadi apabila orang-orang yang dihargai
memperlakukan individu dengan cara yang baru atau berbeda (kreatif dan tidak
monoton).
c. Apabila ada motivasi yang kuat dari pihak individu sendiri untuk membuat
perubahan.
Dengan mengetahui bahwa dasar-dasar permulaan perkembangan cenderung
menetap, memungkinkan orang tua untuk meramalkan perkembangan anak dimasa
akan datang. Penganut aliran lingkungan (behavioristk) yakin bahwa lingkungan
yang optimal mengakibatkan ekspresi faktor keturunan yang maksimal. Proses
perkembangan itu berlangsung secara bertahap, dalam arti:
a. Bahwa perubahan yang terjadi bersifat maju meningkat atau mendalam atau
meluas secara kualitatif maupun kuantitatif. (prinsip progressif)
b. Bahwa perubahan yang terjadi antar bagian dan atau fungsi organisme itu
terdapat interpedensi sebagai kesatuan integral yang harmonis. (prinsip
sistematik)
c. Bahwa perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara
beraturan dan tidak kebetulan dan meloncat-loncat (prinsip berkesinambungan).
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran yaitu karena
memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah
pengetahuan disusun dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
15
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)
kepada orang yang belajar. Fungsi pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yang sudah ada melalui proses berfikir yang dapat dianalisis dan
dipilih, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berfikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika
dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar
yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Ciri – ciri kuat yang mendasari penerapan teori behavioristik :
a. Mementingkan pengaruh lingkungan.
b. Mementingkan bagian – bagian (elementalistik).
c. Mementingkan peranan reaksi.
d. Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
e. Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan.
f. Mengutaman mekanime terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon.
g. Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
4. Langkah-langkah Pembelajaran Pada Teori Behavioristik
Secara umum langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori
behavioristik yang dikemukakan oleh Sociati dan Prasetya Irawan (2001) dapat
digunakan dalam merancang pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran tersebut
antara lain:
a. Menentukan tujuan-tujuan pembelajaran.
b. Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini termasuk mengidentifikasi
pengetahuan awal siswa.
c. Menentukan materi pembelajaran.
d. Memecah materi pembelajaran menjadi bagian kecil-kecil, meliputi pokok
bahasan sub pokok bahasan, topik dsb.
e. Menyajikan materi pembelajaran.
f. Memberikan stimulus, dapat berupa, pertanyaan baik lisan maupu tertulis, tes
atau kuis, latihan atau tugas-tugas.
g. Mengamati dan mengkaji respon yang diberikan siswa.
h. Memberikan penguatan atau reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun
penguatan negatif), ataupun hukuman.
16
i. Memberikan stimulus baru.
j. Memberikan penguatan lanjutan atau hukuman.
k. Evaluasi belajar.
Demikian halnya dalam pembelajaran, siswa dianggap sebagai objek pasif
yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu,
para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal
yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang
dijangkau dalam proses evaluasi.
Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau
peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol
belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetic, yang
menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti
urutan dari bagian ke keseluruhan.
a. Berkomunikasi atau transfer prilaku adalah pengambaran pengetahuan dan
kecakapan peserta didik (tidak mempertimbangkan) proses mental.
b. Pengajaran adalah untuk memperoleh keinginan respon dari peserta didik yang
dimunculkan dari stimulus.
c. Peserta didik harus mengenali bagaimana mendapatkan respon sebaik mungkin
pada kondisi respon diciptakan.
Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas
belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada
ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar. Evaluasi menekankan
17
pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper
and pencil test.
Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara benar sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
Dalam pembelajaran behaviorisme pembelajaran merupakan penguasan
respons (Acquisition of responses) dari lingkungan yang dikondisikan. Peserta didik
haruslah melihat situasi dan kondisi apa yang yang menjadi bahan pembelajaran.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip pembelajaran behavioristik menekankan
pada pengaruh lingkungan terhadap perubahan perilaku :
a. Mengunakan prinsip penguatan, yaitu untuk menidentifikasi aspek paling
diperlukan dalam pembelajaran untuk mengarahkan kondisi agar peserta didik
dapat mencapai peningkatan yang diharapkan dalam tujuan pembelajaran.
b. Menidentifikasi karakteristik peserta didik, untuk menetapkan pencapaian
tujuan pembelajaran.
c. Lebih menekankan pada hasil belajar daripada proses pembelajaran.
5. Kelemahan dan Kelebihan Teori Belajar Behaviorisme
Teori belajar behaviorisme ini tentunya memiliki kelebihan dan kelemahan
jika diterapkan dalam proses pembelajaran.
Kelebihan:
a. Pembelajaran difokuskan pada pencapaian sebuah tujuan yang jelas dan bisa
menanggapi secara otomatis segala respon yang diberikan oleh setiap siswa.
b. Cocok untuk pembelajaran yang lebih menekankan pada perolehan kemampuan
psikomotor (praktek) dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti
spontanitas, kelenturan, refleks, daya tahan.
c. Dapat diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan
senang dengan penghargaan langsung seperti pemberian hadiah.
d. Teori ini juga sangat menekankan pada prinsip bahwa setiap individu memiliki
potensi dalam belajar, yang membedakan hanya pada waktu siswa memahami
suatu materi. Dengan demikian siswa yang memiliki kemampuan lambat pun
18
dapat menyelesaikan materi dengan tuntas, sedangkan siswa yang memiliki
kemampuan cepat dapat melanjutkan materi selanjutnya tanpa harus menunggu
teman lainnya. Karena pembelajaran ini juga menekankan pembelajaran secara
individual.
Kelemahan:
a. Siswa mungkin akan menemukan dalam suatu situasi dimana stimulus bagi
respon yang benar tidak terjadi, karena siswa tersebut tidak sanggup
menanggapi.
b. Proses pembelajaran bersifat dapat diamati secara langsung, padahal belajar
adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat dilihat dari luar, kecuali
gejalanya.
c. Proses belajar bersifat otomatis-mekanis, padahal setiap individu memiliki self
direction dan self control yang bersifat kognitif, sehingga ia bisa menolak untuk
merespin jika ia tidak menghendakinya.
d. Proses pembelajaran manusia dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat
sulit diterima, mengingat terdapat perbedaan karakter fisik dan psikis dalam
individu manusia dan hewan. Manusia memiliki karakteristik yang unik.

C. Psikologi Tingkah Laku


1. Edward l. Thorndike
Edward l. Thorndike (1874-1949) mengemukan beberapa hukum belajar
yang dikenal dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih
berhasil bila respon murid terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa
senang atau kepuasan, teori belajar stimulus respon yang dikemukakan oleh
Thorndike ini disebut juga koneksionisme, teori ini mengatakan bahwa pada
hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan
respon. Terdapat beberapa dalil:
a. Hukum Kesiapan (Law Of Readiness)
Yaitu menerangkan bagaimana kesiapan seorang anak dalam melakukan
suatu kegiatan. Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak
atau melakukan kegiatan tertentu dan kemudian dia benar melakukan kegiatan

19
tersebut, maka tindakannya akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Tindakan-
tindakan lain yang dia lakukan tidak menimbulkan kepuasan bagi dirinya.
b. Hukum Latihan (Law Of Exercise) dan Hukum Akibat (Law Of Effect)
Hukum latihan menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering
terjadi, akibatnya hubungan akan semakian kuat. Sedangkan makin jarang
hubungan stimulus respon dipergunakan maka makin lemahnya hubungan yang
terjadi. Dalam hukum akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang
terlahir dari adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak,
dan anak cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang
telah dicapainya itu. Guru yang memberi senyuman wajar terhadap jawaban
anak, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak. Kata-
kata “ Bagus”, “Hebat”, ”Kau sangat teliti” dan semacamnya akan merupakan
hadiah bagi anak yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai
pelajaran.
Disamping itu, Thorndike mengutamakan pula bahwa kualitas dan kuantitas
hasil belajar siswa tergantung dari kualitas dan kuantitas Stimulus-Respon (SR)
dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Makin banyak dan makin baik
kualitas S-R itu (yang diberikan guru) makin banyak dan makin baik pula hasil
belajar siswa. Implikasi dari teori ini dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari
adalah bahwa:
a. Dalam menjelaskan suatu konsep tertentu, guru sebaiknya mengambil contoh
yang sekiranya sudah sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Alat peraga
dari alam sekitar akan lebih dihayati.
b. Metode pemberian tugas, metode latihan (drill dan practice) akan lebih cocok
karena siswa akan lebih banyak mendapatkan stimulus sehingga respons yang
diberikan pun akan lebih banyak.
c. Dalam kurikulum, materi disusun dari materi yang mudah, sedang, dan sukar
sesuai dengan tingkat kelas dan tingkat sekolah. Penguasaan materi yang lebih
mudah sebagai akibat untuk dapat menguasai materi yang lebih sukar.
2. Gagne
Yang akan dibahas pada materi ini adalah dua teori belajar dari Gagne dalam
Bell (1978) yaitu Fakta, Konsep, Prinsip, dan Skill (FKPS). Fakta, Konsep, Prinsip,
dan Skill (FKPS) Gagne membagi objek-objek matematika menjadi objek langsung
dan objek tak langsung. FKPS adalah objek langsungnya, sedangkan objek tak
20
langsungnya adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari siswa
ketika mereka mempelajari objek langsung matematika seperti kemampuan:
berpikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap
matematika, ketekunan, ketelitian, dan lain-lain. Berikut penjelasan mengenai objek
langsung matematika.
a. Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam matematika seperti lambang,
kesepakatan bahwa kalau tidak ada kurung maka operasi perkalian dan
pembagian didahulukan dari operasi penjumlahan dan pengurangan, serta notasi
5% yang berarti 5/100 dan tidak berarti 5/10 ataupun 5/1000 . Seorang siswa
dinyatakan telah menguasai fakta jika ia dapat menuliskan fakta tersebut dan
menggunakannya dengan benar. Contohnya adalah siswa yang
dapatmenyatakan bahwa 25% berarti 25/100 = ¼ ataupun yang menyatakan
bahwa 2 + 3 × 5 = 2 + 15=1. Karenanya, cara mengajarkan fakta adalah dengan
menghafal, drill, ataupun peragaan yang berulang-ulang.
b. Konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk
mengklasifikasi suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut
merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Contohnya,
konsep tentang: bunga tunggal, bunga majemuk, perbandingan, anuitas, dan
deret geometri, sehingga ketika gurunya mengucapkan “bunga majemuk”
misalnya, para siswa telah paham dengan bunga majemuk tersebut. Karenanya,
seorang siswa disebut telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat
membedakan antara contoh dari yang bukan contoh. Untuk sampai ke tingkat
tersebut, siswa harus dapat menunjukkan atribut atau sifat-sifat khusus dari
objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh. Dikenal empat cara
mengajarkan konsep, yaitu:
1) Dengan menggunakan beberapa contoh dan yang bukan contoh dari konsep
yang dibicarakan. Ketika membahas konsep bentuk akar contohnya, guru
dapat memberi contoh bahwa, 3, 5, ... merupakan contoh bentuk akar
imajiner, namun 4, 9, atau pun 16 bukanlah bentuk akar imajiner karena
ketiganya berturut- turut bernilai 2, 3, dan 4.
2) Deduktif, dimulai dari definisi lalu ke contohnya.
3) Induktif, dimulai dari contoh lalu membahas definisinya.

21
4) Kombinasi deduktif dan induktif, dimulai dari contoh lalu membahas
definisinya dan kembali ke contoh, atau dimulai dari definisi lalu
membahas contohnya lalu kembali membahas definisinya.
c. Prinsip adalah suatu pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau
lebih. Contohnya, rumus permutasi k objek dari n objek dan rumus umum suku
ke-n suatu barisan aritmetika. Seorang siswa dinyatakan telah memahami suatu
prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat
mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta
dapat menggunakan prinsip tersebut pada situasi yang tepat.
d. Skill atau keterampilan adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan
atau memperoleh suatu hasil tertentu. Contohnya, keterampilan melakukan
pembagian berekor, mengalikan dua bilangan pecahan, merasionalkan penyebut
suatu pecahan, serta menentukan bunga majemuk dengan bantuan tabel ataupun
kalkulator. Para siswa dinyatakan telah memperoleh skill, jika ia telah dapat
menggunakan prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat. Untuk itu
penggunaan skill ini tidak pada penghafalan semata melainkan berlandaskan
pengertian atau pemahaman dari suatu materi. Dalam pemecahan masalah
biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan, yaitu:
1) Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas.
2) Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional.
3) Menyusun hipotesis hipotesis alternattif dan prosedur kerja yang
diperkirakan baik.
4) Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.
5) Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.
3. Skinner
Dalam eksperimen Skinner (Muhibbin Syah, 2003: 99), Skinner
menggunakan seekor tikus yang ditempatkan dalam sebuah peti yang kemudian
terkenal dengan “Skinner Box”. Peti sangkar ini terdiri atas dua komponen yaitu:
manipulandum dan alat pemberi reinforcement yang antara lain berupa wadah
makanan. Manipulandum adalah komponen yang dapat dimanipulasi dan
gerakannya berhubungan dengan reinforcement. Komponen ini terdiri dari tombol,
batang jeruji, dan pengungkit. (Rober, 1988).
Dalam eksperimen ini, mula-mula tikus mengeksplorasi pati sangkar dengan
berlari-lari atau mencakari dinding. Aksi ini disebut “emitted behavior” (tingkah
22
laku yang terpancar tanpa mempedulikan stimulus tertentu). Sampai pada suatu
ketika secara kebetulan salah satu “emitted behavior” tersebut dapat menekan
pengungkit yang menyebabkan munculnya butir-butir makanan ke dalam wadahnya
sehingga tikus dapat mendapatkan makanan. Butir-butir makanan ini merupakan
reinforce bagi penekanan pengungkit. Penekanan pengungkit inilah yang disebut
tingakah laku operant yang akan terus meningkat apabial diiringi dengan
reinforcement, yakni pengauatan berupa butir-butir makanan yang muncul.
Teori Operant Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner. Menurut Skinner dalam (Dimyati
Mahmud, 1989: 123) tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus,
tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant. Operant ini dipengaruhi oleh apa
yang terjadi sesudahnya. Jadi operant conditioning atau operant learning itu
melibatkan pengendalian konsekuensi.
Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu.
Tingkah laku ini terletak di antara dua pengaruh yaitu pengaruh yang
mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal
ini dapat dilukiskan sebagai berikut:
Antecedent –> tingkah laku –> konsekuensi
atau A –> B –> C
Dengan demikian, tingkah laku dapat diubah dengan cara mengubah
antecedent, konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu
sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat
lain di waktu yang akan datang.
4. Ausubel
Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan
sebelum belajar dimulai. Ia membedakan belajar menemukan dengan belajar
menerima, jadi tinggal menghafalnya. Tetapi pada belajar menemukan konsep
ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu untuk
dapat membedakan antara belajar menghafal dengan belajar bermakna.
Pada belajar menghafal, siswa menghafal materi yang sudah diterimanya,
tetapi pada belajar bermakna materi yang diperoleh itu dikembangkan dengan
keadaan lain sehingga belajar lebih dimengerti. Selanjutnya Ausubel mengemukan
bahwa metode ekspositori adalah metode mengajar yang baik dan bermakna. Hal
ini dikemukan berdasarkan hasil penelitiannya. Belajar menerima maupun
23
menemukan sama-sama dapat berupa belajar menghafal atau bermakna. Misalnya
dalam mempelajari konsep Pitagoras tentang segitiga siku-siku, mungkin bentuk
akhir c2= b2+a2 sudah disajikan, tetapi jika siswa memahami rumus itu selalu
dikaitkan dengan sisi-sisi sebuah segitiga siku-siku akan lebih bermakna.
5. Bandura
Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku
yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh
Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip
teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan
dan isyarat-isyarat perubahan perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi
dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan
reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk
memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “
manusia “ itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak
dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang
dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu kerap kali
dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura,
sebagaimana dikutip oleh (Kard S,1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar
melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti
dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini
merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama, pembelajaran
melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain,
contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji dan ditegur oleh gurunya
karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang
tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari
penguatan melalui pujian yang dialami orang lain. Kedua, pembelajaran melalui
pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan
penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan
model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut
dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara
tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara

24
langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi
tiruan sebagai model (Nur M,1998:4).
Seperti pendekatan teori pembelajaran terhadap kepribadian, teori
pembelajaran sosial berdasarkan pada penjelasan yang diutarakan oleh Bandura
bahwa sebagian besar daripada tingkah laku manusia adalah diperoleh dari dalam
diri, dan prinsip pembelajaran sudah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah
laku berkembang. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya kurang memberi perhatian
pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul dan kurang memperhatikan
bahwa banyak peristiwa pembelajaran terjadi dengan perantaraan orang lain.
Maksudnya, sewaktu melihat tingkah laku orang lain, individu akan belajar meniru
tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain sebagai model
bagi dirinya.
a. Teori Peniruan ( Modeling )
Pada tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John
Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan
(imitation) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain.
Proses belajar tersebut dinamakan “social learning“ – “pembelajaran sosial“ .
Perilaku peniruan manusia terjadi karena manusia merasa telah memperoleh
tambahan ketika kita meniru orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita
tidak menirunya. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia
dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku (modeling).
Dalam hal ini orang tua dan guru memainkan peranan penting sebagai seorang
model atau tokoh bagi anak-anak untuk menirukan tingkah laku membaca.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters
(1959,1963) telah melakukan eksperimen pada anak-anak yang juga berkenaan
dengan peniruan. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat
berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru)
meskipun pengamatan itu tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar
semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui
pengamatan. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran
sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya
mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam
diri (kognitif) dan lingkungan. pandangan ini menjelaskan, beliau telah
25
mengemukakan teori pembelajaran peniruan, dalam teori ini beliau telah
menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan anak-anak
apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi
dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Setelah menonton video
anak-anak ini diarah bermain di kamar permainan dan terdapat patung seperti
yang ditayangkan dalam video. Setelah anak-anak tersebut melihat patung
tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka
tonton dalam video.
Berdasarkan teori ini terdapat beberapa cara peniruan yaitu meniru secara
langsung. Contohnya guru membuat demostrasi cara membuat kapal terbang
kertas dan pelajar meniru secara langsung. Seterusnya proses peniruan melalui
contoh tingkah laku. Contohnya anak-anak meniru tingkah laku bersorak
dilapangan, jadi tingkah laku bersorak merupakan contoh perilaku di lapangan.
Keadaan sebaliknya jika anak-anak bersorak di dalam kelas sewaktu guru
mengajar,semestinya guru akan memarahi dan memberi tahu tingkah laku yang
dilakukan tidak dibenarkan dalam keadaan tersebut, jadi tingkah laku tersebut
menjadi contoh perilaku dalam situasi tersebut. Proses peniruan yang seterusnya
ialah elisitasi. Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada orang
lain. Contohnya seorang anak-anak melihat temannya melukis bunga dan timbul
keinginan dalam diri anak-anak tersebut untuk melukis bunga. Oleh karena itu,
peniruan berlaku apabila anak-anak tersebut melihat temannya melukis bunga.
Perkembangan kognitif anak-anak menurut pandangan pemikir islam
yang terkenal pada abad ke-14 yaitu Ibnu Khaldun perkembangan anak-anak
hendaklah diarahkan dari perkara yang mudah kepada perkara yang lebih susah
yaitu mengikut peringkat-peringkat dan anak-anak hendaklah diberikan dengan
contoh-contoh yang konkrit yang boleh difahami melalui pancaindera. Menurut
Ibnu Khaldun, anak-anak hendaklah diajar atau dibentuk dengan lemah lembut
dan bukannya dengan kekerasan. Selain itu, beliau juga mengatakan bahwa
anak-anak tidak boleh dibebankan dengan perkara-perkara yang di luar
kemampuan mereka. Hal ini akan menyebabkan anak-anak tidak mau belajar
dan memahami pengajaran yang disampaikan.
b. Unsur Utama dalam Peniruan (Proses Modeling/Permodelan)
Menurut teori belajar sosial, perbuatan melihat saja menggunakan
gambaran kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognitif dalam proses belajar
26
dapat diringkas dalam 4 tahap, yaitu: perhatian/atensi, mengingat/retensi,
reproduksi gerak, dan motivasi.
1) Perhatian (Attention). Subjek harus memperhatikan tingkah laku model
untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada
nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Contohnya, seorang
pemain musik yang tidak percaya diri mungkin meniru tingkah laku pemain
music terkenal sehingga tidak menunjukkan gayanya sendiri. Bandura &
Walters (1963) dalam buku mereka "Social Learning & Personality
Development" menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain
pembelajaran dapat dipelajari.
2) Mengingat (Retention). Subjek yang memperhatikan harus merekam
peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Ini membolehkan subjek melakukan
peristiwa itu kelak bila diperlukan atau diingini. Kemampuan untuk
menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar.
Contohnya, seorang anak berusia 6 tahun belajar mengenal huruf alfabet dan
belajar mengenal angka. Pada awal anak mengenal huruf dan angka, anak
terus menerus dilatih mengingat bentuk-bentuk angka dan huruf. Bentuk
yang bermacam-macam harus hafal diluar kepala siswa. Dengan mengingat
anak akan menyimpan informasi yang diperoleh kemudian dapat digunakan
kembali. Proses demikian termasuk kegiatan belajar.
3) Reproduksi gerak (Reproduction). Setelah mengetahui atau mempelajari
sesuatu tingkah laku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau
menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Contohnya,
mengendarai mobil, bermain tenis. Jadi setelah subyek memperhatikan
model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya untuk benar-benar
melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek lebih lanjut dari perilaku yang
dipelajari mengarah pada kemajuan perbaikan dan keterampilan.
4) Motivasi. Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena
ia adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Jadi subyek
harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah dimodelkan. Contohnya,
dalam lingkungan sekolah, siswa bertemu dengan gurunya. Jadi seorang
guru harus memiliki tingkah laku dan perilaku yang baik, mengenai tata cara
berpakaian, cara berbicara, kesopanan, santun, disiplin, ulet dan rajin.
Secara tidak sadar perilaku siswa termotivasi dari perilaku guru disekolah.
27
c. Ciri – ciri teori Pemodelan Bandura
1. Unsur pembelajaran utama ialah pemerhatian dan peniruan.
2. Tingkah laku model boleh dipelajari melalui bahasa, teladan, nilai dan lain-
lain.
3. Pelajar meniru suatu kemampuan dari kecakapan yang didemonstrasikan
guru sebagai model.
4. Pelajar memperoleh kemampuan jika memperoleh kepuasan dan penguatan
yang positif.
5. Proses pembelajaran meliputi perhatian, mengingat, peniruan, dengan
tingkah laku atau timbal balik yang sesuai, diakhiri dengan penguatan yang
positif.
d. Eksperimen Albert Bandura
Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang
menunjukkan anak-anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa
disekitarnya. Albert Bandura seorang tokoh teori belajar sosial ini menyatakan
bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan
menggunakan pendekatan “permodelan”. Beliau menjelaskan lagi bahwa aspek
perhatian pelajar terhadap apa yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan
aspek peniruan oleh pelajar akan dapat memberikan kesan yang optimum
kepada pemahaman pelajar.
Eksperimen Pemodelan Bandura :
Kelompok A = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa memukul,
menumbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.
Hasil = Meniru apa yang dilakukan orng dewasa malahan lebih agresif.
Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa bermesra
dengan patung besar Bobo.
Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok A.
Rumusan :
Tingkah laku anak – anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah hasil
dari penguatan.
6. Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849, ia meraih penghargaan
nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai
pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika.
28
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat
terpengaruh pandangan behaviorisme.
Pavlov melakukan suatu eksperimen terhadap anjing. Anjing mengeluarkan
air liur apabila diperlihatkan makanan. Air liur yang dikeluarkan oleh anjing
merupakan suatu stimulus yang diasosiasikan dengan makanan. Pavlov juga
menggunakan lonceng dahulu sebelum makanan diberikan. Dengan sendirinya air
liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-
ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya membunyikan lonceng saja saja tanpa
makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang lonceng adalah rangsangan
buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang,
rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur
pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned
Respons.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi
Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami
dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Pavlov diperoleh kesimpulan
berkenan dengan beberapa cara perubahan tingkah laku yang dapat digunakan
dalam proses pembelajaran. Contohnya murid dimarahi karena ujian biologinya
buruk. Saat murid untuk ujian kimia dia juga akan menjadi gugup karena kedua
pelajaran tersebut saling berkaitan.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus respon atau reaksinya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku
tertentu dengan menggunakan pentingnya pelatihan atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement/penguatan dan
akan menghilang bila dikenai hukuman.Teori ini juga cocok diterapkan untuk
melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka
mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk
penghargaan langsung seperti diberi hadiah atau pujian.

II. Rangkuman
29
Munculnya teori behaviorisme tidak datang dengan sendirinya. Teori ini muncul
karena adanya perbedaan pendapat antara tokoh satu dengan tokoh lainnya yang pada pada
akhirnya dilakukan serangkaian penelitian tentang perilaku seseorang. Hasil dari penelitian
ini melahirkan cabang disiplin ilmu baru yaitu behaviorisme.
Behaviorisme muncul awalnya melalui penelitian Psikolog Rusia bernama van
Pavlov (1849-1936). Penelitian yang dilakukan Ivan Pavlov adalah penelitian yang
dilakukan terhadap beberapa anjing, menghasilkan teori stimulus-respon yang bernama
Classical Condisioning. Behaviorisme adalah salah satu dari "isme" yang artinya paham
atau pandangan. Behaviorisme atau aliran perilaku filosofi dalam psikologi yang berdasar
pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme (tindakan, pikiran, atau perasaan)
dapat dan harus dianggap sebagai perilaku. Aliran ini berpendapat bahwa perilaku
demikian dapat digambarkan secara ilmiah tanpa melihat peristiwa fisiologis internal atau
konstrak hipotesis seperti pikiran. Behaviorisme adalah suatu sikap, suatu cara untuk
memahami kendala empiris pada atribusi status psikologis. Terkadang dikatakan bahwa
"berperilaku adalah apa yang organisme lakukan". Behaviorisme dibangun di atas asumsi
ini, dan tujuannya adalah untuk mempromosikan studi ilmiah tentang perilaku yang
menolak perilaku batin.
Behaviorisme memandang pula bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia
tidak membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang
diterimanya dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan
manusia buruk, lingkungan yang baik akan menghasilkan manusia baik. Tokoh-tokoh yang
terkenal dalam teori behavirosme meliputi E.L.Thorndike, I.P.Pavlov, B.F.Skinner, dan
J.B.Watson.

III. Latihan Soal Pilihan Ganda


Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat!
1. Behaviorisme adalah…
a. sebuah gerakan dalam psikologi Pemikiran yang berasal dari batin
b. sesuatu yang sudah ada sejak lahir
c. sebuah gerakan dalam psikologi dan filsafat Pemikiran-pemikian yang
membutuhkan proses dengan sediit pengalaman batin
d. sebuah gerakan dalam psikologi dan filsafat yang menekankan aspek perilaku luar
dari pemikiran dan menolak pengalaman batin

30
2. Behaviorisme memandang bahwa…
a. ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak membawa bakat apa-apa
b. semua yang kita ketahui adalah bawaan lahir
c. kemampuan dan kecenderungan seseorang sebagian besar lahir
d. Ketika dilahirkan manusia sdah mengeahui semuanya
3. Sebagai seorang pelopor dan yang telah menciptakan nama behaviorisme adalah…
a. Pluto
b. John B. Waston
c. Darwin
d. Titchener
4. Suatu eksperimen, dimana seekor tikus diletakkan dalam kotak adalah eksperimen
dari…
a. Darwin
b. BF. Skinner
c. Van Pavlov
d. Titchener
5. Suatu penelitian, dimana anjing-anjing yang ada di laboratoriumnya mulai
mengeluarkan air liur pada saat mereka diberi makan, bahkan sebelum mereka bisa
melihat atau mencium aroma makanannya. Anehnya, mereka mengeluarkan air liur
ketika mereka melihat penjaganya atau pada saat mereka mendengar langkah kaki
penjaganya adalah penelitian…
a. Darwin
b. BF. Skinner
c. van Pavlov
d. Titchener
6. Berikut ini tidak termasuk ciri-ciri teori behaviorisme yaitu …
a. mengutamakan unsur-unsur kecil
b. bersifat mekanistis
c. menekankan pada peranan individu dalam proses pembelajaran
d. menekankan pentingnya individu melakukan latihan
7. Menurut teori behaviorisme tingkah laku individu berasal dari hubungan antara …
a. rangsangan dan jawaban
b. kebiasaan dan watak

31
c. lingkungan dan individu
d. adat dan sifat
8. Membentuk kebiasaan dengan mengulang-ulang suatu perbuatan hingga menjadi
kebiasaan adalah pengertian dari …
a. latihan
b. belajar
c. pengujian
d. mengajar
9. Teori penguatan atau reinforcement menurut Skinner dapat diterapkan di bidang
pendidikan yaitu dalam penentuan …
a. teknologi pembelajaran
b. landasan pembelajaran
c. materi pembelajaran
d. objek pembelajaran
10. Kelemahan teori behaviorisme dalam proses pembelajaran adalah …
a. siswa difokuskan terjadap tujuan yang jelas
b. dapat diterapkan pada anak yang masih membutuhkan dominasi orang tua
c. proses pembelajaran manusia di analogikan dengan perilaku hewan
d. pembelajaran menekankan pada perolehan kemampuan psikomotor

Kunci jawaban
1. d
2. b
3. a
4. b
5. c
6. c
7. b
8. b
9. a
10. c

IV. Latihan Soal Uraian


Kerjakan soal dengan jawaban yang jelas dan tepat!
32
1. Behaviorisme dapat diartikan sebagai perilaku adalah apa yang organisme lakukan.
Berdasarkan asumsi ini, tujuan dari pengertian behaviorisme untuk mempromosikan
studi ilmiah tentang perilaku. Ada beberapa tokoh yang melakukan penelitian untuk
mengetahui tentang perilaku manusia. Pavlov adalah tokoh dari Rusia yang pada
awalnya melakukan penelitian tentang teori behaviorisme. Jelaskan secara singkat
percobaan yang dilakukan oleh Pavlov yang menjadi dasar ilmu behaviorisme!
Kemudian apa hubungannya dari percobaan Pavlov dengan perilaku individu?
2. Aliran teori behaviorisme memandang bahwa siswa yang dianggap belajar adalah siswa
yang telah menunjukkan perubahaan perilakunya. Berdasarkan hal ini teori
behaviorisme tepat diaplikasikan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Menurut
pendapat anda apakah teori belajar behaviorisme sudah benar tepat diaplikasikan untuk
pendidikan di Indonesia, jika tepat berikan alasannya atau jika kurang tepat berikan
alasannya juga?
3. Menurut teori psikologi tingkah laku, Gagne membagi objek matematika menjadi objek
langsung dan objek tak langsung. Fakta, konsep, prinsip dan skill adalah objek
langsung, sedangkan objek tak langsung contohnya kemampuan berpikir logis,
memecahkan masalah, ketekunan dan lain-lain. Kemampuan pemecahan masalah
adalah keterampilan yang dimiliki siswa sebagai syarat untuk bisa menyelesaikan soal
pemecahan masalah. Dalam pemecahan masalah ada beberapa langkah yang harus
dilakukan siswa sehingga siswa tersebut dikatakan telah berhasil menyelesaikan
masalah matematika. Sebutkan langkah pemecahan masalah yang tepat sesuai dengan
teori behaviorisme!
4. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan. Pertama, pembelajaran melalui
pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain, Kedua, pembelajaran
melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan
penguatan positif atau penguatan negatif saat mengamati itu sedang memperhatikan
model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan
mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa
yang dipelajari itu. Albert Bandura dan Richard Walters telah melakukan eksperimen
pada anak-anak yang juga berkenaan dengan peniruan. Jelaskan hasil eksperimen
tersebut!
5. Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan
anak-anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Albert
Bandura seorang tokoh teori belajar sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran
33
dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan
“permodelan”. Beliau menjelaskan lagi bahwa aspek perhatian pelajar terhadap apa
yang disampaikan atau dilakukan oleh guru dan aspek peniruan oleh pelajar akan dapat
memberikan kesan yang optimum kepada pemahaman pelajar. Jelaskan eksperimen
permodelan bandura!

Kunci Jawaban
1. Behaviorisme muncul awalnya melalui penelitian Psikolog Rusia bernama Van Pavlov
(1849-1936). Penelitian yang dilakukan Ivan Pavlov adalah penelitian yang dilakukan
terhadap beberapa anjing. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pavlov, anjing-anjing
yang ada di laboratoriumnya mulai mengeluarkan air liur pada saat mereka diberi
makan, bahkan sebelum mereka bisa melihat atau mencium aroma makanannya.
Anehnya, mereka mengeluarkan air liur ketika mereka melihat penjaganya atau pada
saat mereka mendengar langkah kaki penjaganya. Selanjutnya penelitian sederhana ini
membimbing Pavlov untuk melakukan serangkaian percobaan yang cukup terkenal,
dia akan membunyikan bel atau suara berdengung yang dua-duanya tidak
menyebabkan anjing berliur dan kemudian dengan Pavlov memberi makan anjing-
anjingnya, sebuah stimulus yang mengarah pada keluarnya liur. Dengan segera Pavlov
menemukan bahwa apabila prosedur yang sama diulang sesering mungkin, bunyi bel
dan dengung saja sudah mengakibatkan keluarnya air liur. Penelitian Pavlov ini
kemudian menghasilkan teori stimulus-respon yang bernama Classical
Condisioning.Classical Condisioning.adalah proses yang ditemukan melalui
percobaan pada anjing. Dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan
stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang
diinginkan. Penelitian dari Pavlov mempengaruhi pandangan teori behaviorisme.
Berdasarkan penelitian diatas dapat diketahui bahwa dengan menerapkan cara
pemikiran Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti
stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan,
sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal
dari luar dirinya.
2. Aliran teori behaviorisme memandang bahwa siswa yang dianggap belajar adalah
siswa yang telah menunjukkan perubahaan tingkah lakunya. Perubahan tingkah laku
ini diakibatkan oleh adanya input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa
34
reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut.
Dengan demikian adanya interaksi antara stimulus dan respon mengakibatkan siswa
telah berhasil dalam kegiatan belajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan
tingkah laku pada siswa.
Teori belajar behaviorisme memiliki dua pandangan sisi yang berbeda bila
diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Kelebihan teori ini untuk pendidikan di
Indonesia adalah pembelajaran dengan teori behaviorisme dapat fokus mencapai
tujuan pembelajaran yang jelas, kemudian pembelajaran dengan teori ini dapat
menekankan kemampuan siswa secara psikomotorik, serta teori ini sangat menekankan
pada prinsip bahwa setiap siswa memiliki potensi dalam belajar, yang membedakan
hanya pada waktu siswa memahami kedalaman materi pelajaran. Sedangkan
kelemahan teori ini pada sistem pendidikan di Indonesia adalah ada beberapa siswa
yang mungkin tidak akan sanggup menanggapi stimulus yang diberikan karena siswa
tidak memahami situasi dimana stimulus diberikan, kemudian proses pembelajaran
bersifat dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental
yang tidak dapat dilihat dari luar, kecuali gejalanya dan proses pembelajaran
dianalogikan dengan perilaku hewan, hal ini tidak sesuai dengan pemikiran dan
kebudayaan masyarakat Indoesia mengingat keduanya memiliki perbedaan karakter,
psikis, sifat, dan akal karena manusia dan hewan tidak sama. Manusia memiliki derajat
yang lebih tinggi dari hewan karena manusia dibekali akal dan pikiran dibandingkan
dengan hewan.
3. Dalam pemecahan masalah biasanya ada 5 langkah yang harus dilakukan, yaitu:
a. Menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas.
b. Menyatakan masalah dalam bentuk yang lebih operasional.
c. Menyusun hipotesis hipotesis alternattif dan prosedur kerja yang diperkirakan baik.
d. Mengetes hipotesis dan melakukan kerja untuk memperoleh hasilnya.
e. Mengecek kembali hasil yang sudah diperoleh.
4. Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat berlaku hanya melalui
pengamatan terhadap perilaku model (orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu
tidak dilakukan terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut "observational
learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Bandura, kemudian menyarankan
agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang
sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental

35
seseorang. Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam
diri (kognitif) dan lingkungan.
5. Eksperimen Pemodelan Bandura :
Kelompok A = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa memukul,
menumbuk, menendang, dan menjerit kearah patung besar Bobo.
Hasil = Meniru apa yang dilakukan orng dewasa malahan lebih agresif.
Kelompok B = Disuruh memperhatikan sekumpulan orang dewasa bermesra dengan
patung besar Bobo.
Hasil = Tidak menunjukkan tingkah laku yang agresif seperti kelompok A.
Rumusan : Tingkah laku anak – anak dipelajari melalui peniruan / permodelan adalah
hasil dari penguatan.

V. Daftar Pustaka
A.Powell, Russell, dkk. (2005). Introdution to Learning and Behavio, Fourth Edition,
Internasional Edition. America: Pre Media Global.
Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Graham, George. (2015). Behaviorism. USA: Stanford University.
Hall S. Calvin & Lindzey, Gardner, Psikology kebribadian 3, Teori-Teori sifat dan
behavioristik (diterjemahkan dari bukuTheories of personality, New york, Santa
barbara Toronto, 1978, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Riyanto, Yatim, Paradigma Baru
Pembelajaran, Jakarta : Pranada Media Group.
Hauser, Larry. (2017). Internet Encyclopedia of Philosophy.USA: Alma College.
http://sainsmatika.blogspot.co.id/2012/06/implikasi-aliran-psikologi-tingkah-laku.html
diakses 25 Agustus 2018 pukul 8:01 WIB.
http://12008ars.blogspot.co.id/2013/06/teori-albert-bandura-modeling.html diakses 25
Agustus 2018 pukul 8:05 WIB.
http://www.kompasiana.com/elfa.dianymufida/teori-belajar-behaviorisme-ivan-
pavlov_54f7603ba3331116368b46c1 diakses 25 Agustus 2018 pukul 8:10 WIB.
http://piiekaa.blogspot.co.id/2013/04/teori-pembelajaran-matematika-menurut_9.html
diakses 25 Agustus 2018 pukul 8:13 WIB.
http://iusiwoo.blogspot.co.id/2013/10/makalah-psikologi-tingkah-laku.html diakses 25
Agustus 2018 pukul 8:15 WIB.

36
http://rofanikotilawati.blogspot.com/2015/11/teori-psikologi-tingkah-laku-dan_24.html
diakses 25 Agustus 2018 pukul 8:29 WIB.
Masitoh, Laksmi Dewi. (2009). Strategi Pembelajaran. Jakarta: Modul Dual Mode Depag.
Muthmainnah, Lailiy. (2017). Problem Dalam Asumsi Psikologi Behavioris (Sebuah
Telaah Filsafat Ilmu).Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Vol. 27, No. 2,
Agustus 2017
Skinner, The Behavior of Organism, (1989).
Slavin, Belajar dan Pembelajaran, (2000).
Smith, Mark K, dkk. (2009). Teori Pembelajaran dan Pengajaran. Jogjakarta: Mirza
Media Pustaka.
Sudjana, Nana. (1985) Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana
IKIP Jakarta.

37

Anda mungkin juga menyukai