Oleh:
Bisart Benedicto Ginting, S.Ked
Dian Octaviani , S. Ked
Preceptor:
dr. Agum Tizy, Sp.THT-KL
Puji dan syukur penulis ucapkan atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun case report
ini. Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih yang tulus kepada dr. Agum
Tizy, Sp. THT-KL selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi
isi, bahasa, analisis, dan sebagainya. Oleh karena itu, penulis ingin meminta maaf
atas segala kekurangan tersebut, hal ini disebabkan karena masih terbatasnya
pengetahuan, wawasan, dan keterampilan penulis. Selain itu, kritik dan saran dari
pembaca sangat penulis harapkan, guna untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media supuratif kronik adalah radang kronik telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari telinga
(otorea) lebih dari 2 bulan, terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin
encer atau kental, bening atau berupa nanah. Diberikan batasan 2 bulan karena
kemungkinan sudah terjadi kelainan patologik yang ireversibel setelahnya.
Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis pada telinga tengah
dengan perforasi membran tympani dan sekret keluar dari telinga terus
menerusatau hilang timbul,. sekret dapat encer atau kental, bening atau berupa
nanah. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.1,2
Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak
ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum, insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Prevalensi OMSK di Indonesia
adalah 3,8% dan termasuk dalam klasifikasi tinggi dibandingkan dengan
beberapa negara lain. Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera
Penglihatan dan Pendengaran oleh Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-
1996, angka kesakitan (morbiditas) Telinga, Hidung, dan Tenggorok (THT) di
Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi morbiditas tertinggi pada kasus
telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar 38,6% dan prevalensi otitis
media supuratif kronis antara 2,1-5,2%.3,4
OMSK dapat terbagi atas 2, yaitu otitis media supuratif kronik tubotimpani
dan otitis media supuratif kronik atikoantral. OMSK atikoantral merupakan
bentuk yang paling berbahaya karena sifatnya yang dapat mendestruksi jaringan
sekitar sehingga dapat menimbulkan komplikasi yang lebih berat.1,3
Penyakit OMSK ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita datang
dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap dan morbiditas penyakit
telinga tengah kronis ini dapat berganda, gangguan pertama berhubungan
dengan infeksi telinga tengah yang terus menerus ( hilang timbul ) dan
gangguan kedua adalah kehilangan fungsi pendengaran yang disebabkan
kerusakan mekanisme hantaran suara dan kerusakan konka karena toksisitas
atau perluasan infeksi langsung.
BAB II
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS PENDERITA
2. PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
Alloanamnesis
Dilakukan secara alloanamnesa dengan pasien pada hari Kamis tanggal 13
September 2018 pukul 10.00 WIB di Poliklinik THT RSUD Ahmad Yani.
Keluhan Utama :
Keluar cairan pada telinga sebelah kanan dan kiri sejak ± 2 bulan yang lalu
Ibu pasien juga menyangkal adanya riwayat batuk pilek berulang, mimisan dan
nyeri saat menelan. Tidak ada riwayat demam tinggi, anak tidak gelisah dan
dapat tidur tenang. Gangguan kesadaran, trauma di kepala atau sekitar telinga,
dan muntah menyemprot disangkal ibu pasien. Pasien sebelumnya tidak pernah
megalami keluhan keluar cairan dari telinga. Pasien baru pertama kali berobat
ke dokter THT Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa
seperti yang dialami oleh pasien.
3. PEMERIKSAAN OBYEKTIF
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 102 x/ menit
RR : 22 x/ menit
Suhu : 36,8 °C
BB : 23 Kg
Kepala Dan Leher
Kepala Normocephal
Wajah Simetris
Leher anterior Pembesaran KGB (-)
Leher posterior Pembesaran KGB (-)
Status Lokalis
a. Telinga
Pemeriksaan Rutin Umum Telinga
Dextra Sinistra
Aurikula Bentuk normal Bentuk normal
Nyeri tarik (-) Nyeri tarik (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Preaurikula Nyeri tragus (-) Nyeri tragus (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Retroaurikula Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Oedem (-) Oedem (-)
Mastoid Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Oedem (-) Oedem (-)
CAE sempit Sempit
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Discharge (+) kuning kental, Discharge (+) kuning kental,
tidak berbau tidak berbau
Serumen (-) Serumen (-)
Corpus alienum (-) Corpus alienum (-)
Membran Timpani
Dextra Sinistra
Keutuhan Tidak intak Tidak Intak
Warna Hiperemis Hiiperemis
Perforasi (+) (+)
Cone of light Tidak ada Tidak ada
b. Hidung
Pemeriksaan Rutin Umum Hidung
Cavum Dextra Cavum Sinistra
Hidung Bentuk normal
Sekret Seromukus Seromukus
Mukosa Merah muda Merah muda
Konka
Media Merah muda Merah muda
Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Inferior Merah muda Merah muda
Pembesaran (-) Pembesaran (-)
Meatus
Media Merah muda Merah muda
Sekret (-) Sekret (-)
Inferior Merah muda Merah muda
Sekret (-) Sekret (-)
Septum Deviasi (-)
Massa (-) (-)
c. Tenggorok
Pemeriksaan Rutin Umum Tenggorok
Mukosa buccal Merah muda
Gingiva Merah muda
Gigi geligi Karies (-)
Palatum durum & molle Merah muda
Lidah 2/3 anterior Merah muda
Tonsil
Dextra Sinistra
Ukuran T1 T1
Permukaan Rata Rata
Warna Merah muda Merah muda
Kripta Tidak Melebar Tidak Melebar
Detritus (-) (-)
Fiksatif (-) (-)
Peritonsil Abses (-) Abses (-)
Orofaring
Arkus faring : simetris, merah muda
Palatum molle & durum : merah muda
Dinding posterior orofaring : merah muda, granulasi (-)
Pemeriksaan Rutin Khusus Tenggorok:
Rhinoskopi posterior: Tidak dilakukan
Laringofaring
Mukosa
Massa
Lain-lain
Laring
Epiglotis
Plika vokalis Tidak dilakukan pemeriksaan
Gerakan
Posisi
Tumor
Massa
Lain-lain
4. Resume
Seorang anak berusia 4 tahun datang ke poli THT RSUD Ahmad Yani
diantar oleh orang tuanya dengan keluhan keluar cairan dari telinga kanan dan
kiri sejak 2 bulan yang lalu. Cairan yang keluar berwarna kuning, keluar setiap
pagi hari. Telinga terasa gatal sehingga sering dikorek dengan cotton bud.
Tidak ada riwayat demam tinggi, anak tidak gelisah dan dapat tidur tenang.
Keluhan baru pertama kali dirasakan, riwayat dikeluarga tidak ada yang
menderita hal yang sama.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dalam batas normal. Dari
status lokalis telinga didapatkan discharge kuning kental pada telinga kanan
dan kiri, membran timpani kanan dan kiri tidak intak, hiperemis, tampak
perforasi dan tidak didapatkan kolesteatoma. Pada pemeriksaan hidung dan
tenggorok dalam batas normal.
5. Pemeriksaan Penunjang
-Rontgen mastoid dextra et sinistra
-Tes Pendengaran
-Timpanometri
6. Pemeriksaan Anjuran
Kultur sekret telinga dan uji resistensi obat
7. Diagnosis Banding
- Otitis Media Supuratif Kronis tipe benign ADS
- Otitis Media Supuratif Kronis tipe maligna ADS
8. Diagnosis Kerja
Otitis Media Supuratif Kronik Tipe Benigna ADS
9. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Ofloxacin tetes telinga, 2x 6 gtt pada telinga kanan dan kiri
Cefixime syrup 2 x 1 sendok teh sehari (dosis 1,5-3mg/kgbb/hari)
Edukasi :
Hindari air masuk ke telinga ketika mand
Tidak boleh mengorek-ngorek telinga
Segera berobat bila menderita ISPA
Konsumsi obat secara teratur
Menjaga higiene telinga
Kontrol ke dokter jika keluhan masih ada
2.6 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan
memisahkan liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang
vertikal rata-rata 9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, dan
ketebalannya rata-rata 0,1 mm .Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap
liang telinga akan tetapi miring yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan
membuat sudut 450 dari dataran sagital dan horizontal.
2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15
mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6
dinding yaitu : bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.
3. Processus mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke
kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding
lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada daerah
ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum.
4. Tuba eustachius.1,5,6
Tuba eustachius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke
bawah, depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan adalah
17,5 mm. Tuba terdiri dari 2 bagian yaitu :
a. Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
b. Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Gambar 3.1. Anatomi Telinga.7
3.2. Definisi
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.5 Otitis media
terbagi menjadi otitis media supuratif dana otitis media non supuratif. Keduanya
mempunyai bentuk akut dan kronis.
Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah radang kronis telinga tengah
dengan adanya lubang (perforasi) pada gendang telinga (membran timpani) dan
riwayat keluarnya cairan (sekret) dari telinga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus
menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin serous, mukous, atau purulen.1,2,3
Otitis Media Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani dapat menjadi
otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Beberapa
faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK, antara lain: terapi yang terlambat
diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh
pasien yang rendah (gizi kurang), dan higiene yang buruk.5
3.3. Epidemiologi
Otitis media supuratif kronik merupakan penyakit THT yang paling banyak
ditemukan di negara sedang berkembang. Secara umum insiden OMSK
dipengaruhi oleh ras dan faktor sosioekonomi. Lebih dari 90% beban dunia akibat
OMSK ini dipikul oleh negara-negara di Asia Tenggara, daerah Pasifik Barat,
Afrika, dan beberapa daerah minoritas di Pasifik. Kehidupan sosial ekonomi yang
rendah, lingkungan kumuh, dan status kesehatan serta gizi yang jelek merupakan
faktor yang menjadi dasar untuk meningkatnya prevalensi OMSK pada negara yang
sedang berkembang.3 Prevalensi OMSK meningkat dengan jelas pada negara
Afrika, ASEAN dan pasifik barat. Di Indonesia sendiri diperkirakan kurang lebih
6,6 juta penduduk Indonesia menderita OMSK.
Survei prevalensi di seluruh dunia menunjukkan bahwa beban dunia akibat
OMSK melibatkan 65–330 juta orang dengan telinga berair, dimana 60% di
antaranya (39–200 juta) menderita kurangnya pendengaran yang signifikan. Secara
umum, prevalensi OMSK di Indonesia adalah 3,8% dan termasuk dalam klasifikasi
tinggi dalam tingkatan klasifikasi insidensi. Pasien OMSK meliputi 25% dari
pasien-pasien yang berobat di poliklinik THT rumah sakit di Indonesia.
Berdasarkan Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran oleh
Departemen Kesehatan R.I tahun 1994-1996, angka kesakitan (morbiditas) Telinga,
Hidung, dan Tenggorok (THT) di Indonesia sebesar 38,6% dengan prevalensi
morbiditas tertinggi pada kasus telinga dan gangguan pendengaran yaitu sebesar
38,6% dan prevalensi otitis media supuratif kronis antara 2,1-5,2%.4 Data poliklinik
THT RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 menunjukkan pasien OMSK
merupakan 26% dari seluruh kunjungan pasien.3
3.4. Klasifikasi
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe, yaitu :1,3
a) Tipe tubotimpani (tipe jinak/tipe aman/tipe rhinogen)
Proses peradangan pada OMSK tipe tubotimpani hanya terbatas pada mukosa
saja dan biasanya tidak mengenai tulang. Tipe tubotimpani ditandai oleh adanya
perforasi sentral atau pars tensa dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan
keparahan penyakit. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama
patensi tuba eustachius, infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap
infeksi yang gagal pada pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah. Disamping
itu campuran bakteri aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta
migrasi sekunder dari epitel skuamosa juga berperan dalam perkembangan tipe ini.
Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia goblet sel, metaplasia dari
mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan mukosiliar yang jelek.
b) Tipe atikoantral (tipe ganas/tipe tidak aman/tipe tulang)
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Perforasi tipe ini
letaknya marginal atau di atik yang lebih sering mengenai pars flaksida.
Karakteristik utama dari tipe ini adalah terbentuknya kantong retraksi yang berisi
tumpukan keratin sampai menghasilkan kolesteatom.
Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah mengalami nekrotik.
Kolesteatom merupakan media yang baik untuk pertumbuhan kuman, yang paling
sering adalah proteus dan pseudomonas. Hal ini akan memicu respon imun lokal
sehingga akan mencetuskan pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Sitokin yang
dapat ditemui dalam matrik kolesteatom adalah interleukin-1, interleukin-6, tumor
necrosis factor-α, dan transforming growth factor. Zat-zat ini dapat menstimulasi
sel-sel keratinosit matriks kolesteatom yang bersifat hiperproliferatif, destruktif,
dan mampu berangiogenesis. Massa kolesteatom ini dapat menekan dan mendesak
organ sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya proses
nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh reaksi asam oleh pembusukan bakteri.1,3,5
Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu:5
1. Kongenital
2. Didapat.
Kolesteatom didapat dapat terbagi atas:
Primary acquired cholesteatoma.
Kolesteatom yang terjadi tanpa didahului oleh perforasi membran timpani pada
daerah atik atau pars flasida.
Secondary acquired cholesteatoma.
Kolesteatoma yang terbentuk setelah terjadi perforasi membran timpani.
Kolesteatom terbentuk sebagai akibat dari masuknya epitel kulit dari liang
telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah (teori
migrasi) atau terjadi akibat metaplasia mukosa kavum timpani karena iritasi
infeksi yang berlansung lama (teori metaplasia)
Berdasarkan letak perforasi pada membran timpani penting untuk menentukan
jenis OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan di 3 daerah, antara lain:
Perforasi sentral
Perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan seluruh tepi perforasi masih
terdapat membran timpani
Perforasi marginal
Sebagan tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus
timpanikum
Perforasi atik
Perforasi pada pars flaksida.
3.5. Patogenesis
OMSK dimulai dari episode infeksi akut terlebih dahulu. Patofisiologi dari
OMSK dimulai dari adanya iritasi dan inflamasi dari mukosa telinga tengah yang
disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya infeksi yang dapat disebabkan oleh
virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba, alergi, kekebalan tubuh turun, lingkungan
dan sosial ekonomi. Kemungkinan penyebab terpenting mudahnya anak mendapat
infeksi telinga tengah adalah struktur tuba pada anak yang berbeda dengan dewasa
dan kekebalan tubuh yang belum berkembang sempurna sehingga bila terjadi
infeksi jalan napas atas, maka lebih mudah terjadi infeksi telinga tengah berupa
Otitis Media Akut (OMA).1,3 Respon inflamasi yang timbul adalah berupa udem
mukosa. Jika proses inflamasi ini tetap berjalan, pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya ulkus dan merusak epitel. Mekanisme pertahanan tubuh penderita dalam
menghentikan infeksi biasanya menyebabkan terdapatnya jaringan granulasi yang
pada akhirnya dapat berkembang menjadi polip di ruang telinga tengah. Jika
lingkaran antara proses inflamasi, ulserasi, infeksi dan terbentuknya jaringan
granulasi ini berlanjut terus akan merusak jaringan sekitarnya.1,
Sembuh/ normal
Tuba tetap
Perubahan tekanan tiba- terganggu
tiba + ada infeksi
Alergi
Infeksi
Sumbatan : Sekret
Tampon
Otitis Media Akut
Tumor
(OMA)
2. Gangguan pendengaran
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran.
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat
hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom dapat menghantar
bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Pada OMSK tipe maligna
biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang
pendengaran, tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai
penghantar suara sehingga ambang pendengaran yang didapat harus
diinterpretasikan secara hati-hati.
Penurunan fungsi koklea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan
berulangnya infeksi karena penetrasi toksin melalui jendela bulat (foramen
rotundum) atau fistel labirin tanpa terjadinya labirinitis supuratif. Bila
terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli saraf berat. Hantaran tulang
dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.1,3
\
Gambar 3.4. Otitis Media Supuratif Kronik.8
3.8. Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakan dengan cara:1,3,6
1. Anamnesis (history-taking)
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita
seringkali datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang
paling sering dijumpai adalah telinga berair. Pada tipe tubotimpani sekretnya lebih
banyak dan seperti benang, tidak berbau bususk, dan intermiten. Sedangkan pada
tipe atikoantral sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai
pembentukan jaringan granulasi atau polip, dan sekret yang keluar dapat bercampur
darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau
telinga keluar darah.
2. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari
perforasi dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
3. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri dan pembuatan audiogram nada murni untuk menilai
hantaran tulang dan udara penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan
pendengaran dan untuk menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur
berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’ pada kasus dengan tujuan
untuk memperbaiki pendengaran.
4. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiografi daerah mastoid pada penyakit telinga kronis memiliki
nilai diagnostik yang terbatas bila dibandingkan dengan manfaat otoskopi dan
audiometri. Pemeriksaan radiologi biasanya memperlihatkan mastoid yang tampak
sklerotik dibandingkan mastoid yang satunya atau yang normal. Erosi tulang yang
berada di daerah atik memberi kesan adanya kolesteatom. Proyeksi radiografi yang
sekarang biasa digunakan adalah proyeksi schuller dimana pada proyeksi ini akan
memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas.
Pada CT scan akan terlihat gambaran kerusakan tulang oleh kolesteatom, ada
atau tidaknya tulang–tulang pendengaran dan beberapa kasus terlihat fistula pada
kanalis semisirkularis horizontal.1,3
5. Pemeriksaan bakteriologi
Walaupun perkembangan dari OMSK merupakan kelanjutan dari mulainya
infeksi akut, bakteri yang ditemukan pada sekret yang kronis berbeda dengan yang
ditemukan pada otitis media supuratif akut. Bakteri yang sering dijumpai pada
OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, dan Proteus sp.
Sedangkan bakteri pada otitis media supuratif akut adalah Streptococcus pneumonie
dan H. influenza.9
Infeksi telinga biasanya masuk melalui tuba dan berasal dari hidung, sinus
paranasal, adenoid, atau faring. Dalam hal ini penyebab biasanya adalah
pneumokokus, streptokokus atau H. influenza. Akan tetapi, pada OMSK keadaan
ini agak berbeda karena adanya perforasi membran timpani maka infeksi lebih
sering berasal dari luar yang masuk melalui perforasi tadi.
3.9. Penatalaksanaan
Pada waktu pengobatan haruslah dievaluasi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit menjadi kronis, perubahan-perubahan anatomi yang menghalangi
penyembuhan serta menganggu fungsi, dan proses infeksi yang terdapat di telinga.
Bila didiagnosis kolesteatom, maka mutlak harus dilakukan operasi, tetapi obat -
obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum operasi.1,3,5,6
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, yang dapat
dibagi atas: konservatif dan operasi
Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis media kronik adalah :
1. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif.
2. Neomisin
Obat bakterisid pada kuman gram positif dan negatif. Toksik terhadap ginjal dan
telinga.
3. Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid terhadap basil gram positif dan negatif kecuali
Pseudomonas aeruginosa.
b. Antibiotik sistemik.1,3
Pemilihan antibiotik sistemik untuk OMSK juga sebaiknya berdasarkan
kultur kuman penyebab. Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus
disertai pembersihan sekret profus. Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu
diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada pada penderita tersebut.
Dengan melihat konsentrasi obat dan daya bunuhnya terhadap mikroba,
antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama daya bunuhnya
tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman terbunuh,
misalnya golongan aminoglikosida dan kuinolon. Golongan kedua adalah
antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian
dosis tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan
beta laktam.
Untuk bakteri aerob dapat digunakan golongan kuinolon (siprofloksasin dan
ofloksasin) atau golongan sefalosforin generasi III (sefotaksim, seftazidin, dan
seftriakson) yang juga efektif untuk Pseudomonas, tetapi harus diberikan secara
parenteral.
Untuk bakteri anaerob dapat digunakan metronidazol yang bersifat bakterisid.
Pada OMSK aktif dapat diberikan dengan dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu
atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.
Pada anamnesis ditanyakan riwayat otorea lebih dari 2 bulan dengan perforasi
membran timpani. OMSK harus dibedakan yang tipe aman yang peradangannya
terbatas pada mukosa telinga tengah dengan yang tipe bahaya karena terbentuknya
kolesteatoma yang akan tumbuh terus dan mendestruksi jaringan sekitarnya
sehingga dapat menyebabkan komplikasi misalnya paresis fasial, labirinitis,
meningitis, abses otak.
3.10. Komplikasi
Paparella dan Shumrick (1980) membagi komplikasi OMSK dalam :1,3
A. Komplikasi otologik
1. Mastoiditis koalesen
2. Petrositis
3. Paresis fasialis
4. Labirinitis
B. Komplikasi intrakranial
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Abses subdural
4. Meningitis
5. Abses otak
6. Hidrosefalus otitis
Cara penyebaran infeksi :
1. Penyebaran hematogen
2. Penyebaran melalui erosi tulang
3. Penyebaran melalui jalan yang sudah ada.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3
macam lintasan :1,3
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Melalui jalan yang sudah ada, seperti garis fraktur tulang temporal, bagian
tulang yang lemah atau defek karena pembedahan, dapat memudahkan masuknya
infeksi.
2. Menembus selaput otak.
Dimulai begitu penyakit mencapai dura, menyebabkan pakimeningitis. Dura
sangat resisten terhadap penyebaran infeksi, akan menebal, hiperemi, dan lebih
melekat ketulang. Jaringan granulasi terbentuk pada dura yang terbuka dan ruang
subdura yang berdekatan.
3. Masuk ke jaringan otak.
Pembentukan abses biasanya terjadi pada daerah diantara ventrikel dan
permukaan korteks atau tengah lobus serebelum. Cara penyebaran infeksi ke
jaringan otak ini dapat terjadi baik akibat tromboflebitis atau perluasan infeksi ke
ruang Virchow Robin yang berakhir di daerah vaskular subkortek.
3.11. Prognosis
Pasien dengan OMSK memiliki prognosis yang baik apabila dilakukan
kontrol yang baik terhadap proses infeksinya. Pemulihan dari fungsi pendengaran
bervariasi dan tergantung dari penyebab. Hilangnya fungsi pendengaran oleh
gangguan konduksi dapat dipulihkan melalui prosedur pembedahan, walaupun
hasilnya tidak sempurna.10
Keterlambatan dalam penanganan karena sifat tidak acuh dari pasien dapat
menimbulkan kematian yang merupakan komplikasi lanjut OMSK yang tidak
ditangani dengan segera. Kematian akibat OMSK terjadi pada 18,6% pasien karena
telah mengalami komplikasi intrakranial yaitu meningitis.3,10
BAB IV
ANALISIS KASUS
1. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-62
2. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta;
Balai Penerbit FKUI; 1997
3. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah
dan mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit
THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118
5. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006.
Available from URL: http://www.pediatrics.org/
6. Thapa N, Shirastav RP. Intrakranial complication of chronic suppuratif
otitis media, attico-antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004;
1: 36-39 Available from URL: http://www.jneuro.org/
7. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of
ototopical antibiotics for chronic suppurative otitis media in
Aboriginal children: a community-based, multicentre, double-blind
randomised controlled trial. Medical Journal of Australia. 2003. Available
from URL: http://www.mja.com.au/
8. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media. Medical
Journal of Australia. 2004. Available from URL: http://www.mja.com.au/
9. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intrakranial complication
of chronic suppuratif otitis media in children. Brazillian Journal of
Otorhinolaringology. 2005. Available from URL: http://www.rborl.org.br/
10. Vesterager V. Fortnightly review: tinnitus–investigation and
management. BMJ. 1997. available from URL: http://www.bmj.org/