Anda di halaman 1dari 1

Hikmah Isra’ dan Mi’raj

1. Kesabaran atas kondisi buruk yang menimpa kita akan membawa kita kepada tingkatan yang
lebih tinggi.
a. Isra’ mi’raj terjadi pada saat tahun kesedihan, di mana Abu Thalib (paman rasul) dan
Khadijah (istri) meninggal di saat yang bersamaan.
b. Abu Thalib adalah orang yang sangat berjasa melindungi Rasulullah dari masa kecil (8
tahun) sampai dengan masa di mana Rasulullah mendapat risalah kenabian. Abu Thalib
meninggal dalam kondisi tidak bersyahadat, di mana sempat Rasulullah memohonkan
ampun kepada Allah SWT, tapi Allah SWT menjelaskan bahwa Rasulullah hanya bertugas
menyampaikan, bukan pemberi hidayah. Jika orang lain terbayang wajah ayah
kandungnya, maka ketika kata “ayah” disebut, Rasulullah terbayang wajah pamannya
yang telah melindunginya. Begitu bangga dan sayangnya Abu Thalib, sampai ketika
berdagang ke Syam, Rasulullah dibawa serta (saat masa remaja beliau). Di sanalah Abu
Thalib diberi tahu pendeta Bahira bahwa Muhammad adalah calon nabi dan ia diminta
membawa Muhammad kembali ke Makkah agar tidak Muhammad tidak dibunuh
Yahudi. Abu Thalib enggan bersyahadat, sebab saat sakaratul maut, ia ditalqin oleh
Rasulullah dan disampingnya ada paman-paman Rasulullah yang lainnya, yang
menanyakan “apakah kamu mau meninggalkan agama nenek moyangmu?”
c. Sementara itu Khadijah adalah istri beliau, yang melindungi dan membiayai da’wah
beliau. Istri yang melahirkan empat anak perempuan. Istri yang pertama kali beriman
ketika semua perempuan kafir tidak beriman. Istri yang menjadi “penenang hati” saat
Rasulullah menggigil di saat pertama kali menerima wahyu, antara gugup dan ketakutan.
d. Di tahun yang sama itu pula, Rasulullah pergi ke Thaif, berharap masyarakat di sana mau
menerima da’wah Islam. Ternyata justru Rasulullah dilimpari kayu, batu, kotoran, dan
bahkan membuat pelipis beliau berdarah. Beliau berlari ke balik bukit dan mengadukan
kesedihan serta kelemahan beliau kepada Allah SWT. Pada saat itulah Malakul Jibal
(malaikat penjaga gunung-gunung) datang dan menawarkan untuk menimpakan gunung
kepada penduduk Thaif, namun Beliau SAW menolak dan justru mendoakan masyarakat
Thaif supaya anak turunnya masuk Islam.
e. Pada akhirnya Beliau diberangkatkan Isra Mi’raj dan naik ke sidratul muntaha, di mana
Beliau adalah satu-satunya makhluq yang pernah masuk ke sidratul muntaha (bahkan
Jibril as. tidak bisa masuk ke sana).
2. Bersuci sebelum melakukan shalat. Shalat adalah upaya mensucikan hati. Rasulullah dicuci
hatinya  qad aflakha man tazakka, wa dzakara-sma rabbihi fa shalla.
a. Sebelum menerima perintah shalat, hati Rasulullah disucikan dengan air zam-zam, diisi
dengan keimanan dan hikmah.
b. Inilah yang menjadi esensi dari shalat, bahwa kita bersuci (dengan wudhu), berdoa
setelah wudhu, berniat, dan melakukan shalat, adalah sebentuk ibadah yang dilakukan
sebagaimana peristiwa saat Rasulullah menerima perintah shalat lima waktu.
c. Manusia  tugas utamanya menjadi khalifah. Untuk menunaikan tugas ini, manusia
diberi dan diilhami oleh potensi taqwa dan fujur (fa alhama fujuuraha wa taqwaaha).
Manusia diilhami juga dengan hawa nafsu yang jika dikendalikan dengan baik, hal ini
membawa kebaikan untuk kelangsungan dan keberlanjutan hidup manusia. (Al Mulk: 24
 Allah SWT yang membuat kita bisa berkembang biak dan menyebar di muka bumi).
d. Namun demikian, manusia harus senantiasa mengingat bahwa asal muasalnya ia adalah
suci dan tidak memiliki niat baik (Alastu birabbikum, qaalu, balaa syahidna). Manusia
asalnya adalah mengakui ketauhidan Allah SWT. Maka, ibadah adalah sarana bagi kita
untuk “kembali mensucikan hati”. Dan inilah yang akan kita bawa kembali ketika
menghadap Allah SWT  Yaa ayyuhannafsul muthmainnah, irji’i ilaa rabbiki radhiyatan
mardhiyyah (Al Fajr).

Anda mungkin juga menyukai