Anda di halaman 1dari 3

“Sarjana Nganggur” dan Pentingnya Pendidikan Finansial

————————————————————————————————
Oleh: Dr. Sunu Wibirama (Universitas Gadjah Mada)

Akhir tahun ini, puluhan atau mungkin ratusan universitas di seluruh Indonesia akan
meluluskan ribuan mahasiswa sarjana melalui prosesi wisuda di tengah pandemi
corona. Seiring dengan peristiwa tersebut, berbagai macam kecemasan menyelimuti
wali mahasiswa dan para pengambil kebijakan di perguruan tinggi—terutama terkait
dengan tingkat serapan para lulusan perguruan tinggi di dunia kerja.

***

Sampai dengan hari ini (4 Agustus 2020), ada 115 ribu kasus Covid-19 dengan tingkat
fatalitas 4,7%. Jumlah kasus positif ini termasuk yang paling tinggi di seluruh
ASia Tenggara. Sementara itu, pemerintah terkesan tidak memiliki roadmap yang tegas
untuk menangani wabah Covid-19, termasuk secara tegas menangani pelanggaran-
pelanggaran protokol kesehatan [1].

Di tengah mewabahnya virus corona yang sedemikian cepat, kita dihadapkan dengan
problem multidimensi yang mengancam stabilitas negara kita. Dalam berita yang
dirilis oleh CNBC Indonesia, sekurang-kurangnya 3 juta orang di Indonesia terkena
PHK dan dirumahkan karena dampak Covid-19 [2]. Informasi ini disampaikan oleh
Sekretaris Kemenko Perekonomian yang juga menyebutkan bahwa angka ini kemungkinan
akan mencapai 5,23 juta jiwa jika Covid-19 tidak dapat dihentikan sampai dengan
akhir tahun ini.

Kondisi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi adik-adik mahasiswa yang akan
segera lulus kuliah. Adik-adik kita tidak bisa lagi mengandalkan “pola pikir lama”
bahwa lulus kuliah dengan IPK di atas rata-rata akan dengan mudah menjamin mereka
terserap dalam dunia kerja. Kondisi “new normal” (atau abnormal?) membutuhkan pola
pikir yang abnormal juga.

Pola pikir abnormal ini seharusnya berlaku juga untuk universitas-universitas di


Indonesia yang menaungi ratusan ribu mahasiswa. Program Merdeka Belajar yang
dicanangkan oleh Kemendikbud sebenarnya cukup bagus dari sisi teori dan idealisme.
Ide Mas Nadiem bahwa mahasiswa harus lebih banyak “magang dan praktik di lapangan”
sepertinya memperkuat keterserapan mereka setelah lulus kuliah [3]. Meskipun
demikian, harap diingat bahwa program ini masih dalam tataran konsep, belum pernah
ada “prototipe” implementasi program ini secara komprehensif di satu universitas
percontohan. Dengan kata lain, selain potensi keberhasilan, ada pula potensi
munculnya “kesemerawutan” dari program ini karena ketua-ketua prodi harus pusing
tujuh keliling merumuskan bentuk kurikulum baru, sementara mereka masih harus
berkutat dengan syarat-syarat akreditasi—baik akreditasi nasional dari BAN-PT
maupun akreditasi internasional. Dibandingkan dengan “multiplier effect” dari
Covid-19, saya tidak yakin program ini bisa segera mengatasi masalah ancaman
meledaknya angka pengangguran tahun depan.

***

“Apa yang bisa kita lakukan?”


Saya jawab, “Mengubah pola pikir”.

Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari bahwa kecerdasan akademis itu
sangat berbeda 180 derajat dibandingkan dengan kecerdasan finansial. Kecerdasan
akademis sangat mengandalkan pola pikir kritis (critical thinking) yang berujung
pada ditemukannya titik lemah dan gap yang ada pada bidang ilmu terkait. Gap inilah
yang akan mendorong seseorang untuk melakukan eksplorasi dengan riset, sehingga
tercipta pengetahuan baru yang memperkaya bidang ilmu tersebut. Di sisi lain, efek
buruk dari critical thinking ini pada perilaku seorang akademisi adalah munculnya
perilaku BEJ: Blame, Execuse, Justify. Seseorang yang tidak bisa mengendalikan pola
pikir kritisnya akan cenderung melemparkan kesalahan pada pihak lain (blame),
mencari-cari alasan pada ketidakberdayaannya (execuse), dan menganggap bahwa
keberhasilan orang lain tidak lebih karena bakat atau warisan orang tua (justify).
Coba Anda rasakan, apakah Anda pernah dihinggapi “virus BEJ”? Kalau iya, mungkin
Anda akademisi sejati, hehe….

Di sisi lain, kecerdasan finansial itu menuntut seseorang untuk selalu berpikir
kreatif, positif dan melihat kegagalan itu sebagai “ongkos belajar”. Hampir semua
sahabat saya sukses berbisnis selalu menganggap bahwa gagal adalah ongkos belajar.
Mereka cenderung tidak mudah mencari kesalahan di pihak lain dan biasanya sangat
detail dalam urusan evaluasi diri dan evaluasi proses bisnis. Orang-orang yang
berbisnis biasanya adalah orang yang sangat “open mind”, supel, dan sangat mudah
bergaul dengan berbagai komunitas—bahkan cenderung seperti “bunglon” yang warna
kulitnya berubah sesuai dengan warna di sekitarnya. Hal-hal seperti ini tidak akan
dengan mudah ditemukan di insan perguruan tinggi yang tak jarang saklek, memiliki
harga diri tinggi, dan terkadang tidak supel dalam bergaul. Dengan kata lain,
menjadi seorang akademisi yang pernah berbisnis dan sukses berbisnis itu tidak
mudah. Kalau dosennya saja tidak mau dan tidak berwirausaha, bagaimana kita
berharap mahasiswa kita sukses bertahan di masa pandemi?

***

Dalam postingan sebelumnya [4], saya pernah membagikan satu seri kartun yang secara
elegan mengajarkan kepada kita bahwa berpikir lateral (lateral thinking) itu harus
diasah. Edward de Bono memperkenalkan konsep lateral thinking sebagai salah satu
cara untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak bisa diatasi dengan pola pikir
normal [5]. Lateral thinking ini terdiri dari empat bagian:

- Membebaskan diri kita dari pola pikir normal dan belajar berpikir dengan cara
yang tidak biasa.
- Membuka pikiran kita untuk menerima adanya ide-ide baru.
- Belajar meningkatkan nilai (value) dari ide yang kita dapatkan.
- Menyesuaikan ide-ide tersebut agar sesuai dengan batasan-batasan (constraints)
sumber daya dan dukungan yang ditemui di dunia.

Sayangnya, kita tidak memiliki kurikulum baku tentang bagaimana kecerdasan


finansial ini harus ditanamkan sejak dini sampai perguruan tinggi, diajarkan dengan
metode yang terstruktur, serta dijelaskan resiko-resiko dan kemungkinan
penyalahgunaannya. Apa akibatnya? Akibatnya adalah Anda akan sangat jarang
menemukan seorang pebisnis yang juga memiliki mindset akademisi, atau sebaliknya
akademisi yang mengerti dengan detail konsep bisnis dari hulu ke hilir. Di
Indonesia, saya mengenal adik kelas saya di SMA, Dr.Eng. Arief “Bang Kiming”
Setiawan (owner PT. Kiming Indotrading Investama dan grup “tutorial bisnis bersama
bang kiming”), yang berbisnis dengan skala ratusan milyar sekaligus meraih rekor
MURI sebagai doktor termuda di Indonesia [6, 7]. Jika Anda menilik perjalanan
hidupnya, kemampuan “lateral thinking” yang dimiliki oleh orang-orang semacam Bang
Kiming ini muncul karena “bergelut” dengan proses bisnis riil di lapangan, bukan
karena kurikulum yang terstruktur.

***

Pendidikan finansial di perguruan tinggi sangat penting dan menurut saya sudah
mencapai level “darurat”. HARUS ADA, sebab tahun depan kita harus menerima
kenyataan munculnya ribuan pengangguran baru di Indonesia. Kita tidak bisa
mengandalkan pola pikir lama bahwa seseorang yang lulus kuliah hanya dihadapkan
pada pilihan bahwa nasibnya berujung menjadi karyawan. Ada banyak pilihan karir
yang bisa ditempuh mahasiswa. Masalahnya adalah, kebanyakan dosen tidak bisa
mengajarkan hal-hal seperti ini karena mereka tidak pernah (dan tidak mau)
berbisnis, memiliki pola pikir yang berseberangan dengan pola pikir pebisnis, serta
tidak memiliki portofolio bisnis apapun. Di sisi lain, tidak semua alumni perguruan
tinggi yang sukses sebagai pengusaha peduli dengan kondisi ini.

Jika Anda adalah pengambil kebijakan di universitas Anda dan ada alumni Anda yang
memiliki bisnis dengan skala ratusan milyar, mungkin ada baiknya Anda jadikan
orang-orang seperti ini sebagai salah satu “advisory board” dalam penyusunan
program-program taktis untuk memperluas wawasan mahasiswa. Berani?

Tabik,
Jogja, 4 Agustus 2020

Referensi:
[1]https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-01648507/jokowi-belakangan-
masyarakat-kian-khawatir-akan-covid-19

[2] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200603193109-4-162890/3-bulan-corona-3-
juta-orang-kena-phk-dirumahkan

[3] https://nasional.tempo.co/read/1283493/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-
kemerdekaan-berpikir

[4] https://www.facebook.com/WibiramaSunu/posts/3946119648763608

[5] https://www.edwddebono.com/lateral-thinking

[6] https://alumni.ugm.ac.id/2015/08/18/kiming-ayo-jadi-orang-gila/

[7] https://news.detik.com/berita/d-2962299/dulu-jual-pisang-kini-miliarder-arief-
kiming-serukan-restorasi-mental

Anda mungkin juga menyukai