Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Permasalahan setiap individu datang silih berganti dan menguji setiap mental manusia.
Ketika individu tersebut tidak kuat dalam menerima segala hal yang ada di hidupnya baik
secara fisik maupun mental, tidak dapat mengelola stres kehidupan yang wajar, maka
individu tersebut bisa mengalami gangguan kesehatan pada jiwanya. Gangguan jiwa sendiri
menurut Damaiyanti (2010) adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik
yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Suatu perubahan pada fungsi jiwa,
yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam melaksanakan peran
sosial. Hambatan dalam melaksanakan peran sosial tersebut salah satunya adalah dalam
melaksanakan komunikasi atau interaksi dengan masyarakat sekitar sehingga efek yang
ditimbulkan adalah adanya pandangan yang berbeda atau dalam hal ini biasa disebut dengan
intimidasi karena dianggap berbeda. Penanganan bagi individu yang mengalami gangguan
kesehatan pada jiwanya sangat diperlukan dengan tindakan yang tepat. Kesehatan jiwa masih
menjadi suatu persoalan yang serius dan menjadi sorotan di negara berkembang seperti
Indonesia dan menjadi permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia. Penanganan pada
individu yang mengalami gangguan kesehatan pada jiwanya diperlukan agar individu tersebut
bisa berinteraksi atau berkomunikasi secara normal di masyarakat karena pada umumnya
terdapat keterbatasan yang dimiliki individu dengan gangguan kesehatan jiwa dan kembali
menjalani aktivitas normal kesehariannya tanpa adanya intimidasi dari masyarakat. Salah satu
wadah yang memfasilitasi individu tersebut dengan baik adalah rumah sakit jiwa. Rumah
sakit jiwa memiliki fasilitas dalam menunjang individu yang mengalami gangguan kesehatan
jiwa, yaitu rehabilitasi psikososial.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian komunukasi terapeutik?
2. Apa saja jenis komunikasi terapeutik?
3. Bagaimana fase- fase dalam komunikasi terapeutik?
4. Apa saja teknik komunikasi terapeutik?
5. Bagaimana manajemen krisis?

1
C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian komunukasi terapeutik
2. Menjelaskan saja jenis komunikasi terapeutik
3. Menjelaskan fase- fase dalam komunikasi terapeutik
4. Menjelaskan teknik komunikasi terapeutik
5. Menjelaskan manajemen krisis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Komunikasi terapeutik

Komunikasi terapeutik merupakan suatu komunikasi yang sangat memperhatikan


kemampuan berbahasa, karena sifatnya yang ditujukan untuk memberi terapi kepada pasien
atau klien atau lawan bicara. Komunikasi terapeutik sendiri merupakan bagian dari
komunikasi interpersonal dalam dunia kesehatan khususnya bidang keperawatan yang
membutuhkan rasa percaya/kepercayaan (trust), sikap suportif (supportiveness), dan sikap
terbuka (open mindedness) dari masingmasing pihak. Dalam kajian Afnuhazi (2015a),
komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang dilakukan oleh perawat, direncanakan
secara sadar dengan tujuan dan kegiatan difokuskan untuk menyembuhkan klien. Oleh karena
itu, dalam menyampaikan pesan komunikasi terapeutik dibutuhkan kehati-hatian, karena
menyentuh psikologis seseorang dan harus memahami kondisi lawan bicara atau seseorang
yang ingin diberi terapi (klien atau pasien). Dalam melakukan komunikasi terapeutik harus
memperhatikan teknik-teknik dalam penyampaiannya agar dapat diterima dengan baik oleh
klien sehingga klien pun paham. Beberapa teknik komunikasi terapeutik menurut Stuart
(1998) antara lain: mendengarkan dengan sepenuh perhatian, menunjukkan penerimaan,
menanyakan pertanyaan yang berkaitan, menyatakan hasil observasi, menawarkan informasi,
memberikan penghargaan, menawarkan diri, memberikan kesempatan pada klien untuk
memulai pembicaraan, memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan
persepsinya, refleksi dan humor. Seorang perawat harus memiliki keterampilan komunikasi
terapeutik. Dengan keterampilan tersebut seorang perawat akan mudah membangun
kepercayaan terhadap klien atau pasien, yang pada akhirnya mencapai tujuan keperawatan
sehingga pasien mudah memahami dan mengikuti proses terapi, pada akhirnya memberikan
kesembuhan pada klien atau pasien itu sendiri.

B. Jenis Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan proses kompleks yang melibatkan perilaku dan


memungkinkan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan dunia sekitarnya.
Menurut Potter dan Perry (1993) dalam Purba (2003), komunikasi terjadi pada tiga tingkatan
yaitu intrapersonal, interpersonal dan publik.

3
Menurut Potter dan Perry (1993), Swansburg (1990), Szilagyi (1984), dan Tappen (1995)
dalam Purba (2003) ada tiga jenis komunikasi yaitu verbal, tertulis dan non-verbal yang
dimanifestasikan secara terapeutik.

1. Komunikasi Verbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah
sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka.
Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau
simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon
emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk
menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan
komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon
secara langsung.

Komunikasi Verbal yang efektif harus:

Jelas dan ringkas

Komunikasi yang efektif harus sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata
yang digunakan makin kecil keniungkinan teijadinya kerancuan. Kejelasan dapat dicapai
dengan berbicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh
bisa membuat penjelasan lebih mudah untuk dipahami. Ulang bagian yang penting dari
pesan yang disampaikan. Penerimaan pesan perlu mengetahui apa, mengapa, bagaimana,
kapan, siapa dan dimana. Ringkas, dengan menggunakan kata-kata yang
mengekspresikan ide secara sederhana.

Perbendaharaan Kata (Mudah dipahami)

Komunikasi tidak akan berhasil, jika pengirim pesan tidak mampu menerjemahkan kata
dan ucapan. Banyak istilah teknis yang digunakan dalam keperawatan dan kedokteran,
dan jika ini digunakan oleh perawat, klien dapat menjadi bingung dan tidak mampu
mengikuti petunjuk atau mempelajari informasi penting. Ucapkan pesan dengan istilah
yang dimengerti klien.

4
Arti denotatif dan konotatif

Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan,
sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu
kata. Kata serius dipahami klien sebagai suatu kondisi mendekati kematian, tetapi
perawat akan menggunakan kata kritis untuk menjelaskan keadaan yang mendekati
kematian. Ketika berkomunikasi dengan keperawat harus hati-hati memilih kata-kata
sehingga tidak mudah untuk disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika
menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien.

Selaan dan kesempatan berbicara

Kecepatan dan tempo bicara yang tepat turut menentukan keberhasilan komunikasi
verbal. Selaan yang lama dan pengalihan yang cepat pada pokok pembicaraan lain
mungkin akan menimbulkan kesan bahwa perawat sedang menyembunyikan sesuatu
terhadap klien. Perawat sebaiknya tidak berbicara dengan cepat sehingga kata-kata tidak
jelas. Selaan perlu digunakan untuk menekankan pada hal tertentu, memberi waktu
kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat
dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya,
menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan. Perawat juga
bisa menanyakan kepada pendengar apakah ia berbicara terlalu lambat atau terlalu cepat
dan perlu untuk diulang.

Waktu dan Relevansi

Waktu yang tepat sangat penting untuk menangkap pesan. Bila klien sedang menangis
kesakitan, tidak waktunya untuk menjelaskan resiko operasi. Kendatipun pesan
diucapkan secara jelas dan singkat, tetapi waktu tidak tepat dapat menghalangi
penerimaan pesan secara akurat. Oleh karena itu, perawat harus peka terhadap ketepatan
waktu untuk berkomunikasi. Begitu pula komunikasi verbal akan lebih bermakna jika
pesan yang disampaikan berkaitan dengan minat dan kebutuhan klien.

Humor

Dugan (1989) dalam Purba (2003) mengatakan bahwa tertawa membantu pengurangi
ketegangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh stres, dan meningkatkan keberhasilan
perawat dalam memberikan dukungan emosional terhadap klien. Sullivan dan Deane

5
(1988) dalam Purba (2006) melaporkan bahwa humor merangsang produksi
catecholamines dan hormon yang menimbulkan perasaan sehat, meningkatkan toleransi
terhadap rasa sakit, mengurangi ansietas, memfasilitasi relaksasi pernapasan dan
menggunakan humor untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak
mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien.

2. Komunikasi Tertulis

Komunikasi tertulis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang sering digunakan
dalam bisnis, seperti komunikasi melalui surat menyurat, pembuatan memo, laporan,
iklan di surat kabar dan lain- lain.

Prinsip-prinsip komunikasi tertulis terdiri dari :

a. Lengkap
b. Ringkas
c. Pertimbangan
d. Konkrit
e. Jelas
f. Sopan
g. Benar

Fungsi komunikasi tertulis adalah:

a. Sebagai tanda bukti tertulis yang otentik, misalnya; persetujuan operasi.


b. Pengingat atau berpikir bilamana diperlukan, misalnya surat yang telah diarsipkan.
c. Dokumentasi historis, misalnya surat dalam arsip lama yang digali kembali untuk
mengetahui perkembangan masa lampau.
d. Jaminan keamanan, umpamanya surat keterangan jalan.
e. Pedoman atau dasar bertindak, misalnya surat keputusan, surat perintah, surat
pengangkatan.

6
Keuntungan Komunikasi tertulis adalah:

a. Adanya dokumen tertulis


b. Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman
c. Dapat meyampaikan ide yang rumit
d. Memberikan analisa, evaluasi dan ringkasan
e. menyebarkan informasi kepada khalayak ramai
f. Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan.
g. Membentuk dasar kontrak atau perjanjian
h. Untuk penelitian dan bukti di pengadilan

Kerugian Komunikasi tertulis adalah:

a. Memakan waktu lama untuk membuatnya


b. Memakan biaya yang mahal
c. Komunikasi tertulis cenderung lebih formal
d. Dapat menimbulkan masalah karena salah penafsiran
e. Susah untuk mendapatkan umpan balik segera
f. Bentuk dan isi surat tidak dapat di ubah bila telah dikirimkan
g. Bila penulisan kurang baik maka akan membingungkan si pembaca.

3. Komunikasi Non Verbal

Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan


cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu
menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dan saat pengkajian
sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap
pesan verbal. Perawat yang mendektesi suatu kondisi dan menentukan kebutuhan asuhan
keperawatan.

Sentuhan

Merupakan suatu hal yang penting bagi pasien jiwa saja. Sentuhan merupakan bentuk
keakraban seseorang dalam berkomunikasi. Seseorang yang disentuh itu akan merasa lebih
berarti, dia akan merasa lebih dekat dengan orang yang mengajak berbicara.

7
Ekspresi Muka

Pasien dapat dengan mudah membaca ekspesi muka perawat. Bagi pasien, perawat sedang
mengajak serius atau tidak serius lawan bicaranya bila terlihat melalui ekspresi muka perawat
sedang memberi perhatian atau tidak. Saat perawat tersenyum pada pasien, pasien merasa
akrab, gembira, merasa diterima, mengajak bercanda, dan merasa dihargai.

Kontak Mata

Kontak mata bagi perawat merupakan suatu etika sebagai pertanda perawat memperhatikan
pasien berbicara. Kontak mata bagi perawat juga menandakan sedang serius memperhatikan,
menanggapi apa yang pasien katakan atau keluhkan.

Isyarat tindakan

Apa yang disampaikan perawat mudah diresapi oleh klien. Isyarat tindakan yang dilakukan
oleh perawat seperti adanya dukungan dari ekspresi muka, sikap tubuh, gestur tubuh,
sentuhan, ruang atau jarak, dan kontak mata selama komunikasi berlangsung.

Karakteristik Komunikasi Terapeutik

Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi terapeutik yaitu sebagai berikut:
(Arwani, 2003 : 54).

1. Ikhlas (Genuiness)

Semua perasaan negatif yang dimiliki oleh pasien barus bisa diterima dan pendekatan
individu dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan kepada pasien untuk
mengkomunikasikan kondisinya secara tepat.

2. Empati (Empathy)

Merupakan sikap jujur dalam menerima kondisi pasien. Obyektif dalam memberikan
penilaian terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan.

3. Hangat (Warmth)

Kehangatan dan sikap permisif yang diberikan diharapkan pasien dapat memberikan dan
mewujudkan ide-idenya tanpa rasa takut, sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya
lebih mendalam.

8
C. Fase - fase dalam komunikasi terapeutik

 Orientasi (Orientation)

Pada fase ini hubungan yang terjadi masih dangkal dan komunikasi yang terjadi bersifat
penggalian informasi antara perawat dan pasien. Fase ini dicirikan oleh lima kegiatan pokok
yaitu testing, building trust, identification of problems and goals, clarification of roles dan
contract formation.

 Kerja (Working)

Pada fase ini perawat dituntut untuk bekerja keras untuk memenuhi tujuan yang telah
ditetapkan pada fase orientasi. Bekerja sama dengan pasien untuk berdiskusi tentang
masalah-masalah yang merintangi pencapaian tujuan. Fase ini terdiri dari dua kegiatan pokok
yaitu menyatukan proses komunikasi dengan tindakan perawatan dan membangun suasana
yang mendukung untuk proses perubahan.

 Penyelesaian (Termination)

Pada fase ini perawat mendorong pasien untuk memberikan penilaian atas tujuan telah
dicapai, agar tujuan yang tercapai adalah kondisi yang saling menguntungkan dan
memuaskan. Kegiatan pada fase ini adalah penilaian pencapaian tujuan dan perpisahan
(Arwani, 2003 61).

Faktor - faktor penghambat komunikasi terapeutik

 Perkembangan
 Persepsi
 Nilai
 Latar belakang sosial budaya
 Emosi
 Jenis Kelamin
 Pengetahuan
 Peran dan hubungan
 Lingkungan
 Jarak
 Citra diri

9
 Kondisi Fisik

Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus, ada
beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan
gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :

1. penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita gangguan
penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien dengan perubahan fisik,
contoh : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll).

2. gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan penderita penyakit fisik
membutuhkan Penderita support dari orang lain.

3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa saja
jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu.

Sebenarnya ada banyak perbedaan, tetapi intinya bukan pada mengungkap perbedaan antara
penyakit jiwa dan penyakit fisik tetapi pada metode komunikasinya.

Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan


tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus
terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja
kacau balau.

Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :

1. pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien
berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang
menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.

2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement

3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama –
sama, ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan klien lain, beri penjelasan
manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau berhubungan dan
klien lain.

10
4. Pasien perilaku kekerasan, khusus pada pasien perilaku kekerasan maka harus direduksi
atau ditenangkan dengan obat – obatan sebelum kita support dengan terapi – terapi lain, jika
pasien masih mudah mengamuk maka perawat dan pasien lain bisa menjadi korban.

D. Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat

Kedekatan perawat dengan klien sudah pada tahap hubungan saling percaya yang sudah
dibangun dari klien masuk ke ruangan. Sehingga ketika memulai komunikasi terapeutik tidak
sulit untuk perawat berdiskusi dengan klien. Hal ini senada dengan yang dikatakan
Supratman & Zulfikar (2016) bahwa manusia mengumpulkan informasi dari lingkungannya,
kemudian memroses pesan tersebut untuk saling menghasilkan pemahaman dalam
berinteraksi satu sama lain. Inti dari interaksi agar berjalan dengan lancar adalah
kepercayaan. Selama komunikasi terapeutik berlangsung, perawat berusaha terus melakukan
interaksi yang komunikatif guna membentuk sikap saling membangun kepercayaan,
pemecahan masalah dengan koping konstruktif, memahami kondisi klien, memberikan
apresiasi, dan penggunaan komunikasi.

1. Membangun Kepercayaan

Untuk membangun komunikasi yag efektif diperlukan kepercayaan antara perawat dan
pasien/klien. Hal ini terjadi dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik pada setiap fasenya,
baik fase orientasi, fase kerja, maupun fase terminasi antara perawat dengan pasien jiwa. Hal
ini dikarenakan kepercayaan atau trust yang dari awal dibangun sehingga menimbulkan rasa
nyaman serta menciptakan lingkungan terapeutik itu sendiri. Membangun hubungan saling
percaya dari awal akan membuat hubungan ke depan semakin lancar, karena semakin
terbukanya klien dengan perawat akan masalah yang dihadapi. Dalam membangun hubungan
saling percaya tentunya klien akan menilai perawat sejak pertemuan pertama dan sejak
dimulainya proses komunikasi terapeutik. Hubungan saling percaya ditandai pula dari
menghargai klien dengan menjaga kerahasiaan klien. Ketika klien sulit untuk diajak
berdiskusi, maka untuk membangun hubungan saling percaya bisa dilakukan dengan sering
berinteraksi walaupun dengan waktu yang singkat. Dengan seringnya berkomunikasi maka
kepercayaan klien terhadap perawat akan semakin besar, sehinga klien dengan terbuka akan
menceritakan permasalahan yang dihadapi klien. Klien pun merasa terbuka pula untuk
mendengarkan nasihat atau saran dan solusi yang diberikan perawat. Trust akan didapatkan
dari adanya perhatian yang diberikan oleh perawat pada klien, Ketika klien merasa sering
diperhatikan oleh seseorang (perawat) maka ia akan merasa bahwa dirinya ada yang

11
memperhatikan, sehingga akan timbul trust dari klien itu sendiri. Hubungan saling percaya
atau trust merupakan suatu hal yang penting dalam komunikasi terapeutik untuk memberikan
kelancaran dalam komunikasi di setiap fasenya. Salah satu cara untuk mencapai trust dari
klien adalah dengan melakukan komunikasi kontak sering singkat dengan klien, seringnya
parawat berkomunikasi dan berinteraksi dengan serta memfasilitasi kebutuhan dasarnya maka
dengan sendirinya akan timbul trust tersebut. Membangun kepercayaan telah dilakukan oleh
perawat sejak fase orientasi, seperti menanyakan perasaan, apa yang menjadi keluhannya
(evaluasi/validasi).

2. Pemecahan Masalah dengan Koping Konstruktif

Pemecahan masalah dengan koping konstruktif merupakan sebuah pemecahan masalah


dengan cara yang positif. Hal ini diajarkan oleh perawat kepada klien untuk membangun
pemahaman klien akan masalah yang dihadapinya dan bisa memecahkan masalah tersebut
dengan hal-hal yang positif, bukan melalui hal-hal yang negatif. Untuk mencapai pemecahan
masalah dengan cara yang baik atau positif ini, pada fase orientasi perawat harus bisa
mengetahui atau mengumpulkan data klien terlebih dahulu untuk selanjutnya bisa
mengidentifikasi masalah klien, menggali stressor klien, yang pada akhirnya pada fase kerja
perawat bisa memberikan saran ataupun solusi yang baik untuk klien, memotivasi klien untuk
lekas sembuh, melatih kemampuan klien, serta menggali pemahaman klien mengenai apa
yang telah diajarkan oleh perawat kepada klien sendiri. Setelah melihat karakteristik klien
ataupun diagnosis dari laporan atau rekam medik, perawat dapat mengetahui bagaimana cara
yang harus dilakukan untuk bisa berinteraksi dengan klien, karena setiap klien dengan
diagnosis yang berbeda. Mereka mempunyai cara main atau cara pembawaan terapi
komunikasi terapeutik dengan cara yang berbeda. Walaupun memiliki perbedaan dalam
pembawaan model antara perawat satu dengan perawat lain namun dalam komunikasi
terapeutik tetap memiliki tujuan untuk kesembuhan klien. Setelah mengumpulkan data
tentang klien atau mengidentifikasi masalah klien, perawat akan menggali stressor klien atau
apa yang membuatnya stress sehingga berada di rumah sakit, tentunya dengan bahasa yang
tidak menyinggung perasaan klien. Pemecahan masalah dilakukan oleh perawat di fase kerja,
di sinilah perawat menggali stressor klien. Setelah perawat mengetahui hal yang menjadi
masalah klien, maka perawat akan memberikan saran, solusi yang positif atau koping
konstuktif untuk klien. Saran atau solusi yang diberikan sesuai dengan SP (Strategi
Pelaksanaan) yang ada bagi setiap klien yang diobservasi peneliti baik halusinasi, defisit
perawatan diri, dual diagnosis drug user, dan emosional, serta perilaku kekerasan. Pemecahan

12
masalah dengan koping konstruktif ini bertujuan untuk memotivasi klien untuk lekas sembuh
dan memecahkan masalah dengan sisi positif, bukan negatif. Perawat pun berusaha menggali
kemampuan positif yang dimiliki klien dan disesuaikan dengan kondisi klien.

3. Memahami Kondisi Klien

Untuk memahami kondisi klien sebelumnya, pada fase orientasi perawat telah
mengumpulkan data terlebih dahulu agar mengetahui pada fase kerja bagaimana tindakan
yang seharusnya dilakukan agar tepat dan sesuai dengan tujuan, sehingga pada fase terminasi
perawat mengetahui rencana tindak lanjut yang akan dilakukan pada klien. Salah satu hal
untuk memahami kondisi klien adalah dengan berusaha memenuhi segala fasilitas yang
dibutuhkan klien. Mengenai fasilitas kebutuhan dasar klien yang diberikan pada klien secara
terus menerus tanpa lelah akan menciptakan hubungan saling percaya karena klien merasa
terus ada yang memperhatikan dan peduli padanya. Pemahaman kondisi klien biasa dilakukan
pada pada klien baru, Memahami kondisi klien berarti menaruh empati terhadap klien, bukan
simpati. Karena simpati bukan merupakan sikap dari komunikasi terapeutik. Dengan
memahami kondisi klien, maka perawat akan lebih berhati-hati dalam berbicara ketika
berdiskusi. Rasa caring terhadap klien harus dimiliki oleh seorang perawat terhadap kliennya
dalam berkomunikasi, ataupun bentuk sikap, hal ini sebagai penunjuk bahwa klien diterima
oleh perawat (menunjukkan penerimaan). Supratman (2016) mengatakan bahwa komunikasi
penuh ketulusan yang peneliti kategorisasikan tersebut akan membuat pasien merasa
dihargai. Sikap penghargaan tersebut akan mempercepat kesembuhan pasien sebab terdapat
sugesti positif untuk sembuh dalam diri pasien. Dengan memahami kondisi klien, perawat
akan memahami apa yang harus disampaikan, bagaimana cara menyampaikan, sesuai dengan
kondisi klien. Seperti dengan klien yang agamis, perawat akan menyisipkan percakapan
spiritual dengan kliennya, agar masuk ke dalam alur komunikasi terapeutik.

4. Memberikan Apresiasi

Bentuk apresiasi merupakan suatu bentuk penghargaan yang diberikan perawat kepada klien.
Apresiasi dengan memberikan sesuatu yang berbentuk barang dianggap kurang tepat, namun
pujian yang diberikan kepada klien ketika klien melakukan suatu hal yang positif dianggap
lebih berharga. Dengan pemberian apresiasi yang tulus, klien akan merasa dihargai dan
diperhatikan. Sekecil apa pun apresiasi yang diberikan terhadap klien akan memotivasi
dirinya untuk bisa berkembang lebih. Memandang dirinya menjadi lebih positif. serta sikap
tubuh (mempertahankan sikap terbuka), isyarat objek, adanya jarak atau ruang ketika

13
berkomunikasi dengan memberikan apresiasi merupakan suatu wujud reward kepada klien,
apresiasi di sini bukanlah berupa barang, melainkan dengan pujian setiap perawat yang
diobservasi melakukan apresiasi terhadap kliennya. Dengan diberikannya apresiasi maka
klien akan merasa bahagia. Hal kecil apa pun yang klien lakukan patutlah mendapat pujian,
dengan seperti itu klien merasa diperhatikan oleh perawat, sehingga klien merasa bahwa
dirinya memiliki hal positif. Dengan pemberian reward maka klien pun akan merasa semakin
berharga. Memberikan apresiasi dilakukan perawat pada fase kerja dan terminasi.

Penggunaan Komunikasi Verbal dan Non Verbal Komunikasi verbal merupakan suatu aspek
yang penting dan menjadi hal yang utama digunakan dalam komunikasi, begitupun dengan
komunikasi terapeutik. Maka seorang perawat harus memperhatikan kalimat yang digunakan
dalam berkomunikasi dengan klien. Komunikasi verbal yang dilakukan perawat pada pasien .
Dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik, selain memperhatikan teknik komunikasi
terapeutik, perawat juga memperhatikan komunikasi verbal serta non verbalnya. Pada teknik
verbal yang digunakan seperti menjelaskan secara ringkas dan jelas, memakai
perbendaharaan kata yang dimengerti oleh klien, memperhatikan intonasi berbicara,
memperhatikan kecepatan bicara, dan adanya selingan humor agar suasana ketika diskusi
terasa nyaman dan tidak terlalu menegangkan. Untuk komunikasi non verbal yang digunakan
oleh perawat seperti isyarat vokal (suara), isyarat tindakan (ekspresi wajah, gerakan tubuh
berhadapan, serta adanya sentuhan mempertahankan kontak mata, dan tersenyum pada saat
yang tepat.

E. Manajemen krisis

Managemen krisis adalah sebuah situasi kegawat daruratan pada klien penderita
gangguan jiwa, rata - rata pasien yang masuk dalam kategori managemen krisis adalah pasien
yang mengalami kondisi labil, terjadi pada pasien baru, pasien yang mengalami kekambuhan,
pasien dengan regimen terapeutik tidak efektif, pasien amuk, pasien gaduh gelisah, pasien
putus obat dan beberapa penyebab lain.

Tanda dan Gejala

1. Pasien Mondar – mandir


2. Tatapan mata tajam
3. Pasien susah tidur
4. Pasien menggangu pasien lain

14
5. Pasien berteriak – teriak
6. Pasien memukul benda atau tempat tidur
7. Pasien menimbulkan suasana gaduh
8. Pasien menolak instruksi
9. Pasien menyerang pasien lain, menyerang perawat atau tenaga kesehatan yang lain

Sebenarnya ada begitu banyak gejala dari pasien krisis ini tetapi, beberapa hal diatas hanya
sebagai representasi dari sebuah situasi krisis pada klien gangguan jiwa.

Peran Perawat dalam situasi krisis

1. Kolaborasi medis pemberian psikofarmaka


2. Melakukan pemberian psikofarmaka sesuai order
3. Melakukan restrain
4. Managemen krisis
5. Pertimbangan melakukan ECT
6. Managemen lingkungan
7. Beri instruksi pada pasien lain terkait kondisi pasien kritis
8. Monitoring kondisi klien

Beberapa pertimbangan dalam melakukan Managemen krisis

1. Keselamatan pasien lain


2. Keselamatan pasien sendiri
3. Keselamatan pasien yang bersangkutan
4. Keselamatan Lingkungan

Managemen krisis dapat terjadi setiap saat dan setiap waktu, sehingga monitoring pada
beberapa pasien - pasien tertentu layak menjadi sebuah pertimbangan, sebelum akhirnya
timbul korban dari situasi labil pada klien tersebut.

Kesehatan merupakan hal yang paling mendasar untuk menjalankan aktifitas kita sehari-hari.
Selain dari kesehatan fisik yang dapat mendukung hampir disetiap aktifitas sehari-hari, ada
kesehatan lainnya yang sangat penting untuk dijaga yaitu kesehatan jiwa atau yang lebih
dikenal dengan kesehatan psikologis. Kesehatan jiwa sangat perlu diperhatikan karena
kesehatan ini bersifat fatal. Kesehatan jiwa bisa saja terganggu dari kejadian yang sering
dihadapi sehari-hari seperti halnya stress yang mendalam, tanpa disadari gejala ringan seperti

15
ini sering sekali diabaikan. Peranan pemerintah dalam menangani dan mengatasi gangguan
jiwa dapat dicermati dengan berdirinya pusat-pusat rehabilitasi bagi para pasien gangguan
jiwa, salah satunya yaitu Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Metode pengobatan yang diterapkan di
Rumah Sakit Jiwa terdiri dari dua macam pengobatan yaitu pengobatan secara medis dan
non medis.

Pengobatan secara medis dilakukan guna menjaga kesehatan para pasien secara fisik.
Sedangkan pengobatan yang dilakukan dengan cara non-medis ini dilakukan dengan cara
pengobatan terapi. Didalam terapi peranan perawat merupakan salah satu faktor penting
didalam proses penyembuhan para pasiennya. Hal ini disebabkan oleh faktor komunikasi
yang lebih dominan dilakukan oleh para perawat. Kegiatan pengobatan itu dimulai dengan
interaksi kepada pasien untuk mencari bantuan psikologis dan perawat menyusun interaksi
dengan mempergunakan dasar psikologis itu untuk membantu pasien dalam meningkatkan
kemampuan meningkatkan diri dalam kehidupannya dengan mengubah pikiran, perasaan, dan
tindakannya. Pesan psikoterapi dari perawatlah yang membawa pengaruh positif berupa
ketenangan (bersifat dukungan) untuk kesembuhan pasien gangguan jiwa. Hasil yang
ditimbulkan akibat suatu proses yang telah dilakukan oleh perawat diharapkan menimbulkan
suatu akibat, efek, atau hasil yang terjadi pada penerima sesuai dengan keinginan sumber atau
tujuan dari komunikasi psikoterapi itu sendiri. Proses pengobatan pasien gangguan jiwa yang
dilakukan perawat dengan komunikasi psikoterapi di Rumah Sakit Jiwa pada dasarnya
komunikasi psikoterapi merupakan metode yang paling efektif dalam melaksanakan
pengobatan bagi pasien gangguan jiwa. Serta, untuk mendukung proses penyembuhan pasien
gangguan jiwa dibutuhkan hubungan kerjasama, pengertian dan saling membutuhkan antara
perawat dan pasien gangguan jiwa selama melakukan pengobatan dan rehabilitasi untuk
mendukung dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa yang meliputi, perlakuan
perawat terhadap pasien gangguan jiwa, bimbingan dan pendekatan terhadap pasien
gangguan jiwa, dan evaluasi dari hasil pelaksanaan komunikasi psikoterapi dalam proses
pengobatan pasien gangguan jiwa. Selanjutnya, komunikasi antar pribadi yang dilakukan oleh
perawat kepada pasien gangguan jiwa juga menggambarkan adanya sikap keterbukaan atau
sikap membuka diri. Selain itu, kemampuan ketrampilan kognitif dan keterampilan tindakan
sangat diperlukan perawat dalam menyampaikan pesan kesehatan pada saat melaksankan
tugas.

16
F. Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Jiwa

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan


dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto,1994). Teknik komunikasi
terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi
penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk
mempengaruhi orang lain (Stuart & sundeen,1995).

Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus,


ada beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan
gangguan akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :

1. Penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri,


penderita gangguan penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar
(kecuali pasien dengan perubahan fisik, ex : pasien dengan penyakit kulit,
pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll).
2. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan
penderita penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.
3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik
bisa saja jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu.

Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar


pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang
melompat, fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah
kata – kata bisa saja kacau balau.

Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :

1. Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta


klien berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien
halusinasi terkadang menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan
dengan aktivitas fisik.
2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement
3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang
bersama – sama, ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan
klien lain, beri penjelasan manfaat berhubungan dengan orang lain dan
akibatnya jika dia tidak mau berhubungan dll.
4. Pasien perilaku kekerasan, khusus pada pasien perilaku kekerasan maka harus
direduksi atau ditenangkan dengan obat – obatan sebelum kita support dengan
terapi – terapi lain, jika pasien masih mudah mengamuk maka perawat dan
pasien lain bisa menjadi korban.

Kesehatan jiwa sering berpijak pada beberapa komponen, beberapa komponen


tersebut adalah:

17
1. Support system : dukungan dari orang lain atau keluarga membantu seseorang
bertahan terhadap tekanan kehidupan, stresor yang menyerang
seseorang akan melumpuhkan ketahanan psikologisnya, dengan
dukungan dari sahabat, orang - orang terdekat, suami, istri,
orang tua maka seseorang menjadi lebih kuat dalam
menghadapi stressor.
2. Mekanisme Koping : bagaimana cara seseorang berespon terhadap stressor menjadi
satu ciri khas bagi setiap individu, jika responnya adaptif maka
hasilnya tentu perlaku positif, jika responnya negatif hasilnya
adalah perilaku negatif.
3. Harga Diri : jika dia merasa lebih baik dari orang lain maka akan menjadi
sombong, jika dia merasa orang lain lebih baik dari dia maka
dia akan mengalami Harga Diri Rendah.
4. Ideal Diri : Bagaimana cara seseorang melihat dirinya, bagaimana dia
seharusnya : " saya hanya akan menikah dengan seorang wanita
anak pengusaha" comment tersebut adalah ideal diri tinggi, "
saya hanya lulusan SD, menjadi buruh saja saya sudah
maksimal" comment ini adalah ideal diri rendah.
5. Gambaran Diri : apakah seseorang menerima dirinya beserta semua kelebihan
dan kekurangan, meski cantik dia menerima kecantikannya
tersebut satu paket dengan keburukan lain yang menyertai
kecantikan tersebut.
6. Tumbuh Kembang : Jika seseorang tidak pernah mengalami trauma maka dewasa
dia tidak akan mengalami memori masa lalu yang kelam atau
yang buruk.
7. Pola Asuh : kesalahan mengasuh orang tua memicu perubahan dalam
psikologis anak.
8. Genetika : Schizofrenia bisa secara genetis menurun ke anak, bahkan
pada saudara kembar peluang nya 50 %.
9. Lingkungan : Lingkungan yang buruk menjadi salah satu faktor pendukung
munculnya gangguan jiwa.
10. Penyalahgunaan Zat : penyalahgunaan zat memicu depresi susunan saraf
pusat, perubahan pada neurotransmitter sehingga terjadi perubahan pada
fungsi neurologis yang berfungsi mengatur emosi.
11. Perawatan Diri : jika seseorang tidak pernah mendapatkan perawatan, ex :
lansia maka dia akan mengalami suatu perasaan tidak berguna jika perasaan
ini berlangsung lama bisa memicu gangguan jiwa.
12. Kesehatan Fisik : gangguan pada sistem saraf mampu merubah fungsi
neurologis, dampak jangka panjangnya jika yang terkena adalah pusat
pengaturan emosi akan memicu gangguan jiwa.

Seharusnya ada banyak faktor yang memicu gangguan jiwa, jika semua faktor bisa direduksi
dan di minimalisir maka ke depan jumlah penderita gangguan jiwa dapat ditekan sekecil
mungkin.

18
G. Strategi Pelaksanaan pada px gangguan jiwa

A. PROSES KEPERAWATAN
1. Kondisi Klien
a) Data Subjektif (DS)
1. Klien Mengungkapkan keinginan bunuh diri
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4. Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga
5. Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang mematikan
6. Mengungkapkan adanya konflik interpersonal
7. Mengungkapkan telah terjadi korban perilaku kekerasan saat kecil
b). Data Objektif (DO)
1. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan ( biasanya menjadi sangat patuh)
2. Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis, dan penyalahgunaan alkohol)
3. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau kegagalan dalam
karier)
4. Status perkawinan yang tidak harmonis

2. Diagnosa Keperawatan
Risiko bunuh diri

3. Tujuan Khusus
1. Klien dapat meningkatkan harga dirinya
2. Klien dapat melakukan kegiatan sehari- hari
3. Klien mendapat perlindungan dari lingkungan

4. Tindakan Keperawatan
Memberikan manajemen koping

B. STRATEGI KOMUNIKASI DALAM PELAKSANAAN TINDAKAN


KEPERAWATAN SP
Prolog:
Disebuah ruang soka rsj Surakarta terdapat pasien gangguan jiwa bernama tuan T, masuk ke
rumah sakit jiwa karena dirumah suka melamun, menyendiri, terlihat sedih apabila diajak
bicara menjawab “ segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya”. Dan pernah mencoba
menyayat- nyayat tangannya sendiri hingga terluka. Keluarga berusaha menyingkirkan
benda- benda tajam seperti pisau, gunting disekitar pasien dan selalu memantau pasien
hingga membawanya kerumah sakit jiwa.

Percakapan

1. Fase Perkenalan a).

19
Salam terapeutik
P : “ Selamat pagi, Bapak!”
K : “ Ya mbak ” sambil menoleh menghindar ke klien

b). Perkenalan diri perawat dan klien

Perawat : “Perkenalkan, nama saya Nur Izza Afi . Bapak bisa panggil saya Izzah. Kalau boleh
tahu nama bapak siapa?”

K : “heksa “

P : “ Oh, dengan Bapak heksa. Bapak senang dipanggil apa?”

K : “terserah”

P : “Baiklah, saya panggil mas saja boleh ya?”

K : “hm”

c). Menyepakati pertemuan


P : “ Oke. Baiklah mas, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol sedikit, ya sekitar … menit,
bagaimana?”
K : “hm”
P : “ Mas heksa ingin kita mengobrol dimana?”
K : “ di sini aja”

d). Melengkapi identitas


P : “ Baiklah mas heksa, kami adalah mahasiswa Poltekkes Keperawatan Surabaya yang
bertugas diruangan ini. Kami perawat yang akan membantu merawat mas. Hari ini sampai 2
hari yang akan datang, saya dan teman ini berjaga di shif pagi mulai dari jam 07.00 sampai
jam 14.00 WIB nanti.”
K : “hm”

e). Menjelaskan peran perawat dan klien


P : “ Disini saya berperan merawat mas heksa untuk memberikan solusi agar masalah yang
dialami mas heksa bisa terselesaikan. Supaya beban masalah yang dialami mas heksa bisa
hilang. ”
K : “kamu siapa ? berani-berani nya kamu ikut campur masalah saya?”
P : “bukan seperti itu maksud kami , mas heksa. Kami hanya menyelesaikan tugas kami
dalam membantu meringankan beban pasien termasuk mas heksa ini”
K : “ Bukan urusan kamu”

f). Menjelaskan tanggung jawab perawat dan klien


P : “Apakah mas heksa tidak ingin ke luar dari tempat ini dan dapat melakukan aktifitas
seperti biasanya?”
K : “iya, pengen”

20
P : “ Oleh sebab itu, semua tindakan yang kami lakukan menjadi tanggung jawab kami. Dan
kami harapkan bapak juga bertanggung jawab untuk sembuh, supaya mas heksa dapat
melakukan aktifitas seperti biasanya minimal mas heksa bias mereedam rasa emosinya”
K : “hm”

g). Harapan perawat dan klien


P : “ mas heksa, disini saya perlu tekankan bahwa apa yang menjadi harapan mas heksa juga
akan menjadi harapan kami. Karena itu, semua hal yang menjadi keluhan mas heksa, bisa
mas heksa sampaikan kepada kami.”
K : “hm”

h). Kerahasiaan
P : “ Mas tak perlu kuatir ataupun cemas. Kalau mas tidak keberatan, mas bisa sharing
dengan kami tentang segala permasalahan-permasalahan ataupun keluhan-keluhan yang
sedang bapak alami. Insya Allah, kita bersama-sama mencarikan jalan keluarnya dan saya
tidak akan memberitahukannya pada orang yang tidak berhak untuk tahu akan hal itu.”
K : Beneran?
P : betul mas kami akan menjaga semua rahasia mas.

i). Tujuan Hubungan


P : “ Semua tindakan tentu perlu adanya kerja sama yang baik antara kita. Tujuannya supaya
tindakan yang kami lakukan dapat semaksimal mungkin dan memberikan hasil terbaik untuk
kami dan terutama mas heksa. Bagaimana, mas?”
K : “Ya”

j). Pengkajian keluhan utama


P : “ Kalau boleh tahu, ada keluhan apa mas saat ini atau apa yang mas heksa rasakan saat
ini?”
K : “saya ingin cepat mati saja mbak, saya capek hidup tidak ada gunanya”
P : “ memangnya yang membuat mas capek hidup dan ingin mati apa mas?”
K : “ya pokoknya saya ingin kerja lagi dan punya uang”
P : “lho, memangnya apa yang terjadi dengan pekerjaan mas heksa?
K : “hilang, ditelan bumi”
P : “apa mas heksa memberhentikan diri dari pekerjaan mas heksa?”
K : “dipecat”
P : “Berarti mas dulu bekerja?
K: Ya,saya di phk, dan saya tidak bisa membayar hutang dan memberi ibu dan adik saya
uang
P: Oh, ya saya mengerti. Begini mas.. Umur,Rejeki, dan jodoh itu Tuhan yang mengatur. Apa
mas percaya akan hal itu? .”
K: “hm”

21
P: Nah.. bagus kalo mas heksa paham, berarti mas heksa tidak perlu untuk merasa capek
hidup, atau mas heksa meminum minuman beracun atau berusaha menyayat nyata tangan
mas heksa.. karna itu tidak menyelesaikan masalah mas heksa, kan nanti badan mas heksa
sendiri yang sakit. Iya tidak ?
K: mmmmmm…. Iya juga sih”
P: mas heksa sayang tidak sama keluarga dirumah ibuk dan adiknya?
K: Sayang lah..
P: nah.. kalo mas heksa sayang,mas heksa tidak boleh untuk bunuh diri, mas heksa harus
semangat terus.. minta dan berserah diri pada tuhan, dan mas heksa harus yakin dan berusaha
untuk mendapatkan pekerjaan setelah keluar dari sini dan bisa menyahur hutang ya mas?
K: iyaa mbaak, saya ingin menyahur hutang tapi tidak punya uang”
P: nah, makanya mas heksa harus sembuh dulu.. Kalau boleh tau mas heksa hobinya apa?
K: Makan kerupuk,sepak bola, balap karung”
P: “oooh iya iya… naah boleh itu mas dijadikan sampingan, kalau mas heksa sudah merasa
lelah atau stresss mas heksa bisa main bola.. atau mengobrol sama teman teman.
K : “gitu?”
P : “iya, supaya fikiran mas heksa bisa rileks dan tenang”
K : “ya”

« Kontrak yang akan datang

P : “ Baiklah mas heksa, karena sudah … menit, kami pamit. Besok kita bisa mengobrol lagi,
kita sharing lagi, gimana?
K : “hm”
Waktu
P : “ mas mau sharingnya ini jam berapa?”
K : “terserah”
P : “baiklah mas heksa, besok kami akan ke sini lagi dan kami akan ke sini di jam yang sama
yaitu jam 09:30 WIB ya?”
P : “ya”
Tempat
P : “Baik. Bapak mau kita sharing dimana?”
K : “sini”
P : “baiklah , besok kita sharing nya di sini “
Validasi kontrak P : “ Baiklah kalau begitu, terima kasih atas waktunya mas heksa. Kami
permisi dulu. Kami akan kembali besok di jam yang sama yaitu jam 09:30 WIB dan di
tempat ini ya
K : “hm”

2. Fase Orientasi
a). Salam terapeutik
P : “ Selamat pagi, mas heksa!”
K : “pagi”

22
b). Validasi data
P : “ Bagaimana perasaan mas heksa sejak kemarin setelah kita bertemu?”
K : .”fine”
P : “ apakah perasaan mas heksa lebih tenang?”
K : .”iya, lumayan lah”

c). Mengingatkan kontrak Topik


P : “ Bagaimana mas, apakah masih ingat dengan kegiatan yang kita rencanakan kemarin?”
K : “ingat”
Waktu
P : “ Apakah mas heksa masih ingat pukul berapa kegiatan yang kita rencanakan dimulai?”
K : “09:30 WIB”
Tempat
P : “ Dan dimana kita akan melakukannya mas, mas heksa masih ingat?”
K : “di sini”
P : “ Wah, tampaknya mas heksa bersemangat sekali.”
K : “ya dongssssss”

Fase Kerja
P: Alhamdulillah.. Mas Heksa sudah sarapan?
K: Sudah..
P: Gimana rasanya enak ?
K: Enak..
P: Gimana dengan keluarga dirumah?
K: Baik, tadi sudah kesini
P: Terus tadi ngapain aja?
K: Ya ngobrol, terus main, jalan jalan ditaman belakang
P: Berarti sudah baikan dong?
K: iya sih sus.. tapi saya masih kepikiran sama tanggung jawab saya pada keluarga, nanti
gimana masa depan keluarga saya, kalau saya tidak bekerja, saya makan apa sus?
P: oh.. begitu, Begini saja mas Heksa jangan pesimis dulu Allah itu sudah mengatur rejeki
kita, Sekarang tinggal mas heksa untuk berusaha dan berdoa kepada Tuhan. Seingat saya
kemarin mas heksa bilang kalau salah satu hobi mas heksa main computer ya?
K: Iya kenapa emang?
P: Nah, Ya itu bisa dijadikan ladang pekerjaan mas heksa
K: Gimana caranya?
P: kan sekarang banyak bisnis online, coba mas heksa ikutan. Kaya jual baju, peralatan bola
atau mungkin mas heksa punya ide yang lain boleh dicoba.
K: mmmm iya ya,, kenapa gak terpikirkan dari dulu ya?
P: iya mas.. apa ada yg masih dipendam ?Kalau masih ada kita bisa sharing
K: Gak Ada sus.. ya itu tadi aja yg bikin saya mikir dan tidak tenang sehingga saya ingin
bunuh diri

23
P: Sebaiknya kalau punya jangan dipendam masalah, di sharing ke keluarga, sahabat, atau
teman mas. Nanti kalau bunuh diri kasian keluarganya, nanti keluarga mas malah terlantar.
K: emm… iya sus, saya sekarang menyesal, atas perbuatan saya sebelumnya.
P: Nah gitu dong.. sekarang mas heksa harus berpikiran bahwa tidak ada masalah yang tidak
dapat diselesaikan.

Fase Terminasi
Salam terapeutik
P : “ Baiklah mas, karena mas heksa sudah bisa sharing ke kami dan masalah mas heksa
sudah terselesaikan, kami permisi dulu, terima kasih atas kerja samanya, dan kalau mas heksa
perlu bantuan, mas heksa bisa panggil saya diruang perawat. Dan saya doakan supaaya cepat
pulang dan beraktifitas ” “ Selamat pagi, mas!”
K : Iya sus terimakasih juga atas masukan dan solusinya , pagi juga sus”

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk menciptakan komunikasi terapeutik yang efektif, dibutuhkan hubungan saling


percaya antar perawat dan klien agar klien dapat terbuka mengenai masalah yang sedang
dihadapinya. Hardjana (2003) mengatakan, komunikasi dapat efektif apabila pesan diterima
dan dimengerti oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan oleh
penerima pesan, dan tidak ada hambatan untuk hal tersebut. Membangun suatu kepercayaan
dimulai dari pertemuan pertama atau fase orientasi antara perawat dengan klien dan hal
tersebut dilakukan dengan adanya kontak sering singkat. Dengan adanya hal tersebut, klien
merasa dihargai dan diperhatikan serta ketika perawat memberikan saran atau solusi terhadap
klien, klien dengan mudah menerima dan hal tersebut sudah dilakukan oleh perawat yang
menjadi informan peneliti sedari klien masuk ruangan pertama kali, sehingga ketika klien
melakukan evaluasi dengan perawat maka klien tidak sungkan untuk bercerita. Dalam
melakukan komunikasi terapeutik ini, perawat selalu mengarahkan pemecahan masalah klien
dengan cara yang positif atau dengan koping konstruktif. Hal ini dilakukan dalam fase
kerjanya setelah mengidentifikasi data klien. Salah satu contohnya dengan melihat data

24
diagnosis atau arsip klien dan mengetahui penyebab stressornya. Perawat menggali
pemahaman klien terhadap apa yang diajarkan, setelahnya perawat akan berusaha
memberikan motivasi serta saran atau solusi yang sesuai dengan SP (Strategi Pelaksanaan),
dengan tujuan kesembuhan klien. Dalam memberikan saran atau solusi atau untuk
melakukan komunikasi terapeutik harus terlebih dahulu memahami kondisi klien yang telah
perawat dapatkan sejak fase orientasi dimana saat mengumpulkan atau identifikasi data serta
masalah klien, perawat di Ruang Sadewa dengan di Ruang Yudistira memahami bagaimana
memperlakukan pasien-pasien di ruangan tersebut. Bagaimana berkomunikasi dengan pasien
yang komunikatif atau kooperatif. Menaruh empati pun terlihat dari sikap perawat, dan bukan
menunjukkan sikap simpati. Dengan memahami kondisi klien akan membantu dalam
kelancaran berkomunikasi. Dalam membangkitkan percaya diri klien ketika klien bisa
memahami apa yang didiskusikan. dalam komunikasi terapeutik perlu adanya suatu bentuk
apresiasi, dalam hal ini bukanlah barang yang diberikan perawat kepada klien melainkan
pujian dengan tulus, dengan pemberian apresiasi terlihat bahwa klien merasa senang dan
merasa dihargai.

B. Saran

Perawat harus memahami kondisi klien terlebih dahulu dengan mengumpulkan data serta
masalah klien, cara berkomunikasi dengan pasien yang komunikatif. Perawat harus selalu
membangun empati serta memahami kondisi klien. Komunikasi terapetik akan sangat
membantu dalam kelancaran berkomunikasi antara perawat dengan klien guna
membangkitkan percaya diri klien kembali. Bentuk percaya diri klien dapat dibangun saat
perawat mampu memberikan pujian dengan tulus, pemberian apresiasi, mendengarkan
dengan sepenuh hati, menunjukkan penerimaan serta memberikan penghargaan berupa
kesempatan kepada klien untuk bertanya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Afnuhazi, N.R. (2015). Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan Jiwa. Yogyakarta,


Gosyen Publishing.

Damaiyanti, M. (2010). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung,


Refika Aditama.

Stuart, G.W. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta, EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai