Anda di halaman 1dari 27

Clinical Science Session

FOTOGRAFI FORENSIK

Oleh:

Rahmatia Syukrina 1510312020


Nur Sakinah 1740312410
Atikah Shalhi 1740312204
Elen Pebriyani 1840312256
Putri Fernizi Harfah 1840312293
Mutia Oktaviani D 1810312634
Berlian Naufal Adrinal 1840312637

Preseptor:

dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp. F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang maha Esa karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Fotografi Forensik” yang disusun
untuk memenuhi salah satu syarat tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
kedokteran Forensik di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.F yang telah membimbing penulis
dalam proses pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna dan
karena itu penulis sangat terbuka dalam menerima saran dan kritik demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah yang telah penulis susun ini dapat
berguna bagi kita semua.

Padang, April 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penulisan 2
Metode Penulisan 2
Bab II Tinjauan Pustaka
Definisi Fotografi Forensik 3
Sejarah Fotografi Forensik 3
Tujuan Fotografi Forensik 6
Klasifikasi Fotografi Forensik 6
Peranan Fotografi Forensik 7
Teknik Fotografi Forensik 9
Standar Proses Penanganan Barang Bukti 18

Bab III Penutup


Kesimpulan 21
Saran 22
Daftar Pustaka 23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemampuan untuk menilai secara tepat, dokumen, dan interprestasi luka
merupakan bagian penting dari pekerjaan seorang dokter forensik atau ahli patologi
forensik. Tujuan dari penilaian dan dokumentasi adalah untuk membantu dalam
menetapkan bagaimana luka atau cedera ini disebabkan, yang mungkin sering
menghadapi masalah di pengadilan1.
Keterampilan dalam penilaian dan dokumentasi luka baik melalui fotografi
harus dimiliki oleh dokter manapun, meskipun jarang dilakukan secara penuh dan
tepat. Interpretasi dari penyebab luka dan cedera yang mungkin lebih baik dilakukan
oleh ahli forensik, karena mungkin ada banyak faktor yang terlibat dalam interpretasi
luka tersebut. Karena dalam interpretasi luka dapat dilakukan dengan peninjauan
dokumen, misalnya deskripsi tertulis, pemetaan tubuh grafik, atau fotografi. Sehingga
deskripsi yang dibuat sebagai penilaian dapat dipahami oleh semua pihak1.
Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. Fotografi adalah
salah satu media yang memiliki andil cukup besar dalam proses ini2
Fotografi forensik sering juga disebut sebagai forensic imaging atau crime
scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. Fotografi forensik juga termasuk ke
dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-
tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat
digunakan oleh penyidik atau penyidik saat melakukan penyelidikan atau
penyidikan.(kadang kadang disebut sebagai forensik TKP imaging)3.

1
1.2 Batasan Penulisan
Penulisan referat ini dibatasi pada definisi, sejarah, teknik, akurasi, dan dasar
hukum dari Fotografi Forensik di Indonesia.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang definisi,
sejarah, teknik, akurasi, keuntungan, kerugian dan dasar hukum dari Fotografi
Forensik di Indonesia.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan referat ini adalah tinjauan kepustakaan
yang merujuk pada berbagai literatur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Fotografi Forensik
Fotografi forensik sering juga disebut sebagai forensic imaging atau crime
scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi dari
tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat untuk
kepentingan penyelidikan hingga pengadilan.
Fotografi forensik juga termasuk ke dalam bagian dari upaya pengumpulan
barang bukti seperti tubuh manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang terkait
suatu kejahatan dalam bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyidik atau penyidik
saat melakukan penyelidikan atau penyidikan (kadang kadang disebut sebagai
forensik TKP imaging)3.

2.2 Sejarah Fotografi Forensik


Ilmu kedokteran forensik, juga dikenal dengan nama Legal Medicine, adalah
salah satu cabang spesialistik ilmu kedokteran yang mempelajari pemanfaatan ilmu
kedokteran untuk kepentingan penegakkan hukum serta keadilan.1 Terdapat berbagai
cara dalam membantu kepentingan hukum, salah satunya dalam ilmu kedokteran
forensik dikenal adanya pembuatan Visum et Repertum atau Lihat dan Laporkan.
Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) alat bukti
menurut undang-undang, yaitu: keterangan saksi (harus 2 orang saksi), keterangan
ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Visum et Repertum dalam hal ini termasuk dalam keterangan ahli yang
berbentuk surat. Dalam Pasal 183 KUHAP dituliskan bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang–kurangnya dua alat
bukti yang sah dan Hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Bila tidak adanya
alat bukti sah yang cukup atau tidak mempunyai nilai yuridis yang tidak mampu
meyakinkan Hakim, seringkali menyulitkan penyidik, sehingga penyidik dapat

1
A. Budiyanto , W. Widiatmaka,S. Sudiono , et. al.”Ilmu Kedokteran Forensik”, Bagian Kedokteran
Forensik FKUI, Jakarta, 1997, hlm. 1.
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) maupun Surat Keputusan
Penghentian Penuntutan (SKPP), bahkan Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas
jika perkara sudah dimeja hijaukan.2
Saat ini pembuatan Visum et Repertum dalam pembuatannya sering dibantu
media elektronik dalam dokumentasi melalui kamera sehingga apa yang dilihat oleh
dokter pemeriksa mengenai korban, atau sebuah tempat perkara beserta detilnya dapat
disimpan.
Foto merupakan salah satu bahan dasar dari alat bukti hukum pidana di
Indonesia. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) lahir untuk menjawab mengenai pembuktian secara elektronik.
Materi penting dalam UU ITE adalah pengakuan terhadap perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Beberapa hal yang
perlu diketahui dalam UU ITE khususnya Pasal 5 mengatur tentang:
1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-undang ini.
4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat pejabat pembuat akta.

2
M. Yahya Harahap,“Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP PemeriksaanSidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan KembaliEdisi Kedua”, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
hlm. 304.

4
Pasal 6 UU ITE menyatakan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis
atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elekronik dianggap sah sepanjang
informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu
keadaan.3 Sehingga dapat disimpulkan bahwa foto saat ini bisa dijadikan alat bukti
apabila memenuhi persyaratan sebagai foto yang dapat dijadikan alat bukti tanpa
adanya rekayasa.4
Di Amerika pada tahun 1859 pengadilan memberikan kebebasan kepada
budak yang kabur dengan melihat bukti gigitan berulang melalui sebuah foto. Oleh
karena itu, ilmu kedokteran forensik dengan berjalannya waktu berkembang dan
muncul sebuah cabang ilmu yaitu fotografi forensik. Fotografi forensik yang sering
juga disebut forensic imaging atau crime scene photography adalah suatu proses seni
menghasilkan bentuk reproduksi dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian
kecelakaan secara akurat untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan.5
Fotografi forensik merupakan bentuk dari modernisasi sistem peradilan.
Selama abad ke 19 dan abad ke 20, perkembangan dari fotografi forensik dan sistem
pekerjaan penegak hukum cukup pesat khususnya dalam hal keinginan mendapatkan
ketepatan dari apa yang diduga menjadi bukti sebuah tindak kejahatan. Bukti yang
paling awal dari dokumentasi fotografi forensik terjadi pada tahun 1843 di Belgia
dan pada tahun 1851 di Denmark. Pada tahun 1870, kegiatan dokumetasi bagi
kepentingan forensik menjamur luas di berbagai negara. Dokumentasi pertama
mengenai penggunaan fotografi dalam dunia ilmu kedokteran forensik muncul satu
bulan setelah teknik fotografi dipatenkan pada tahun 1839. Dokumentasi dari kasus
perceraian Louis Daguerre, diakui menjadi barang bukti perselingkuhan. Akan tetapi
foto ini hilang saat perang antara Perancis dan Prussia pada tahun 1870. Pada tahun

3
Casey Eogham dan Seglem. “Handbook of Computer Crime Investigation (Forensic Tools
andTechnology)”. Academic Pres, United States of America, 2002, hlm. 8. yang dikutip dalam Petrus
Reinhard Golese. Seputar Kejahatan Hacking Teori dan Studi Kasus,Yayasan Pengembang kajian
Ilmu Kepolisian,Jakarta,2008, hlm. 74.
4
Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Iinformasi dan Transaksi Elektronik.

5
B. Knight, “Forensic pathology. 2nd edition”, Arnold Press, London,1996, hlm. 32.

5
1841 detektif Rogue menghasilkan foto pertama mengenai pelaku kejahatan di Paris.
Bukti galeri yang paling pertama dibuat terdapat di Birmingham Inggris pada tahun
1850. Fotografi tempat kejadian perkara selanjutnya menjadi sesuatu yang umum di
masyarakat. Fotografi ini khususnya mengenai pembunuhan, korban kebakaran,
otopsi, dan kecelakaan lalu lintas.

2.3 Tujuan Fotografi Forensik


Tujuan Fotografi forensik :
Terdapat beberapa tujuan dari fotografi forensik, yaitu:
a. Sebagai dokumentasi tempat kejadian perkara dan barang bukti. Foto
merupakan satu dari teknik dasar untuk mendokumentasikan tempat kejadian
perkara.
b. Sebagai media dalam investigasi kasus kejahatan. Foto digunakan dalam
investigasi dimana foto yang sesuai syarat akan meningkatkan pemahaman
mengenai apa yang terjadi dan juga mengidentifikasi subjek maupun objek
yang penting dalam rekonstruksi tempat kejadian perkara.
c. Sebagai media pengingat dan penjelas dari suatu kejadian. Ketika
persidangan, foto dapat disajikan dengan berbagai tujuan. Saat seorang saksi
berusaha menjelaskan sebuah kejadian yang rumit, seringkali sebuah foto
dapat membantu dalam memberikan penjelasan.

2.4 Klasifikasi Fotografi Forensik

1. Fotografi olah TKP


2. Fotografi Teknik: Sidik Jari, Blood Spatter, Pemeriksaan bercak
darah dengan luminol, Bite Marks, Tire Marks, Shoeprint, Memar
3. Fotografi Otopsi

6
2.5 Peranan Fotografi Forensik
2.5.1 Fotografi Tempat Kejadian Perkara

Dalam penyidikan TKP fotografi forensik merupakan elemen penting dalam


penyelidikan.Tujuannya berguna untuk mendokumentasikan tempat kejadian perkara
termasuk lokasi korban sebelum di periksa oleh ahli patologi forensik dan dibawa ke
kamar mayat untuk diperiksa lebih lanjut. Untuk pengumpulan dan pemeriksaan bukti
fisik seperti noda darah dan item lainya digunakan film berwarna karena sangat cocok
dalam pengumpulan semua bukti fisik pada tempat kejadian perkara.Rekaman video
juga bisa digunakan dalam dokumentasi TKP.Unit TKP dan ahli patologi
forensik,bisa meminta bantuan ahli laboratorium untuk membantu memotret barang-
barang bukti fisik,untuk mengukur perbandingan jejak bukti,identifikasi dan bisa
menghasilkan pembesaran foto seperti fotografi menggunakan infra merah dan
ultraviolet atau mikroskop untuk menumpulkan laporan barang bukti yang berguna
untuk persidangaan.1

7
Teknik Fotografi TKP
Fotografer TKP bekerja di tempat terjadinya perkara di mana pun itu terjadi.
Pada TKP indoor atau yang terjadi di dalam suatu ruangan, biasanya fotografer TKP
menggunakan metode pengambilan gambar ”empat sudut”. Pertama, foto diambil
secara serial di pintu masuk ruangan tempat korban ditemukan. Lalu fotografer
berpindah sudut dan melakukan hal serupa saat di pintu masuk, demikian seterusnya
hingga sudut ruangan yang keempat, untuk menghasilkan gambaran panoramik
ruangan. Selanjutnya konsentrasi dipusatkan ke tubuh korban untuk dilakukan
pengambilan gambar dengan jarak pengambilan terjauh dari sisi kiri dan kanan
maupun jarak dekat jika diperlukan. Tak luput dari pandangan fotografer mengenai
obyek di sekitar tubuh korban seperti senjata yang berpotensi sebagai senjata yang
digunakan, tumpahan air dari minuman, atau asbak beserta isinya. Semua ruangan
yang terhubung pada ruangan TKP juga diambil gambarnya secara panoramik,
termasuk segala sesuatu yang dianggap tidak biasa ditemui berkaitan dengan TKP
yang sedang diolah tersebut. Proses serupa juga dilakukan terhadap TKP outdoor atau
yang terjadi di luar ruangan, seperti TKP kecelakaan lalu lintas, TKP di tempat kerja

8
(pada kasus kematian akibat kecelakaan kerja), dan TKP bencana (pada kasus
kecelakaan pesawat terbang)2

Teknik Fotografi TKP menurut FBI Laboratory Division 3


 Memotret TKP secepat mungkin.
 Siapkan log fotografi yang mencatat semua foto, deskripsi dan lokasi bukti.
 Memotret secara keseluruhan, sedang, dan close-up yang terlihat dari TKP.
 Foto dari sudut pandang mata untuk mewakili tampilan normal.
 Memotret daerah yang paling rapuh dari TKP pertama.
 Memotret semua bukti di tempat sebelum direposisi atau dibersihkan.
 Semua barang bukti harus difoto close-up, pertama tanpa skala dan kemudian
dengan skala, mengisi seluruh frame foto.
 Memotret interior TKP dalam sebuah serial tumpang tindih menggunakan
lensa normal, jika mungkin. Secara keseluruhan foto-foto dapat diambil
menggunakan lensa sudut lebar.

2.6 Teknik Fotografi forensik


2.6.1 Pemeriksaan Noda Darah

Pemeriksaan darah menyajikan informasi yang bermanfaat bagi ilmuwan


forensik dalam berbagai investigasi kriminalitas. Informasi diperoleh dari darah oleh
ahli patologi forensic, ahli toksikologi, ahli serologi, dan ahli olah TKP1.
Dokumentasi fotografi bukti fisik di TKP, termasuk noda darah, merupakan
bagian penting dari upaya investigasi secara keseluruhan dan rekonstruksi. Peneliti
TKP menanggapi kasus kematian dan kejahatan kekerasan non-fatal yang sering tidak
menghargai informasi yang berharga tersedia dari pemeriksaan yang cermat dan
interpretasi pola bercak darah. Akibatnya, dokumentasi foto korban, adegan,bukti
bukti, dan penyerang sehubungan dengan noda darah mungkin tidak lengkap dan
kurang detail untuk evaluasi berikutnya dan presentasi ruang sidang1.

9
Angle of Impact
Sudut dampak didefinisikan sebagai sudut internal di mana darah
menghantam sasaran permukaan. Sudut dampak adalah fungsi dari hubungan antara
lebar dan panjang noda darah yang dihasilkan. Pada dampak dari 90 °, resultan noda
darah melingkar akan memiliki lebar yang sama dan panjang, masing-masing
mewakili diameter lingkaran. Sudut dampak yang lebih akut,semakin besar elongasi
dari bercak darah tersebut. Pengukuran lebar dan panjang noda darah individu
diambil melalui poros tengah masing-masing dimensi. Nilai yang dihitung dari lebar
rasio panjang (W / L) digunakan dalam rumus: sudut dampak = arc sin W / L
Nilai arc sin memberikan nilai sudut dampak dapat ditentukan dari tabel trigonometri
atau dengan menggunakan kalkulator ilmiah yang memiliki fungsi arc sin. Sudut
dampak dari noda darah adalah fungsi dari panjang nya lebar-panjang rasio1.

2.6.2 Foto Bercak Darah dengan Luminol


Luminol adalah senyawa chemiluminescent yang terkenal dan digunakan
sebagai uji katalitik dugaaan untuk adanya darah, mengambil manfat dari
peroksidase-seperti aktivitas heme untuk memproduksi cahaya sebagai produk akhir
bukan reaksi warna sebenarnya. Reagen Luminoldigunakan pada objek atau area
yang mengandung jejak yang dicurigai terdapat noda darah. Iluminasi putih keabu-

10
abuan atau produksi cahaya dari area yang dicurigai diamati dalam ruangan gelap
merupakan tes yang positif. Luminol sangant baik digunakan untuk mendeteksi jejak
darah yang tidak dapat dilihat secara langsung di TKP. Hal ini termasuk pelacakan
darah di lantai yang gelap dan area karpet, celah dan retakan di lantai dan dinding,
dan area dimana dicurigai telah dibersihkan dari darah sebelumnya1.
Nilai dari bukti noda darah sebagai alat penting untuk rekonstruksi TKP
ditingkatkan dengan dokumentasi fotografi yang baik. Fotografi menyediakan catatan
permanen bukti bercak darah dalam sebuah kasus yang mudah disampaikan kepada
hakim. Bukti foto harus berdiri dalam pengawasan ahli dan pengacara serta menjadi
alat bantu visual terhadap hakim yang harus menimbang bukti dan mencapai
keputusan yang benar di pengadilan1.

11
c. Investigasi Bekas Gigitan

Bekas gigitan pada kulit manusia menunjukkan pola luka di kulit yang
diakibatkan oleh gigi. Hal ini merupakan tanda signifikan yang sering menyertai
tindakan kekerasan kriminal seperti kasus pembunuhan, kekerasan seksual, kekerasan
terhadap anak, dan kekerasan domestik. Bekas gigitan dapat juga ditimbulkan oleh
binatang, seperti anjing dan kucing.1

Tujuan dari penyelidikan gigitan ada tiga, yaitu pertama untuk mengenali
tanda gigitan, kedua memastikan bahwa itu akurat untuk didokumentasikan, dan
ketiga untuk membandingkan dengan gigi dari tersangka. Jika luka yang berpola
tidak terdeteksi atau tidak dapat dikenali sebagai suatu tanda gigitan, seluruh
penyelidikan akan mendahului karena dokter gigi forensik tidak akan diberitahu dan
kesempatan untuk mengumpulkan barang bukti dengan benar akan hilang.
Pengumpulan bukti tanda gigitan memerlukan pengetahuan dan pengalaman. Hal ini
menyita waktu dan penanganan teknis yang sulit yang bertujuan untuk merekam
cedera bermotif dengan cara yang dapat direproduksi pada ukuran dan bentuk untuk
perbandingan dimasa akan akan datang menjadi replica gypsum (model) dari gigi
tersangka.1

12
Gambar 1. Tanda gigitan manusia dewasa memperlihatkan dua lengkungan
yang berbeda (bagian atas lebih besar, bagian bawah lebih kecil)

Gambar 2. Diagram gambaran dari tanda gigitan manusia dewasa yang


mencerminkan pola khas permukaan yang berhubungan pada gigi

Dokter gigi forensik adalah orang yang tepat untuk membuat fotografi
forensik yang diperlukan sebagai perbandingan terhadap gigi tersangka. Foto kerja
adalah gambar penting yang akan digunakan untuk ukuran yang dikontrol
dibandingkan dengan gigi tersangka. Penggaris ABFO #2 memiliki dua skala linear
dan sirkuler dan baik digunakan untuk tujuan ini. Tanda gigitan harus difoto dengan

13
kulit dalam posisi dimana ia digigit. Pada orang dewasa yang masih hidup dapat
dipastikan melalui cerita. Pada orang yang meninggal dan anak-anak, kulih harus di
foto dalam rentang posisi yang mungkin.1

Gambar 3. Penggaris ABFO #2 memiliki skala akurat, linear dan sirkuler

d. Identifikasi Sidik Jari

Sidik jari adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil,
dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah
tersentuh dengan kulit telapan tangan atau kaki. Kulit telapak adalah kulit pada
bagian telapak tangan mulai dari pangkal pergelangan sampai ke semua ujung jari
dan kulit bagian telapak kaki mulai dari tumit sampai ke ujung jari yang mana pada
daerah tersebut terdapat garis halus menonjol yang keluar satu sama lain yang
dipisahkan oleh celah atau alur yang membentuk lukisan tertentu.2

Identifikasi jari pertama kali ditemukan pada tahun 1982 di Buenos Aires oleh
Juan Vulcatich. Hal ini disebabkan adanya kasus pembunuhan terhadap dua orang
anak laki-laki Fransesca Rojas, dimana ia menuduh tetangganya telah membunuh
kedua anaknya.2

14
Terdapat beberapa jenis sidik jari, antara lain:2

a. Sidik jari yang terlihat, adalah sidik jari yang dapat langsung dilihat
tanpa menggunakan alat bantu.
b. Sidik jari laten, adalah sidik jari yang biasanya tidak dapat dilihat
langsung tetapi harus dengan menggunakan beberapa cara
pengembangan terlebih dahulu supaya dapat Nampak jelas.
c. Sidik jari cetak, adalah sidik jari yang berbekas pada benda yang lunak
seperti sabun, permen, coklat, dan lain-lain.
d. Sidik jari etched, adalah sidik jari yang terlihat pada logam yang halus
disebabkan oleh asam yang ada pada kulit.

Sidik jari banyak ditemukan dalam tempat kejadian perkara dan sangat rapuh
jika tidak dijaga dan ditangani dengan baik. Untuk dapat memudahkan proses
identifikasi sidik jari maka sering kali digunakan serbuk atau bahan kimia lain atau
bahkan fotografi pollilight.2

Gambar 4. Sidik jari laten. Identifikasi sidik jari laten dengan serbuk kimia

15
Gambar 5. Sidik jari tampak

Fotografer tipe ini membutuhkan keahlian khusus dalam menjalankan


pekerjaannya. Spesialisasi mereka termasuk melakukan pengambilan gambar bercak
darah cipratan darah tapak jari, tapak sepatu atau ban yang ditemukan di TKP
menggunakan film dan kamera khusus yang dapat memberikan detail gambar yang
tinggi pada objek berskala. Waktu mereka dihabiskan untuk dengan proses High-
magnification photomicrography, photomicrography, bergelut dengan gambar yang
dihasilkan oleh cahaya dengan panjang gelombang yang tidak tampak dan
memanipulasi gambar secara digital untuk kepentingan penyelidikan.2

Film-film yang sensitif terhadap ultraviolet (UV) dan infrared sekarang telah
digunakan untuk mendemonstrasikan permukaan luka yang tidak dapat dilihat dengan
mata telanjang. Dikatakan bahwa memar yang tidak tampak, dapat diperlihatkan
melalui metode fotografi ultraviolet, misalnya pada kasus kekerasan anak. Metode ini
memerlukan telaah dan pengalaman lebih lanjut guna mengeliminasi false positif dari
artefak yang ditemukan.2

3. Fotografi Autopsi
Banyak penyelidikan kematian medikolegal mengandalkan informasi yang
diperoleh dari autopsy. Keberhasilan dari autopsy dalam menjawab pertanyaan
(misalnya identifikasi, penyebab cedera) tergantung pada sistematis pendekatan oleh
ahli patologi. “Autopsi lengkap” adalah serangkaian langkah yangdiperlukan diambil

16
oleh ahli patologi, yang menerima informasi latar belakang tentang almarhum,
melakukan pemeriksaan luar dan dalam dan mengumpulkan sampel yang sesuai
untuk pemeriksaan penunjang. Tindakan yang dilakukan oleh ahli patologi dalam
proses ini tercermin dalam laporan autopsi yang akurat, yang membahas pertanyaan
yang paling penting yaitu sebab kematian. Ahli patologi harus menyadari potensi
perangkap dalam setiap langkah penyelidikan post-mortem, apapun yang dapat
menimbulkan risiko ke final resolusi penyelidikan medikolegal.3
Teknik Fotografi Autopsi
Setelah olah TKP selesai, tubuh korban dikirim ke instalasi kedokteran
forensik untuk dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik oleh ahli patologi
forensik. Proses pemeriksaan ini harus didokumentasikan oleh seorang fotografer
autopsi. Syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang fotografer autopsi adalah
memiliki dasar pengetahuan anatomi tubuh manusia. Pengambilan gambar dilakukan
sejak tubuh korban tiba, dimulai dari jarak pengambilan terjauh dari tubuh korban
dengan sudut pengambilan gambar pada bagian depan dan belakang korban,
dilanjutkan dengan proses serupa saat pemeriksaan dimulai, yakni mulai dari
pelepasan pakaian hingga pembersihan tubuh korban. Close-up dilakukan pada
pengambilan gambar perlukaan yang ditemukan pada tubuh korban, pada luka
tembak, patah tulang, atau terhadap jaringan parut, tattoo dan lain sebagainya,
berkaitan dengan kepentingan foto untuk proses identifikasi pada mayat tak dikenal.
Pada pemeriksaan dalam pengambilan gambar dilakukan dua kali. Pertama “insitu”
untuk memperlihatkan lokasi dan beratnya penyakit atau kerusakan yang terjadi.
Kedua gambar diambil setelah organ dikelluarkan dan dibersihkan.3

17
2.7 Standar Proses Penanganan Barang Bukti
Sebelum ke TKP (Tempat Kejadian Perkara) pastikan syarat legal formal
administratif sudah terpenuhi (surat permintaan, otoritas peminta, sesuai aturan UU)
dan selama pemeriksaan, TKP dijaga keasliannya dengan diabadikan dalam foto dan
sketsa.

Pencarian barang bukti ditempat kejadian perkara dapat dilakukan dengan


beberapa metode yakni:

1. Metode Spiral

“Dalam metode spiral, caranya adalah tiga orang petugas atau lebih menjelajahi
tempat kejadian secara beriring, masing-masing berderet kebelakang (yang satu
dibelakang yang lain) dengan jarak tertentu, mulai pencarian pada bagian luar
spiral kemudian bergerak melingkar mengikuti bentuk spiral berputar kearah
dalam49, metode ini baik untuk daerah yang lapang bersemak atau berhutan.”
Surat Keputusan Kapolri, Op,.Cit., hal 100.

2. Metode Zone

“Caranya adalah luasnya tempat kejadian perkara di bagi menjadi empat bagian
dan dari tiap bagian dibagi-bagi menjadi empat bagian, jadi masing-masing
1/16 bagian dari luas tempat kejadian perkaraseluruhnya. Untuk tiap-tiap 1/16
bagian tersebut ditunjuk dua sampai empat orang petugas untuk
menggeledahnya. Metode ini baik diterapkan untuk pekarangan, rumah atau
tempat tertutup.” Surat Keputusan Kapolri, Op,.Cit., hal 100.

3. Metode Strip

“Caranya adalah tiga orang petugas masing-masing berdampingan yang satu


dengan yang lain dalam jarak yang sama dan tertentu (sejajar) kemudian
bergerak serentak dari sisi lebar yang satu kesisi lain di tempat kejadian
perkara. Apa bila dalam gerakan tersebut sampai di ujung sisi lebar yang lain

18
maka masing-masing berputar kearah semula. Metode ini baik untuk daerah
yang berlereng.” Surat Keputusan Kapolri, Op,.Cit., hal 101.

4. Metode Roda

“Dalam hal ini, tempat atau ruangan dianggap sebagai suatu lingkaran, caranya
adalah beberapa petugas bergerak bersama-sama kearah luar dimulai dari titik
tengah tempat kejadian, dimana masing-masing petugas menuju kearah
sasarannya sendiri-sendiri sehingga merupakan arah penjuru mata angin.
Metode ini baik untuk ruangan.” Surat Keputusan Kapolri, Op,.Cit., hal 101.

5. Metode kotak yang di perluas

“Caranya adalah dimulai dari titik tenga tempat kejadian perkara dalam bentuk
kotak sesuai kekuatan personil yang kemudian dapat dikembangkan atau
diperluas sesuai dengan kebutuhan sampai seluruh TKP dapat ditangani.” Surat
Keputusan Kapolri, Op,.Cit., hal 101.

Untuk pemeriksaan jenazah korban mati :

1. Menentukan secara pasti kematian

2. Memperkirakan saat kematian

3. Menentukan identitas

4. Menentukan sebab kematian

5. Menentukan/memperkirakan cara kematian

Kompetensi penanganan Barang Bukti :

1. Barang bukti lain (darah, mani, organ,racun, sisa makanan/minuman, obat, alat
etc)

2. Pengambilan sampel adekuat

19
3. Pengemasan, label dan segel

4. Penyimpanan

5. Pengiriman/ekspedisi rujukan untuk px di laboratorium

Analisis data Barang Bukti :

1. Pembacaan hasil dan interpretasi klinis

2. Penulisan laporan

Penulisan laporan :

1. Tulis apa yang dilihat (visa et reperta)

2. Tulis dengan jelas sesuai bahasa awam

3. Tanpa singkatan tanpa coretan/hapusan/manipulasi lain

4. Tulis pemberitaan sebagai objektif medis

5. Tulis kesimpulan sebagai subjektif medis (hasil analisis dari fakta yang
ditemukan)

Presentasi Barang Bukti :

1. Serahkan hasil kepada penyidik/jaksa/hakim

2. Presentasi sebagai saksi ahli

20
BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Kemampuan untuk menilai secara tepat, dokumen, dan interprestasi luka
merupakan bagian penting dari pekerjaan seorang dokter forensik atau ahli
patologi forensik. Tujuan dari penilaian dan dokumentasi adalah untuk
membantu dalam menetapkan bagaimana luka atau cedera ini disebabkan, yang
mungkin sering menghadapi masalah di pengadilan.
Salah satu proses yang paling sering dilakukan dalam setiap upaya
penyelenggaraan pemeriksaan forensik adalah proses dokumentasi. Fotografi
adalah salah satu media yang memiliki andil cukup besar dalam proses ini.2
Fotografi forensik sering juga disebut sebagai forensic imaging atau crime
scene photography adalah suatu proses seni menghasilkan bentuk reproduksi
dari tempat kejadian perkara atau tempat kejadian kecelakaan secara akurat
untuk kepentingan penyelidikan hingga pengadilan. fotografi forensik juga
termasuk ke dalam bagian dari upaya pengumpulan barang bukti seperti tubuh
manusia, tempat-tempat dan setiap benda yang terkait suatu kejahatan dalam
bentuk foto yang dapat digunakan oleh penyidik atau penyidik saat melakukan
penyelidikan atau penyidikan.(kadangkadang disebut sebagai forensik TKP
imaging)3.
Saat ini pembuatan Visum et Repertum dalam pembuatannya sering dibantu
media elektronik dalam dokumentasi melalui kamera sehingga apa yang dilihat
oleh dokter pemeriksa mengenai korban, atau sebuah tempat perkara beserta
detilnya dapat disimpan.

21
1.2 Saran

1. Tenaga Kesehatan
- Mengetahui informasi terbaru mengenai teknologi yang berhubungan dengan
kedokteran forensik.
- Memberikan pengertian kepada masyarakat mengenai Fotografi Forensik
dan kegunaannya.
- Memperkenalkan kepada masyarakat Fotografi Forensik dan
penggunaannya.
2. Pemerintah
- Membuat undang-undang yang mengatur tentang Fotografi Forensik di
Indonesia.
- Menyediakan fasilitas medik yang berkaitan dengan Fotografi Forensik.
3. Forensik
- Mengembangkan metode yang lebih efektif dan terjangkau yang berkaitan
dengan Fotografi Forensik.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. G Eckert,William.Introduction to Forensik Science. 2013. CRC Press: New
York
2. M Stark, Margaret. Clinical Forensic Medicine A Physician’s
Guide.2005.Humana Press:New Jersey.
3. FBI.Handbook of Forensic Service.2010. US Departement of Justice FBI
Laboratory Division Publication:Virginia.
4. A. Budiyanto , W. Widiatmaka,S. Sudiono , et. al.”Ilmu Kedokteran

Forensik”, Bagian Kedokteran Forensik FKUI, Jakarta, 1997, hlm. 1.


2.
5. M. Yahya Harahap,“Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

PemeriksaanSidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan

KembaliEdisi Kedua”, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 304.

6. 3.
B. Knight, “Forensic pathology. 2nd edition”, Arnold Press, London,1996,

hlm. 32.\ Casey Eogham dan Seglem. “Handbook of Computer Crime

Investigation (Forensic Tools andTechnology)”. Academic Pres, United States

of America, 2002, hlm. 8. yang dikutip dalam Petrus Reinhard Golese.

Seputar Kejahatan Hacking Teori dan Studi Kasus,Yayasan Pengembang

kajian Ilmu Kepolisian,Jakarta,2008, hlm. 74.

7. Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Iinformasi dan

Transaksi Elektronik.

8. 6. Russell R Rohde,. "Crime Photography." PSA Journal. March, 2000, hlm.

15.

9. G Ecket, William. Introduction to Forensic Science. 1997. CRS Pree: New


York.
10. Shkrum,Michael J.A Ramsey,David. Forensik Pathology of Trauma common
problems for the patologist.2007.Humana Press.New Jersey.
11. Craigh AC. Contrs: an Investigators Basic Reference guide to fingerprint
Identification. Springfield.2007.
12. Subli, M. Penanganan dan Pemanfaatan Barang Bukti Forensik.
file:///C:/Users/user/Downloads/PENANGANAN_DAN_PEMANFAATAN_BAR
ANG_BUKTI.pdf - diakses tanggal 27 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai