Anda di halaman 1dari 3

Pengaruh Kompleks Antigen Leukosit Manusia terhadao perkembangan dari Fibrosis Kutaneus: sebuah

perspektif imunogenetik.

Antigen leukosit manusia dan keloid

Keloid merupakan lesi dermal fibroproliferatif yang jinak diakibatkan dari proses penyembuhan
luka yang tidak sesuai seharusnya atau berlebihan, sering didahului oleh trauma kecil pada kulit. Proses
dai penyembuhan kulit terganggu menghasilkan proses penyembuhan luka tetap pada fase proliferatif
dengan periode waktu yang lebih lama, menghasilkn peningkatan deposisi matriks ekstra seluler. Fase ini
diikuti dengan fase inflamasi.

Terdapat predisposisi genetik pada perkembangan keloid. Walaupun begitu insiden dan proses
genetik masih belum diketahui secara pasti. Dari bukti yang ada, menunjukan adanya predileksi
pembentukan keloid dengan autosomal dominan, autosomal resesif atau x linked. Keloid hanya terjadi
pada manusia dan menjadi barier untuk penelitian dalam mengetahui etiologi dari penyakit ini, karena
kurangnya keuntungan pemakaian penelitian dengan binatang. Keloid terus menjadi beban untuk pasien
yang sering muncul dengan gejala fisik dan psikologis. Tidak ada tatalaksana tunggal yang efektif dan
konsisten. Walaupun begitu terdapat peningkatan angka oprasi (50-70%) namun menunjukan rekuren
karena menghasilkan luka baru dengan proses yang sama secara mekanis, imunologis, dan biokimia
seperti luka sebelumnya.

Terdapat variasi etnis pada prefalensi pembentukan keloid mendukung predisposisi genetik yang
kuat: keloid lebih sering terjadi pada kulit yang lebih gelap, dengan insiden yang tinggi pada orang Afrika
dan Asia dengan perbandingan yang jauh dibanding kaukasian, dan juga keloid jarang muncul pada orang
albinisme. Terdapat pula keserasian pada pembentukan keloid pada kembar identik. Terdapat resiko yang
sama dalam pembentukan keloid di kedua gender, walaupun begitu perempuan lebih banyak dilaporkan
diduga karena implikasi aestetik.

Telah terdapat beberapa penelitian yang terfokus pada aspek imunologi terbentuknya keloid.
Seperti penelitian Olabanji,et al, peningkatan insiden keloid pada usia muda terutama pada dekade
kedua sampai ke empat , dapat terjadi akibat peningkatan predisposisi trauma ketika muda, atau
perbedaan genetik dalam penyembuhan jaringan. Juga didukung dengan sistem imun lebih efisien pada
usia tersebut. Sebagai tambahan telah diketahui bahwa bekas luka keloid pada pasien yang lebih tua
biasanya terbentuk saat usia muda. Walaupun begitu, usia ketika onset dan lokasi anatomi dari keloid,
dapat menjadi acuan sebagai penyebab inisial dari trauma yang relatif terhadap usia, jenis kelamin, dan
etnis. Sebagai contoh, keloid pada daun telinga sering terjadi akibat dari penindikan telinga diusia muda,
dimana pada usia tua pembentukan keloid sering terjadi akibat prosedur oprasi dada, dan oprasi bypass
arter koroner, yang mana meningkatkan resiko dari keloid sternal. Sebagai tambahan kulit dari orang usia
muda memiliki kerenggangan lebih tinggi, hal ini menjadi faktor yang sangat memengaruhi dalam
pembentukan keloid, juga dengan jumlah matriks ekstraseluler yang banyak. Secara bersamaan insiden
yang tinggi ditemukan diSudan sebagai akibat dari penandaan pola tribal pada lokasi anatomik yang
spesifik.

Untuk menghargai teori respon imun, telah muncul beberapa mekanisme sebagai hipotesis.
Termasuk respon imun yang terjadi melawan antibodi kutaneus, sebum, dan melanin. Reaksi
hipersensitifitas tipe lambat terhadap antigen kutaneus dan antibodi antinuklear terhadap fibroblas
sebagai mediator mediator dalam aktifitas imun juga telah diajukan. Selagi Cohen dan Mccoy
mengatakan bahwa kadar dari alfa globulin, komplemen serum, limfosit t dan limfosit b, tetap normal
pada pasien dengan keloid, penelitian lain menunjukan terjadinya peningkatan dari mediator respon
imun terebut dalam lesi keloid. Sebagai tambahan kadar dari Ig G didalam keloid telah menunjukan
peningkatan dibandingkan dengan jaringan normal dan HS. Telah diketahui bahwa pembentukan keloid
terjadi akibat beberapa jenis sel termasuk interaksi antara fibroblas, miofibrobla, makrofag, sel T, dan sel
endotelial. Hal ini didemonstrasikan oleh Knapp et al, yang menemukan adanya perbedaan fenotip
ultipel terjadi pada sel dalam lesi keloid. Walaupun begitu hubungan antara mekanisme imun dan luka
primer belum diketahui. Sebagai tambahan derajat keloid tidak berhubungan dengan trauma yang
menyebabkanya karena trauma minor dapat menyebabkan bekas luka yang parah dan abnormal.
Walaupun begitu keloid telah dilaporkan dapat muncul secara tiba tiba, hal ini sepertinya diakibatkan
oleh lesi yang kecil atau yang diabaikan seperti digigit serangga atau luka bekas cukur. Dengan begitu
klasifikasi dari keloid dibagi menjadi dua kelompok; “true keloids” ( lesi spontan dari trauma
sebelumnya ) dan “false keloid” ( muncul akibat lesi primer) telah ditolak seluruhnya. Namun Muir
mengatakan bahwa keloid pada ras kaukasian dapat terjadi tanpa trauma yang jelas, karena area yang
rantan terhadap keloid pada orang kulit putih merupakan area yang jarang terpapar terhadap trauma.
Sebagai tambahan Muir tidak mendapatkan data dari luka keloid pada anak anak yang menunjukan
invasi dari jaringan normal atau gagal dalam penyembuhan setelah enam bulan. selain itu, dua pasien
dengan keloid pada pinna di satu telinga akibat oprasi dilateral. Dan juga kurun waktu antara trauma
kutneus dan pembentukan keloid sering terjadi dalam beberapa minggu sampai tahun, membawa
pertanyaan terhadap hipotesis respon imun. Walaupun begitu, keloid awalnya dianggap sebagai proses
penyembuhan yang terbatas dan abnormal pada luka kulit dalam dermis, beberapa penelitian baru baru
ini menunjukan interaksi epidermis-dermis, dimana dapat dianggap sebagai pembentukan keloid akibat
luka minor sampai ke lapisan epidermal-dermal.

Sebuah penelitian oleh Yagi et al, menunjukan bahwa keloid jarang terdapat pada lokasi yang
kurang kelenjar sebasea, sepeti genitalia, telapak tangan, dan telapak kaki. Sebagai tambahan terdapat
angka yang lebih tinggi dikelenjar sebaseus dimuka, yang mana sering terjadi pembentukan akne
terutama selama pubertas. Jerawat merupakan penyebab yang paling sering dari pembentukan keloid.
Selain itu, penindikan merupakan penyebab lain yang sering ditemukan dalam pembentukan keloid,
peningkatan aktifitas sebu disekitar penindikan dapat menjadi faktor pemicu pembentukan keloid.
Sebagai tambahan telah dilaporkan jerawat sebagai trauma kutaneus pada pasien usia tua dapat
dijelaskan dengan tingginya insiden dari hiperplasia sebasus pada usia tua, yang menunjukan karateristik
mirip dengan jerawat. Hal ini dapat menjadi penjelasan dari perbadeaan insiden keloid antara etnik yang
berbeda dan kelompok usia. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa hanya manusia yang dapat
menjadi keloid, karena hanya manusia mamalia yang mempunyai kelenjar sebaseus yang nyata. Mungkin
lebih logis terhadap penelitian, jika menemukan etiologi imun dalam pembentukan keloid dalam
hubungannya dengan distribusi melanin, memberikan insiden yang lebih tinggi dari pembentukan keloid
dengan orang orang kulit gelap dan peningkatan resiko pada area dengan konsentrasi melanin yang
tinggi. Hal ini meningkatkan insiden dalam beberapa ras yang dapat terjadi perubahan sekunder pada
metabolisme normal melanotropin. Kadang kadang hal ini dapat bertepatan dalam penyimpangan dari
respon imun terhadap melanin dan atau antigen kutaneus lain. Walaupun begitu, tidak terdapat bukti
yang cukup untuk mendukung spekulasi ini. Dan juga telah diketahui bahwa peningkatan hormon yang
mensensitisasi melanin, meningkat pada masa pubertas dan kehamilan, yang mana merupakan periode
peningkatan kerentanan keloid. Dengan dasar bukti yang kuat mengacu pada etiologi genetik dan respon
imun dari pematangan keloid, sepertinya masuk akal untuk mempelajari hubungan antara spesifik HLA
alel spesifik. Walaupun begitu skala dari penelitian genetik sangat terbatas, jika mengenai hubungan
dengan HLA, terdapat data yang menjajikan dalam hubungan keloid dengan lokasi HLA-DR. terdapat
penelitian oleh Brown et al, membandingkan frekuensi fenotif HLA-DRB1 dari kaukasia-Eropa utara
dengan luka keloid dibandingkan dengan populasi kontrol. Data yang didapatkan menunjukan frekuesi
lebih tinggi pada HLA-DRB1*15 pada pasien keloid (38,8%) dibandingkan dengan kontrol (20,9%),
(p=0,01). Sebagai tambahan HLA-DRB1*08 menunjukan frekuensi 6,9% pada kelompok kontrol namun
tidak ditemukan pada pasien keloid.

Penelitian yang mirip dilakukan oleh Lu et al. menunjukkan danya hubungan antara pasien positif
keloid dan alel HLA-DQA1 dan DQB1 pada sampel Chinese Han, menggunakan polymerase chain
reaction-sequence spesific primers (PCR-SSP) metode menentukan tipe dalam 192 pasien keloid. Pada
penelitian ini HLA-DQA1*0104, DQB1*0501 dan DQB1*0503 semua ditemukan dengan kadar yang
signifikan pada semua pasien (p= 0.0063, <10-7 dan 10 -7), sementara itu HLA-DQA1*0501, DQB10201
dan DQB1*0402 ditemukan dengan kadar yang jauh minimal pada pasien yang sama (p+0.0099, <10 -4
dan 0.0054). sebagai tambahan hubungan alel ini, alel spesifik juga dihubungan dengan gambaran lokasi
lesi tunggal atau multiple, derajat keparahan keloid dan riwayat keluarga. Walaupun begitu, mekanisme
dari hubungan ini belum pasti diketahui. Satu mekanisme yang mungkin terjadi, alel yang diasosiasikan
dengan penyakit ini lebih efisien terhadap mengikat dan antigen presenting terhadap sel imun. Selain
itu, Lu et al. menemukan bahwa frekuensi dari alel HLA kelas I HLA-A*03, A*25, B*07 dan Cw*0802
secara signifikan meningkat jumlahnya pada populasi Chinese Han dengan keloid dibandingkan dengan
populasi kontrol. Di lain sisi, HLA-A*01 berkurang frekuensinya diantara pasien keloid dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hubungan antara kedua alel spesifik ini dan kerentanan keloid dapat
dijelaskan dengan pelepasan sitokin yang mengikuti aktivasi dari limfosit pada lesi karena adanya
interaksi antigen HLA kelas I dengan killer immunoglobulin receptros (KIRs) yang terdapat pada sel imun
tertentu.

Konsentrasi dari sel dendritik HLA-DR + dan keratinosit pada epidermis, dan fibroblas dan sel
endotelial dalam dermis dari jaringan keloid telah dilaporkan terjadi peningkatan dibandingan dengan
kulit normal. Sementara itu Cohen et al. menemukan tidak ada korelasi antara HLA-B kelas I atau alel
HLA-A dengan kerentanan keloid, Laurentaci & Dioguardi menemukan hubungan antara keloid dan HS
dengan HLA-B14 dan HLA-Bw166. Walaupun begitu penelitian ini tidak terlalu dapat diandalkan karena
tipe serologis dari sistem HLA tidak dapat mengidentifikasi alel HLA yang dapat dideteksi pada level
genomik. Maka dari itu penelitian multi-cohort dibutuhkan untuk memastikan hubungan HLA dengan
pembentukan keloid menggunakan PCR-SSP yang sensitif dengan kombinasi dengan alel sequencing.

Anda mungkin juga menyukai