Anda di halaman 1dari 10

REFRAT

SELULITIS

Oleh:
Wahyu Priatmoko, dr

Pembimbing:
Lisa Hasibuan, dr., Sp.BP-RE(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
BANDUNG
2014

PENDAHULUAN
Selulitis merupakan suatu proses inflamasi yang bersifat akut, meyebar dan pyogenik
pada bagian bawah dari dermis dan jaringan subkutis di sekitarnya. Selulitis dapat ditangani
oleh beberapa dokter spesialis, seperti dokter spesialis bedah dan dokter spesialis kulit dan
kelamin, bahkan dokter umum.

EPIDEMIOLOGI
Pada kisaran tahun 2008-2009 di Inggris dan Wales, terdapat 82.113 kasus selulitis
yang dirawat di rumah sakit dengan rata-rata lama perawatan 7.2 hari dan biaya $ 209 juta
hanya untuk biaya rawat inap saja. Selama 2008-2009, selulitis juga tercatat sebanyak 1.6%
dari kasus yang masuk melalui instalasi emergensi.
Di Australia, angka rawat inap untuk selulitis meningkat menjadi 11,5 orang per
10.000 (2001-2002) dengan rata-rata lama perawatan selama 5.9 hari. Di Amerika Serikat,
tercatat lebih dari 600.000 kasus selulitis yang dirawat selama periode 2010, atau sebanyak
3,7% dari seluruh kasus emergensi yang masuk. Secara keseluruhan, 14.2 juta warga Amerika
berkunjung ke tempat praktek dokter umum,instalasi rawat jalan dan instalasi emergensi
dengan kasus infeksi kulit dan jaringan lunak pada tahun 2005, dimana terjadi peningkatan
dari 321 menjadi 481 kunjungan per 100.000 (peningkatan sebesar 50%) sejak 1997. Lebih
dari 95% dari peningkatan tersebut merupakan kasus abses dan selulitis. Kunjungan pasien ke
ruah sakit untuk kasus abses dan selulitis meningkat dari 173 menjadi 325 per 1000 populasi
(peningkatan sebesar 88%)

MIKROBIOLOGI
Selulitis dapat disebabkan oleh organisme dengan cakupan yang luas (Tabel 1).
Sebagian kasus disebabkan oleh Streptococcus pyogenes atau Stafylococcus aureus. Suatu
studi prospektif dan retrospektif yang dilakukan di laboratorium didapatkan 51% dari seluruh
kultur dengan hasil positif untuk selulitis, yang diperoleh secara aspirasi dan punch biopsy
merupakan S.aureus, sedangkan Streptococcus didapatkan sekitar 27%.

Tabel 1. Ringkasan pemberian antibiotik pada selulitis

Suatu studi prospektif mendemonstrasikan bahwa dari 389 kultur darah yang
dijadikan sample, mayoritas infeksi S.aureus di Amerika Serikat, saat ini merupakan kuman
MRSA (Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus), 63% (244) merupakan CA-MRSA.
Suatu studi multisenter yang dilakukan di 11 rumah sakit di Amerika didapatkan
bahwa prevalensi dari kuman MRSA berkisar antara 15% 74%. Saat ini, diduga terjadi
peningktan angka CA-MRSA di Eropa.

FAKTOR RESIKO
Tidak terdapat hubungan antara usia atau jenis kelamin dilaporkan. Akan tetapi, suatu
studi case-controlled prospektif dengan 150 pasien yang menderita selulitis dan 300 kontrol
didapatkan pasien kulit putih memiliki resiko yang lebih tinggi. Konsumsi alkohol dan
merokok bukan merupakan faktor resiko sebagaimana yang telah disebutkan pada suatu studi
case-controlled.
Faktor resiko sistemik secara umum termasuk insufisiensi vena; yang merupakan
faktor resiko yang paling sering ditemui, limphedema; dimana keduanya merupakan faktor
resiko sekaligus komplikasi dari selulitis, penyakit pembuluh darah tepi, diabetes melitus, dan
obesitas. Faktor resiko yang bersifat lokal seperti tinea pedis, ulkus, trauma, dan ginggitan
serangga.

Selain tatalaksana dari lymfedema, tidak terdapat bukti yang cukup untuk mendukung
tatalaksana faktor resiko yang lain, seperti diabetes melitus, penyakit pembuluh darah tepi
dan tinea pedis.
Pada limfedema, terapi limfatik dekongestif, yang tediri dari manipulasi sistem
limfatik dengan menggunakan masase/pemijatan, telah dihubungkan dengan berkurangnya
kemungkinan terjadinya selulitis. Pada suatu studi prospektif pada 299 pasien yang menjalani
terapi limfatik dekongestif, angka kejadian selulitis menurun dari 1.10 menjadi 0.65 kasus per
pasien per tahun.

DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KLINIS
Selulitis sebagian besar menyerang ekstremitas bawah dan seringkali datang dengan
keluhan daerah kulit yang terasa nyeri, kemerahan dan bengkak serta terjadi tiba-tiba. Pada
kasus yang lebih berat, dapat pula dijumpai bullae, ulkus, edema, keterlibatan suatu
limfangitis dan limfadenopati.
Gambaran yang tidak selalu ada termasuk demam dan lemas. Pada tahap akahir dari
perjalanan penyakit, penyebaran infeksi dari selulitis dapat menyebabkan sepsis dengan
takikardi da hipotensi sebagai salah satu pertanda.
Kondisi lain dapat menyamarkan diagnosis selulitis. Beberapa diagnosis banding,
khususnya pada ekstremitas bawah, dapat memberikan gambaran klinis menyerupai tanda
dan gejala selulitis. Pada suatu studi prospektif pada 145 pasien, 28% pasien salah
terdiagnosis sebagai selulitis ekstremitas bawah. Kesalahan diagnosis selulitis paling sering
terjadi pada kasus dermatitis karena stasis vena (37%).

Tabel. 2 Diferential diagnosis dari selulitis

Karena memiliki potensi untuk terjadi kesalahan diagnosis bila hanya mengandalkan
observasi secara klinis saja, maka pemeriksaan penunjang terkadang diperlukan untuk
membantu menegakan diagnosis.

PEMERIKSAAN DARAH
Dalam suatu studi retrospektif pada 150 pasien yang datang ke unit gawat darurat
kemudian diperiksakan CRP dan sel darah putih sebagai indikator ada tidaknya infeksi
bakteri termasuk selulitis; sel darah putih memiliki spesifitas sebesar 84.5% dan sensitifitas
43.0%. Sedangkan CRP memiliki sensitifitas sebesar 67.1% dan spesifitas 94.8% (positive
predictive value 94.6% dan negative predictive value 67.9%). Peningkatan CRP merupakan
indikator yang lebih baik untuk menunjukkan ada tidaknya infeksi bakteri bila dibandingkan
dengan peningkatan sel darah putih. Akan tetapi hasil pemeriksaan CRP yang normal tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan terjadinya infeksi. Oleh sebab itu, pemeriksaan darah
tidak memiliki nilai diagnosis klinis yang cukup bermakna.
MIKROBIOLOGI
Suatu studi retrospektif menunjukan bahwa hasil true positive yang diperoleh dari
kultur darah pada pasien dengan kecurigaan selulitis adalah 2-4%. Pada studi retrospektif lain
yang melibatkan 757 pasien yang datang ke rumah sakit dengan selulitis, pada 553 pasien
(73%) dilakukan kultur darah dan hanya sebelas pasien (2%) yang memberikan hasil positif.
Delapan dari sebelas pasien dengan hasil kultur yang positif mendapatkan perubahan terapi
empiris dari cefazolin menjadi penicillin. Lebih lanjut lagi, seluruh pasien dalam studi
tersebut, termasuk pasien dengan toksisitas sistemik mengalami perbaikan dan sembuh
dengan atau tanpa pengambilan kultur darah. Menurut rekomendasi dari Clinical Resource
Efficiency Support Team (CREST) tahun 2005 sebagai petunjuk untuk penatalaksanaan

selulitis pada pasien dewasa, menyarankan untuk pengambilan kultur darah hanya pada
pasien yang mengalami gangguan sistemik secara signifikan termasuk pyrexia (>38C).
Pada suatu studi prospektif terhadap 50 pasien dengan selulitis, kultur diambil dari
biopsi kulit dan aspirasi, dengan hasil true positive sebesar 20% untuk biopsi kulit dan 10%
untuk aspirasi. Panduan CREST menyarankan biops kulit hanya pada pasien tertentu, dimana
diagnosis selulitis masih meragukan.
Untuk penggunaan wound swab, suatu studi prospektif multisenter di Perancis yang
melakukan penelitian terhadap sampel wound swab pada 214 pasien dengan selulitis tungkai
bawah, didapatkan bahwa 183 sampel (85,5%) memberikan hasil positif; dengan S. Aureus
dan Streptococcus menjadi mikroorganisme yang paling sering didapatkan (sebanyak 56%
dan 21% secara berurutan). Hasil sensitifiatas dari swab menunjukan resistensi terhadap
antibiotik yang sebelumnya pernah digunakan, sehingga memerlukan penggantian terhadap
terapi antibiotik tersebut. CREST panduan menyarankan penggunaan swab pada selulitis
yang disertai luka terbuka.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang sangat bermanfaat ketika terdapat kecurigaan terhadap
terjadinya abses yang dihubungkan dengan selulitis, necrotising fasciitis, atau ketika
diagnosis selulitis tidak pasti. Suatu studi retrospektif pada 542 pasien di unit gawat darurat
dengan diagnosis selulitis yang meragukan, 109 pasien (17%) didapatkan menderita
trombosis vena dalam dari hasil pemeriksaan USG Doppler.
Pada suatu studi prospektif observasional pada 216 pasien dewasa di unit gawat
darurat dengan diagnosis klinis selulitis tungkai bawah, hasil pemeriksaan USG mengubah
tatalaksana 71 pasien (56%) dalam hal perlu tidaknya dilakukan drainase terhadap abses yang
terbentuk. Pada grup pre-tes, yang diyakini tidak diperlukan drainase terhadap terbentuknya
abses, hasil pemeriksaan USG merubahan tatalaksana terhadap 32 dari 42 pasien (73%),
termasuk didalamnya 16 pasien yang benar-benar tidak memerlukan drainase. Pada grup pretes yang diyakini tidak diperlukan drainase lebih lanjut, hasil pemeriksaan USG merubah
tatalaksana pada 39 dari 82 (48%), dengan 33 pasien dilakukan drainase dan enam pasien
memerlukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Oleh sebab itu, USG dapat digunakan
sebagai penuntun untuk tatalaksana selulitis dengan mendeteksi abses yang masih belum

jelas, mencegah tindakan invasif, dan memberikan petunjuk untuk pemeriksaan diagnostik
lebih lanjut atau konsultasi.
Pemeriksaan penunjang yang lain seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) bermanfaat
pada kasus dengan yang masih meragukan antara selulitis atau kecurigaan necrotising
fasciitis. Menurut panduan CREST, dokter harus waspada terhadap kemungkinan necrotising
fasciitis bila dari hasil pemeriksaan didapatkan edema dengan permukaan yang tegang,
nekrosis pada kulit, krepitus, parastesia dengan peningkatan jumlah sel darah putih lebih dari
14x109/L, dan pada pasien dengan hemodinamik stabil, pemeriksaan MRI disarankan. Pada
studi prospektif dari 36 pasien dengan diagnosis klinis selulitis dengan infeksi akut, MRI
memberikan gambaran necrotising fasciitis pada 16 pasien, dan semuanya menjalani
nekrotomi debridement di kamar operasi. Gambaran MRI yang khas didapatkan pada pasien
dengan infeksi jaringan lunak yang disertai nekrosis, seperti sinyal yang hyper-attenuating
pada T2 weighted images di fasia bagian dalam dan batas yang tidak jelas dari sinyal hyperintense pada T2 weighted images di dalam otot. Pada selulitis, abnormalitas intensitas sinyal
hanya terdapat di dalam lemak subkutan.

TATALAKSANA
Tatalaksana umum yang sudah ada, meliputi istirahat, meninggikan kaki yang terkena
dan obat anti nyeri. Dareah yang terkena selulitis diberi tanda dengan jelas dan dilihat setiap
hari untuk dinilai apakah terjadi perbaikan atau sebaliknya sehingga dapat juga dinilai efikasi
dari regimen antibiotik yang diberikan.
Akan tetapi, masih terdapat ketidakpastian mengenai pilihan antibiotik, lama
pemberian, dan rute pemberian terapi, serta kegunaan dari kortikosteroid. Review Cochrane
yan terbaru tidak dapat menarik kesimpulan yang bersiat definitif mengenai lama pemberian
atau rute pemberian antibiotik dari analisis 25 randomised controlled trials, karena tidak
terdapat penelitian yang membandingkan jenis antibiotik yang sama. Suatu kesimpulan dari
panduan yang dipergunakan di AS dan UK mengenai pemberian antibiotik dari beberapa
studi prospektif dapat dilihat di Tabel. 1.
Panduan dari CREST masih merekomendasikan pemberian amoxicillin atau
flucloxacillin untuk mayoritas kasus selulitis yang disebabkan S. Aureus, Streptococcus, atau
ketika jenis mikroorganisme belum dapat ditentukan, tetapi dokter harus selalu

mempertimbankan peningkatan angka kasusn CA-MRSA. Panduan dari Infectious Diseases


Society of America pada tahun 2011 memberikan rekomendasi untuk pasien dengan selulitis
yang menghasilkan pus (nanah) untuk diberikan antibiotik yang sensitif terhadap CA-MRSA
Salah satu studi kohort retrospektif menunjukkan bahwa doxycycline atau
minocycline efektif terhadap 95% dari pasien (n=276) dengan CA-MRSA. Clindamycin juga
merupaka antibiotik terpilih, dengan seceptabilitas dalam isolasi sebesar 93%. Akan tetapi
berkembangnya resistensi yang berhubungan dengan Clostridium dificile, dan harus
dihentikan bila terjadi diare. Pada kasusu dengan selulitisa yang berat, sehingga memerlukan
perawatan di rumah sakit, linezolid dan vancomycin memberikan efikasi yang baik.
Review dari Cochrane pada tahun 2010 juga meyebutkan mengenai perlunya evaluasi
lebih lanjut mengenai pemberian terapi secara oral maupun intravena juga efikasi terhadap
pemberian terapi parenteral untuk pasien rawat jalan. Pada suatu studi pada 205 pasien yang
dirawat di rumah sakit di Skotlandia karena selulitis, 43% diketahui dirawat secara berlebihan
berdasarkan panduan CREST. Studi tersebut meyarankan bahwa seharusnya pasien dapat
dirawat secara rawat jalan dengan pemberian terapi antibiotik oral. Panduan CREST
menentukan rute pemberian berdasarkan sistem klasifikasi klinis dari Eron dengan
mempertimbangkan ada tidaknya toksisitas sitemik dan komorbid yang lain.
Klasifikasi Eron didasarkan pada opini para ahli, dan merupakan salah satu sistem
klasifikasi yang paling banyak digunakan untuk diagnosis dan tatalaksana selulitis.
Ringkasan klasifikasi Eron dapat dilihat pada Tabel. 3.

Tabel. 3 Ringkasan klasifikasi Eron

Akan tetapi, pada tahun 2011 muncul kriteria baru yaitu klasifikasi Dundee;
perbandingan antara keduanya dapat dilihat pada Tabel . 4. Sekitar 70% pasien yang
dirawatinapkan dan mendapatkan terapi antibiotik intravena berdasarkan rekomendasi Eron
sesuai untuk kriteria pasien rawat jalan berdasarkan kriteria Dundee. Validasi lebih lanjut
mengenai kriteria Dundee masih diperlukan.

Tabel. 4 Perbandingan antara klasifikasi Eron dan Dundee

Panduan CREST menyarankan indikasi untuk peralihan antara terapi intravena


menjadi oral dilakukan bila pasien tidak demam (<37,8C) selama 48 jam, perubahan
penampakan selulitis kearah perbaikan (berdasaran pengamatan harian), dan turunnya nilai
CRP.
Panduan dari CREST dan NHS Clinical Knowledge Summaries menyarankan bila
terdapat keraguan pada diagnosis, presentasi yang atipikal dan/atau tidak terdapat perbaikan
gejala klinis dalam 48 jam, harus dipertimbangkan untuk berkonsultasi dengan ahli kulit
(dermatologist) dan ahli mikrobiologi (microbiologist).

DAFTAR PUSTAKA

1. Gokulan Phoenix, Saroj Das, Meera Joshi. Diagnosis and management of cellulitis :
clinical review. BMJ 2012, 4955:345-357.
2. Clinical Resource Efficiency Support Team (2005) Guidelines on the management of
cellulitis in adults. Crest, Belfast. http://www.acutemed.co.uk/docs/Cellulitis
%20guidelines,
%20CREST,%2005.pdf.
3. Eron L. J. Infections of skin and soft tissues: outcome of a classification scheme. Clin
Infect Dis 2000;31:287.

Anda mungkin juga menyukai