Anda di halaman 1dari 30

PROGRAM PEMERINTAH TERKAIT KESEHATAN REPRODUKSI

Oleh :

Putri Fernizi Harfah 1840312293

Shafira Aghnia 1840312281

Preseptor :

dr. Aladin, Sp.OG(K), MPH

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUP. DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

0
BAB 1

PENDAHULUAN

Kesehatan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus di

didapatkan oleh masyarakat dan merupakan salah indikator kesejahteraan yang

harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang

dimaksud dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia (UUD

RI) TAHUN 1945. Setiap individu mempunyai hak atas kesehatan, baik dalam

memperoleh akses kesehatan, memperoleh pelayanan kesehatan dan menentukan

pelayanan kesehatan yang di perlukan.1

Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental

dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam

segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta

prosesnya.2

Pemenuhan kesehatan reproduksi di regulasi oleh pemerintah pusat

melalui kementerian kesehatan dapat berupa kesehatan reproduksi remaja,

kesehatan sebelum kehamilan, kesehatan selama masa kehamilan, kesehatan saat

melahirkan, kesehatan seudah melahirkan, kesehatan seksual, serta upaya-upaya

reproduksi dengan bantuan, termasuk upaya kesehatan reproduksi di masa kritis,

seperti kesehatan reproduksi saat terjadinya bencana.3

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kesehatan reproduksi menurut WHO adalah kesejahteraan fisik, mental

dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecatatan, dalam

segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya.

Oleh karena itu, kesehatan reproduksi berarti dapat mempunyai kehidupan seks

yang aman, dan memiliki kemampuan untuk bereproduksi termasuk hak pria dan

wanita untuk memperoleh informasi dan mempunyai akses terhadap cara keluarga

berencana yang aman, efektif dan terjangkau, pengaturan fertilitas yang tidak

melawan hukum, hak memperoleh pelayanan pemeliharaan kesehatan yang

memungkinkan para wanita dengan selamat menjalani kehamilan dan melahirkan

anak, dan memberikan kesempatan untuk memiliki bayi yang sehat. .2

Pemeliharaan kesehatan reproduksi merupakan suatu kumpulan metode,

teknik dan pelayanan yang mendukung kesehatan dan kesejahteraan reproduksi

melalui pencegahan dan penyelesaian masalah kesehatan reproduksi. Ini juga

mencakup kesehatan seksual, yang bertujuan meningkatkan status kehidupan dan

hubungan perorangan.2

2.2 Masalah dan Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Reproduksi

Menurut program kerja WHO ke IX (1996-2001), masalah kesehatan

reproduksi ditinjau dari pendekatan siklus kehidupan keluarga, meliputi : 2

a. Praktek tradisional yang berakibat buruk semasa anak-anak (seperti

mutilasi, genital, deskri minasi nilai anak, dsb)

2
b. Masalah kesehatan reproduksi remaja (kemungkinan besar dimulai sejak

masa kanak-kanak yang seringkali muncul dalam bentuk kehamilan

remaja, kekerasan/pelecehan seksual dan tindakan seksual yang tidak

aman)

c. Tidak terpenuhinya kebutuhan ber-KB, biasanya terkait dengan isu aborsi

tidak aman

d. Mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (sebagai kesatuan) selama

kehamilan, persalian dan masa nifas, yang diikuti dengan malnutrisi,

anemia, berat bayi lahir rendah

e. Infeksi saluran reproduksi, yang berkaitan dengan penyakit menular

seksual

f. Kemandulan, yang berkaitan erat dengan infeksi saluran reproduksi dan

penyakit menular seksual

g. Sindrom pre dan post menopause dan peningkatan resiko kanker organ

reproduksi

h. Kekurangan hormon yang menyebabkan osteoporosis dan masalah

ketuaan lainnya

Secara garis besar dapat dikelompokkan empat golongan faktor yang dapat

berdampak buruk bagi keseshatan reproduksi :2

a. Faktor sosial-ekonomi dan demografi (terutama kemiskinan, tingkat

pendidikan yang rendah dan ketidaktahuan tentang perkembangan seksual

dan proses reproduksi, serta lokasi tempat tinggal yang terpencil)

b. Faktor budaya dan lingkungan (misalnya, praktek tradisional yang

berdampak buruk pada kesehatan reproduksi, kepercayaan banyak anak

3
banyak rejeki, informasi tentang fungsi reproduksi yang membingungkan

anak dan remaja karena saling berlawanan satu dengan yang lain, dsb)

c. Faktor psikologis (dampak pada keretakan orang tua pada remaja, depresi

karena ketidakseimbangan hormonal, rasa tidak berharga wanita terhadap

pria yang membeli kebebasannya secara materi, dsb)

d. Faktor biologis (cacat sejak lahir, cacat pada saluran reproduksi pasca

penyakit menular seksual, dsb).

2.3 Landasan Hukum tentang Peran Pemerintah terkait Kesehatan

Reproduksi

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23/1992 dan Undang-Undang

Nomor 10/1992, Strategi kesehatan reproduksi nasional diarahkan pada rencana

intervensi untuk mengubah perilaku didalam setiap keluarga. Tujuannya adalah

menjadikan keluarga sebagai pintu masuk utama upaya promosi pelayanan

kesehatan reproduksi.2

Peraturan pemerintah RI No 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi :3

Pasal 6

Pemerintah daerah provinsi bertanggung jawab terhadap :

a. Penyelerenggara dan fasilitas pelayananan, program, bimbingan, dan

koordinasi di bidang kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi dan

lintas kabupaten atau kota dalam provinsi.

b. Pembinaan dan evaluasi manajemen program kesehatan reproduksi yang

meliputi aspek perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi

4
sesuai standar dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam

provinsi.

c. Pengelolaan, koordinasi dan pembinaan sitem rujukan, sistem informasi,

dan sistem surveilans kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi dan

lintas kabupaten/kota dalam provinsi.

d. Pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan dirumah sakit lingkup

provinsi.

e. Penyediaan buffer stock obat esensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan

program kesehatan reproduksi dalam lingkup provinsi.

f. Koordinasi dan advokasi dukungan sumber daya di bidang kesehatan serta

pendanaan penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi dalam lingkup

provinsi dan lintas kabupaten /kota dalam provinsi;dan

g. Pengelolaan audit maternal perinatal lingkup provinsi.

Pasal 7

Pemerintah daerah kabupaten/kota bertanggungjawab terhadap:

a. Penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan kesehatan reproduksi di fasilitas

pelayanan kesehatan dasar dan rujukan lingkup kabupaten/kota.

b. Penyelenggaraan manajemen kesehatan reproduksi yang meliputi aspek

perencanaan, implementasi, serta monitoring dan evaluasi sesuai standar

dalam lingkup kabupaten/kota.

c. Penyelenggaraan sistem rujukan,sistem informasi, dan sistem surveilans

kesehatan dalam lingkup kabupaten/kota termasuk fasilitas pelayanan

kesehatan dasar dan rujukan milik pemerintah dan swasta.

5
d. Pemetaan dan penyediaan tenaga kesehatan dirumah sakit lingkup

kabupaten/kota.

e. Pemetaan dan penyediaan tenaga dokter, bidan, dan perawat diseluruh

puskesmas dikabupaten/kota.

f. Pemetaan dan penyediaan tenaga bidan didesa bagi seluruh desa/kelurahan

di kabupaten/kota, termasuk penyediaan rumah dinas atau tempat tinggal

yang layak bagi bidan di desa.

g. Penyediaan obat esensial dan alat kesehatan sesuai kebutuhan program

kesehatan reproduksi dalam lingkup kabupaten/kota.

h. Penyediaan sumber daya di bidang kesehatan serta pendanaan

penyelenggaraan upaya kesehatan reproduksi dalam lingkup

kabupaten/kota;dan

i. Penyelenggaraan audit maternal perinatal lingkup kabupaten/kota.

2.4 Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi

Sesuai dengan rekomendasi strategi regional WHO untuk negara-negara

anggota di Asia Tenggara, lima kelompok kerja telah sepakat untuk melaksanakan

pelayanan dasar berikut sebagai strategi intervensi nasional penanggulangan

masalah kesehatan reproduksi di Indonesia :2

1. Kesejahteraan Ibu dan Anak

2. Keluarga Berencana

3. Pencegahan dan penanganan ISR (Infeksi Saluran Reproduksi) / PMS (Penyakit

Menular Seksual) / HIV-AIDS

4. Kesehatan reproduksi remaja

5. Pencegahan dan penanganan masalah usia lanjut

6
2.4.1 Komponen Kesejahteraan Ibu dan Anak

Upaya kesehatan Ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu

sehingga mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta

mengurangi angka kematian Ibu. Upaya kesehatan ibu meliputi upaya promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga,

fasilitas, alat dan obat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara

aman, bermutu, dan terjangkau.

Tantangan penurunan AKI telah menjadi perhatian serius bagi pemerintah.

Oleh karena itu, pada tanggal 1 Agustus 2012, presiden memberikan instruksi

agar kementerian kesehatan bersama lintas sektor terkait merumuskan strategi dan

rencana aksi untuk mempercepat penurunan AKI. Menindak lanjuti instruksi

presiden tersebut, Direktorat Bina Kesehatan Ibu bersama lintas program dan

lintas sektor terkait telah merumuskan sasaran strategis dalam upaya percepatan

penurunan AKI, yaitu :4

a. Menyediakan pelayanan KIA di tingkat desa sesuai standar

b. Menyediakan fasyankes di tingkat dasar yang mampu memberikan

pertolongan persalinan sesuai standar selama 24 jam 7 hari seminggu.

c. Seluruh Puskesmas Perawatan, Puskesmas PONED dan RS PONEK 24

jam 7 hari seminggu berfungsi sesuai standar.

d. Terlaksananya rujukan efektif pada kasus komplikasi

e. Penguatan pemda Kabupaten/Kota dalam tata kelola desentralisasi

program kesehatan (regulasi, pembiayaan).

f. Meningkatkan kemitraan lintas sektor dan swasta

7
g. Meningkatkan perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat melalui

pemahaman dan pelaksanan P4K serta Posyandu.

Ada 2 indikator dalam pemenuhan komponen kesejahteraan Ibu dan anak yaitu

:4

1. Penanganan tenaga medis pada proses persalinan

2. Meningkatkan angka imunisasi di Indonesia

2.4.1.1 Penanganan Tenaga Medis pada Proses Persalinan

Pada tahun 2000, Pemerintah RI mencanangkan kebijakan Making

Pregnancy Safer (MPS) dengan 3 pesan kunci dalam upaya percepatan penurunan

angka kematian ibu dan bayi baru lahir yaitu :

- Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih

- Setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pertolongan yang

adekuat

- Setiap perempuan usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan

kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pasca

keguguran

2.4.1.2 Meningkatkan angka imunisasi di Indonesia

Pokok-pokok kegiatan imunisasi :4

a. Imunisasi rutin

Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatsn imunisasi yang dilaksanakan

secara rutin dan terus-menerus, yang harus dilaksanakan pada periode waktu

tertentu yang telah ditentukan.

8
Vaksin untuk imunisasi rutin yang diwajibkan adalah :

1. BCG (diberikan sekali pada bayi usia 0-11 bulan)

2. DPT (diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan jarak waktu

antar pemberian minimal empat minggu. Kemudian diberikan lagi

pada umur 18 bulan dan 5 tahun.

3. Polio (imunisasi pertama kali dilakukan setelah bayi lahir, dilanjutkan

pada usia 2, 4, 6, dan 18 bulan. Yang terakhir, vaksin polio diberikan

saat berumur 4 hingga 6 tahun)

4. Campak (satu kali pada bayi usia 9-11 bulan)

5. Hepatitis B (diberikan dalam waktu 12 jam setelah bayi dilahirkan, 7

hari setelahnya, 1 bulan kemudian, dan 6 bulan setelah pemberian

pertama)

b. Imunisasi Tambahan

Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak rutin

dilaksanakan, hanya dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil

pemantauan atau evaluasi.

Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan :

1. Backlog fighting

Adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak yang

berumur 1-3 tahun, dilakukan setiap dua tahun sekali.

2. Crash program

Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi

cepat karena masalah khusus, seperti :

9
a. Angka kematian bayi tinggi, angka kematian PD3I tinggi

b. Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang

c. Untuk memberikan kekebalan pada kelompok sasaran yang belum

mendapatkan pada saat imunisasi rutin

3. Imunisasi dalam penanganan Kejadian Luar Biasa (Outbreak respons)

Pedoman pelaksanaan imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan

dengan situasi epidemologis penyakit.

4. Kegiatan-kegiatan imunisasi massal untuk antigen tertentu dalam

wilayah yang luas dan waktu tertentu, dalam angka rangka pemutusan

mata rantai penyakit. Antara lain :

a. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)

Merupakan suatu upaya untuk mempercepat pemutusan siklus

kehidupan virus polio importasi dengan cara memberikan vaksin

polio kepada setiap balita termasuk bayi baru lahir tanpa

mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian

imunisasi dilakukan 2 kali, masing-masing 2 tetes dengan selang

waktu 1 bulan. Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN,

disamping untuk memutus rantai penularan, juga berguna sebagai

booster atau imunisasi ulangan polio.

b. Sub PIN

Merupakan suatu upaya untuk memutus rantai penelaran polio

bila ditemukan satu kasus polio dalam wilayah terbatas

(kabupaten) dengan pemberian dua kali imunisasi polio dalam

10
interval waktu satu bulan secara serentak pada seluruh sasaran

berumur kurang dari satu tahun.

c. Catch up campaign Campak

Merupakan suatu upaya untuk pemutusan transmisi penuluran

virus campak pada anak sekolah dan balita.Kegiatan ini dilakukan

dengan pemberian imunisasi campak secara serentak pada anak

SD tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya.

Pemberian imunisasi campak pada saat catch up campaign

campak di samping untuk memutus transmisi, juga berguna

sebagai booster atau imunisasi ulangan (dosis kedua)

2.4.2 Komponen Keluarga Berencana5,6

Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk

pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi

penerus yang sehat dan cerdas. Dalam perkembangannya, program KB ditujukan

untuk membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS).

Di samping itu, dilaksanakan tiga upaya pokok program KB lainnya yaitu:

1. Pendewasaan usia perkawinan

2. Pengaturan kelahiran dan pemberdayaan ekonomi keluarga

3. Peningkatan ketahanan keluarga

Berbagai cara untuk ber-KB telah ditawarkan dan berbagai kotrasepsi

disediakan oleh pemerintah, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal (pil,

suntukan, susuk KB), dan sebagainya. Bahkan saat ini juga telah tersedia alat

11
kontrasepsi yang bersifat permanen, atau yang sering disebut alat kontrasepsi

mantap (vasektomi dan tubektomi). Dari segi hak-hak asasi manusia, segala jenis

kontrasepsi yang ditawarkan haruslah mendapat persetujuan dari pasangan suami

atau istri. Namun demikian, adalah hak masyarakat juga untuk menerima

informasi yang jelas tentang kontrasepsi yang di tawarkan, termasuk keuntungan

dan kerugiannya.

2.4.3 Komponen Pencegahan dan Penanganan ISR (Infeksi Saluran

Reproduksi) / PMS (Penyakit Menular Seksual) / HIV-AIDS7

Upaya pencegahan dan penanggulangan ISR di tingkat pelayanan dasar

masih jauh dari yang diharapkan. Upaya tersebut baru dilaksanakan secara

terbatas di beberapa provinsi, berupa upaya pencegahan dan penanggulangan

PMS dengan pendekatan melalui pelayanan KIA/KB. Hambatan sosiobudaya

sering mengakibatkan ketidak-tuntasan dalam pengobatannya ,sehingga

menimbulkan komplikasi ISR yang serius seperti kemandulan, keguguran, dan

kecacatan pada janin.

Secara umum Program Penanggulangan AIDS terdiri dari pengembangan

kebijakan, program pencegahan, program perawatan, dukungan dan pengobatan

serta mitigasi.

Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut :

a. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) HIV-AIDS dan NAPZA pada

kelompok beresiko tinggi, petugas kesehatan, anak sekolah, Warga

Binaan Pemasyarakatan (WBP), tokoh masyarakat, Karang Taruna.

12
b. Bekerjasama dengan institusi pendidikan untuk Penyuluhan HIV pada

generasi muda

c. Pembinaan di Panti Rehabilitasi

d. Pengurangan dampak buruk (Harm Reduction) pada pengguna Napza

suntik.

2.4.4 Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja5,6,7

Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan reproduksi juga perlu

diarahkan pada masa remaja, dimana terjadi peralihan dari masa anak menjadi

dewasa, dan perubahan-perubahan dari bentuk dan fungsi tubuh terjadi dalam

waktu relatif cepat. Hal ini ditandai dengan berkembangnya tanda seks sekunder

dan berkembangnya jasmani secara pesat, menyebabkan remaja secara fisik

mampu melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat

mempertanggungjawabkan akibat dari proses reproduksi tersebut. Informasi dan

penyuluhan, konseling dan pelayanan klinis perlu ditingkatkan untuk mengatasi

masalah kesehatan reproduksi remaja ini.

Pelaksanaan promosi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) termasuk

pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immuno

Deficiency Syndromes (AIDS), Infeksi Menular Seksual (IMS), dan bahaya

Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) dan

perlindungan hak-hak reproduksi.

Kementerian kesehatan telah mengembangkan model pelayanan kesehtan

peduli remaja (PKPR). Ciri khas pelayanan kesehatan peduli remaja adalah

13
pelayanan konseling dan peningkatan kemampuan remaja dalam menerapkan

pendidikan dan keterampilan hidup sehat.

PKPR dapat terlaksana dengan optimal bila membentuk jejaring dan

terintegrasi dengan lintas program, lintas sektor, organisasi swasta, dan LSM

terkait kesehatan remaja. Pelayanan kesehatan peduli remaja (PKPR) dapat

dilaksanakan di dalam gedung fasilitas kesehatan dan diluar gedung fasilitas

kesehatan. PKPR dapat dilaksanakan puskesmas, rumah sakit, sekolah, karang

taruna, tempat ibadah atau tempat – tempat lain dimana remaja berkumpul. PKPR

sangat erat terkait dengan kegiatan usaha kesehtan sekolah (UKS) yang juga

dibina oleh puskesmas setempat. Kegiatan pelayanan reproduksi remaja juga

terdapat dalam program generasi berencana (GenRe) yang dilaksanakn oleh

BKKBN. Program GenRe dilaksanakan melalui pendekatan dari dua sisi yaitu

pendekatan kepada remaja itu sendiri dan pendekatan pada keluarga yang

memiliki remaja. Pendekatan kepada remaja dilakukan melalui pengembangan

pusat informasi dan konseling remaja/mahasiswa (PIK R/M) sedangkan

pendekatan kepada keluarga dilakukan melalui pengembangan kelompok bina

ketahanan remaja (BKR).

2.4.4 Komponen Pencegahan dan Penanganan Masalah Usia Lanjut7

Upaya pemeliharaan kesehatan bagi usia lanjut ditujukan untuk menjaga

agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomi sesuai dengan

martabat kemanusiaan. Pada tahun 2001 Departemen Kesehatan bekerjasama

dengan Perkumpulan Menopause Indonesia (PERMI) telah menerbitkan Buku

Pedoman Penatalaksanaan Masalah Menopause bagi Petugas di Tingkat

Pelayanan Kesehatan Dasar dengan tujuan sebagai bekal bagi petugas dalam

14
memberikan penyuluhan dan pelayanan kesehatan reproduksi pada pra usia lanjut

dan usia lanjut. Strategi Puskesmas Santun Usia Lanjut juga menggariskan

panduan bagi puskesmas dalam melaksanakan pembinaan kesehatan usia lanjut.

Diharapakan upaya kesehatan reproduksi bagi usia lanjut dapat dilaksanakan

melalui pelayanan kesehatan dasar serta rujukannya di rumah sakit.

Selain itu pada tahun 2003 telah disusun pula draft buku saku Bagaimana

Menghadapi Masa Menopause yang ditujukan bagi masyarakat, untuk dapat

memahami dan menyikapi masalah yang dapat terjadi pada masa menopause.

BKKBN melalui Bina Keluarga Lanjut Usia (BKLU) melakukan strategi

pemberdayaan keluarga dalam pembinaan income generating dan peningkatan

pengetahuan tentang kesehatan usia lanjut. Departemen Sosial dalam

melaksanakan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia memberikan

perlindungan sosial bagi lanjut usia agar dapat mewujudkan dan menikmati taraf

hidup yang wajar yang meliputi fisik, mental, sosial dan kesehatan dengan

memberikanjaminan dan bantuan sosial.

Program pemerintah lainnya yang dibuat untuk meningkatkan kesehatan

lansia adalah posyandu lansia. Tujuan pembentukan posyandu lansia secara garis

besar antara lain :

1. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan lansia di masyarakat, sehingga

terbentuk pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan lansia.

2. Mendekatkan pelayanan dan meningkatkan peran serta masyarakat dan

swasta dalam pelayanan kesehatan disamping meningkatkan komunikasi

antara masyarakat usia lanjut.

15
3. Meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai masa

tua yang bahagia dan berguna dalam keluarga dan masyarakat sesuai dengan

eksitensinya dalam strata kemasyarakatan.

4. Sedang bagi lansia sendiri, kesadaran akan pentingnya bagi dirinya, keluarga

dan masyarakat luas agar selama mungkin tetap mandiri dan berdaya guna.

5. Pelayanan kesehatan pada posyandu lansia meliputi kesehatan fisik dan

mental emosional, dengan KMS mencatat dan memantau untuk mengetahui

lebih awal penyakit atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi dan

perkembangannya.

Jenis pelayanan kesehatan yang diberikan kepada usia lanjut di Posyandu Lansia :

1. Pemeriksaan aktivitas kegiatan sehari-hari meliputi kegiatan dasar dalam

kehidupan, seperti makan/minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun

tempat tidur, buang air besar/kecil dan sebagainya.

2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental

emosional.

3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran

tinggi badan dan dicatat pada grafik indeks masa tubuh (IMT).

4. Pengukuran tekanan darah menggunakan tensimeter dan stetoskop serta

penghitungan denyut nadi selama satu menit.

5. Pemeriksaan kadar hemoglobin darah.

6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya

penyakit gula (diabetes mellitus).

7. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi

awal adanya penyakit ginjal.

16
8. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan atau ditemukan

kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7.

9. Penyuluhan bisa dilakukan didalam atau diluar kelompok dalam rangka

kunjungan rumah dan konseling kesehatan dan gizi sesuai dengan masalah

kesehatan yang dihadapi oleh individu dan atau kelompok usia lanjut.

10. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi kelompok usia lanjut

yang tidak dating, dalam rangka kegiatan perwatan kesehatan masyarakat.

2.5 Kebijakan dan Strategi Komponen Kesehatan Reproduksi 8

1. Kebijakan dan Strategi Kesehatan Ibu dan Anak

a. Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak

i. Setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan

sehat dan selamat serta bayi lahir sehat.

ii. Setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara

optimal

b. Strategi Kesehatan Ibu dan Anak

i. Pemberdayaan perempuan, suami dan keluarga.

ii. Peningkatan pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan,

persalinan, nifas, bayi dan balita (health seeking care).

iii. Penggunaan buku KIA

iv. Konsep SIAGA (Siap, Antar, Jaga)

v. Penyediaan dana, transportasi, donor darah untuk keadaan

darurat

vi. Peningkatan penggunaan ASI eksklusif

vii. Pelayanan antenatal.

17
viii. Pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan neonatal

esensial.

ix. Penanganan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal

x. Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan

penanganan komplikasi pasca keguguran.

xi. Manajemen Terpadu Bayi Muda dan Balita Sakit.

xii. Pembinaan tumbuh kembang anak.

xiii. Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan

kelengkapan sarananya.

xiv. Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pelayanan.

2. Kebijakan dan Strategi Keluarga Berencana.

a. Kebijakan Keluarga Berencana

i. Memaksimalkan akses dan kualitas pelayanan KB.

ii. Mengintegrasikan pelayanan Keluarga Berencana dengan

pelayanan lain dalam komponen kesehatan reproduksi

iii. Jaminan pelayanan KB bagi orang miskin.

iv. Terlaksananya mekanisme operasional pelayanan.

v. Meningkatnya peran serta LSOM, swasta dan organisasi

profesi.

vi. Tersedianya informasi tentang program KB bagi remaja

vii. Terjadinya pemanfaatan data untuk pelayanan.

b. Strategi Keluarga Berencana

18
i. Prinsip integrasi artinya dalam pelaksanaannya tidak hanya

bernuansa demografis tapi juga mengarah pada upaya

meningkatkan kesehatan reproduksi yang dalam

pelaksanannya harus memperhatikan hak-hak reproduksi

serta kesetaraan dan keadilan gender.

ii. Prinsip Desentralisasi, kebijakan pelayanan program

keluargaberencana perlu menyesuaikan dengan perubahan

lingkungan institusi daerah sesuai dengan UU No. 22 tahun

1999 dan PPNo. 25 tahun 2000.

iii. Prinsip pemberdayaan, dengan ditingkatkannya kualitas

kepemimpinan dan kapasitas pengelola dan pelaksana

program nasional KB dengan memberdayakan institusi

masyarakat, keluarga dan individu dalam rangka

meningkatkan kemandirian.

iv. Prinsip kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka

kemitraanyang tulus dan setara serta meningkatkan

partisipasi aktifmasyarakat dan kerjasama internasional.

v. Prinsip segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan

padakeluarga rentan, perhatian khusus pada segmen

tertentuberdasarkan ciri-ciri demografis, sosial, budaya dan

ekonomidan keseimbangan dalam memfokuskan partisipasi

danpelayanan menurut gender.

19
3. Kebijakan dan Strategi Pencegahan dan Penanggulangan IMS

termasukHIV/AIDS

a. Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk

HIV/AIDS

i. Penanggulangan dilaksanakan dengan memutuskan mata

rantai penularan yang terjadi melalui hubungan seks yang

tidak terlindungi, penggunaan jarum suntik tidak steril pada

pengguna Napza suntik, penularan dari ibu yang hamil

dengan HIV (+) ke anak/ bayi.

ii. Kerjasama lintas sektoral dengan melibatkan organisasi

profesi, masyarakat bisnis, LSM, organisasi berbasis

masyarakat, pemuka agama, keluarga dan para Orang

Dengan HIV/AIDS(ODHA).

iii. Setiap orang mempunyai hak untuk untuk memperoleh

informasi yang benar tentang HIV/AIDS.

iv. Setiap ODHA dilindungi kerahasiaannya.

v. Kesetaraan gender dalam pelaksanaan penanggulangan

HIV/AIDS.

vi. Adanya hak memperoleh pelayanan pengobatan perawatan

dan dukungan tanpa diskriminasi bagi ODHA.

vii. Pemerintah berkewajiban memberi kemudahan untuk

pelayanan pengobatan, perawatan dan dukungan terhadap

ODHA dan mengintegrasikan ke dalam sistem kesehatan

yang telahtersedia.

20
viii. Prosedur untuk diagnosis HIV harus dilakukan dengan

sukarela dan didahului dengan memberikan informasi yang

benar, pre dan post test konseling.

ix. Setiap darah yang ditransfusikan, serta produk darah dan

jaringan transplan harus bebas dari HIV.

b. Strategi Pencegahan dan Penanggulangan IMS termasuk

HIV/AIDS

i. Pelaksanaan mengikuti azas-azas desentralisasi sedangkan

pemerintah pusat hanya menetapkan kebijakan nasional.

ii. Koordinasi dan penggerakan di bentuk KPA di pusat dan di

daerah/ kabupaten/ kota, pelaksanaan Program melalui

jejaring (networking) yang sudah dibentuk di masing-

masing sektor terkait.

iii. Suveilans dilakukan melalui laporan kasus AIDS,

surveilans sentinel HIV, SSP dan surveilans IMS

iv. Setiap prosedur kedokteran tetap memperhatikan universal

precaution atau kewaspadaan universal.

v. Melengkapi PP - UU menjamin perlindungan ODHA.

vi. Pembiayaan pencegahan dan penanggulangan IMS

termasuk HIV/AIDS terutama akan menggunakan sumber-

sumber dalam negeri. Pemerintah mengupayakan Bantuan

Luar Negeri.

vii. Melakukan monitoring dan evaluasi program dilakukan

berkala, terintegrasi dengan menggunakan indikator-

21
indikator pencapaian dalam periode tahunan maupun lima

tahunan.

4. Kebijakan dan Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja

a. Kebijakan Kesehatan Reproduksi Remaja

i. Pemerintah, masyarakat termasuk remaja wajib

menciptakan lingkungan yang kondusif agar remaja dapat

berperilaku hidup sehat untuk menjamin kesehatan

reproduksinya

ii. Setiap remaja mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang

berkualitas termasuk pelayanan informasi dengan

memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender.

iii. Upaya kesehatan reproduksi remaja harus memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya untuk mendukung

peningkatan derajat kesehatan remaja dengan disertai upaya

pendidikan kesehatanreproduksi yang seimbang.

iv. Upaya pendidikan kesehatan reproduksi remaja

dilaksanakanmelalui jalur pendidikan formal maupun

nonformal, dengan memberdayakan para tenaga pendidik

dan pengelola pendidikan pada sistem pendidikan yang ada.

v. Upaya kesehatan remaja harus dilaksanakan secara

terkoordinasi dan berkesinambungan melalui prinsip

kemitraan dengan pihak-pihak terkait serta harus mampu

22
membangkitkan dan mendorong keterlibatan dan

kemandirian remaja.

b. Strategi Kesehatan Reproduksi Remaja

i. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja disesuaikan

dengan kebutuhan proses tumbuh kembang remaja dengan

menekankan pada upaya promotif dan preventif yaitu

penundaan usia perkawinan muda dan pencegahan seks

pranikah.

ii. Pelaksanaan pembinaan kesehatan reproduksi remaja

dilakukan terpadu lintas program dan lintas sektor dengan

melibatkan sektor swasta serta LSM, yang disesuaikan

dengan peran dan kompetensi masing-masing sektor

sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam Pokja

Nasional Komisi Kesehatan Reproduksi.

iii. Pembinaan kesehatan reproduksi remaja dilakukan melalui

pola intervensi di sekolah mencakup sekolah formal dan

nonformal dan di luar sekolah dengan memakai

pendekatan“pendidik sebaya” atau peer conselor.

iv. Pemberian pelayanan kesehatan reproduksi remaja melalui

penerapan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR)

atau pendekatan Pelayanan Kesehatan Reproduksi

Integratif ditingkat pelayanan dasar yang bercirikan ”peduli

23
remaja” dengan melibatkan remaja dalam kegiatan secara

penuh.

v. Pelaksanaan pendidikan kesehatan reproduksi remaja

melalui integrasi materi KRR ke dalam mata pelajaran yang

relevan dan mengembangkan kegiatan ekstrakurikuler

seperti bimbingan dan konseling, Pendidikan Keterampilan

Hidup Sehat (PKHS) dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

vi. Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi remaja

bagiremaja di luar sekolah dapat diterapkan melalui

berbagai kelompok remaja yang ada di masyarakat seperti

karang taruna, Saka Bhakti Husada (SBH), kelompok anak

jalanan di rumahsinggah, kelompok remaja mesjid/gereja,

kelompok Bina Keluarga Remaja (BKR).

5. Kebijakan dan Strategi Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut

a. KebijakanKesehatan Reproduksi Usia Lanjut

i. Meningkatkan dan memperkuat peran keluarga dan

masyarakatdalam penyelenggaraan upaya kesehatan

reproduksi usia lanjutdan menjalin kemitraan dengan LSM,

dunia usaha secara berkesinambungan.

ii. Meningkatkan koordinasi dan integrasi dengan LP/LS di

pusat maupun daerah yang mendukung upaya kesehatan

reproduksi usia lanjut.

24
iii. Membangun serta mengembangkan sistem jaminan dan

bantuan sosial agar usia lanjut dapat mengakses pelayanan

kesehatan reproduksi.

iv. Meningkatkan dan memantapkan peran kelembagaan

dalamkesehatan reproduksi yang mendukung peningkatan

kualitas hidup usia lanjut.

b. Strategi Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut

i. Melakukan advokasi, sosialisasi untuk membangun

kemitraan dalam upaya kesehatan reproduksi usia lanjut

baik di pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

ii. Memantapkan kemitraan dan jejaring kerja dengan LP/LS,

LSMdan dunia usaha untuk dapat meningkatkan upaya

kesehatan reproduksi usia lanjut yang optimal.

iii. Mendorong dan menumbuhkembangkan partisipasi dan

peranserta keluarga dan masyarakat dalam pelayanan

kesehatan reproduksi usia lanjut dalam bentuk pendataan,

mobilisasi sasaran dan pemanfaatan pelayanan

iv. Peningkatan profesionalisme dan kinerja tenaga serta

penerapan kendali mutu pelayanan melalui

pendidikan/pelatihan, pengembangan standar pelayanan dll.

v. Membangun sistem pelayanan kesehatan reproduksi usia

lanjut melalui pelayanan kesehatan dasar dan rujukannya

25
sertamelakukan pelayanan pro aktif dengan mendekatkan

pelayanankepada sasaran.

vi. Melakukan survei/penelitian untuk mengetahui

permasalahan kesehatan reproduksi usia lanjut dan tindak

lanjutnya untuk pemantapan pelayanan kesehatan

reproduksi usia lanjut

2.6 Target Pencapaian Program Kesehatan Reproduksi8

1. Kesehatan Ibu dan Anak.

a. Menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) sebanyak tiga perempat

dari kondisi tahun 1990

b. Menurunkan Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka Kematian

Bayi (AKB) dan Angka Kematian Bawah lima tahun (AKBalita)

sebanyak dua pertiga dari kondisi tahun 1990.

c. Cakupan pelayanan antenatal menjadi 95%.

d. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 90%.

e. Penanganan kasus komplikasi obstetri dan neonatal 80%.

f. Cakupan pelayanan neonatal 90 %.

g. Cakupan program kesehatan bagi balita dan anak prasekolah80%.

2. Keluarga Berencana.

a. Penurunan Unmet Need KB sebesar 6%.

b. Cakupan pelayanan KB pada PUS 70%.

c. Penurunan prevalensi kehamilan “4 terlalu” menjadi 50 % dari

angka pada tahun 1997.

d. Penurunan kejadian komplikasi KB

26
e. Penurunan angka drop out.

3. Penanggulangan IMS, HIV/AIDS.

a. Puskesmas melaksanakan upaya pencegahan dan penanggulangan

IMS dengan pendekatan sindrom.

b. Puskesmas yang menjalankan pencegahan umum terhadap infeksi.

4. Kesehatan Reproduksi Remaja

a. Penurunan prevalensi anemia pada remaja menjadi kurang dari

20%

b. Cakupan pelayanan kesehatan remaja melalui jalur sekolah 85%,

dan melalui jalur luar sekolah 20%.

c. Prevalensi permasalahan remaja secara umum menurun.

5. Kesehatan Reproduksi Usia lanjut.

a. Cakupan pelayanan kepada usia lanjut minimal 50%.

b. Puskesmas yang menjalankan pembinaan kesehatan reproduksi

kepada usia lanjut 60 %.

27
BAB 3

KESIMPULAN

Persoalan kesehatan reproduksi mencakup lima kelompok masalah yaitu

kesehatan reproduksi itu sendiri, keluarga berencana, PMS dan pencegahan

HIV/AIDS, seksualitas hubungan manusia dan hubungan gender, dan remaja.

Berfungsinya sistem reproduksi dipengaruhi oleh aspek-aspek dan proses-proses

yang terkait pada setiap tahap dalam lingkungan hidup. Masa kanak-kanak,

remaja, pra-nikah, reprodukstif baik menikah maupun lajang, dan menopause

yang pada masa tersebut akan terjadi perubahan dalam sistem reproduksi.

Pada saat yang bersamaan dimungkinkan adanya faktor-faktor non klinis

yang menyertai perubahan itu, seperti faktor sosial, faktor budaya dan faktor

politik yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Peran pemerintah sangat

penting dalam pembuatan berbagai program yang berlaku secara massal terkait

kesehatan reproduksi untuk mengatasi berbagai permasalahan reproduksi dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang


Kesehatan
2. Harahap, Juliandi. 2003. KESEHATAN REPRODUKSI. Bagian Kedokteran
Komunitas Dan Kedokteran Pencegahan. Naskah Publikasi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi
4. Prasetyawati, Arsita Eka. 2011. Ilmu Kesehatan Masyarakat untuk Kebidanan
Holistik. Yogyakarta : Nuha Medika.
5. Purwoastuti, TE., Walyani, ES. 2015. Panduan Materi Kesehatan Reproduksi
dan Keluarga Berencana.Yogyakarta : Pustaka Baru Press.
6. Setiyaningrum, Erna dan Zulfa.2014. Pelayanan Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi.Jakarta : Penerbit Buku Kesehatan.
7. Yanti. 2011. Buku Ajar Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Pustaka
Rihama.
8. Buku Kebijakan dan Streategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia
tahun 2005.

29

Anda mungkin juga menyukai

  • ANC
    ANC
    Dokumen20 halaman
    ANC
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Program Pemerintah Terkait Kesehatan Reproduksi
    Program Pemerintah Terkait Kesehatan Reproduksi
    Dokumen36 halaman
    Program Pemerintah Terkait Kesehatan Reproduksi
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Varisela Zoster BST
    Varisela Zoster BST
    Dokumen17 halaman
    Varisela Zoster BST
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Varisela Zoster BST
    Varisela Zoster BST
    Dokumen17 halaman
    Varisela Zoster BST
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Varisela Zoster BST
    Varisela Zoster BST
    Dokumen17 halaman
    Varisela Zoster BST
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • CRS Oe
    CRS Oe
    Dokumen8 halaman
    CRS Oe
    Nadrah Nizom
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan DHF
    Penyuluhan DHF
    Dokumen14 halaman
    Penyuluhan DHF
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Hidrosefalus Css
    Hidrosefalus Css
    Dokumen20 halaman
    Hidrosefalus Css
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Crs Pengelolaan Jkn-Bpjs
    Crs Pengelolaan Jkn-Bpjs
    Dokumen34 halaman
    Crs Pengelolaan Jkn-Bpjs
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Referta Radio
    Referta Radio
    Dokumen13 halaman
    Referta Radio
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Bones
    Bones
    Dokumen2 halaman
    Bones
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Css DBD
    Css DBD
    Dokumen17 halaman
    Css DBD
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Referat
    Referat
    Dokumen36 halaman
    Referat
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Css DBD
    Css DBD
    Dokumen17 halaman
    Css DBD
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • CRS SN
    CRS SN
    Dokumen29 halaman
    CRS SN
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Ikterus Neonatorum
    Ikterus Neonatorum
    Dokumen54 halaman
    Ikterus Neonatorum
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • BST Hordeolum
    BST Hordeolum
    Dokumen5 halaman
    BST Hordeolum
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Jurnal
    Jurnal
    Dokumen2 halaman
    Jurnal
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • BST PV
    BST PV
    Dokumen25 halaman
    BST PV
    Sahyudi Darma Asepti
    Belum ada peringkat
  • Crs Pseudokista
    Crs Pseudokista
    Dokumen52 halaman
    Crs Pseudokista
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • BST Hordeolum
    BST Hordeolum
    Dokumen5 halaman
    BST Hordeolum
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • BST 1 Ambliopia
    BST 1 Ambliopia
    Dokumen27 halaman
    BST 1 Ambliopia
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Css Hifema Traumatika
    Css Hifema Traumatika
    Dokumen11 halaman
    Css Hifema Traumatika
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • BAB 3 Diskusi CRS Mata
    BAB 3 Diskusi CRS Mata
    Dokumen6 halaman
    BAB 3 Diskusi CRS Mata
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • BST Hordeolum
    BST Hordeolum
    Dokumen5 halaman
    BST Hordeolum
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Css Istc
    Css Istc
    Dokumen28 halaman
    Css Istc
    ShafiraAghniaWinditia
    0% (1)
  • Blefarokonjungtivitis
    Blefarokonjungtivitis
    Dokumen2 halaman
    Blefarokonjungtivitis
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    ShafiraAghniaWinditia
    Belum ada peringkat
  • Hiperbilirubinemia Pada Neonatus 35 Minggu Di Indo
    Hiperbilirubinemia Pada Neonatus 35 Minggu Di Indo
    Dokumen8 halaman
    Hiperbilirubinemia Pada Neonatus 35 Minggu Di Indo
    tiar
    Belum ada peringkat