Pembimbing :
dr. Hexanto Muhartomo, Sp.S, M.Kes
Disusun oleh :
Jimmy Kusuma
11.2013.007
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
karuniaNya sehingga referat Ilmu Penyakit Saraf tentang “Guillain Barre Syndrome“ ini
dapat selesai. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas
kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf di RSU Panti Wilasa dr. “Cipto” Semarang.
Penulis menyadari ada banyak pihak yang turut mendukung pembuatan referat ini.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen
pembimbing saya, dr.Hexanto Sp S , dr.Endang kustiowati,Sp.S (K), Msi.Med, dr. Hadi yang
telah membimbing saya selama kepaniteraan di RSU Panti Wilasa dr. “Cipto” dalam
pembuatan referat ini.
Penulis sadar referat ini jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermafaat bagi semua pihak
dan setiap pembaca pada umumnya. Terimakasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI……………………………………………………………...................……….....
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………..................…………………..1
1. Definisi…….. ………......…………………..…………………………..................…..2
2. Sejarah............................................................................................................................2
3. Epidemiologi …………………………………………………………..................…...2
4. Etiologi ………………………………………………………………..................……3
5. Patologi...........................................................................................................................4
6. Patogenesis ………………………………………………………..……..................…5
7. Klasifikasi …………………………………………………..................………………5
8. Gejala Klinis...................................................................................................................7
9. Kriteria Diagnostik.........................................................................................................8
12. Komplikasi………................………………………………………………………...13
13. Terapi................................…………………………………………………………...14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….................…………….18
3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya
timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,dimana proses imunologis
tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang kadang juga saraf
kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya mempersarafi otot ,tetapi bisa juga indera peraba
sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa.1
Sindrom Guillain-Barre merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada
usia dewasa muda, SGB ini seringkali mencemasakan penderita dan keluarganya karena
terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian ,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosis yang baik.1
Fase awal dimulai dengan munculnya tanda tanda kelemahan dan biasanya tampak secara
lengkap dalam 2- 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase
kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan mungkin berakhir 4-6
bulan, dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada
kebanyakan pasien , meskipun ada beberapa gejala neurologis , sisa dapat menetap.1
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Sindrom Guillain-Barre sebagian besar
penderita dapat sembuh sendiri. Namun gullien barre syndrom memerlukan perawatan yang
cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang
dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada
kematian. 1
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang
sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB
merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnyanya adalah saraf perifer, radiks dan
nervus kranialis.1
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic Polyneuritis,
Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome,
Landry Ascending Paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah Landry ascending paralysis diperkenalkan oleh
Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada
tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa
peninggian protein cairan cerebrospinal (CCS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan
ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan
Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa
SGB selain berdasarkan penyakit klinis, pemeriksaan CCS, juga adanya kelainan pada
pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan
hantar saraf pada EMG.2
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi diseluruh dunia, kejadian pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan
frekuensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan
5
kasus influenza. Angka kejadian dunia 0.6%-2% kasus/100.000 orang/ tahun, negara barat
sekitar 1-2% kasus/ 100.000 orang/tahun. Bisa terjadi disemua tingkatan usia mulai dari anak
anak sampai dewasa,sering pada anak anak dan remaja (China),dan sering pada orang tua >
70 tahun (pada negara barat). Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Bukan penyakit
keturunan .tidak dapat menular lewat kelahiran ,terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang
mengidap GBS, bisa timbul seminggu atau dua seminggu atau dua minggu setelah infeksi
usus atau tenggorokkan.1
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan
masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin
ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: 3,4
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Kehamilan atau dalam masa nifas
5. Penyakit sistemik
a. Keganasan
b. Systemic Lupus Erithematous
c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison
SGB seringkali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insiden kasus SGB yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56%- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum
gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran nafas atas atau infeksi gastrointestinal.
Telah diketahui bahwa infeksi salmonella typosa dapat menyebabkan SGB. Kemungkinan
timbulnya sindrom guillain barre syndrom pada demam tyfoid perlu lebih diketahui dan
disadari. Khususnya di indonesia dimana demam tyfoid masih merupakan penyakit menular
yang besar.
6
Tabel 1. Jenis-Jenis Infeksi yang Sering menjadi Penyebab SGB
Patologi
Secara makroskopik tidak ditemukan adanya perubahan pada saraf pasien penderita SGB.
Namun secara mikroskopik tampak adanya infiltrasi sel mononuclear di perivenula dan
ditemukan adanya demielinisasi segmental di susunan saraf tepi. Meskipun penyakit ini
sering didahului oleh bermacam-macam penyakit, namun patologi yang ditemukan sama
pada semua pasien GBS. Infiltrasi perivenula terdiri atas limfosit berukuran kecil sampai
sedang, makrofag dan sedikit sel PMN pada stadium awal penyakit. Namun pada stadium
lanjut ditemukan adanya sel plasma dan sedikit sel mast. Limfosit yang berukuran kecil
sampai sedang akan mudah untuk keluar dari vena masuk ke dalam parenkim saraf. Limfosit
yang berukuran besar akan mengalami transformasi secara aktif melalui fagositosis oleh
makrofag.5
Daerah yang terinflamasi akan diinfiltrasi sel mononuclear kemudian akan terjadi
demielinisasi segmental. Pada mulanya yang terlihat hanya limfosit saja, tapi setelah 2-3
minggu, dengan berkembangnya penyakit, yang mendominasi adalah sel makrofag. Makrofag
berperan penting dalam terjadinya destruksi myelin. Makrofag menyebabkan lamella myelin
7
terpisah dan mencerna membran yang terpisah. Destruksi myelin berlangsung progresif ke
arah lokasi sentral nucleus sel schwann. Dengan mikroskop cahaya dapat terlihat myelin yang
terputus dan berbentuk ovoid juga makrofag yang mencerna myelin. 5
Peningkatan aktivitas asam posphatase dan asam proteinase menandakan aktivasi lisosom
dalam makrofag. Lesi inflamasi yang hebat menyebabkan terjadinya demielinisasi sampai
mengakibatkan terputusnya akson dan degenerasi wallerian. Leukosit PMN juga tampak
pada lesi yang hebat, mungkin sebagai respons dari jaringan yang nekrotik. Pada kasus
dengan degenerasi wallerian yang luas, dalam sel cornu anterior dapat terlihat central
chromatolysis. Sedang pada keadaan degenerasi axonal dapat terlihat atrofi serabut otot
akibat denervasi.
Patogenesis
Patogenesis Sindrom Guillain-Barre sampai saat ini masih belum jelas. Tetapi beberapa
penelitian mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa yang bersifat imunologik,1-3
Infeksi viral atau infeksi gabungan virus dan bakteri yang mendahului penyakit ini sering
memberi kesan adanya respons yang diperantarai oleh sel. Patologi SGB yaitu inflamasi sel T
di perivenula, mendukung patogenesis SGB diperantarai sel. Respons yang diperantarai sel
dimulai dengan presentasi antigen spesifik dan berhubungan dengan kompleks major
histocompatibility – antigens. Sel T tidak dapat berproliferasi atau mengaktivasi makrofag
tanpa adanya antigen. Kompleks MHC – antigen mengaktifkan T helper untuk menghasilkan
gamma interferon dan TNF yang akan mengaktifkan makrofag, dengan akibat destruksi sel
schwann. T-helper juga menghasilkan interleukin-2 yang mengaktivasi pertumbuhan sel B
sehingga menghasilkan antibodi. Kompleks antigen dan antibodi tersebut akan mengaktivasi
komplemen sehingga menyebabkan lisisnya sel schwann, aktivasi dan kemotaksis makrofag,
peningkatan permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast. Jadi dalam keadaan ini aktivasi
komplemen berpartisipasi secara langsung atau secara tidak langsung dalam merusak
myelin.5
Klasifikasi5-7
Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering
disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang membrane sel schwann.
Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering
terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang
menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan
dapat berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti GD1a, sementara
antibody anti- GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga
menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan
lambat dan sering tidak sempurna.
9
5. Acute panautonomia
Gejala Klinis
Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya bermanifestasi
sebagai takikardi tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf
otonomik termasuk aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas GI. 1-3,8
Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological
and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu,
10
Gejala saraf cranial + 50% terjadi parese N.VII dan sering bilateral. Saraf
otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot otot
ektraokuler atau saraf otak lain.
Pemulihan : dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan
Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dan gejala vasomotor
Tidak ada demam saat onset gejala neurologist.
Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SGB ditandai dengan timbulnya suatu
kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks refleks tendon dan didahului parestesi dua
atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada liquor dan
gangguan sensorik dan motorik perifer.2-4,8
Kriteria diagnostik
Kelemahan ascenden dan simetris. Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota
gerak atas. Kelemahan otot paroximal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan otot
trunkal, bulbar dan otot pernapasan juga terjadi.
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas.
Penyebaran hiporefleksia menjadi gambarn utama, pasien SGB biasanya berkembang dari
11
kelemahan nervus cranial, seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal. Kelemahan
diafragma sampai nervus phrenicus sudah biasa. Sepertiga pasien SGB inap membutuhkan
ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau orofaringeal.
Mengikuti gejala sensorik , khas : mulai dari tungkai , ascenden ke lengan – 10%
dimulai dengan kelemahan lengan – walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai dari
wajah (cervical – pharyngeal – brachial) kelemahan wajah terjadi pada seridaknya
50% pasien dan biasanya bilateral – reflek: hilang/pada sebagian besar kasus.
2. Abnormalitas sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan , glove & stocking sensation,
simetris, tak jelas batasnya – nyeri bisa berupa mialgia otot panggul, nyeri radikuler,
manifes sebagai sensori terbakar, kesemutan, tersetrum – ataksia sensorik krn
propioseptif terganggu – variasi : parestesi wajah & trunkus.
3. Disfungsi otonom
a. hipertensi – hipotensi – sinus takikardi/bradikardi
b. aritmia jantung – illeus- refleks vagal
c. retensi urin
12
Gambar 1. Fase Perjalanan Klinis
13
Differential Diagnosis
2. Miastenia Gravis
Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot – otot
untuk menelan, berbicara. Tidak ada keluhan sensorik. Tes prostigmin membaik.
Didapatkan pembesaran tymus.2
Kelemahan otot pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan sensorik yang
diakibatkan oleh kadar kalium serum yang rendah. Dengan infuse KCl dalam larutan
elektrolit akan membaik gejalanya.2
4. Transverse Myelitis
Kelemahan otot terjadi setinggi lesi ke bawah dan tidak pernah mengenai otot wajah
dan orofaring. Biasanya refleks menghilang bila terjadi spinal shock. Gejala sensoris
biasanya segmental sesuai dengan lesi. Terjadi inkontineasia urin yang persisten.
Tetapi jarang terjadi gangguan pernafasan.8
Terjadi beberapa jam sampai beberapa hari setelah minum obat. Ganguan pernafasan
terjadi sebelum timbulnya kelemahan otot. Juga sering terjadi ptosis dan internal
ophthalmoplegia. Protein LCS biasanya normal.8
6. Polymyositis
14
Sering terjadi kelemahan pada leher dan tubuh,namun tidak dijumpai adanya
gangguan sensorik. Refleks biasanya normal tapi bisa sedikit menurun. Tidak
ditemukannya disfungsi otonom juga jarang melibatkan saraf cranial. Sering dijumpai
fenomena Raynauds dan terjadi rash. Tidak ada kenaikan protein LCS. Pada EMG
ditemukan fibrilasi.8
7. Vasculitis Neuropathy
Terjadi demam, gejala sensoris yang terjadi asimetris begitu juga kelemahan yang
terjadi asimetris. Jarang mengenai saraf cranial, tapi bila mengenai saraf tersebut
biasanya asimetris. Tidak ada kenaikan protein dalam LCS.8
8. Poliomyelitis
Kelemahan otot tidak simetris dan sering terdapat atrofi otot. Dijumpai adanya
demam tapi jarang terjadi gangguan sensorik. Pada LCS ditemukan pleositosis.8
9. Rabies
Ada demam dan gangguan sensoris biasanya unilateral. Otot kaki lemas tetapi
asimetris. Refleks pada tangan normal. Paresis bulbar tipe spasme, asimetris dan
terjadi hydrophobia. Sering terjadi gangguan pernafasan dengan tipe pernafasan
periodic, irregular. Pada LCS ditemukan pleositosis.8
Pemeriksaan Penunjang
1. LCS
a. Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 gr/L , tanpa peningkatan
dari sel < 10 limfosit/mm3.
b. Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5. peningkatan titer
dari agent seperti CMV, EBV ,membantu menegakkan etiologi.
1. antibody glicolipid
15
2. antibody GMI
2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.
Komplikasi 1
1. paralisis menetap
2. gagal nafas
3. hipotensi
4. tromboembolisme
5. pneumoniae
6. aritmia jantung
7. illeus
8. aspirasi
9. retensi urin
10. problem psikiatrik
SGB dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang
lama dapat sampai 3-6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung
perlahan dan dapat berlangsung bertahun tahun. Baik psien maupun keluarga pasien harus
diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang
berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun tahun pertama,
terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna
pada tahun kedua atau setelahnya.8
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20%-30%, pasien dewasa, tetapi lebih sedikit pada
anak anak anak. Disability yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal SGB dan SGB
yang berbahaya , misalnya pada pasien dengan ventilator.8
16
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau
hipotensi terjadi kurang lebih 20 % dari pasien dengan SGB gangguan lain yang signifikan
adalah illeus dinamik, hiponatremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial.8
Terapi
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat
simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan
waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga
pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit
dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) 2-3,8
1. Kortikosteroid
2. Plasmaparesis
17
3. Pengobatan imunosupresan
a. Immunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/ komplikasi lebih ringan.
Dosis maintenance 0,4gr/KgBB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah
6 merkaptopurin (6 MP)
Azathioprine
Cyclophosphamid
Efek samping dari obat obat ini adalah : alopesia ,muntah, mual, dan
sakit kepala.
c. Terapi fisik : alih baring
1. Latihan ROM dini u/ cegah kontraktur
2. hidroterapi
d. Suportif : profilaksis DVT (heparin s.c)
e. Analgesik 2,3,4,
Analgesik ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk
meringankan nyeri ringan , namun tidak untuk nyeri yang sangat , penelitian
random control trial mendukung penggunaan gabapentin atau carbamazephine
pada ruang ICU pada perawan SGB fase akut. Analgesik narkotik dapat
digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati
hati kepada efek samping denervasi otonomik. Terapi ajuvan dengan tricyclic
antidepresant, tramadol, gabapentin, carbamazepine atau mexilitine dapat
ditambahkan untuk penatalaknaan nyeri neuropatik jangka panjang
Pemulihan 2-3,8
Prognosis
19
BAB III
KESIMPULAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) adalah suatu penyakit pada sususnan saraf yang terjadi secara
akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi , kadang kadang mengenai
saraf saraf otak yang didahului oleh infeksi akut non spesifik seperti infeksi saluran nafas dan
saluran cerna. Penyebab infeksi yang paling sering adalah Campylobacter jejuni. Adapun
gejala utama dari SGB adalah kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih
ekstremitas dengan atau tanpa disertai ataxia dan arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat
general.
Dari pemeriksaan LCS didapatkan peningkatan protein tanpa peningkatan jumlah sel (MN <
10/ul). Dari pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat adanya perlambatan atau blok pada
konduksi impuls saraf. Diagnostik SGB terutama ditegakkan secra klinis, yaitu dari kriteria
dignostik SGB menurut the National Institute of Neurological and Communicative Disorder
and Stroke (NINCDS).
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB , pengobatan terutama secara
simptomatis. Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Kematian pada SGB
disebabkan oleh gagal nafas dan aritmia.
20
DAFTAR PUSTAKA
3. Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian Rakyat,
2000.
4. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA : McGraw
Hill, 2005.
5. Menkes JH, Sarnat HB, Moser FG. Child Neurology 6th Ed. London : Williams &
Wilkins, 2000.
21